Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (17): Ki Cakrajaya Tukang Deres Kelapa dari Desa Bedhug

Setelah memberikan keris Kangjeng Sunan berpamitan melanjutkan perjalanan keliling negeri. Dari Demak Kangjeng Sunan berangakt ke arah barat daya.

Sementara itu di Bagelen, ada seorang petani lugu yang bernama Cakrajaya. Rumahnya di desa Bedhug, sebelah timur sungai Pragawanta. Pekerjaan Ki Cakrajaya setiap hari adalah menderes kelapa. Pagi dan sore hari memanjat kelapa untuk mengambil legen. Setiap bekerja Ki Cakrajaya selalu melantunkan puji-pujian. Naik turun pohon mulut Ki Cakrajaya tak bisa diam. Juga ketika sedang memasak kilang mulutnya selalu bersenandung puji-pujian. Begitu kehidupan Ki Cakrajaya selama 20 tahun berlalu.

Pada suatu hari, setelah menjelajah hutan dan jurang-jurang Kangjeng Sunan Kalijaga sampai di desa Bedhug. Kangjeng Sunan mendengar Ki Cakrajaya bekerja sambil melantunkan puji-pujian.

Kangjeng Sunan berkata, “Hai saudara, siapa namamu? Engkau rajin turun naik pohon kelapa sambil membawa bumbung. Aku lihat engkau sedang menderes legen.”

 Yang ditanya menjawab, “Hai Kisanak, engkau bertanya kepadaku, namaku Cakrajaya. Seorang petani yang mencari nafkah dengan menderes kelapa di sore hari. Jika pagi bercocok tanam.”

Kangjeng Sunan berkata pelan, “Kisanak, puji-pujianmu itu keliru. Sebaiknya ikut caraku, ucapkan Allah, Allah, Allah jangan putus-putus.”

Ki Cakrajaya menurut nasihat Kangjeng Sunan. Setiap bekerja kini hanya mengucapkan Allah, Allah, Allah. Setelah tujuh hari berlalu terjadi keajaiban. Legen yang dideres Ki Cakrajaya keluar emas yang memancar. Bahkan yang sudah mengeras berubah menjadi setangkup emas. Ada 25 tangkup legen yang menjadi emas.

Ki Cakrajaya heran. Dia berpikir, apakah semua ini karena pujian yang aku ucapkan? Di mana orang yang mengajarkan ucapan itu sekarang? Aku akan mencarinya untuk berguru.

Ki Cakrajaya berangakat mencari Kangjeng Sunan. Di timur pagar dia berhasil menyusul. Ki Cakrajaya memanggil-manggil dari belakang.

“Hai Kisanak, berhentilah dulu,” seru Ki Cakrajaya.

Kangjeng Sunan berhenti. Ki Cakrajaya bersimpuh di hadapan Kangjeng Sunan.

“Kisanak, saya ikut ke manapun Anda pergi. Saya ingin mendapat pengajaran. Ketika Anda mengajarkan pujian Allah, Allah, Allah saya melaksanakannya. Siang malam kata itu saya ucapkan. Setelah tujuh hari saya kaget karena semua gula saya menjadi emas. Saya menjadi ingat kepada Sang Pencipta yang telah menciptakan keajaiban. Lalu saya menyusul Anda. Sebenarnya siapakah Anda ini? Dari mana asal Anda? Bila Anda berkenan saya ingin berguru.”

Kangjeng Sunan Kalijaga berkata, “Engkau bertanya namaku? Syekh Malaya namaku. Tanah Demak asalku. Aku datang ke sini untuk bertemu calon waliyullah yang masih tertutup hatinya. Aku akan membuka wahyunya. Bila engkau ingin mengabdi kepadaku, maka tidak aku izinkan karena pertapaanmu belum keras. Apakah kamu mau bertapa tidur? Bila engkau sanggup, lakukan di gunung Ngrengga sana.

Ki Cakrajaya segera masuk ke hutan dan melakukan tapa tidur. Kangjeng Sunan seketika menghilang dari pandangan. Kangjeng Sunan melanjutkan pengembaraan. Sampailah di tanah Semarang. Pembesar negeri itu bernama Kyai Ageng Pandanaran. Seorang kaya raya yang bakil. Setiap hari yang dilakukan hanya mencari harta benda. Apa yang diinginkannya tercapai. Kekayaannya menumpuk. Emas perhiasaan dan bahan-bahan mentah dia kumpulkan. Juga aneka busana indah.

