Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (12): Adipati Siunglaut Mencuri Kyai Sangkelat Lalu Mengangkat Diri Sebagai Raja

 Ada seorang adipati yang sangat berkuasa di wilayah Majapahit. Dia juga masih saudara Sang Raja, namanya Siunglaut. Kotanya bernama Balambangan. Sebuah negeri yang makmur dan subur, bersanding pegunungan dan berbatas samudera. Ada sungai yang terus mengalir di negeri itu, membuat tanah terjamin pengairannya.

Sang adipati sudah layaknya seorang raja kekuasaannya. Sangat ingin sang adipati mengimbangi kekuasaan Sang Raja di Majapahit. Namun karena kewibawaan Majapahit yang begitu besar, keinginannya itu terpaksa diredakan. Namun hasrat sang adipati untuk menguasai tanah Jawa tidak padam.

Ada seorang ajar di puncak gunung, namanya Ki Ujungtingkir. Seorang ajar yang tajam penglihatannya, tak pernah luput dari peristiwa besar yang terjadi di seluruh tanah Jawa. Pada hari itu sang ajar menyempatkan diri menghadap Adipati Siunglaut. Kedatangan Ajar Ujungtingkir disambut hangat oleh Adipati Siunglaut. Sang ajar didudukkan di samping sang adipati dan dijamu dengan meriah.

Ki Ajar berkata, “Wahai sang Adipati, saya akan memberi tahu kepada Anda. Karena Anda sangat ingin mencari sarana agar Balambangan dapat menjadi negeri besar, maka saya beritahu kenyataan ini. Bahwa sekarang Majapahit sudah hampir kehilangan kewibawaan dan akan segera digantikan oleh yang lain. Yang akan menjadi sarana pemindahan kekuasaan adalah sebuah keris dhapur Sangkelat, hasil sabda seorang wali. Sekarang keris Sangkelat berada di Tuban dan tak lama lagi akan berpindah kepada orang yang mampu menjadi raja. Belum lama ini terjadi pertarungan di malam hari antara keris pusaka Majapahit Kyai  Condongcampur dan Kyai Sangkelat. Kyai Condongcampur putus tiga luk, kembangkacangnya rantas. Kewibawaan negeri seketika berpindah ke keris Sangkelat. Bila paduka ingin melihat, malam nanti masuklah ke sanggar pemujaan. Pusatkan pikiran dan heningkan cipta, akan terlihat berkas cahaya memancar dari tanah Tuban. Karena itu anakku Ki Adipati, carilah orang yang dapat mengambil Kyai Sangkelat. Bilamana keris itu lestari di sini, barangkali akan memudahkan paduka meraih kekuasaan di tanah Jawa.”

Sang Adipati Siunglaut sangat gembira. Menjelang malam Ki Adipati dan Ajar Ujungtingkir masuk ke sanggar pemujaan. Keduanya mengheningkan cipta untuk melihat nubuwah tanah Jawa. Tampak berkas cahaya memancar seperti yang dikatakan Ki Ajar. Ki Adipati sangat hormat kepada Ki Ajar. Atas nasihatnya Ki Ajar kemudian diberi kedudukan sebagai pendeta agung dan bergelar Pandita Murti Dwija Sidikwacana. Sang Ajar kemudian diizinkan kembali ke padepokannya.

Pada suatu hari Adipati Siunglaut tampil di hadapan para punggawa Balambangan.

Ki Adipati berkata, “Wahai para punggawaku, besar kecil atau tua muda, siapa yang mampu melaksanakan tugas sesuai arahan Kangjeng Kyai Sidikwacana, sudah pasti aku wisuda sebagai patih di Balambangan yang saat ini kosong.”

Para punggawa terdiam tak ada yang berani menyambut seruan Ki Adipati. Hanya seorang abdi kecil pembawa payung di belakang Ki Adipati yang berani berkata.

“Duh, Tuanku. Hamba menyatakan sanggup juga belum, tapi bila mendapat izin paduka, hamba siap melaksanaka tugas. Hamba si Cluring siap menjalani apapun perintah paduka,” kata abdi pemegang payung.

Ki Adipati kaget karena si Cluring yang berani melaksanakan tugas. Si Cluring segera dibawa masuk ke dalam puri. Ki Adipati ingin berbincang empat mata.

“Hai Cluring, kesanggupanmu buktikan dalam perbuatan. Aku akan mengutusmu mencari keris pusaka raja yang terjadi karena sabda seorang wali. Keris itu berdapur Sangkelat dan sekarang berada di Tuban. Siapa yang membawa, entahlah aku tidak tahu. Curilah keris itu dan bawalah ke Balambangan,” kata Ki Adipati.

Cluring menyatakan sanggup. Bergegas si Cluring berangkat ke Tuban. Tempat yang pertama dituju adalah rumah adipati Tuban. Si Cluring lalu mengubres seluruh rumah Ki Adipati. Namun yang dicari tak ketemu. Cluring lalu berpindah ke rumah di belakang yang ditempati Ki Supa. Setelah beberapa saat mencari juga tidak ketemu. Cluring lalu ingat, segera mengeluarkan sirep Begananda. Ada sebuah kotak penyimpanan terlihat di atas tempat tidur Ki Supa. Seluruh isi rumah tertidur pulas seperti mayat. Ki Supa dan istri tak menyadari kehadiran Cluring. Kotak penyimpanan segera diambil dan bergegas pergi.

Cluring sudah kembali ke Balambangan. Hasil curian diserahkan kepada Ki Adipati. Adipati Siunglaut bertanya bagaimana Cluring bisa mendapat keris itu.

Cluring berkata, “Hamba tidak tahu tentang keris, dapur dan wujudnya hamba belum pernah melihat. Namun karena ada kotak penyimpanan yang dirawat tertib dan dilapis kain tujuh lapisan, maka perkiraan hamba itulah kerisnya. Di dalamnya hamba belum tahu isinya.”

Kotak diterima Sang Adipati dan dibuka. Tampak sebuah keris dalam sarungnya. Keris ditarik keluar, tampak berwarna merah memancar. Karena sorot sinar terang dari keris sampai Ki Adipati ampir pingsan. Namun Ki Adipati belum yakin bahwa keris itulah yang dia  cari.

“Cluring, ayo kita ke tempat Bapak Ajar untuk meyakinkan. Barangkali engkau salah mengambil keris,” kata Sang Adipati.

Ki Adipati dan Cluring berangkat ke padepokan Ajar Ujungtingkir yang sekarang bergelar Pandita Sidikwacana. Kyai Sangkelat sudah disandang Ki Adipati. Ketika sampai di padepokan sang pendeta telah menyambut. Tiba-tiba sang pendeta duduk menghormat dengan takzim. Ki Adipati sangat kaget.

“Mengapa engkau menghormatiku sampai duduk di lantai, Bapa Pendeta?” tanya Ki Adipati.

“Saya duduk menghormat bukan kepada Anda, tapi kepada pusaka yang Anda bawa. Tanpa harus melihat saya tahu itulah tempat wahyu keraton. Segera paduka pulang dan keris itu simpanlah di tempat yang tertib,” kata Pendeta Sidikwacana.

Ki Adipati bergegas kembali. Sesampai di puri keris diberi tempat penyimpanan dan dilapis tujuh lapisan kain yang indah.

Pada hari Senin Ki Adipati tampil di hadapan para punggawa Balambangan. Hari itu Ki Adipati tampil seperti seorang raja, lengkap dengan perabotan upacara. Para punggawa besar kecil sudah lengkap menghadap.

Berkata Ki Adipati, “Hai semua punggawaku, sekarang kehendakku berdiri sebagai raja tak beda dengan Majapahit. Aku memakai nama Sinuhun Prabu Blambangan.”

Para punggawa berhasutan menyatakan persetujuan. Para pendeta dan guru menyaksikan dan memberi berkat. Jamuan kemudian dikeluarkan untuk merayakan berdirinya Adipati Siunglaut menjadi raja Blambangan.

Sang Raja kemudian bersabda, “Wahai para punggawaku dan para resi, karena jabatan patih sudah lama kosong. Aku berkehendak mengangkat Cluring si juru payung untuk menjadi patih. Dia akan membawahi para punggawa di seluruh tanah Blambangan. Dia yang akan mengelola negeri sesuai peraturan yang sudah disepakati.”

Jamuan kembali dikeluarkan. Semua punggawa bersuka-suka santap bersama. Setelah acara bersantap Sang Raja mengeluarkan harta dan membagikan kepada para fakir miskin. Pada hari itu semua bergembira.

Pukul satu siang rangkaian upacara perayaan pengangkatan diri Ki Adipati sebagai raja Blambangan selesai. Sang Raja masuk ke dalam puri, para punggawa kembali ke tempat masing-masing.

Wali pamungkas yang mumpuni dan bijaksana, Kangjeng Sunan Kalijaga tak samar lagi bahwa pusaka Kyai Ageng Sangkelat telah dicuri. Kangjeng Sunan segera datang ke Tuban untuk memberi tahu hilangnya Kyai Sangkelat, sekaligus akan menengok seorang keponakannya. Sesampai di rumah Ki Supa, Kangjeng Sunan menuju tempat ibadah dan melakukan tafakur. Sang adik Ki Supa dan Dewi Rasawulan kaget, segera sungkem. Dewi Rasawulan kemudian mundur untuk menyiapkan jamuan.

