Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (7): Riwayat Raden Patah lan Raden Timbal

Ada seorang putra lelaki raja Majapahit bernama Arya Damar. Sudah diwisuda sebagai adipati di Palembang di tanah Sumatra. Sang Adipati diberi kuasa menegakkan hukum, memberi hadian kepada yang berjasa dan memberi hukuman kepada yang bersalah.

Pada suatu waktu Prabu Brawijaya mengambil selir dari negeri Cina, seorang putri yang cantik dan berpostur menawan. Namun kecewanya wataknya berangasan dan culas. Maka oleh Sang Raja mendapat hukuman dikeluarkan dari puri. Sang putri dalam keadaan hamil muda mengandung benih Sang Raja. Kehendak Sang Raja putri Cina diberikan kepada Arya Damar dengan pesan agar tidak digauli sebelum si bayi lahir.

Adipati Arya Damar patuh kepada titah Sang Raja. Putri Cina dirawat dengan baik hingga melahirkan seorang anak lelaki dan diberi nama Raden Patah. Setelah melahirkan putri Cina diambil sebagai istri oleh Arya Damar. Dari perkawinannya dengan Arya Damar lahir seorang putra lelaki, diberi nama Raden Timbal. Kedua putra sangat dikasihi sang Adipati dan diberi pelajaran berbagai pengetahuan. Serat-serat Jawa dan Arab mereka pelajari.

Setelah menjelang dewasa sang Adipati punya kehendak untuk mengirim mereka berdua magang di Majapahit. Kedua putra dipanggil menghadap di belakang. Raden Patah dan Raden Timbal sudah menghadap sang adipati.

Berkata Adipati Arya Damar, “Hai anakku, engkau pergilah magang ke negeri Majapahit. Raja Majapahit adalah raja utama yang mengendalikan tanah Sumatra dari Jawa. Melangkahlah dari negeri Palembang. Salah satu dari kalian yang diterima dan mendapat kepercayaan Sang Raja. Namun pesanku, kalian yang rukun sebagai saudara.”

Kedua putra menyatakan kesanggupan. Setelah bersiap dan membawa bekal mereka berangkat. Empat pengasuh dan dua puluh prajurit turut menyertai. Kedua putra Adipati Palembang berpamitan sambil memeluk kaki sang adipati sekalian ibu.

Kedua putra sang adipati telah berangkat. Sesampai di muara keduanya naik kapal menuju pulau Jawa. Kedua ksatria Palembang lalu turun di Cirebon. Di Cirebon ada seorang wali bernama Pangeran Modang. Sang Pangeran tak ragu lagi bahwa kedua orang yang baru datang adalah seorang ksatria besar. Pangeran Modang menyambut hangat kedatangan keduanya.

Berkata Pangeran Modang kepada Raden Patah, “Wahai Raden, aku beri tahu ramalan tanah Jawa dari para wali yang sudah masyhur. Engkaulah yang akan menguasai pulau Jawa kelak. Mendekatlah, aku beri tahu. Engkau disia-siakan ayahmu, setengah dibuang ke Palembang dan diasuh oleh adipati Palembang. Awalnya, ketika engkau masih di dalam perut ibumu, ibumu dibuang ke Palembang dengan alasan ibumu seorang yang berwatak buruk dan pemarah. Sesungguhnya mereka hanya cemburu kepadanya. Mereka khawatir ibumu melahirkan putra laki-laki sehingga kelak mengancam kedudukan putra permaisuri. Karena waktu itu yang diharap menjadi raja menggantikan ayahmu adalah Raden Bondansurati yang lahir dari Ratu Dwarawati. Namun para wali tidak samar akan kejadian kelak, engkaulah yang akan mendapat anugerah sebagai raja di tanah Jawa. Maka, berbaktilah engkau kepada para ulama yang telah menjabarkan hukum gaib ini. Adapun adikmu yang tampan ini biarlah tetap melaju ke Majapahit untuk magang kepada Sang Raja. Menurut ramalan akan diterima dan menjadi adipati. Kelak dia akan menjadi orang kepercayaan Sang Raja. Kekuasaan ibarat Sang Raja sendiri. Semua urusan negeri akan diserahkan kepadanya.”

Kedua Raden menyatakan kesanggupan melaksanakan pesan para wali utama. Sepatah kata pun takkan diselisihi.

Pada waktu fajar setelah shalat Pangeran Modang berkata, “Raden, berangkatlah sekarang.”

Kedua Raden mencium kaki Pangeran Modang dan segera berangkat. Setelah beberapa lama berjalan darat keduanya sampai di hutan Roban yang menurut cerita sangat gawat. Ada banyak syetan, ijajil dan iblis bersarang di situ. Selain gawat hutan Roban juga dihuni banyak binatang buas.

Di tengah hutan Roban ada sebuah desa bernama Salam yang dihuni seorang manusia bernama Ki Wana. Ki Wana hidup bersama gerombolannya di tengah hutan, sering berbuat durjana. Banyak perilaku menyimpang telah dilakukan. Meski bersikap pongah dan suka mengganggu orang lain, tapi Ki Wana kadang bersifat dermawan. Bila mendapat harta seringkali dibagi tanpa sisa kepada para fakir miskin.

Pada hari itu Ki Wana dan empat orang kawannya berniat menghadang orang lewat. Tak lama kemudian tampak kedua Raden dari Palembang memasuki hutan Roban.

Ki Wana mencegat mereka dan berkata, “Hai berhenti! Aku hendak mengambil bekal perjalanan kalian. Harta dan pakaian yang kalian pakai.”

Raden Patah berkata, “Hai Durjana, kalau engkau minta harta akan aku beri.”

Raden Patah segera melepas ikat pinggang yang berisi uang dinar dan dirham. Sabuk itu kemudian dikalungkan ke leher Ki Wana.

Raden Patah berkata, “Hai Begal, sepertinya harta ini takkan habis sepanjang sisa umurmu.”

Kedua Raden dan para abdi kemudian meneruskan perjalanan. Ki Wana lalu membuka sabuk yang berisi uang emas tersebut. Namun tiba-tiba mereka kehilangan pandangan. Mata mereka tiba-tiba gelap, tak dapat melihat apa pun. Kelimanya kebingunan dan menduga bahwa yang terjadi akibat karamah dari ksatria yang lewat tadi. Mereka segera bertobat dan meminta ampuan Tuhan. Mereka juga bersumpah akan menghentikan perbuatan buruk mereka. Berangsur-angsur pandangan mereka pulih kembali. Ki Wana lalu membawa kawan-kawannya mengejar dua ksatria yang baru saja mereka rampok. Belum jauh kedua ksatria berjalan. Dalam satu perjalanan mereka telah berhasil menyusul.

Ki Wana memanggil-manggil kedua ksatria Palembang tersebut, “Duh Tuan, ksatria yang sedang melakukan perjalanan. Saya serahkan kembali harta Tuan. Dan jika Tuan berkenan, saya dan kawan-kawan akan mengabdi kepada paduka.”

Kedua Raden bertanya, “Apa sebab engkau berubah dari tekadmu semula?”

Ki Wana kemudian menceritakan apa yang baru saja mereka alami. Kedua Raden tersenyum dan merasa bersyukur kepada Tuhan.

“Sudah kehendak Ilahi, apa yang terjadi padamu. Jika demikian keinginanmu, aku terima pengabdianmu. Namun keempat dari kalian kembalilah. Hanya si Wana saja yang boleh ikut. Dan mulai sekarang aku beri nama Ki Wanasalam.”

Dua ksatria Palembang dan Ki Wanasalam melanjutkan perjalanan. Empat orang kawan Ki Wanasalam disuruh kembali setelah diberi uang empat puluh.

Raden Patah berkata kepada Raden Timbal, “Hai Dinda, sebaiknya kita berbagi tugas. Engkau lanjutkan perjalananmu untuk magang ke Majapahit. Dua puluh orang prajurit dari Palembang bawalah semua.”

Raden Timbal menyatakan kesanggupan. Bersama para pengawal sejumlah dua puluh orang dan dua pengasuh Raden Timbal kemudian melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Sesampai di Majapahit Raden Timbal menemui Patih Gajahmada. Sang patih segera melapor kepada Sang Raja. Sudah diterima magang Raden Timbal oleh Sang Raja. Bahkan Sang Raja sangat mengasihi Raden Timbal.

Sementara itu Raden Patah kini hanya disertai Ki Wanasalam dan dua pengasuh dari Palembang. Mereka bermaksud menuju Ampeldenta untuk berguru kepada Kangjeng Sunan Ampel.