Walau kaya raya dia masih bekerja keras di pasar. Juga membungakan uang. Para pedang berhutang semua kepadanya. Kekayaannya semakin bertambah-tambah. Meski sudah kaya kalau diundang kenduri pasti datang paling duluan. Sang istri pun masih sempat mengeringkan nasi sisa kenduri. Ki Pandanaran kaya karena gemi. Sayang jika sebutir nasi terbuang sia-sia.

Sunan Kalijaga yang mendengar perilaku Ki Ageng Pandanaran bermaksud untuk menggodanya. Kangjeng Sunan lalu menyamar sebagai penjual rumput alang-alang. Orang dari gunung yang memikul ikatan rumput untuk dijual. Di dalam ikatan rumput itu diselipkan uang keteng sejumlah dua puluh lima yang dibungkus daun pisang.

Bergegas Kangjeng Sunan menghadap Ki Pandanaran yang saat itu duduk di pendapa. Setelah masuk ke pekarangan, Kangjeng Sunan meletakkan alang-alang dan duduk di sampingnya seperti perilaku para penjual rumput.

Ki Pandanaran bertanya, “Hai Paman, alang-alangmu itu berapa harganya?”

Yang sedang menyamar menjawab, “Satu ikat ini harganya 25[1] keteng.”

Ki Pandanaran kaget, murah sekali. Biasanya satu ikat harganya setali[2]. Jadi hanya setengahnya. Pasti si paman ini bodoh, tidak tahu harga pasaran.

Ki Pandanaran segera membayar rumput itu. Uang 25 keteng sudah diterima si paman penjual rumput.

“Paman, kalau masih ada lainnya, besok bawalah ke sini. Berapapun aku mau,” kata Ki Pandanaran.

Paman penjual alang-alang menyatakan kesanggupan, lalu segera pergi. Ki Pandanaran lalu membongkar ikatan alang-alang. Ki Pandanaran kaget karena di dalam ikatan dia menemukan bungkusan uang 25 keteng. Ki Ageng merasa sangat beruntung. Alang-alang ibarat gratis. Aku beli 25 keteng, di dalam ada 25 keteng. Jika genap 10 kali pasti untung besar, begitu pikir Ki Pandanaran.

Pagi hari berikutnya Paman penjual alang-alang datang lagi. Kyai Ageng sedang duduk di pendapa sambil minum wedang dan menyantap makanan ringan.

“Paman, rumahmu di mana? Pagi-pagi sudah sampai di sini,” tanya Ki Ageng.

Si penyamar berkata, “Di Jabalkat, Tuan. Tadi malam hamba berangkat. Saya sengaja sampai di sini pagi hari.”

Kyai Ageng mengangguk sambil menyerahkan uang. Uang 25 keteng sudah diterima.

Si Paman penjual berkata, “Kyai bila berkenan, hamba ingin minta belas kasih Anda.”

Kyai Ageng merogoh saku dan melempar uang satu keteng ke lantai.

Si Paman penjual berkata, “Saya tidak minta-minta uang. Tidak baik. Bila saya ingin uang tinggal minta kepada Gusti Allah. Pasti sebentar saya kaya. Di mana-mana ada emas dan permata. Seberapa kaya Anda, masih lebih kaya Gusti Yang Maha Suci. Kalau hanya ingin emas, tinggal mencangkul tanah. Pasti saya mendapat bongkahan emas.”

Kyai Ageng sewot dan berkata, “Apa kau gila? Uang keteng tidak mau. Keteng itu bagian dari ringgit. Walau uang seribu kalau kurang satu keteng juga tidak genap seribu. Keteng juga bagian dari riyal, kurang satu keteng juga tidak jadi riyal.

Kamu menolak uang keteng, katamu Allah lebih kaya. Kamu tidak ingin harta benda, di mana-mana ada emas permata. Bila benar katamu, pasti kamu tidak menjual alang-alang, mencangkul saja satu bejana, engkau pasti kaya. Tidak perlu keluyuran membawa alang-alang sampai Semarang.

Engkau berteman Gusti Allah, kok 25 keteng engkau cari. Siapa yang tidak doyan harta? Harta itu menjadi penuntun ke surga. Kemuliaan orang di dunia itu karena uang.

Nah, Paman. Segera minggatlah. Jangan cerewet. Membuat orang melarat saja. Orang melarat itu nista, mendekatkan kepada tindak durjana. Kalau tidak durjana seperti mencuri, pasti berbuat hina dengan meminta-minta. Masih bagus mau menjual alang-alang. Coba kalau katamu benar, mencangkul tanah dapat emas. Buktikan!” kata Ki Ageng bengis.