Kangjeng Sunan berkata kepada Ki Supa, “Mana anakmu, aku inging melihatnya. Sudah seberapa besar sekarang.”

Ki Supa menjawab, “Dia sedang tidur, Kyai. Sebentar saya bangunkan.”

Sementara itu sang putra yang sedang tidur telah bangun. Tanpa ada orang yang mengetahui si anak menuju ke kolam hendak memberi makan ikan. Namun dia tercebur tanpa ketahuan orang sehingga tewas. Ki Supa yang bermaksud membangunkan si anak mendapati tempat tidurnya kosong. Ki Supa mengira si bocah bermain di luar. Sesampai di luar Ki Supa mendapati si anak telah mengapung di kolam tak bernyawa. Bergegas Ki Supa membopong si bocah keluar dari kolam. Si bocah segera dibawa kembali ke kamar dan diselimuti kain. Ki Supa bermaksud tidak memberi tahu sang istri yang sedang sibuk menyiapkan jamuan untuk Kangjeng Sunan Kalijaga.

Ki Supa lalu kembali menemui Kangjeng Sunan. Semula hendak memberi tahu keadaan sang putra, tapi diurungkan. Ki Supa takut membuat Kangjeng Sunan Kalijaga menjadi tidak mau makan. Pikirnya, nanti saja setelah selesai makan baru aku beri tahu. Kesedihan yang tampak di wajahnya segera disembunyikan. Ki Supa mengatakan bahwa anaknya masih tertidur pulas. Ki Supa lalu menemani Sunan Kalijaga yang hendak bersantap nasi wuduk dan ikan tambra dimasak urip-uripan.

Hidangan telah siap, Sunan bertanya kepada sang adik Dewi Rasawulan, “Ikan tambra ini engkau masak apa?”

Dewi Rasawulan berkata, “Masakan urip-uripan ala desa.”

Kangjeng Sunan lalu menyantap ikan tambra itu, tapi baru separuh Kangjeng Sunan ingat sang keponakan Si Anom yang kata Ki Supa masih tidur.

Kangjeng Sunan berseru, “Hai Anom, ke marilah. Ayo makan. Ibumu masak sangat enak.”

Si Supa Anom seketika berlari dari kamarnya dan segera duduk ikut makan.

Ki Supa menjerit sambil memeluk si anak, “Duh anakku!”

Kangjeng Sunan bertanya ada apa Ki Supa menjerit lalu memeluk anaknya. Ki Supa menceritakan semua yang terjadi, dari awal sampai akhir.

Kangjeng Sunan berkata, “Anakku, engkau makanlah tambra urip-urip.”

Kata urip artinya hidu. Seketika ikan tambra yang tinggal separuh mengelepak dan meloncat ke kolam. Juga ayan ingkung yang baru dimakan di bagian brutu menjadi hidup dan lari ke luar. Sampai sekarang di Tuban ada ikan tambra yang satu sisinya berupa duri. Itu adalah tambra wasiat dari Sunan Kalijaga.

Setelah selesai makan Sunan Kalijaga berkata kepada Ki Supa, “Hai Supa, aku ingin melihat keris Ki Sangkelat. Segera ambillah.”

Dengan cekatan Ki Supa menuju tempat penyimpanan keris Kyai Sangkelat. Ketika kotak penyimpanan dibuka tidak ditemukan keris itu. Semua tempat sudah digeledah, tapi tetap tak ditemukan. Bantal dan guling kemudian dibalik, tetap tidak ketemu.

Ki Supa bertanya kepada Dewi Rasawulan, “Hai Dinda, di mana hilangnya Kyai Sangkelat?”

Semua tempat lalu digeledah. Kyai Sangkelat tak kunjung ditemukan. Ki Supa menduga seseorang telah mengambil keris itu.

Ki Supa lalu menghadap kepada Kangjeng Sunan dan berkata, “Kyai Sangkelat telah hilang. Namun mustahil bila ada pencuri masuk karena semua tampak rapi seperti semula.”

Kangjeng Sunan hanya tersenyum. Mereka kembali berbincang. Setelah beberapa lama Kangjeng Sunan minta pamit. Ki Supa ikut mengantar sampai jauh.

Ketika tak ada orang lagi, Kangjeng Sunan berkata, “Hai Supa, Sangkelat dibawa pencuru. Ke arah selatan larinya. Jangan engkau pulang sebelum kau temukan. Jangan engkau berpamitan kepada istrimu. Sekarang juga engkau berangkatlah.”

Ki Supa menyatakan kesanggupan. Keduanya lalu berpisah. Kangjeng Sunan berjalan ke arah barat, Ki Supa ke arah timur.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/17/sajarah-jati-12-adipati-siunglaut-mencuri-kyai-sangkelat-lalu-mengangkat-diri-sebagai-raja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...