Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (11): Negeri Majapahit Terkena Wabah

 Alkisah, di Majapahit terjadi wabah penyakit. Ibarat pagi sakit sore mati, sore sakit pagi mati. Para kawula kebingungan kocar-kacir mengungsikan hidup. Para punggawa hatinya resah. Banyak guru telah dipanggil untuk memberi sarana penolak bala. Sang Raja sangat bersedih karena wabah tak kunjung sirna.

Sang Raja lalu masuk ke sanggar pemujaan untuk meminta petunjuk dewata didukung para sesepuh Majapahit. Namun permohonan mereka seolah tanpa guna. Hati Sang Raja sangat kerepotan. Di sepanjang jalan dan desa-desa mayat-mayat terus bertumbangan. Suasana demikian mencekam. Setiap malam terjadi kilatan cahaya melesat berkerlip-kerlip. Orang-orang sakit sudah tak mampu dirawat lagi. Bahkan mayat-mayat tak terurus karena sangat banyaknya jatuh korban. Bau busuk menyengat di seluruh negeri, sampai masuk ke dalam puri.

Suasana di negeri Majapahit semakin mengerikan. Pusat-pusat keramaian kini kosong dari manusia. Setiap malam yang terdengar hanya burung malam yang mencari mangsa. Para kawula tak mampu lagi bekerja. Para punggawa, panewu, mantri di desa-desa hanya bisa berjaga. Para guru dan brahmana seolah tanpa daya. Wabah penyakit semakin menjadi-jadi. Dan tampaknya belum mencapai puncaknya.

Sementara itu di dalam puri, permaisuri Ratu Dwarawati terkena guna-guna. Sang Raja sangat bersedih karena segala obat tak mempan. Semua punggawa dikerahkan untuk mencari jalan kesembuhan sang permaisuri, tetapi tiada guna. Segala doa dan permohonan Sang Raja tak kunjung dikabulkan dewata. Sampai pada suatu ketika sang permaisuri jatuh pingsan. Sang Raja semakin bersedih. Berhari-hari tak makan dan tidur, selalu berjaga di samping permaisuri.

Selama permaisuri sakit, para punggawa selalu berjaga secara bergiliran di Prabayasa, di dalem Cundhamanik. Para waktu hari selasa Kliwon kebetulan yang bertugas jaga dua wadana pandai besi, Tumenggung Supadriya dan Tumenggung Supagati. Keduanya saudara kandung. Namun keduanya sedang sakit sehingga hanya mengirimkan wakilnya. Supagati diwakilkan anaknya yang bernama Supajigja atau Ki Jigja. Adapun Supadriya mewakilkan kepada Supasujana atau Ki Supa, anaknya yang tinggal di Tuban. Dia sedang berkunjung bersama istrinya Dewi Rasawulan. Kebetulan saat itu sang ayah sedang sakit sehingga disuruh mewakili berjaga.

Ketika masuk ke keraton untuk mewakili ayah masing-masing kedua saudara sepupu saling bertemu. Mereka sangat gembira karena sudah lama tak jumpa. Malam hari mereka masuk keraton dan bersiap sedia menerima perintah. Sang Raja yang melihat keduanya pun bertanya.

Berkata Sang Raja, “Hai, siapa dua tumenggung yang mendapat giliran jaga?

Ki Supa dan Ki Jigja berkata, “Hamba Supa dan Jigja, menggantikan abdi paduka Supadriya dan Supagati yang sedang sakit.”

Sang Raja berkata lagi, “Hai dua pandai besi, karena tuanmu permaisuri belum mendingan, kalian kuharap betah berjaga. Aku ingin tidur dulu. Sudah tujuh hari aku tidak tidur.”

Ki Supa dan Ki Jigja menyatakan kesanggupan. Keduanya lalu berjaga di luar kamar. Tiba-tiba keduanya melihat sesuatu yang menakutkan. Ada bola api yang berseliweran melayang-layang. Kedua orang tertunduk pura-pura mengantuk sambil memperhatikan. Ki Supa menyandang keris wasiat dari wali bernama Kyai Sangkelat dan Ki Jigja membawa keris Kyai Bethok yang sangat ampuh.

Sementara itu keris pusaka Sang Raja yang bernama Kyai Condongcampur keluar dari penyimpanan. Kotak wadah keris terdengar pecah dan Kyai Condongcampur berubah menjadi bola api seperti matahari yang meneteskan cairan merah kekuningan. Bola api itu melayang berputar-putar di atas kedaton seolah mencari manusia. Barangsiapa tertimpa cairan yang menetes seketika tewas. Bola api terus merusak seisi kedaton dan menyebarkan kematian. Bola api itulah yang kemudian dilihat Ki Supa dan Ki Jigja.

Kyai Bethok yang disandang Ki Jigja seketika melesat dari sarungnya dan menghadang Kyai Condongcampur.

Kyai Bethok berkata, “Duh sang raja keris, raja segala besi aji di muka bumi. Paduka telah berbuat yang menyimpang dengan membuat para punggawa tewas. Segera hentikan agar negeri kembali aman. Mengapa paduka sendiri yang membuat kerusuhan, ingatlah sebagai pusaka Sang Raja paduka seharusnya menjaga keamanan negeri.”

