Translate

Minggu, 11 Agustus 2024

Kajian Wulangreh (1:6): Bubrah Sakehing Tata

 

Pupuh ke-1, pada (bait) ke 6, Dhandhanggula, Serat Wulangreh  karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

 

Nora kena lamun den antepi, 

yen ucula sing patang prakara.

Nora enak legetane.

Tan wurung tinggal wektu, 

panganggepe wus angengkoki. 

Nora kudu sembahyang,

wus salat katengsun. 

Banjure mbuwang sarengat,

batal karam nora nganggo den singgahi,

 bubrah sakehing tata.

 

Terjemahan dalam bahasa Indonesia.

 

Tidak boleh kau terima,

jika lepas dari empat hal tadi, Karena biasanya tidak baik.

Tak urung jika tiba waktunya,

(kau akan) merasa sudah menjalankan ‘laku”. Sehingga tidak harus sembahyang,

sudah shalat kehendakku. Akhirnya meninggalkan syariat,

yang batil dan yang haram sudah tak dipedulikan. Maka rusaklah seluruh tatanan.

 

 

Kajian per kata:

Nora (tidak) kena (boleh) lamun (kalau) den (kau) antepi (terima), yen (kalau) ucula (terlepas) sing (yang) patang (empat) prakara (perkara itu). Nora (tidak) enak (baik) legetane (pada akhirnya). Tidak boleh kau terima (isyarat), jika lepas dari empat hal tadi, karena biasanya tidak baik pada akhirnya.

Masih melanjutkan bait sebelumnya tentang orang yang berbicara tentang ilmu  agama.  Tidak boleh  kita terima pendapatnya  apabila  terlepas   dari


 

empat perkara pokok agama yang sudah disampaikan di bait sebelumnya, yakni Al Quran, hadits, ijma’ dan qiyas. Setiap pendapat (perkataan) harus berdasar paling tidak satu diantara keempatnya dengan tidak bertentangan dengan salah satunya.

Jika ada pendapat yang tidak sesuai dengan salah satu dari keempat tersebut lebih baik kita tinggalkan saja karena biyasanya tidaklah baik  pada akhirnya. Karena dalam menjalankan syariat haruslah memakai dasar-dasar hukum yang jelas, tidak boleh sembarangan melakukan amalan-amalan dengan melanggar prinsip-prinsip agama yang empat perkara tadi.

Bait ini tampaknya menyoroti praktik ritual-ritual tertentu yang sering dilakukan oleh para pembimbing spiritual di jaman itu. Pada kajian serat Wedatama telah kami singgung sedikit soal praktek perdukunan yang memakai ritual-ritual tanpa dasar. Banyak tokoh dalam masyarakat yang mempunyai banyak pengikut mengajarkan praktik yang demikian itu. Maka kita harus bisa menimbang dengan neraca syari’at agar suatu amalan dapat kita ketahui kebolehannya.

Tan (tak) wurung (urung) tinggal (jika tiba) wektu (waktunya), panganggepe (beranggapan) wus (sudah) angengkoki (sudah menjalani), nora (tidak) kudu (harus) sembahyang (beribadah), wus (sudah) salat (shalat) katengsun (kehendakku).

Tak urung praktik-praktik amalan yang tidak jelas dasarnya tadi dengan berjalannya waktu akan menyeret dalam kekeliruan akidah. Kata panganggepe di sini berarti kekeliruan telah masuk ke wilayah keyakinan, dan ini jauh lebih berbahaya. Akidah yang keliru jauh lebih sulit  diluruskan kembali daripada amalan syariat yang keliru, karena akidah adalah simpul kepercayaan dalam pikiran yang memerlukan waktu lama untuk terbentuk. Dan kadang kekeliruan akidah tak tampak dari luar, oleh karena itu meluruskannya juga sangat sulit.

Jika akidah sudah rusak takkan menunggu lama shalat pun akan ditinggalkan. Ada yang kemudian berpendapat bahwa shalat menjadi tidak perlu karena sudah melakukan kebaikan, toh shalat tujuannya agar seseorang terhindar dari perbuatan keji dan munkar to? Kalau sudah menjadikan kebaikan sebagai perilaku sehari-hari maka tak perlu shalat lagi. Seperti ini adalah kesesatan yang nyata.


 

Banjure (akhirnya) mbuwang (membuang) sarengat (syariat), batal  (batil) karam (haram) nora (tidak) nganggo (pakai) den (di) singgahi (pedulikan), bubrah (rusaklah) sakehing (seluruh) tata (aturan). Akhirnya meninggalkan syariat, yang batil dan yang haram sudah tak dipedulikan. Maka rusaklah seluruh tatanan.

Setelah shalat dibuang, giliran berikutnya adalah syari’at. Aturan-aturan dalam syariat tidak dipakai lagi. Aturan-aturan tentang hal-hal yang batil yang seharusnya tidak layak dilakukan, hal-hal yang haram yang seharusnya dihindari sudah tak pernah dipedulikan lagi. Hidup menjadi sekehendak sendiri tanpa aturan. Jika sudah demikian rusaklah seluruh tatanan, baik tatanan pribadi maupun tatanan masyarakat.

Rusaknya tatanan dalam masyarakat selalu diawali dari rusaknya perilaku individu di dalamnya. Makin banyak pribadi-pribadi yang melanggar tatanan pribadi, merosotnya akhlak dan abainya terhadap syari’at akan berimbas pada rusaknya kesadaran kolektif. Akibatnya masyarakat  menjadi sakit. Semakin banyak yang melanggar aturan semakin kritis penyakit masyarakat. Tinggal menunggu waktu hancurnya peradaban masyarakat itu.

Bait ini mengandung peringatan akan pentingnya menjaga syariat pada level pribadi, pada diri sendiri. Karena ditinggalkannya syarit pada level pribadi lambat laun akan berimbas kepada rusaknya seluruh tatanan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...