Translate

Minggu, 11 Agustus 2024

Kajian Wulangreh (1:8): Naruthuk Ngupaya Murid

 

Pupuh ke-1, pada (bait) ke-8, Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:

 

Ingkang lumrah ing mangsa puniki, 

apan guru ingkang golek sabat.

Tuhu kuwalik tingale, 

kang wus lumrah karuhun.

Jaman kuna mapan si murid, 

ingkang padha ngupaya, 

kudu anggeguru.

Samengko iki tan nora,

Kyai Guru naruthuk ngupaya murid, 

dadia kanthinira.

 

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Yang biasa terjadi pada masa kini malah guru yang mencari murid. Benar-benar tampak terbalik (ironis),

dengan kebiasaan yang terjadi di jaman dahulu. Jaman dulu kala sepantasnya murid,

yang sama-sama berusaha mencari, dan harus berguru.

Sekarang tidak begitu,

malah guru yang ke sana ke mari mencari murid, dijadikan sebagai pengikut.

  

Kajian per kata:

Ingkang (yang) lumrah (biasa terjadi) ing (pada) mangsa (masa) puniki (kini), apan (malah) guru (guru) ingkang (yang) golek (mencari) sabat (sahabat, murid). Yang biasa terjadi pada masa kini malah guru yang mencari murid.

Yang lazim terjadi sekarang justru para guru yang mencari murid. Kata sabat di sini adalah kependekan dari sahabat, merujuk pada para sahabat nabi yang selalu mengikuti dan menerima petunjuk tentang amalan-amalan keagamaan. Gatra ini menggambarkan keadaan para guru yang sekarang harus mencari orang-orang yang akan diajarkan ilmu agama.

Tuhu (benar-benar) kuwalik (terbalik) tingale (tampaknya), kang  (dengan) wus (yang sudah) lumrah (menjadi kebiasaan) karuhun (jaman dahulu). Benar-benar tampak terbalik (ironis), dengan kebiasaan yang terjadi di jaman dahulu.

Ini benar-benar ironis. Seharusnya para murid yang membutuhkan bimbinganlah yang mencari para guru. Yang demikian itu sudah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu kala, tetapi sekarang terbalik keadaannya.

Jaman (jaman) kuna (dulu kala) mapan (pantasnya) si murid (murid), ingkang (yang) padha (sama-sama) ngupaya (mencari), kudu (harus) anggeguru (berguru). Jaman dulu kala sepantasnya murid yang sama- sama berusaha mencari dan harus berguru.

Sudah menjadi kemapanan sejak dahulu kala bahwa muridlah  yang mencari guru. Bila perlu menempuh berbagai rintangan, jarak yang jauh, halangan yang merintang hanya untuk berguru pada orang-orang berilmu. Dan kalaupun sudah bertemu dengan orang yang dimaksud belum tentu diterima. Harus diuji dahulu apakah benar-benar mampu menerima ilmu yang akan diturunkan. Harus dilihat dulu tekad si calon murid apakah benar-benar kuat menempuh pelajaran yang tidak ringan dan perlu ketekunan. Jadi para guru pun tidak akan sembarangan menerima murid, alias tidak mengobral ilmunya.

Samengko (sekarang) iki (ini) tan (justru) nora (tidak), Kyai (kyai) Guru (guru) naruthuk (berkeliaran) ngupaya (mencari) murid (murid), dadiya(dijadikan) kanthinira (pengikut). Sekarang tidak begitu, malah guru yang ke sana ke mari mencari murid, dijadikan sebagai pengikut.

Jaman sekarang tidak demikian. Para Kyai dan Guru lah yang aktif, berkeliaran mencari murid. Agar mendapat pengikut. Kata naruthuk mengandung konotasi kurang bagus, misalnya pada kalimat: esuk-esuk wis naruthuk mrene golek utangan, pagi-pagi sudah bersegera kemari untuk mencari pinjaman. Jadi ada kesan yang bersangkutan membuang rasa malunya demi mendapat pinjaman.

Pada gatra di atas naruthuk berarti rela menanggung malu ke sana ke mari mencari-cari  murid,  seolah-olah  dia  butuh  sekali.  Ini  jelas menurunkan wibawa seorang guru karen seharusnya dia yang didatangi murid. Kalimat ini juga mengandung sindiran bahwa yang naruthuk itu sebenarnya belum pantas menjadi guru. Namun dia memaksakan diri untuk mengajar dengan cara ke sana kemari mencari murid.

Frasa dadia kanthinira (dijadikan pengikut) mengisyaratkan bahwa sang guru memang sedang paceklik murid, sehingga naruthuk mencari-cari agar dalam hidupnya mempunyai teman. Kata kanthinira di akhir bait ini juga sebagai pertanda selesainya Pupuh Dhandhang Gula, kemudian akan masuk ke Pupuh Kinanthi.

Fenomena di atas terjadi di awal abad 18 sesuai jaman serat Wulangreh ini ditulis. Namun demikian jika dibandingkan dengan kondisi  jaman sekarang di abad 21 ternyata ada banyak kemiripan. Sekarang ini jika  tahun ajaran baru dibuka banyak berseliweran berbagai spanduk, pamflet, brosur, dari sekolah-sekolah yang mencari murid. Tak jarang mereka menawarkan iming-iming berbagai kemudahan dan hasil yang bombastis. Selain itu juga banyak lembaga pendidikan nonformal yang mengklaim mampu membuat anak menjadi pintar secara cepat, bahkan terkesan  seperti sulapan.

Di lain pihak, sekarang para murid pun terkesan enggan mengikuti pendidikan. Baru mau masuk sekolah sudah minta tunggangan bagus, motor keren yang bisa lari kencang. Tidak mau sekolah kalau tidak diantar ortu. Kalau ngekost minta fasilitas kelas I, dan sebagainya. Ini gejala yang juga muncul di abad 18, enggan atau kurang semangat mencari ilmu.

Tampaknya watak manusia memang abadi sejak jaman dahulu sampai nanti. Semoga ini bisa menjadi peringatan bagi kita, sekaligus rambu- rambu atau isyarat agar ktia mampu untuk mengambil sikap yang tepat ke depan.

Sampai di sini selesailah sudah kajian Pupuh Dhandhang Gula. Secara umum pupuh ini berisi piwulang tentang sikap kita dalam menuntut ilmu, sikap apa yang perlu diambil dalam mendengar dan melihat berbagai fenomena yang berkaitan dengan simpang siur pendapat di antara orang- orang. Meski sudah kuno, serat Wulangreh dalam beberapa bagian masih relevan dipakai sebagai pedoman dalam bersikap, lebih-lebih menghadapi carut-marut silang pendapat di dunia maya ini. Silakan mengambil pelajaran bagi yang berkenan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...