Sunan Ampel adalah seorang wali utama. Beliau mempunyai anak sulung yang bertapa di dalam sebuah lubang. Setelah pertapaannya diterima mendapat gelar Prabu Satmata dan berkeraton di Giripura. Seorang adiknya bernama Syekh Bentong, ulama yang makbul doanya. Gelarnya Sunan Kudus. Lalu ada adiknya lagi bernama Syekh Maulana Ishak, berdiam di Giri Kedaton.

Raden Patih dan Ki Wanasalam terus berjalan ke arah timur. Sampailah keduanya di Ampeldenta. Pada saat itu Sunan Ampel sedang duduk di hadapan para santri. Sang sunan tampak kaget oleh kedatangan Raden Patah dan Ki Wanasalam. Meski sejenak kemudian Kangjeng Sunan segera tahu bahwa tamunya seorang ksatria utama.

Berkata Kangjeng Sunan, “Wahai ksatria, dari mana asalmu dan siapa namamu? Dan, apakah keperluanmu datang ke sini?”

Raden Patah berkata, “Kangjeng Sunan, asal saya dari Sumatra, di tanah Palembang. Adapun nama saya Patah, putra Adipati Arya Damar. Kedatangan saya ke sini untuk menimba ilmu dari paduka.”

Kangjeng Sunan berkenan menerima Raden Patah sebagai murid. Semua ilmu sudah diberikan Kangjeng Sunan. Karena sangat terkesan dengan kesungguhan Raden Patah maka Sunan Ampel mengambilnya sebagai anak. Lalu Raden Patah dinikahkan dengan putri Kangjeng Sunan. Oleh Sunan Ampel, Raden Patah kemudian disuruh menetap di hutan Bintara. Raden Patah tak keberatan. Kangjeng Sunan lalu menguraikan nubuah tentang turunnya wahyu keraton.

Kangjeng Sunan berkata, “Raden, engkau melangkahlah menuju takdirmu. Sudah pasti wahyu keraton akan turun kepadamu. Namun engkau harus melangkah mendekatinya. Agar wahyu keraton segera turun. Berangkatlah bersama keluargamu.”

Raden Patah menyatakan kesanggupan melaksanakan perintah sang guru sekaligus mertua. Singkat cerita Raden Patah sudah sampai di Bintara dan membuka pedukuhan. Tidak lama kemudian pedukuhan Bintara berkembang pesat menjadi sebuah negeri. Hal itu kemudian dilaporkan kepada Sang Raja di Majapahit.

Sang Raja berpikir, kebetulan jika si Patah membangun Bintara menjadi kota yang makmur. Sang Raja lalu memanggil Raden Timbal agar menghadap.

Berkata Sang Raja, “Hai Timbal, engkau berangkatlah menemui anakku si Patah yang membuka pedukuhan di Bintara. Aku memanggilnya datang ke Majapahit.”

Raden Timbal segera berangkat melaksanakan perintah. Raden Patah sudah dibawa menghadap ke Majapahit. Di hadapan Sang Raja, Raden Patah sungkem dan bersiap menerima perintah. Sang Raja lalu mewisuda Raden Patah sebagai adipati dengan nama Adipati Natapraja. Kota Bintara diganti nama menjadi kota Demak.

Raden Timbal juga mendapat anugerah yang sama dengan diwisuda menjadi adipati di Terung. Namanya kemudian diganti Adipati Nararya Pecattandha. Perintah Sang Raja segera diundangkan oleh Patih Gajahmada ke seluruh negeri di tanah Jawa.

Pada waktu itu Raden Adipati Natapraja meminta sang adik, “Hai Pecattandha, aku minta engkau memohon kepada Sang Raja agar aku diizinkan mengislamkan bangsa Jawa.”

Adipati Pecattandha menjawab, “Baik, saya mohonkan izin Sang Raja.”

Sang Raja sudah mengizinkan bila Raden Patah hendak mengislamkan bangsa Jawa. Namun dibatasi kepada mereka yang mau saja. Bila tidak mau jangan dipaksa. Pecattandha segera menyampaikan perintah Sang Raja kepada Raden Patah. Sudah jelas perintah Sang Raja, Raden Patah lalu pulang ke Demak.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/14/sajarah-jati-7-riwayat-raden-patah-lan-raden-timbal/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...