Pupuh ke-1, pada (bait) ke 6, Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:
Nora kena lamun den antepi,
yen ucula sing patang prakara.
Nora enak legetane.
Tan wurung tinggal wektu,
panganggepe wus angengkoki.
Nora kudu sembahyang,
wus salat katengsun.
Banjure mbuwang sarengat,
batal karam nora nganggo den singgahi,
bubrah sakehing tata.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Tidak boleh kau terima,
jika lepas dari empat hal tadi,
Karena biasanya tidak baik.
Tak urung jika tiba waktunya,
(kau akan) merasa sudah menjalankan ‘laku”. Sehingga tidak harus sembahyang,
sudah shalat
kehendakku. Akhirnya meninggalkan syariat,
yang batil dan
yang haram sudah tak dipedulikan. Maka rusaklah seluruh tatanan.
Kajian per kata:
Nora (tidak) kena (boleh) lamun (kalau) den (kau) antepi
(terima), yen (kalau) ucula (terlepas) sing (yang)
patang
(empat) prakara (perkara itu). Nora (tidak) enak (baik) legetane
(pada akhirnya). Tidak boleh kau
terima (isyarat), jika lepas dari empat hal tadi, karena biasanya tidak baik
pada akhirnya.
Masih melanjutkan bait sebelumnya tentang orang yang berbicara tentang
ilmu agama. Tidak boleh
kita terima pendapatnya
apabila terlepas dari
empat perkara pokok agama yang sudah disampaikan di bait sebelumnya,
yakni Al Quran, hadits, ijma’ dan qiyas. Setiap pendapat (perkataan) harus
berdasar paling tidak satu diantara keempatnya dengan tidak bertentangan dengan
salah satunya.
Jika ada pendapat yang tidak sesuai dengan salah satu dari keempat tersebut lebih baik kita
tinggalkan saja karena biyasanya tidaklah baik
pada akhirnya. Karena dalam menjalankan syariat haruslah memakai
dasar-dasar hukum yang jelas, tidak boleh sembarangan melakukan amalan-amalan dengan
melanggar prinsip-prinsip agama yang empat perkara tadi.
Bait ini tampaknya menyoroti praktik ritual-ritual tertentu yang sering
dilakukan oleh para pembimbing spiritual di jaman itu. Pada kajian serat Wedatama telah kami singgung sedikit
soal praktek perdukunan yang memakai ritual-ritual tanpa dasar. Banyak tokoh dalam masyarakat yang
mempunyai banyak pengikut mengajarkan praktik yang demikian itu. Maka kita
harus bisa menimbang dengan neraca syari’at agar suatu amalan dapat kita
ketahui kebolehannya.
Tan (tak) wurung (urung) tinggal (jika tiba) wektu
(waktunya), panganggepe (beranggapan) wus (sudah) angengkoki (sudah
menjalani), nora (tidak) kudu (harus) sembahyang (beribadah), wus (sudah)
salat
(shalat) katengsun (kehendakku).
Tak urung praktik-praktik amalan yang tidak jelas dasarnya tadi dengan
berjalannya waktu akan menyeret dalam kekeliruan akidah. Kata panganggepe di sini berarti kekeliruan
telah masuk ke wilayah keyakinan, dan ini jauh lebih berbahaya. Akidah yang
keliru jauh lebih sulit diluruskan
kembali daripada amalan syariat yang keliru, karena akidah adalah simpul kepercayaan
dalam pikiran yang memerlukan waktu lama
untuk terbentuk. Dan kadang
kekeliruan akidah tak tampak dari luar, oleh
karena itu meluruskannya juga sangat sulit.
Jika akidah sudah rusak takkan
menunggu lama shalat pun akan ditinggalkan. Ada yang kemudian berpendapat bahwa
shalat menjadi tidak perlu karena sudah melakukan kebaikan, toh shalat
tujuannya agar seseorang terhindar dari perbuatan keji dan munkar to? Kalau
sudah menjadikan kebaikan sebagai perilaku sehari-hari maka tak perlu shalat
lagi. Seperti ini adalah kesesatan yang nyata.
Banjure (akhirnya) mbuwang (membuang) sarengat
(syariat), batal (batil) karam
(haram) nora (tidak) nganggo
(pakai) den (di) singgahi (pedulikan), bubrah
(rusaklah) sakehing (seluruh) tata (aturan).
Akhirnya meninggalkan syariat, yang batil
dan yang haram sudah tak dipedulikan. Maka rusaklah seluruh tatanan.
Setelah shalat dibuang, giliran berikutnya adalah syari’at. Aturan-aturan
dalam syariat tidak dipakai lagi. Aturan-aturan tentang hal-hal yang batil yang
seharusnya tidak layak dilakukan, hal-hal yang haram yang seharusnya dihindari
sudah tak pernah dipedulikan lagi. Hidup
menjadi sekehendak sendiri tanpa aturan. Jika sudah demikian rusaklah seluruh
tatanan, baik tatanan pribadi maupun tatanan masyarakat.
Rusaknya tatanan dalam
masyarakat selalu diawali dari rusaknya perilaku individu di dalamnya. Makin
banyak pribadi-pribadi yang melanggar tatanan pribadi, merosotnya akhlak dan
abainya terhadap syari’at akan berimbas pada rusaknya kesadaran kolektif. Akibatnya
masyarakat menjadi sakit. Semakin banyak
yang melanggar aturan semakin kritis penyakit
masyarakat. Tinggal menunggu waktu hancurnya peradaban masyarakat itu.
Bait ini mengandung peringatan
akan pentingnya menjaga syariat pada level pribadi, pada diri sendiri. Karena
ditinggalkannya syarit pada level pribadi lambat laun akan berimbas kepada
rusaknya seluruh tatanan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar