Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (13): Perjalanan Ki Supa Mencari Keris Kyai Sangkelat

 Ki Supa terus berjalan sampai kota Surabaya. Supa mencari berita keberadaan Kyai Sangkelat. Sambil menunggu kabar Ki Supa membuat keris hingga sejumlah 17 bilah berdapur Parung dan 9 berdapur Pandawa.

Setelah lama tak mendapat kabar, Ki Supa berpindah tempat. Supa berganti nama Ki Kasa dan pergi ke Madura. Di Madura Ki Kasa sempat membuat keris sejumlah 20 bilah dan tombak 33 bilah. Setelah dari Madura Ki Kasa berlayar ke selatan menuju tempat bernama Basuki. Di situ Ki Kasa berganti nama menjadi Ki Tapan. Di Besuki Ki Tapan sempat membuat 17 keris dan 33 tombak. Ki Tapan tekum beribadah mencari petunjuk. Lalu datang petunjuk dari alam gaib yang menyuruhnya pergi ke Blambangan.

Sesampai di tanah Blambangan Ki Tapan berganti nama Ki Pitrang. Tujuannya hendak mengabdi kepada Ki Adipati Siunglaut. Ki Pitrang lalu mencari cara agar bisa mengabdi. Pertama, dia berguru kepada empu setempat, lurah pandai besi kadipaten yang bernama Empu Sarap. Ki Empu Sarap sudah mashyur sebagai pembuat senjata di kadipaten Blambangan. Seringkali Ki Empu Sarap dipanggil Sang Adipati dan Ki Patih. Kedatangan Ki Pitrang diterima dengan ramah oleh Empu Sarap.

Empu Sarap bertanya, “Wahai Dinda, dari mana asal dan siapa namamu?”

Yang ditanya menjawab, “Saya asal Gresik, nama saya Pitrang. Saya keturunan pandai besi, tapi pekerjaan saya masih mengecewakan. Hanya bisa membuat alat dari besi. Ketika di rumah dulu saya hanya membuat cangkul, sabit, pisau dan golok. Seringkali saya diledek karena tak mampu membuat keris dan tombak. Maka saya berkelana mencari pengalaman agar mampu membuat senjata. Di sini saya mendengar nama paduka yang sudah masyhur membuat keris. Maka saya ingin mengabdi walau sebagai panjak tidak mengapa. Bila nanti tak mampu, tidak mengapa asal bertambah kepintaran saya. Agar dapat saya pakai untuk mencari nafkah.”

Ki Sarap berkata, “Wahai Dinda, jika engkau sangat ingin membuat keris dan tombak, asalkan bersungguh-sungguh tidak lama engkau pasti mampu. Aku terima pengabdianmu.”

Ki Pitrang diterima bekerja di besalen Empu Sarap. Ki Empu sangat mengasihinya karena Pitrang tak meyanggah segala perintah. Apa yang pekerjaan yang diberikan akan dikerjakan dengan baik. Ki Pitrang segera mahir memainkan palu dan gerinda.

Beberapa waktu kemudian Ki Patih Cluring bermaksud membuat pisau untuk memotong kuku. Hanya berupa pisau biasa, tetapi tipis dan tajam. Pada waktu hari pisowanan Ki Patih mampir ke besalen Empu Sarap untuk memesan pisau yang dimaksud.

“Paman Empu, buatkan aku pisau tipis untuk memotong kuku,” kata Ki Patih.

Ki Empu menyatakan sanggup. Ki Patih lalu pergi ke kadipaten. Ki Empu Sarap lalu menyuruh Ki Pitrang untuk membuat pisau pesanan Ki Patih. Segera pisau pesanan Ki Patih telah jadi. Sudah diasah halus dan siap dipakai. Ketika pulang dari menghadap Ki Adipati Siunglaut, Ki Patih mampir ke besalen Empu Sarap untuk mengambil pesanannya. Pisau pemotong kuku telah diserahkan. Ki Patih merasa sangat terkesan. Pisau itu sangat cocok dengan keinginan Ki Patih. Pisau pun dibawa pulang.

Sesampai di rumah putri Ki Patih yang berusia tiga tahun berlari menyambut kedatangan sang ayah. Sang putri memeluk hingga tampa sengaja jarinya tergores pisau pemotong kuku itu. Seketika putri Ki Patih tewas. Jenazah sang putri lalu dimandikan, tetapi jenazah hancur. Ki Patih tertegun tanpa bisa bicara.