Kyai Condongcampur menjawab bengis, “Hai Bethok, kau keris berderajat kuli. Tak tahu apa yang terjadi di dunia. Engkau pusaka hina, pantas pengetahuanmu dangkal. Hai Bethok menyingkirlah. Jangan menghalangiku.”

Kyai Bethok menjawab, “Tuan, jangan berbuat demikian.”

Kyai Condongcampur marah, seketika menerjang Kyai Bethok sampai tumpul. Kyai Bethol lari ketakutan dan kembali ke sarungnya.

Ki Jigja yang menyaksikan polah kedua pusaka hanya bisa tertegun. Keris Ki Supa yang bernama Kyai Sangkelat asal dari Tuban gantian keluar dari sarungnya dan menghadang Kyai Condongcampur.

Kyai Condongcampur kaget dan bertanya, “Hai, siapa ini anak baru? Dari mana asalmu?”

Kyai Sangkelat menjawab pelan, “Paduka, saya bocah Tuban berasal dari sabda wali dari alam Ahadiyat. Nama saya Sangkelat. Sekarang ikut Ki Supa dan masih menunggu petunjuk Tuhan. Saya menghadap paduka untuk memberi tahu, bahwa rusaknya negeri Majapahit karena perbuatan paduka yang menyimpang. Saya minta paduka hentikan jika paduka masih ingin menjadi pusaka para raja. Jika tidak mau dan masih mengumbar nafsu, pantasnya paduka menjadi pusaka Iblis laknat musuh orang sejagad.”

Kyai Condongcampur berkada bengis, “Hai Sangkelat, bayi dari Tuban. Engkau anak kemarin sore mau menghadapiku. Aku ini asal dari alam Tejamaya, keturunan Empu Premadi. Aku datang ke Jawa lestari menjadi pusaka para raja. Aku sekarang berbuat seperti ini karena kehendak Tuhan.”

Kyai Condongcampur menerjang Kyai Sangkelat. Kyai Sangkelat tangguh. Kyai Condongcampur putus sepanjang tiga luk. Kembang kacangnya juga putus. Kyai Condongcampur melihat ketangguhan Kyai Sangkelat seketika ciut. Condongcampur lari ngacir menuju penyimpanan. Masuknya Kyai Condongcampur menimbulkan suara bergemeretak. Sang Raja yang sedang tidur menjadi terbangun.

Sang Raja lalu keluar dan bertanya, “Suara apakah tadi itu?”

Ki Supa menjawab, “Bukan apa-apa Baginda. Hanya suara kucing menubruk tikus. Sekarang lari ke selatan.”

Tiba-tiba dari arah kamar permaisuri terdengar suara batuk-batuk. Permaisuri terbangun dari pingsan dan minta minum serta makan. Ketika Sang Raja masuk tampak permaisuri duduk dan menyebut nama Tuhan. Sang Raja merasa tenang.

Sang Raja mendekati permaisuri dan berkata, “Hai Mbok Ratu engkau minta makan? Syukurlah engkau sudah siuman.”

Sang Raja lalu memanggil para pelayan. Namun tak ada satupun yang bangun karena mereka semua sudah tewas oleh ulah Kyai Condongcampur. Sang Raja lalu menyediakan sendiri makanan yang diminta Kangjeng Ratu. Layaknya pelayan Sang Raja melayani permaisuri makan. Bubur merah sudah disantap. Permaisuri banyak makan, Sang Raja sangat bersukacita. Tampak permaisuri sudah sembuh seperti sedia kala. Sang Raja kemudian keluar ke penjagaan. Para penjaga diberi banyak hadiah. Ki Supa dan Ki Jigja mendapat emas dan busana serta keris. Keduanya menyatakan banyak terima kasih.

Ki Supa dan Ki Jigja sudah diizinkan pulang. Sepanjang perjalanan mereka membicarakan peristiwa aneh yang baru saja terjadi. Ki Jigja menarik kerisnya dari sarung. Tampak tergores bagian tikel-alis. Ki Supa meraihnya lalu bilah keris Kyai Bethok diurut dengan jari. Seketika pulih kembali seperti sedia kala. Ki Supa lalu menarik Kyai Sangkelat dari sarungnya. Tampak masih utuh tanpa cacat. Hanya meninggalkan sedikit goresan seperti dikikir. Ki Supa berpikir, tidak jadi soal. Namun Ki Supa heran, keris Kyai Sangkelat kini terasa berat tiga kali lipat. Ki Supa berpikir semua pasti atas kehendak Tuhan.

Ki Supa berkata kepada Ki Jigja, “Hai Kanda Jigja, jangan sampai peristiwa tadi diketahui orang banyak.”

Keduanya lalu berpisah jalan menuju ke rumah orang tua masing-masing untuk melapor bahwa tugas mereka mendapat pertolongan Tuhan. Permaisuri kini telah sembuh seperti sedia kala. Dan mereka juga melaporkan telah mendapat banyak hadiah dari Sang Raja.

Setelah beberapa lama berada di Majapahit, Ki Supasujana pamit kembali ke Tuban. Ki Supadriya dan istri sudah mengizinkan sang putra kembali ke Tuban.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/16/sajarah-jati-11-negeri-majapahit-terkena-wabah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...