Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (10): Para Wali Bersiap Mendirikan Masjid di Demak

 Para wali bersyukur telah selesai mengikuti salat Jum’at di Mekkah. Para wali kembali ke tanah Jawa dan menuju ke Demak untuk menemui Raden Adipati Natapraja.

Berkata para wali, “Hai anakku Natapraja, ketahuilah. Sekarang para wali sudah diizinkan membuat masjid agung di tanah Jawa.”

Sunan Giri berkata, “Hai anakku Natapraja, engkau diberi amanat mencari kayu jati untuk balok belandar, pengeret, reng, urusk, bubungan dan sirap. Adapun para wali diberi amanat mencari tiang saka guru yang empat. Para mukmin mendapat jatah tiang pinggir.”

Raden Adipati menyatakan kesanggupan. Segera diumumkan kepada para punggawa di Bintara untuk mencari kayu jati  sebagai bahan pembuat masjid. Para wali sudah sepakat, mereka pun berangkat melaksanakan amanat masing-masing.

Kangjeng Sunan Kalijaga pergi membawa kedua sahabat, Iman Semantri dan Supa, ke tengah hutan untuk mencari kayu jati sebagai saka guru. Lama mencari tak kunjung mendapat kayu yang dirasa cocok. Tiba-tiba di tengah hutan mereka bertemu seorang tua sekalian istrinya. Posturnya bongkok meski tinggi besar. Kangjeng Sunan kaget, dalam hati bertanya orang ini dari jenis makhluk apa.

Sang Sunan mendekati orang tua itu dan bertanya dengan sopan, “Duhai Kaki, paduka berdua makhluk apakah, asal dari mana, apa tujuan paduka menemui kami dan siapa nama paduka.”

Orang tua itu berkata, “Ketahuilah, aku ini mantan raja di zaman Purwa, dari kalangan Pandawa. Namaku Prabu Darmakusuma, keturunan Prabu Pandu Dewanata. Adapun istri ini bernama Dewi Drupadi. Awal mula aku berkelana di tengah hutan sepi karena semua saudaraku sudah meninggal. Aku tak bisa ikut mi’raj ke langit karena aku punya pusaka bernama Kalimasada. Hyang Pramesthi berkata, aku tak bisa mati bila belum bertemu dengan seorang wali mumpuni bernama Syekh Malaya. Wali itulah yang akan menjelaskan isi pusaka Kalimasada. Jika bukan Syekh Malaya, takkan bisa mengerti isi pusaka Kalimasada.”

Kangjeng Sunan berkata, “Bila demikian sangat kebetulan. Saya yang bernama Syekh Malaya. Di manakah pusaka itu saya ingin melihat?”

Pusaka sudah diberikan, berupa sebuah kitab. Kangjeng Sunan membuka dan membaca isinya, “La ilaha illallah. Sesungguhnya ini kalimat syahadat. Orang Budha lazim menyebutnya Kalimasada.”

Prabu Darmakusuma ketika mendengar kalimat “la ilaha illallah” seketika hati bergetar. Sang Prabu sangat bersyukur karena ada yang bisa membaca isi kitab itu. Seketika hati Prabu Darmakusuma seperti disiram air es. Demikian pula sang istri, tiada beda perasaannya.

Prabu Darmakusuma berkata, “Syekh Malaya, aku minta kepadamu jangan tanggung menolong kami. Bagaimana penjelasan kalimat la ilaha illallah itu?”

Berkata Kangjeng Sunan, “Tidak ada di dunia ini kecuali wujud Allah yang pasti. Menemuhi langit dan bumi, Dzat Yang Maha Agung. Napas paduka tidak akan berhembus tanpa izin dariNya. Dia ada di dalam diri paduka dalam bentuk Ruh sejati. Itulah yang akan dibawa ke alam akhirat. Maka jika seseorang mati, semua atribut ditanggalkan.”

Prabu Darmakusuma tertunduk, merasa menyesal sudah banyak berkelana tapi belum mengetahui rahasia kematian. Baru sekarang apa yang diinginkan tercapai.

Prabu Darmakusuma berkata, “Syekh Malaya, engkau aku beri pusaka raja berupa keris Kyai Ageng Kopek. Ini terimalah. Kelak keris ini akan menjadi pusaka para raja. Kami sekalian ikut agamamu, masuk agama Islam yang dapat dipakai di alam sini dan alam sana.”

Prabu Darmakusuma sudah dibisiki pengertian agama Islam, demikian pula sang permaisuri. Keduanya telah sah mengucap ikrar kesaksian. Segera sesudahnya keduanya dapat meninggalkan alam dunia dengan tenang. Supa dan Iman Semantri lalu mensucikan kedua jenazah dan menguburkannya dengan tatacara agama Islam. Setelah selesai mereka melanjutkan perjalanan mencari pohon jati.

Kangjeng Sunan dan kedua sahabat kembali mencari kayu untuk saka guru masjid Demak. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan seekor ular yang tengah bersiap menyantap seekor kodok.

Ketika melihat kedua hewan itu, Kangjeng Sunan berkata, “Hu..”

Sudah kehendak Tuhan, si kodok menjadi kuat dan lepas dari gigitan si ular. Kodok lari dan si ular tak dapat menemukannya. Si ular merasa kecewa karena gagal mendapat makanan. Dalam hati si ular menyalahkan Kangjeng Sunan Kalijaga, mengapa tega mengganggu ketika dirinya mencari makan. Si ular kemudian mengejar Kangjeng Sunan untuk meminta tanggung jawab.

Sudah terlaksana si ular bertemu dengan Kangjeng Sunan. Si ular berkata, “Duh Sunan Kali, mengapa paduka tadi berkata ‘hu’ sehingga buruan saya lepas?”

Kangjeng Sunan berkata, “Sesungguhnya aku berkata ‘hu’, maksudnya adalah ‘hulunen’ artinya makanlah. Karena si kodok telah menjadi wewenangmu untuk memakannya. Kodok itu telah menjadi rezekimu.”

Si ular dapat menerima penjelasan Sunan Kalijaga, lalu segera berlalu. Beberapa saat kemudian si kodok juga menemui Kangjeng Sultan untuk berterima kasih.

Si kodok berkata, “Duh Tuan, tadi hamba mendapat musibah hampir dimakan oleh ular. Paduka lalu berkata ‘hu’ dan hamba lepas dari kematian. Hamba ingin tahu apa arti sabda paduka tersebut.”

Kangjeng Sunan berkata, “Arti dari ‘hu’ adalah hudarna, lepaskan.”

Si kodok sangat gembira. Karena sabda Kangjeng Sunan dirinya lepas dari marabahaya.

Si kodok kembali berkata, “Duh Tuanku yang dikasihi Tuhan, diri hamba merasa disambung usia. Saya ingin membalas kebaikan paduka sekuat diri hamba. Kelak jika paduka berkehendak mengangkat tiang saka guru dari hutan ke Demak, saya yang akan mengangkatnya. Saya punya banyak keluarga kodok yang dapat membantu saya. Besok kapan paduka akan mengangkat kayu itu, hamba siap.”

Kangjeng Sunan berkata, “Aku sangat berterima kasih atas kesediaanmu. Sewaktu-waktu aku mendapat kayu itu, aku akan memberi tahu kepadamu.”

Kangjeng Sunan dan kedua sahabat kembali melanjutkan perjalanan mencari tiang saka guru masjid Demak.

Setelah beberapa waktu berjalan, Kangjeng Sunan bertemu dengan sang adik Dewi Rasawulan yang sedang bertapa ngidang. Yakni, hidup layaknya kijang di hutan. Karena sudah lama bertapa ngidang sang dewi sudah hilang rasa kemanusiaannya. Ketika melihat rombongan Kangjeng Sunan Kalijaga, sang dewi justru lari terbirit-birit.

Kangjeng Sunan berkata kepada salah seorang sahabatnya, “Hai Jaka Supa, tangkaplah yang bertapa ngidang itu. Sesungguhnya dia saudara kandungku. Bila engkau berhasil menangkapnya, biarlah menjadi jodohmu. Agar engkau mudah melumpuhkannya, bidiklah dengan rezeki berupa kepalan nasi.”

Jaka Supa memburu si kijang jadi-jadian. Setelah dicegat larinya lama-lama terpojok. Sekepal nasi dilemparkan ke arah Dewi Rasawulan, seketika tubuhnya lemas. Oleh Jaka Supa segera diberi pakaian dan dibawa ke hadapan Kangjeng Sunan. Dewi Rasawulan sudah ingat kembali. Di hadapan sang kakak Dewi Rasawulan sungkem. Air matanya deras mengalir.

Kangjeng Sunan berkata, “Dinda engkau sudah ingat kembali. Hentikan pertapaanmu. Sekarang engkau pulanglah ke Tuban. Aku yang akan mengantarkan. Dan sebaiknya engkau memulai hidup sebagaimana layaknya orang dengan menikah. Ini si Jaka Supa yang telah memberimu kain dan menutupi rasa malumu. Sebaiknya engkau menikah dengannya. Ayo sekarang pulang ke Tuban. Ayah ibu sudah lanjut usia, siapa lagi yang akan melanjutkan mengelola negeri karena aku sudah menjadi wali.”

Sang dewi tak keberatan, segera berangkat ke Tuban bersama Kangjeng Sunan dan kedua sahabat. Sesampai di Tuban keduan kakak beradik bertemu dengan kedua orang tua. Sudah diceritakan semua yang terjadi bahwa Dewi Rasawulan ditemukan di tengah hutan. Kedua orang tua memeluk putrinya dengan penuh kasih.

Sang Adipati berkata, “Hai anakku, siapa yang akan mengganti kedudukanku di Tuban? Aku sudah lanjut usia.”

Kangjeng Sunan Kalijaga berkata, “Saya tidak bersedia karena sedang mengikuti kehendak Tuhan Yang Maha Suci. Bila paduka berkenan sebaiknya si Supa yang menggantikan paduka. Dia yang telah menemukan Rasawulan dan sekarang sebaiknya segera dinikahkan.”

Kedua orang tua sudah setuju. Pernikahan keduanya segera dilangsungkan di pura kadipaten Tuban. Kangjeng Sunan Kalijaga yang menikahkan keduanya sesuai tatacara agama Islam. Hari berikutnya perayaan pernikahan diadakan dengan meriah. Bunyi gamelan Pelog dan Slendro tak henti terdengar. Pengantin diarak keliling kota. Banyak orang terpesona sehingga turut serta dalam arak-arakan pengantin.

Kedua pengantin tampak sudah hidup rukun. Setelah selesai peresmian kedua pengantin, keduanya ditempatkan di rumah sendiri.

Pada suatu hari Sunan Kalijaga menemui saudara iparnya dan berkata, “Hai Supa, karena engkau seorang pandai besi dan masih keturunan empu mumpuni, buatkah aku sebuah keris yang pantas aku pakai. Jangan terlihat kusam bila dipakai oleh seorang ulama. Keris itu akan aku pakai sehari-hari. Nah, ini ada bahan dari besi yang bagus. Besarnya hanya sebiji kemiri, tapi asalnya dari alam Ahadiyat.”

Supa berkata pelan, “Itu tidak akan jadi sebuah keris. Bahanya kurang banyak.”

Kangjeng Sunan berkata, “Hai Supa, engkau ingin besi sebesar gunung?”

Tak lama kemudian muncul besi sebesar gunung. Ki Supa kaget lalu tertunduk dan memeluk kaki Kangjeng Sunan sambil menangis. Ki Supa sangat ketakutan dengan sabda sang Sunan. Seketika besi kembali mengecil seperti sediakala, hanya sebesar biji kemiri. Ki Supa meraih besi itu lalu digenggam. Dengan mengheningkan cipta Ki Supa meminta pertolongan Tuhan. Tidak lama besi sudah berubah menjadi sebuah keris. Keris itu berwarna merah seperti kain sangkelat. Keris segera dihaturkan kepada Kangjeng Sunan. Sunan memperhatikan keris berluk tiga belas itu. Ada sogokan dan dua lambe gajah.

Kangjeng Sunan berkata, “Hai Supa, keris ini aku beri nama Kyai Sangkelat karena merah warnanya. Dan ketahuilah, kelak keris ini menjadi pusaka para raja yang menguasai tanah Jawa. Keris seperti ini tidak pantas aku pakai. Simpanlah yang tertib. Engkau rawat dengan baik selama berada di tempatmu. Kelak akan dipakai oleh anak keturunan Jaka Tarub, sesuai ramalan para wali yang sudah masyhur. Jaka Tarub adalah anak dari istrimu dan seorang pemuka para wali, yang lahir tidak secara lazim. Hanya dari sebuah sabda.”

Ki Supa menerima kembali keris Kyai Sangkelat dari tangan Kangjeng Sunan.

Kangjeng Sunan berkata lagi, “Supa, buatkan lagi keris yang pantas bagiku. Ini ada besi sebesar biji asam. Asalnya dari alam wahdat.”

Besi segera diterima oleh Supa, lalu dipijat tiga kali seketika berubah menjadi keris. Keris lalu diserahkan kepada Sunan Kalijaga. Sunan merasa terkesan. Keris lalu diberi nama Kyai Carubuk. Sudah diberi sarung keris ala golok yang biasa dipakai para santri. Keris lalu dipakai Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga berpamitan kepada ayah dan ibu untuk kembali ke Demak. Ki Supa ditinggalkan di Tuban. Kangjeng Sunan kembali ke Demak hanya ditemani Iman Semantri.

Ki Supa dan sang istri Dewi Rasawulan menjalani rumah tangga dengan rukun. Setiap hari pengantin baru selalu memadu kasih. Setelah beberapa lama Ki Supa pamit kepada sang istri hendak ke Majapahit. Sudah lama Ki Supa tidak mengunjungi sang ayah Tumenggung Supadriya di Majapahit.

Dewi Rasawulan tidak mau ditinggalkan sendiri di Tuban. Sudah menjadi tekad hidup mati akan mengikuti suami. Walau ke Majapahit juga ikut. Ki Supa mengizinkan. Keduanya lalu menghadap Adipati Tuban untuk minta pamit. Ki Adipati sudah memberi izin. Kepada kedua putra sang adipati memberi pengawal sejumlah kira-kira 40 orang dan para tukang pikul secukupnya. Ki Supa naik kuda, sang istri naik tandu. Singkat cerita Ki Supa sekalian sudah sampai di Majapahit dengan selamat. Keduanya segera menghadap Ki Tumenggung Supadriya dan sungkem. Ki Tumenggung bertanya kepada Ki Supa, siapa wanita ini. Ki Supa menceritakan kisahnya sejak awal sampai akhir.

Sementara itu, Kangjeng Sunan Kalijaga telah sampai di Demak. Para wali dan para mukmin sudah lengkap hadir. Semua bermusyawarat tentang rencana mendirikan masjid. Raden Adipati Natapraja sudah siap dengan kayu jati yang menjadi tugasnya. Tampak balok-balok kayu sudah ditumpuk di suatu tempat. Para wali juga sudah siap dengan saka guru yang menjadi amantnya. Masing-masing wali telah membawa empat balok tiang. Sedangkan Sunan Kalijaga baru mendapat tiga buah. Itu pun yang membawa bukan Kangjeng Sunan sendiri, tapi diantar para kodok. Semua yang melihat keheranan. Sekumpulan kodok saudara dari kodok yang pernah lepas dari santapan ular karena pertolongan Kangjeng Sunan membalas kebaikan dengan mengusung kayu jati dari dalam hutan.

Para wali segera memulai pekerjaan. Masing-masing bagian sudah dibentuk, diketam dan ditatah menjadi bagian-bagian struktur masjid. Saka guru, saka pinggir dan bagian-bagian struktur masjid sudah dihitung. Jumlahnya ada 80 batang. Tinggal satu batang yang belum tersedia, yakni yang menjadi amanat Sunan Kalijaga. Syekh Maulana kemudian menagihnya.

Berkata Syekh Maulana, “Nak, engkau baru mendapat tiga batang. Kurang satu yang menjadi tugasmu. Besok pagi masjid akan didirikan.”

Sunan Kalijaga menjawab, “Nanti malam saya cari genapnya.”

Pada malam hari Kangjeng Sunan lembur mengumpulkan tatal bekas pahatan para pekerja. Tatal-tatal dikumpulkan dan ditata memanjang. Kemudian dihaluskan dan diberi purus. Sudah tampak serasi dengan elemen struktur lainnya.

Pada waktu mengerjakan pembuatan tiang tersebut ada seekor orong-orong yang berkeliaran di situ. Waktu Kangjeng Sunan meletakkan kapak di tanah, si orong-orong tertimpa. Leher orong-orong koyak. Si orong-orong menangis keras-keras.

“Dosa apa diriku sampai dianiaya begitu rupa. Leherku hampir putus. Kangjeng Sunan, saya tak berdosa mengapa paduka berbuat aniaya,” jerit orong-orong.

Kangjeng Sunan mendengar tangisan orong-orong, lalu berkata, “Dosamu karena sembrono. Sudah tahu tubuhmu ringkih, tapi berkeliaran di tempat orang bekerja. Aku tak tahu engkau berada di situ.”

Si orong-orong berkata, “Hamba tak ingin berdebat, tapi hamba minta pertolongan. Hamba mohon agar disembuhkan dari sakit hamba.”

Kangjeng Sunan berkata, “Jika itu maumu, aku akan menolongmu. Barangkali engkau mendapat belas kasih Tuhan.”

Kangjeng Sunan mengambil mengambil potongan kayu dan menempelkan ke leher orong-orong. Seketika leher orong-orong menjadi kuat. Sudah pulih dari sakit yang dideritanya. Maka sekarang kita mendapati orong-orong pada bagian tengkuknya keras seperti kayu. Itulah awal mula ceritanya.

Pagi hari seluruh bagian struktur masjid sudah lengkap. Para ulama, mukmin, kyai dan santri-santri dari desa-desa berduyun-duyung datang untuk ikut mendirikan masjid Demak. Raden Adipati Natapraja memimpin para pekerja. Para wali ikut mendukung dengan melantunkan doa-doa.

Kangjeng Sunan Kalijaga mengawali pendirian masjid. Tiang dari tatal yang dikerjakan semalaman ditepuk, lalu berdiri dengan sendirinya. Tempatnya berada di bagian timur laut. Sunan Giri lalu mendirikan saka guru bagian barat laut. Kangjeng Sunan Ampel di bagian barat daya. Dan, Syekh Maulana di bagian tenggara. Setelah saka guru berdiri lalu disusul saka pananggap. Lalu balok sunduk dan dudur dipasang. Setelah semua eleman menyatu kemudian diperkuat dengan baji dan pen. Terakhir dipasang aksesoris bangunan seperti dada peksi dan emprit gantil. Semua bagian telah dipaku sehingga kokoh. Setelah struktur berdiri atap sirap pun dipasang. Pendirian masjid agung Demak ditandai dengan sengkalan tahun lawang trus gunaning janma[1]. Perhitungan tahun memakai kalender bulan, tapi masih memakai angka tahun yang berlalu di Majapahit yang memakai kalender matahari.

Masjid Demak telah berdiri kokoh dan gagah. Lalu arah kiblat ditentukan. Para wali berselisih mengenai arah kiblat. Ada yang mengatakan kurang ke arah utara sedikit. Ada yang mengatakan kurang ke selatan. Karena belum sepakat pekerjaan dihentikan sementara.

Kangjeng Sunan Kalijaga lalu berdiri menghadap ke selatan. Sunan Kalijaga lalu menampakkan karomah. Tangan kiri tampak memegang puncak masjid Demak. Tangan kanan tampak memegang Ka’bah. Lalu kedua tangan didekatkan. Tampak puncak masjid sudah bersesuaian dengan arah Ka’bah.

“Kawan, sekarang lihatlah. Apakah arah kiblat sudah sesuai arah Ka’bah?” tanya Kangjeng Sunan kepada yang hadir.

Para wali kemudian memeriksa dengan seksama. Mereka heran dengan cara yang dipakai Sunan Kalijaga. Setelah mengamati dengan teliti mereka sepakat arah kiblat sudah sesuai.

“Hai Sunan Kalijaga, arah kiblat sudah sesuai. Tidak selisih walau serambut pun,” kata para wali.

Kangjeng Sunan lalu melepaskan kedua tangannya. Pekerjaan kemudian dilanjutkan lagi. Bagian mihrab dan mimbar telah selesai. Lalu dipasang dinding dari gebyok. Tepat saat salat dzuhur pekerjaan pendirian masjid telah sempurna. Bedug lalu dipasang dan dibunyikan. Para wali dan kaum mukmin bersiap melaksanakan salat Jum’at.

Kangjeng Sunan Benang menjadi imam. Sunan Giri membacakan khutbah. Sunan Kalijaga melantunkan iqamah dan yang azan empat wali; Sunar Muria, Sunan Palembang, Sunan Cirebon dan Sunan Kudus. Salat Jum’at pertama segera dimulai.

Selesai salat Jum’at para mukmin bersalaman semua. Para jamaah Ju’at telah kembali ke rumah masing-masing. Para wali masih melanjutkan perbincangan di dalam masjid yang suci.

Sunan Benang berkata kepada para wali, “Saudaraku semua, ayo kita melantunkan zikir untuk mengintip Dzat Allah. Bagaimana kita menyatu antara Tuan dan hamba bila tidak dengan sarana zikir. Ada empat zikir yang kita ucapkan. Mana di antara keempatnya yang akan menuntun kepada sifat Allah.”

Semua wali setuju dengan ajakan Sunan Benang. Adapun empat zikir adalah, pertama satari Ahmad, ‘ilallah Allah’ zikirnya. Kedua Satariyah, ucapannya ‘hu Allah’. Yang ketiga menyebut asma Allah yang lain. Lalu zikir keempat menurut cara Naqsabandiyah dengan mengucap sembarang zikir.

Para wali melakukan zikir dengan mengheningkan cipta. Berusaha masuk ke alam cipta maya. Fokus dengan hati bulat hanya memandang ke alam gaib. Jiwa seolah lepas dari badan dan menyatu dengan Dzat Allah. Tuan dan hamba telah menjadi satu. Sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi di alam dunia.

Selesai berzikir para wali heboh dengan adanya sebuah benda yang tergantung di dada peksi bangunan masjid. Para wali sepakat untuk meraihnya dengan galah. Ketika benda itu jatuh langsung disambut. Setelah dibuka isinya kulit domba yang di dalamnya ada sebuah lipatan kain halus berupa baju. Dalam baju itu ada tulisan berhuruf Arab.

Isi surat itu: “Surat dariku Kangjeng Nabi utusan Dzat Allah, Muhammad Rasulullah, untuk Syekh Malaya: engkau aku beri baju Antrakusuma. Kelak baju ini menjadi pusaka para raja. Banyak berkah dan tuahnya, adapun gulungan kulit domba ini pakailah sebagai sajadah.”

Para wali bergantian membaca surat. Lalu mereka ikut melihat baju yang indah itu. Para wali berselisih menyebut warnanya. Ada yang mengatakan merah, dadu, ungu, kuning, biru dan ada yang menyebut hijau tua. Juga mengenai bentuk bajunya mereka pun berselisih. Adapun bentuk yang sebenarnya berupa baju takwa dengan kancing baju.

Kangjeng Sunan Benang berkata manis, “Ini bentuknya berupa pakaian sultan. Kelak akan menjadi pusaka para raja. Nah, Nak Malaya, cobalah pakai baju ini.”

Kyai Antrakusuma segera dipakai. Tampak pas dan patut di tubuh Syekh Malaya.

Sunan Benang berkata, “Bila engkau izinkan Dinda, aku ingin membuat baju dari kulit domba itu seperti baju Antrakusuma ini.”

Syekh Malaya menyerahkan kulit domba kepada Sunan Benang. Lalu kulit domba segera dibuat menjadi baju. Setelah jadi Sunan Benang mencobanya, tapi tak muat. Lalu para wali bergantian mencoba. Ada yang sesak ada yang longgar. Lalu pakaian dicoba Sunan Kalijaga. Tampak pas dan serasi.

Sunan Benang berkata, “Sudah nyata dan terang, dua pakaian ini untuk Syekh Malaya. Jika demikian, engkaulah yang akan menjadi imam di pulau Jawa.”



https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/15/sajarah-jati-10-para-wali-bersiap-mendirikan-masjid-di-demak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...