Pupuh ke-1, pada (bait) ke-8, Dhandhanggula, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV:
Ingkang lumrah ing mangsa puniki,
apan guru ingkang golek sabat.
Tuhu kuwalik tingale,
kang wus lumrah karuhun.
Jaman kuna mapan si murid,
ingkang padha ngupaya,
kudu anggeguru.
Samengko iki tan nora,
Kyai Guru naruthuk ngupaya murid,
dadia kanthinira.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Yang biasa terjadi pada masa kini malah guru yang mencari
murid. Benar-benar tampak terbalik (ironis),
dengan
kebiasaan yang terjadi di jaman dahulu. Jaman dulu kala sepantasnya murid,
yang sama-sama berusaha mencari, dan harus berguru.
Sekarang tidak begitu,
malah guru yang ke sana ke mari mencari murid, dijadikan
sebagai pengikut.
Kajian per kata:
Ingkang (yang) lumrah (biasa terjadi) ing (pada) mangsa (masa) puniki
(kini), apan (malah) guru (guru) ingkang (yang) golek
(mencari) sabat (sahabat, murid). Yang
biasa terjadi pada masa kini malah guru yang mencari murid.
Yang lazim terjadi sekarang justru para guru yang mencari murid. Kata sabat di sini adalah kependekan dari sahabat, merujuk pada para sahabat nabi yang selalu mengikuti dan menerima petunjuk tentang amalan-amalan keagamaan. Gatra ini menggambarkan keadaan para guru yang sekarang harus mencari orang-orang yang akan diajarkan ilmu agama.
Tuhu (benar-benar) kuwalik (terbalik) tingale
(tampaknya), kang (dengan)
wus
(yang sudah) lumrah (menjadi kebiasaan) karuhun
(jaman dahulu). Benar-benar tampak terbalik (ironis), dengan
kebiasaan yang terjadi di jaman dahulu.
Ini benar-benar ironis. Seharusnya para murid yang membutuhkan
bimbinganlah yang mencari para guru. Yang demikian itu sudah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu kala, tetapi
sekarang terbalik keadaannya.
Jaman (jaman) kuna (dulu kala) mapan (pantasnya) si
murid (murid), ingkang (yang) padha (sama-sama) ngupaya
(mencari), kudu (harus) anggeguru (berguru). Jaman dulu kala sepantasnya murid yang sama-
sama berusaha mencari dan harus berguru.
Sudah menjadi kemapanan sejak
dahulu kala bahwa muridlah yang mencari
guru. Bila perlu menempuh berbagai rintangan, jarak yang jauh, halangan yang
merintang hanya untuk berguru pada orang-orang berilmu. Dan kalaupun
sudah bertemu dengan orang yang dimaksud belum tentu diterima. Harus diuji dahulu apakah benar-benar mampu
menerima ilmu yang akan diturunkan. Harus dilihat dulu tekad si calon murid
apakah benar-benar kuat menempuh pelajaran yang tidak ringan dan perlu
ketekunan. Jadi para guru pun tidak akan sembarangan menerima murid, alias
tidak mengobral ilmunya.
Samengko (sekarang) iki (ini) tan (justru) nora (tidak), Kyai (kyai)
Guru
(guru) naruthuk (berkeliaran) ngupaya (mencari) murid
(murid), dadiya(dijadikan) kanthinira (pengikut). Sekarang tidak begitu, malah guru yang ke
sana ke mari mencari murid, dijadikan sebagai pengikut.
Jaman sekarang tidak demikian.
Para Kyai dan Guru lah yang aktif, berkeliaran mencari murid. Agar mendapat
pengikut. Kata naruthuk mengandung konotasi kurang bagus, misalnya pada
kalimat: esuk-esuk wis naruthuk mrene
golek utangan, pagi-pagi sudah bersegera kemari untuk mencari pinjaman.
Jadi ada kesan yang bersangkutan membuang rasa malunya demi mendapat pinjaman.
Pada gatra di atas naruthuk berarti rela menanggung malu ke sana ke mari mencari-cari murid, seolah-olah dia butuh sekali. Ini jelas menurunkan wibawa seorang guru karen seharusnya dia yang didatangi murid. Kalimat ini juga mengandung sindiran bahwa yang naruthuk itu sebenarnya belum pantas menjadi guru. Namun dia memaksakan diri untuk mengajar dengan cara ke sana kemari mencari murid.
Frasa dadia kanthinira (dijadikan pengikut) mengisyaratkan bahwa sang
guru memang sedang paceklik murid, sehingga naruthuk
mencari-cari agar dalam hidupnya mempunyai teman. Kata kanthinira di
akhir bait ini juga sebagai pertanda selesainya Pupuh Dhandhang Gula, kemudian akan masuk ke Pupuh Kinanthi.
Fenomena di atas terjadi di
awal abad 18 sesuai jaman serat Wulangreh ini ditulis. Namun demikian jika
dibandingkan dengan kondisi jaman
sekarang di abad 21 ternyata ada banyak kemiripan.
Sekarang ini jika tahun ajaran baru
dibuka banyak berseliweran berbagai spanduk, pamflet, brosur, dari
sekolah-sekolah yang mencari murid. Tak jarang mereka menawarkan
iming-iming berbagai kemudahan dan
hasil yang bombastis. Selain itu juga banyak lembaga pendidikan nonformal yang
mengklaim mampu membuat anak menjadi pintar secara cepat, bahkan terkesan seperti sulapan.
Di lain pihak, sekarang para
murid pun terkesan enggan mengikuti pendidikan. Baru mau masuk sekolah sudah
minta tunggangan bagus, motor keren yang bisa lari kencang. Tidak mau sekolah
kalau tidak diantar ortu. Kalau ngekost minta fasilitas kelas I, dan sebagainya.
Ini gejala yang juga muncul di abad 18, enggan atau kurang semangat mencari
ilmu.
Tampaknya watak manusia memang
abadi sejak jaman dahulu sampai nanti. Semoga ini bisa menjadi peringatan bagi
kita, sekaligus rambu- rambu atau isyarat agar ktia mampu untuk mengambil sikap
yang tepat ke depan.
Sampai di sini selesailah
sudah kajian Pupuh Dhandhang Gula. Secara umum pupuh ini berisi piwulang
tentang sikap kita dalam menuntut ilmu, sikap apa yang perlu diambil dalam
mendengar dan melihat berbagai fenomena yang berkaitan dengan simpang siur
pendapat di antara orang- orang. Meski sudah kuno, serat Wulangreh dalam
beberapa bagian masih relevan dipakai sebagai pedoman dalam bersikap,
lebih-lebih menghadapi carut-marut silang pendapat di dunia maya ini. Silakan
mengambil pelajaran bagi yang berkenan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar