Pupuh ke-1, Pada (bait) ke-7, Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:
ingkang pantes kena ginuronan.
Akeh wong njaja ngelmune,
lan arang ingkang manut.
Yen wong ngelmu ingkang netepi,
ing panggawening sarak,
den arani luput.
Nanging iya sasenengan,
nora kena den uwor kareping janmi,
papancene priyangga.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Memang sulit mencari seseorang,
yang patut dijadikan guru di zaman ini. Banyak yang
menjajakan ilmu,
tetapi jarang yang mengikutinya.
Jika seseorang berilmu dan menjalankan, tuntunan dalam
syari’at,
malah dianggap salah.
Namun itu kesenangan masing-masing, tidak boleh
disamakan,
kenyataannya (berpikirnya) sendiri-sendiri.
Kajian per kata:
Angel (sulit) temen (benar-benar) ing (di) jaman (jaman) mangkin
(sekarang), ingkang (yang) pantes (pantas) kena (bisa) ginuronan
(dijadikan guru). Memang sulit
mencari seseorang, yang patut dijadikan guru di zaman ini.
Pada jaman serat ini ditulis, yakni masa pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820M) mencari orang yang pantas dijadikan guru
sungguh- sungguh sulit. Hal ini karena ada kriteria seperti pada bait ke-4,
pertama yakni kriteria moral:
terjaga martabatnya, menaati
hukum, tekun
beribadah, tidak pamrih, serta dalam hidupnya sanggup menahan hawa nafsu.
Mencari orang dengan kriteria tersebut sudah sangat sulit.
Yang kedua, masih ada keriteria keilmuan yakni pendapatnya tidak boleh
keluar dari empat perkara, Al Quran, hadits, ijma’ dan qiyas. Ini pun juga
sulit sekali. Hanya orang yang betul-betul pandai dan terdidik yang mempunyai
kedalaman ilmu seperti itu.
Akeh (banyak) wong (orang) njaja (menepuk dada) ngelmune
(ilmunya), lan (dan) arang (jarang) ingkang (yang) manut
(menurut). Banyak yang menjajakan
ilmu, tetapi jarang yang mengikutinya.
Orang pintar dengan dua jenis kriteria di atas sulit ditemukan, tetapi
orang yang mengaku-aku atau menepuk dada (njaja)
ilmu justru banyak. Di jaman itu orang-orang pun juga enggan berguru. Jadi
kalau ada orang yang bermaksud mengajarkan ilmunya banyak orang yang tidak
mempedulikan. Antara orang yang merasa berilmu dan orang awam sama-sama
bersikap tidak elok, yang berilmu terkesan mengobral yang awam terkesan apatis.
Ini mungkin gejala yang umum
di setiap jaman, ketika orang malas belajar menunut ilmu. Kebanyakan lebih suka
memperturuti praduga dan angan- angan sendiri saja, walau pun terhadap
masalah-masalah agama. Perilaku demikian itu juga masih sering kita temui sampai
sekarang. Dan seringkali berujung pada pertengkaran dan saling hujat, padahal
tanpa ilmu yang memadai.
Yen (kalau) wong (orang) ngelmu (berilmu) ingkang
(yang) netepi (menjalankan), ing (dalam) panggawening (tuntunan
dalam) sarak (syariat), den (di) arani (anggap) luput
(salah). Jika seseorang berilmu
dan menjalankan, tuntunan dalam syari’at, malah dianggap salah.
Sedangkan orang yang
benar-benar berilmu dan menjalankan syariat
dalam setiap perbuatannya justru dianggap salah. Ini satu lagi penyakit
kebanyakan manusia yang alpa terhadap kebenaran. Tidak lagi bisa membedakan yang
benar dan salah, yang lurus dan yang
bengkok sehingga yang benar justru disalahkan, yang lurus justru dihindari.
Semua itu karena kebanyakan orang memperturutkan praduga semata-mata, malas
belajar untuk mencari kebenaran.
Nanging (tetapi) iya (juga) sasenengan (sesuai
selera), nora (tidak) kena
(boleh) den (di) uwor (campur, dipaksakan) kareping (keinginan) janmi (manusia), papancene (kenyataannya) priyangga (sendiri-sendiri). Namun itu kesenangan masing-masing, tidak boleh disamakan, kenyataannya (berpikirnya) sendiri-sendiri.
Walau demikian kita tak bisa
melarang selera orang lain. Kita tidak bisa memaksakan ukuran kita kepada
sesama manusia hanya karena kita merasa lebih benar. Kenyataannya memang
manusia hanya menuruti pikirannya sendiri-sendiri, tak mungkin berpikir dengan
cara orang lain. Yang bisa kita lakukan
hanya bisa mengajak melalui cara yang baik apapun yang menjadi keyakinan kita.
Inilah arti dakwah yang
sesungguhnya, yakni mengajak dengan cara bertukar pikiran. Apabila kita punya
keyakinan tentang suatu kebaikan, maka yang bisa kita lakukan hanya meyakinkan
orang lain dengan argumen yang tepat, masuk akal dan dengan perkataan yang
baik. Karena kebenaran tak bisa dipaksakan datangnya,
hanya dapat ditransfer melalui pemahaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar