Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (16): Ki Supa Anom Membuat Keris Dapur Sasra

 Alkisah, Sang Raja di Majapahit menerima pesan isyarat dari dewata berupa suara di angkasa.

Suara itu berbunyi: “Hai Raja Wilwatikta, jika engkau menghendaki selamat kepada seluruh anak dan istrimu, carilah syarat adanya kebaikan itu. Yakni sebuah keris yang berdapur seribu. Itulah yang akan menjadi pusaka raja.”

Hilang suara dari langit. Sang Raja sangat heran. Waktu itu sudah menjelang malam. Pagi hari, Sang Raja tampil di hadapan para punggawa. Patih Gajahmada dan para bupati, panewu serta mantri sudah lengkap menghadap. Sang Raja mengundangkan perintah: barangsiapa bisa membuat keris berdapur seribu yang cocok dengan bunyi pesan dari langit, maka akan diberi kedudukan bupati.

Semua yang hadir tidak ada yang sanggup. Sang Raja kemudian memanggil dua wadana empu, Tumenggung Supagati dan Tumenggung Supadriya. Kedua empu kerajaan tersebut menghadap Sang Raja sambil tertunduk. Muka mereka menatap tanah karena takut.

Sang Raja berkata, “Jangan kalian takut. Aku perintahkah kalian berdua untuk mengumpulkan para pandai besi. Carilah satu saja yang mampu membuat keris berdapur seribu.”

Keduanya menyatakan kesanggupan. Sudah diizinkan berangkat. Ki Supagati berangkat ke arah tenggara. Ki Supadriya berangkat ke arah barat menuju kediaman sang putra Ki Supasujana di Tuban. Namun sesampai di Tuban Ki Supadriya kecewa karena sang putra tidak berada di rumah. Sudah setahun menghilang entah ke mana. Dahulu terakhir mengantar Kangjeng Sunan Kalijaga, lalu tidak kembali sampai sekarang. Hanya ada sang cucu di rumah, yakni Ki Supa Anom.

Ki Supa Anom diberi tahu bahwa sang kakek dari Majapahit datang berkunjung. Ki Amom memeluk sang kakek.

“Kakek, aku kira kakek membawa perintah Sang Raja Majapahit,” kata Supa Anom.

Ki Supadriya kaget, “Benar katamu, cucuku. Aku diperintah Sang Raja mencari pandai besi yang mamu membuat keris berdapur seribu. Bila dia mampu akan diberi pangkat bupati.”

Ki Supa Anom berkata, “Aku sanggup Kek. Bawalah ke hadapan Sang Raja.”

Ki Supadriya kaget. Merasa bahwa sang cucu berucap bukan perkataannya sendiri, Ki Supadriya berpikir apakah ada dewata masuk ke dalam mulutnya.

“Baiklah Nak, ayo aku bawa ke hadapan Sang Raja,” kata Ki Supadriya.

Ki Supa Anom lalu berpamitan kepada sang ibu. Dewi Rasawulan mengizinkan karena yang membawa sang kakek sendiri. Segera kakek dan cucu itu berangkat. Sesampai di Majapahit singgah dulu di kediaman sang kakek. Pagi hari berikutnya baru menghadap Sang Raja. Pada pagi itu Ki Supagati juga sudah tiba di Majapahit, tapi tak mendapat hasil. Jadi Ki Supa Anom satu-satunya orang yang menyatakan sanggup membua keris itu.

Ki Tumenggung Supadriya lalu melaporkan perjalanannya kepada Sang Raja, “Paduka, semula hamba hendak menemui anak hamba yang bernama Ki Supa di Tuban. Namun dia tidak berada di rumah. Hanya cucu hamba yang ada. Dia menyatakan sanggup membuat keris berdapur seribu. Perkataannya seolah bukan dari mulutnya sendiri. Barangkali ada dewata masuk ke dalam mulutnya. Maka hamba berani lancang membawanya ke sini.”

Sang Raja menggelengkan kepala, kemudian berkata, “Hai engkau anak si Supa yang bernama Anom, apakah benar engka sanggup membuat keris berdapur seribu?”

Ki Anom menjawab lugu, “Benar, tapi aku tak bisa membuat keris seperti itu di daratan. Aku minta tempat membuatnya di tengah laut. Karena keris seperti itu langka. Dan aku harus memohon kepada dewata agar mampu melaksanakan pembuatannya.”

Sang Raja merasa heran, lalu berkata, “Baik, aku minta engkau membuatnya.”

Sang Raja lalu memanggil Ki Patih Gajahmada untuk melaksanakan permintaan Supa Anom.

“Aku minta empat bupati untuk mengantar Ki Anom yang sudah sanggup membuat keris. Aku kira tempat yang patut adalah Gresik,” titah Sang Raja.

Besi baja pilihan sudah dikumpulkan. Alat dan pirantinya sudah disiapkan. Rombongan segera berangkat ke Gresik. Di tepi samudera para bupati dan bawahannya berjaga. Ki Supa Anom lalu masuk ke lautan untuk menempa besi.

Sementara itu, Ki Supasujana yang telah mendapat gelar Pangeran Sendhang sudah beberapa lama di Sidayu. Selama berada di Sidayu Pangeran Sendhang selalu membuat keris. Sesuai kedudukannya sekarang sebagai adipati dan bergelar pangeran, Pangeran Sendhang membuat keris yang bertatakan emas. Namun walau sekarang hidup mulia, Pangeran Sendhang selalu teringat dengan keris Kyai Sangkelat yang disembunyikan di sungai. Anggannya yang terus memikirkan Kyai Sangkelat menjadikan corak garapan keris Pangeran Sendhang sedikit berbeda. Pamor keris yang dibuat di Sidayu agar mengapung.

Pangeran Sendhang tak dapat menahan lagi keinginannya untuk mengambil keris Kyai Sangkelat. Pada waktu itu sang istri baru mengandung usia tujuh bulan. Namun keinginan Pangeran tak dapat ditahan lagi. Dengan sedikit membujuk sang istri Pangeran minta pamit.

“Duh Dinda pujaan hatiku, yang sungguh setia kepada suami. Bila diizinkan aku minta pamit pulang untuk menengok anakku. Tidak lama kemudian akan kembali. Hanya pesanku bila anak yang kau kandung kelak lahir laki-laki berilah nama Jaka Sura. Di sini aku tinggalkan 20 bakal keris. Bila nanti lahir perempuan, terserah engkau memberi nama,” kata Pangeran Sendhang sebelum pergi.

Sudah habis pesan untuk Sang Istri. Menjelang malam Pangeran Sendhang berangkat. Yang dituju adalah Blambangan. Sesampai di Blambangan langsung menuju ke sungai tempat dia menyimpan keris Kyai Sangkelat. Keris segera ditemukan, lalu dibungkus dan dikalungkan di leher. Pangeran Sendhang kembali ke Surabaya. Di Surabaya ada kabar tentang empu bocah yang menempa besi di lautan. Namanya Ki Anom. Sudah tujuh hari belum keluar dari lautan. Pangeran Sendhang ingin melihatnya.

Pada saat yang sama, Kangjeng Sunan Kalijaga mengetahui bahwa sang keponakan sedang kerepotan dalam membuat keris di tengah lautan. Hanya bermodal tiupan napas, berpalu siku dan landasan lutut Ki Anom menempa besi. Setiap ditempa di lutut besi menjadi sirna karena kalah keras dengan lututnya. Lama-lama Ki Anom kehabisan besi. Keris belun jadi.

Sunan Kalijaga lalu mendatangi Ki Anom di tengah lautan. Tak seorang pun yang tahu.

Kangjeng Sunan berkata, “Hai Ki Anom, mengapa engkau di tengah samudera anakku?”

Ki Anom menceritakan dari awal sampai akhir. Sejak dari Tuban hingga mendapat tugas membuat keris berdapur seribu.

Kangjeng Sunan berkata, “Ketahuilah, pekerjaanmu tidak selesai karena besi baja larut karena kalau keras dengan sikumu. Ini aku beri engkau baja yang berasal dari alam insan kamil. Tempalah menjadi calon keris. Adapun bentuknya tunggu pola dariku. Aku hendak mengambilnya dahulu.”

Kangjeng Sunan seketika menghilang. Sunan segera menemui Pangeran Sendhan yang berada di dekat pantai. Pangeran Sendhang lalu sungkem.

Kangjeng Sunan berkata, “Hai Ki Supa, aku beri tahu. Anakmu si Anom sangat congkak, mempunyai kesanggupan kepada Sang Raja Majapahit akan membuat keris berdapur seribu. Sekarang anakmu kesulitan. Banyak besi ditempa tapi larut ke lautan. Jika tidak aku tolong pasti akan mendapat malu. Aku sudah menemuinya dan memberi besi. Sekarang di mana Kyai Sangkelat? Aku akan memberikannya agar ditiru. Dan sekarang engkau segeralah pulang. Jangan mampir ke Gresik. Lewatlah jalan tembus ke selatan.”

Pangeran Sendhang menyatakan kesanggupan. Kyai Sangkelat telah diserahkan kepada Kangjeng Sunan. Kangjeng Sunan lalu kembali menemui Ki Anom di tengah lautan. Tampak Ki Anom sudah membentuk besi yang diberikan Sunan.

Kangjeng Sunan berkata, “Anakku, ini aku beri contoh keris. Buatlah sama postur dan luknya. Dan tambahkan naga dari sor-soran sampai ke atas. Inilah keris yang bernama Nagasasra, gambaran dari naga Taksaka yang ampuh. Inilah yang disebut satu keris dapur seribu.”

Tidak lama kemudian keris Nagasasra sudah jadi. Waktu keris telah sempurna muncul gara-gara di lautan. Air laut seolah mendidik sehingga banyak ikan mati. Para pembesar Majapahit yang berjaga di pantai menjadi kebingungan.

Kangjeng Sunan Kalijaga berkata kepada Ki Anom, “Anakku, karena keris sudah jadi segera keluarlah. Jangan sekali-kali bicara kalau engkau bertemu denganku.”

Ki Anom berkata, “Baik Wak!”

Ki Anom lalu keluar dari air sambil menenteng keris. Para bupati yang berjaga di pantai bersorak. Keris sudah diberi wadah yang pantas. Para punggawa dan pasukan Majapahit bergemuruh menuju ke kota.

Rombongan Ki Anom sudah sampai di Majapahit. Ki Anom dan para pembesar segera menghadap Sang Raja. Keris sudah disimpan dalam peti. Ki Anom sendiri yang memikulnya. Di hadapan Sang Raja peti dibuka. Keris diperiksa oleh Sang Raja dengan seksama. Sang Raja tampak takjub oleh kering yang indah. Selama ini Sang Raja belum pernah melihat keris seperti itu.

Berkali-kali Sang Raja bertanya bagaimana Ki Anom membuat keris yang begitu indah. Namun Ki Anom selalu menggelengkan kepala. Tak berkata sepatah pun dan hanya menunduk. Sang Raja lalu bertanya kepada para tumenggung yang menyertainya, bagaimana cara Ki Anom membuat keris. Para bupati menceritakan apa adanya sejak awal sampai akhir. Juga peristiwa ketika air laut mendidik dan ikan-ikan mati. Sang Raja lalu membawa keris masuk ke tempat pemujaan. Sang Raja mempersembahkan keris kepada para dewata. Tak lama kemudian Sang Raja mendapat isyarat bahwa keris yang dibuat Ki Anom sudah sesuai.

Terdengar bunyi pesan suara tanpa rupa: “Sudah benar keris itu. Kelak keris itu akan menjadi pusaka para raja di tanah Jawa. Hanya ada dua keris yang akan menjadi pusaka. Yang kakan bernama Kyai Sangkelat, yang kiri bernama Nagasasra. Keris dapur Nagasasra ini berilah nama sesukamu.”

Pada hari pisowanan hari Senin Sang Raja bertahta di hadapan para punggawa. Ki Patih dan para punggawa telah lengkap hadir.

Sang Raja berkata, “Patih, beritakan perintahku. Sudah nyata keris berdapur seribu ini sesuai yang aku inginkan. Sekarang keris berdapur Nagasasra ini aku beri nama Segarawedang. Karena saat kejadiannya lautan mendidih seperti wedang. Dan juga Ki Anom aku angkat sebagai bupati di Guling. Juga aku beri istri dari kalangan putriku.”

Ki Patih menyatakan kesanggupan. Perintah Sang Raja segera diundangkan merata ke seluruh tanah Jawa. Sang Raja kemudian masuk ke puri. Permaisuri Ratu Dwarawati sudah menyambut di pintu tamansari. Para punggawa sudah bubaran. Mereka singgah dulu di kediaman Ki Patih untuk mempersiapkan upacara pernikahan Ki Anom. Singkat cerita acara perayaan pernikahan Ki Anom dan putri Sang Raja telah selesai. Namun mendadak Ki Patih meninggal dunia tanpa sakit lebih dulu. Memang usia Ki Patih sudah sangat sepuh. Sang Raja merasa kehilangan.

Sang Raja lalu menimbang-nimbang pengganti Ki Patih. Tidak ada lagi yang pantas selain tumenggung Daha. Seorang mumpuni yang setia dan cakap melayani Sang Raja. Ki Tumenggung segera dipanggil ke kota Majapahit. Perintah Sang Raja sudah disampaikan. Ki Tumenggung Daha diangkat sebagai patih dengan gelar Adipati Wahan. Ki Patih pun segera menjalankan pemerintahan di negeri Majapahit.

Alkisah, Kangjeng Sunan Kalijaga sadar masih membawa keris Kyai Sangkelat, pusaka para raja. Sunan merasa tak berwenang memakai, maka kemudian berangkat ke Demak. Di Demak Sunan bertemu dengan Raden Adipati Bintara.

Kangjeng Sunan berkata pelan, “Nak Adipati, ketahuilah ini pusaka yang akan dipakai para raja yang menguasai tanah Jawa. Para wali sudah mengetahi Demak akan menjadi sebuah negeri.”

Keris lalu diserahkan kepada Adipati Bintara. Sang Adipati menerima dan menyatakan kesiapan merawat keris itu. Ini menjadi isyarat bahwa Sunan Kalijaga telah mengizinkan Demak menjadi sebuah negeri.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/18/sajarah-jati-16-ki-supa-anom-membuat-keris-dapur-sasra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...