Ki Patih berpikir, pasti pisau ini sangat ampuh. Ki Patih lalu mencoba ke pohon jeruk. Seketika pohon jeruk yang disayat mati, daun-daun layu berguguran. Ki Patih lalu memanggil pesakitan yang akan dihukum mati. Dengan pisau itu Ki Patih menggores kaki kirinya. Seketika si pesakitan tewas. Mayatnya lalu hancur sehingga tak dapat dirawat. Akhirnya dibuang ke laut. Ki Patih Cluring yakin pisau ini pasti sangat ampuh. Siapa yang membuat pisau ini? Bila dia kusuruh membuat keris atau tombak, pasti menjadi keris yang ampuh.

Pada hari pisowanan berikutnya Ki Patih kembali mampir ke besalen Empu Sarap.

Ki Patih berkata, “Hai Sarap, aku ingin tahu siapa yang membuat pisau ini?”

Empu Sarap berkata, “Yang membuat pembantu saya yang baru. Namanya si Pitrang. Dia asal dari Gresik. Ke sini hendak magang kepada Sang Raja Siunglaut. Pekerjaan yang dilamarnya adalah pandai besi. Kemampuannya membuat pisau, cangkul dan golok.”

Ki Patih lalu memerintah kepada Ki Pitrang, “Hai Pitrang, buatkan aku sebuah keris atau tombak. Satu bilah saja yang bagus.”

Ki Pitrang takut karena tak bisa, lalu berkata, “Tuan, paduka sungguh keliru. Saya hanya bisa membuat pisau.”

Ki Patih terus memaksa, “Sudah buatkan, seujud-ujudnya tak apa. Asal buatan tanganmu. Bila engkau tak mengerti tanyalah kepada Empu Sarap. Namun tetap engkau sendiri yang memukul besinya. Jangan diselingi orang lain sejak awal sampai akhir.”

Ki Pitra karena terus didesak akhirnya menyatakan sanggup. Segera besi dan bahan pamor diambil. Dari empat batang pamor Ki Pitrang mengambil dua saja, yang dari Prambanan dan Bugis. Selama mengerjakan keris sebentar-sebentar Pitrang selalu bertanya kepada Empu Sarap. Setelah bersusah payah, akhirnya Pitrang berhasil menyelesaikan sebilah keris dan sebilah tombak. Kerisnya berdapur Jalak Tilamsari. Tombaknya berdapur Biring Lanang. Keris sudah dicelup warangan dan siap dihaturkan kepada Ki Patih.

Pada suatu hari Ki Patih kembali mampir untuk menanyakan keris buatan Ki Pitrang.

“Apakah keris pesananku sudah jadi, wahai Pitrang?” tanya Ki Patih.

Keris dan tombak segera dihaturkan. Ki Patih meneliti bilah keris dan tombak itu dengan seksama. Postur dan ukiran keris sangat indah, membuat Ki Patih takjub.

Ki Patih bertanya, “Pitrang, engkau ini sebenarnya siapa? Di Gresik apa pekerjaanmu? Mengapa selama engkau tinggal di Majapahit kemampuanmu tidak diketahui oleh rajamu? Dan mengapa engkau sampai ke sini? Engkau ini seorang empu yang mumpuni.”

Ki Pitrang menjawab, “Sungguh hamba hanya keturunan orang biasa. Pekerjaan hamba pandai besi membuat pisau. Selam hidup belum pernah membuat keris. Baru kali ini atas perintah paduka. Hamba bisa karena mendapat pengarahan dari Ki Lurah Empu Sarap. Hamba sendiri juga heran. Ini semua pertanda berkah paduka dan berkah raja di sini, juga tuah dari Ki Lurah Empu.”

Semakin heran Ki Patih. Ki Patih berpikir, aku ini patih yang melayani seorang raja. Wajib bagiku memberi tahu bila ada manusia pilihan yang mumpuni dalam hal mengolah besi. Ki Patih segera menghadap Sang Raja Siunglaut.

Setelah menyembah Ki Patih berkata, “Duhai Tuanku, sepantasnya hamba sebagai abdi memberi tahu bahwa di negeri paduka sekarang ada seorang pendatang dari Gresik, namanya Pitrang. Dia masih muda dan tampan. Orangnya sopan, tapi bukan keturunan punggawa. Menurut pengakuannya hanya orang desa yang bekerja sebagai pandai besi. Tempo hari hamba minta dibuatkan pisau untuk memotong kuku. Pisau itu melukai anak perempuan saya, lalu seketika dia tewas. Mayatnya hancur. Lalu pisau itu saya coba untuk menggores pohon jeruk, seketika pohon mati mengering. Lalu saya coba menggores kaki seorang pesakitan yang akan dihukum mati, si pesakitan seketika tewas. Mayatnya hancur lebur tak bersisa. Si Pitrang ini lalu saya suruh membuat keris. Semula tidak sanggup, tapi hamba paksa. Akhirnya terlaksana dia membuat keris dan tombak. Inilah wujud keris dan tombak itu.”

