Translate

Minggu, 11 Agustus 2024

Kajian Wulangreh (1:7): Papancene Priyangga

 Pupuh ke-1, Pada (bait) ke-7, Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

 Angel temen ing jaman mangkin, 

ingkang pantes kena ginuronan. 

Akeh wong njaja ngelmune,

lan arang ingkang manut.

Yen wong ngelmu ingkang netepi, 

ing panggawening sarak,

den arani luput. 

Nanging iya sasenengan,

nora kena den uwor kareping janmi, 

papancene priyangga.

 

Terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Memang sulit mencari seseorang,

yang patut dijadikan guru di zaman ini. Banyak yang menjajakan ilmu,

tetapi jarang yang mengikutinya.

Jika seseorang berilmu dan menjalankan, tuntunan dalam syari’at,

malah  dianggap salah.

Namun itu kesenangan masing-masing, tidak boleh disamakan,

kenyataannya (berpikirnya) sendiri-sendiri.

  

Kajian per kata:

Angel (sulit) temen (benar-benar) ing (di) jaman (jaman) mangkin (sekarang), ingkang (yang) pantes (pantas) kena (bisa) ginuronan (dijadikan guru). Memang sulit mencari seseorang, yang patut dijadikan guru di zaman ini.

Pada jaman serat ini ditulis, yakni masa pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820M) mencari orang yang pantas dijadikan guru sungguh- sungguh sulit. Hal ini karena ada kriteria seperti pada bait ke-4, pertama yakni   kriteria   moral:   terjaga   martabatnya,   menaati   hukum,     tekun


 

beribadah, tidak pamrih, serta dalam hidupnya sanggup menahan hawa nafsu. Mencari orang dengan kriteria tersebut sudah sangat sulit.

Yang kedua, masih ada keriteria keilmuan yakni pendapatnya tidak boleh keluar dari empat perkara, Al Quran, hadits, ijma’ dan qiyas. Ini pun juga sulit sekali. Hanya orang yang betul-betul pandai dan terdidik yang mempunyai kedalaman ilmu seperti itu.

Akeh (banyak) wong (orang) njaja (menepuk dada) ngelmune (ilmunya), lan (dan) arang (jarang) ingkang (yang) manut (menurut). Banyak yang menjajakan ilmu, tetapi jarang yang mengikutinya.

Orang pintar dengan dua jenis kriteria di atas sulit ditemukan, tetapi orang yang mengaku-aku atau menepuk dada (njaja) ilmu justru banyak. Di jaman itu orang-orang pun juga enggan berguru. Jadi kalau ada orang yang bermaksud mengajarkan ilmunya banyak orang yang tidak mempedulikan. Antara orang yang merasa berilmu dan orang awam sama-sama bersikap tidak elok, yang berilmu terkesan mengobral yang awam terkesan apatis.

Ini mungkin gejala yang umum di setiap jaman, ketika orang malas belajar menunut ilmu. Kebanyakan lebih suka memperturuti praduga dan angan- angan sendiri saja, walau pun terhadap masalah-masalah agama. Perilaku demikian itu juga masih sering kita temui sampai sekarang. Dan seringkali berujung pada pertengkaran dan saling hujat, padahal tanpa ilmu yang memadai.

Yen (kalau) wong (orang) ngelmu (berilmu) ingkang (yang) netepi (menjalankan), ing (dalam) panggawening (tuntunan dalam) sarak (syariat), den (di) arani (anggap) luput (salah). Jika seseorang berilmu dan menjalankan, tuntunan dalam syari’at, malah  dianggap salah.

Sedangkan orang yang benar-benar berilmu dan menjalankan syariat  dalam setiap perbuatannya justru dianggap salah. Ini satu lagi penyakit kebanyakan manusia yang alpa terhadap kebenaran. Tidak lagi bisa membedakan yang benar dan salah, yang lurus dan yang bengkok sehingga yang benar justru disalahkan, yang lurus justru dihindari. Semua itu karena kebanyakan orang memperturutkan praduga semata-mata, malas belajar untuk mencari kebenaran.

Nanging (tetapi) iya (juga) sasenengan (sesuai selera), nora (tidak)   kena

(boleh) den (di) uwor  (campur, dipaksakan) kareping (keinginan)    janmi (manusia), papancene (kenyataannya) priyangga (sendiri-sendiri). Namun itu kesenangan masing-masing, tidak boleh disamakan, kenyataannya (berpikirnya) sendiri-sendiri.

Walau demikian kita tak bisa melarang selera orang lain. Kita tidak bisa memaksakan ukuran kita kepada sesama manusia hanya karena kita merasa lebih benar. Kenyataannya memang manusia hanya menuruti pikirannya sendiri-sendiri, tak mungkin berpikir dengan cara orang lain. Yang bisa kita lakukan hanya bisa mengajak melalui cara yang baik  apapun yang menjadi keyakinan kita.

Inilah arti dakwah yang sesungguhnya, yakni mengajak dengan cara bertukar pikiran. Apabila kita punya keyakinan tentang suatu kebaikan, maka yang bisa kita lakukan hanya meyakinkan orang lain dengan argumen yang tepat, masuk akal dan dengan perkataan yang baik. Karena kebenaran tak bisa dipaksakan datangnya, hanya dapat ditransfer melalui pemahaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...