Keris kemudian diambil Sang Raja. Tampak pamor keris dan bangun bilah keris sangat serasi. Sang Raja sangat menyukainya. Sangat takjub Sang Raja sampai menggeleng-gelengkan kepala.

Sang Raja berkata, “Di negeri ini belum pernah ada keris sebagus ini. Seger panggil si Pitrang.”

Ki Patih segera menunjuk seorang abdi untuk memanggil Ki Pitrang. Tidak lama kemudian Ki Pitrang sudah menghadap. Ki Pitrang maju dan sungkem kepada Sang Raja.

Berkata Sang Raja Siunglaut, “Apakah selamat engkau Pitrang, selama berada di negeriku?”

Ki Pitrang menyembah dan berkata, “Tidak kurang berkah paduka, hamba suka dan cukup sandang pangan. Jauh dari sakit dan hati selalu gembira.”

Sang Raja kembali bertanya, “Sudah berapa lama engkau tinggal di Blambangan?”

Ki Pitrang menjawab, “Baru empat bulan, paduka.”           

Sang Raja lalu memperlihatkan keris dan tombak yang dipesan Ki Patih, lalu berkata, “Pitrang, ini keris dan tombak buatanmu?”

Ki Pitrang berkata, “Benar paduka, tapi karena mendapat arahan dari Ki Lurah Empu Sarap. Semua pelajaran darinya hamba catat dalam hati. Karena sangat ingin hamba membuat keris, semua perkataan Ki Empu saya ingat. Juga karena berkah paduka dan pertolongan Tuhan, hamba bisa membuat keris. Hamba sungguh bodoh karena selama ini belum pernah membuat keris.”

Sang Raja menyadari Pitrang seorang empu yang mumpuni. Sang Raja lalu berpikir, jika saja Pitrang bisa membuat keris tiruan Kyai Sangkelat, keris itu akan aku pakai harian.

Sang Raja lalu berkata, “Pitrang, apakah engkau bisa meniru keris pusaka negeri ini yang berdapur Sangkelat. Buatlah keris yang mirip.”

Sang Raja lalu menarik sebuah keris dan diperlihatkan kepada Ki Pitrang.

“Pitrang, buatlah keris seperti ini,” perintah Sang Raja.

Ki Pitrang kaget dan gemetar. Pitrang berpikir, oh ternyata keris Kyai Sangkelat ada di sini. Sungguh kehendak Tuhan, kedatangannya ke Blambangan bertemu dengan yang dia cari.

Ki Pitrang berkata, “Bia paduka, bila mendapat pertolongan Tuhan.”

Sang Raja berkata, “Pitrang, lihatlah dengan seksama. Kalau sudah teliti engkau melihat, buatlah keris serupa ini.”

Ki Pitrang berkata, “Hamba tidak bisa kalau hanya melihat sekilas. Bila paduka berkenan keris paduka serahkan kepada hamba agar hamba dapat menirunya persis, ibarat Wisnu dan Kresna.”

Sang Raja berbisik kepada Patih Cluring, “Hai Patih, bagaimana agar terlaksana aku membuat keris tiruan Kyai Sangkelat tanpa khawatir keris hilang. Walau bukan bobot si Pitrang mampu mencuri keris, tapi manusia tak boleh diremehkan.”

Ki Patih berkata, “Sebaiknya ketika membuat keris tiruan, ditempatkan di dalam puri dan dijaga ketat. Kami akan menjaganya. Para prajurit jangan sampai tidur dan selalu siap berjaga. Di sekeliling tempat pembuatan keris itu dibuat kolam. Mustahil keris bisa pergi dari tempat itu.”

Sang Raja sangat bersukacita. Tempat pembuatan keris segera dipersiapkan. Sang Raja lalu kembali memanggil Pitrang.

“Hai Pitrang, engkau aku minta karyamu, tapi engkau menurutlah kepada Patih segala sesuatunya,” kata Sang Raja.

Pitrang lalu dibawa ke tempat pembuatan keris yang terletak di belakang kedaton. Pitrang disuruh untuk memeriksa apakah semua peralatan dan bahan sudah siap. Setelah memeriksan Ki Pitrang melaporkan.

“Ki Patih, sekarang saat yang tepat untuk memulai. Wuku dan paringkelannya sesuai,” kata Pitrang.

Ki Patih segera melapor bahwa pembuatan keris tiruan sudah dapat dimulai. Sang Raja lalu menyerahkan keris Kyai Sangkelat yang berada di dalam kotak penyimpanan. Kotak segera dibawa oleh Ki Patih sendiri masuk ke pondok kecil di tengah kolam yang akan menjadi tempat menempa besi. Ki pitrang segera menerima dan bersiap memulai. Ki Patih dan para prajurit berjaga di luar.

Di dalam pondok, Pitrang mengambil bilah baja dan bermunajad kepada Tuhan. Besi baja dipegang lalu diurut. Seketika menjadi dua bilah keris yang sama persis dengan Kyai Sangkelat. Kedua keris tiruan tak dapat dibedakan dari keris aslinya. Pitrang lalu mencari cara agar dapat mengambil keris yang asli. Ki Pitrang segera melancarkan doa sirep. Seketika Ki Patih dan para prajurit mengantuk. Tidak lama semua sudah terkapar seperti mayat. Pitrang lalu keluar dari pondok dan menyembunyikan keris Kyai Sangkelat di sungai. Keris sudah ditindih batu. Karena pertolongan Tuhan, keris mengambang satu jengkal dari air sehingga tidak basah. Pitrang kembali ke pondok dan pura-pura melanjutkan pekerjaannya. Denting palu membangunkan yang sedang tidur. Mereka tak menduga Pitrang telah keluar.

Ki Patih memeriksa pekerjaan Pitrang dan bertanya, “Apakah pekerjaanmu sudah selesai?”

Pitrang berkata, “Sepertinya hamba berhasil.”

Pitrang lalu membuka kotak berisi dua senjata. Tampak keduanya mirip sehingga sulit dibedakan.

Ki Patih bertanya, “Pitrang, mana keris yang asli? Yang kiri atau yang kanan? Bagaimana kalau Sang Raja nanti bertanya?”

Pitrang berkata, “Hamba tidak tahu.”

Pagi hari Ki Patih dan Pitrang menghadap kepada Sang Raja sambil membawa dua keris yang disimpan di dalam kotak. Ketika Sang Raja membuka kotak, seketika bingung karena tak dapat membedakan yang asli dan tiruan.

“Pitrang, mana pusakaku yang asli?” tanya Sang Raja.

Pitrang menjawab, “Sungguh hamba tidak tahu. Ketika membuat hamba sambil bersemedi meminta pertolongan Tuhan Yang Baka, maka hamba tak memperhatikan. Tahu-tahu keris sudah bersanding di dalam kotak.”

Sang Raja lalu mengambil sarung keris dan kedua bilah dicobakan bergantian. Keduanya tampak pas di sarungnya. Sang Raja semakin bingung.

Sang Raja berkata, “Meski keris ini sama persis, pasti ada yang asli dan tiruan. Tapi karena si Pitrang tak dapat membedakannya, maka aku putuskan satu sarung berisi dua keris. Dan Patih, undangkan ke seluruh negeri, mulai sekarang dilarang membuat keris dapur Sangkelat. Undang-undang sebarlah ke seluruh negeri memakai surat keputusan dan ditempel di pinggir jalan. Dan engkau Pitrang yang berasal dari Gresik, mulai sekarang aku angkat punggawa dengan nama Pangeran Sendhang. Juga aku beri istri dari anakku yang bernama Sugiyah. Dia seorang putri yang masih gadis. Terimalah!”

Ki pitrang berkata, “Sungguh hamba haturkan banyak terima kasih. Segala perintah paduka akan hamba laksanakan. Belas kasih paduka kepada hamba ibarat air kehidupan yang menyiram badan hamba. Diri hamba seolah mendapat kehidupan yang baru yang penuh kasih Tuhan Yang Agung.”

Ki Patih sudah diizinkan kembali, Pitrang tak ketinggalan. Sementara Ki Pitrang tinggal di rumah Ki Patih sambil menunggu pelaksanakan perayaan pernikahan. Ketika tiba hari yang ditentukan, negeri Blambangan meriah oleh pesta pernikahan putri Sang Raja. Rakyat Blambangan berduyun-duyun menyaksikan kedua pengantin. Pangeran Sendhang tampak rupawan bersanding dengan putri Sang Raja yang cantik jelita.

Setelah selesai perayaan pernikahan pengantin, Pangeran Sendhang ditempatkan di Sidayu. Pangeran Sendhang dan istri lalu berangkat ke Sidayu. Sesampai Sidayu telah menunggu segala penghormatan. Pangeran Sendhang hidup mulia di Sedayu layaknya seorang adipati. Tidak ada lagi yang menjadi kekhawatiran. Pangeran lalu ingat kepada Empu Sarap yang telah mengajarinya membuat keris. Pangeran Sendhang lalu mengirim banyak hadiah kepada sang empu. Empu Sarap sangat bersuka cita.



https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/17/sajarah-jati-13-perjalanan-ki-supa-mencari-keris-kyai-sangkelat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...