Paman penjual rumput mengambil cangkul, lalu sekali ayun sebongkah tanah terlepas menjadi bongkahan emas. Kyai Ageng tertegun takjub sampai tidak sadar si Paman sudah pergi. Kyai Ageng baru sadar ketika si paman penjual rumput sudah jauh. Kyai Ageng yakin si paman pasti bukan sembarang orang. Pasti dia manusia utama yang sengaja mencobainya. Bergegas Kyai Ageng mengejar si penjual rumput.

Tidak lama kemudian si penjual rumput sudah tampak. Tanpa banyak kata Kyai Ageng menubruk dan memeluk kaki si Paman penjual rumput. Kyai Ageng menangis tersedu-sedu seperti perempuan ditinggal mati suaminya.

“Duh sang guru bijaksana, saya minta paduka singgah di rumah saya. Saya ingin bertobat dan berguru kepada paduka. Saya akan menurut segala saran dan perintah paduka. Ajarkan kepada hamba pengetahuan tentang yang gaib, agar hamba mendapat belas kasih Tuhan.”

Kangjeng Sunan yang menyamar berkata, “Aku akan mampir ke rumahmu. Bila dalam aku mengemis mendapat belas kasih tuan rumah, aku hanya minta berdirinya masjid Semarang. Dirikan masjid dengan dukungan keluargamu, dari harta bendamu.”

Kyai Ageng menyatakan kesanggupan, “Semua kehendak paduka saya patuhi. Karena itu sungguh nasihat yang baik.”

Kangjeng Sunan lalu mampir di rumah Kyai Ageng. Kyai Ageng menyambut dengan hangat. Sang istri dan para putra diperintahkan untuk sungkem.

Kangjeng Sunan berkata, “Nah, segera engkau buat tempat salat yang disebut masjid untuk mendirikan salat Jum’at. Jika engkau ingin seperti diriku, sungguh berat amalannya. Apakah engkau sangguh menjalani?”

Kyai Ageng berkata, “Berat atau ringat, perintah guru mesti dijalankan.”

Kangjeng Sunan berkata, “Bila engkau sudah mantap mematuhi perintahku, semua hartamu bagilah kepada fakir miskin. Dan di dalam masjid sebaiknya engkau taruh sebuah bedug sebagai tanda waktu salat yang lima. Dan kedua, segera susul aku ke Jabalkat. Di arah selatan itulah rumahku, di timur gunung Merapi. Adapun bila engkau ingin tahu namaku, namaku Syekh Malaya. Juga disebut Sunan Kalijaga. Baiklah, aku tunggu kedatanganmu.”

Sebentar kemudian Sunan Kalijaga sudah menghilang dari pandangan. Kangjeng Sunan Kalijaga ingat mempunyai calon wali yang masih bertapa di hutan gunung Ngrengga, namanya Cakrajaya. Sudah kira-kira setahun Sunan menghampiri sang murid di pertapaan hutan Ngrengga. Para santri berduyun-duyung mengikuti. Sesampai di hutan Ngrengga mereka mencari letak pertapaan Ki Cakrajaya yang tertutup alang-alang. Namun sampai beberapa lama letak Ki Cakrajaya tak kunjung ditemukan.

Kangjeng Sunan lalu menyuruh agar alang-alang dibakar. Pada saat itu sedang masa ketiga, jadi semua serba mudah terbakar. Pohon-pohon besar kecil semua ludes dimakan api. Setelah api padam mereka menemukan seseorang dalam keadaan gosong seperti kayu terbakar. Kangjeng Sunan tidak ragu lagi itulah Ki Cakrajaya, segera mendekat dan mengucap salam.

Ki Cakrajaya seketika bangun dan menjawab salam, “Alaikum salam.”

Bergegas Ki Cakrajaya sungkem kepada Kangjeng Sunan sambil berkata, “Allah, Allah…”

Lalu sejenak kemudian Sunan berkata pelan, “Sudahi engkau berzikir. Ketahuilah, pertapaanmu sudah diterima Tuhan Yang Maha Benar. Cakrajaya, engkau aku beri nama Sunan Geseng. Jadilah engkau mukmin utama. Bawalah semua anak istrimu ke arah barat laut. Si Jaka Bedug jangan ketinggalan. Pergilah ke Lowanu, Dinda. Di sana ajarkan pengetahuan agama.”

Sunan Geseng sudah menerima wejangan dari Sunan Kalijaga. Seketika hatinya terang seperti kemasukan matahari. Bergegas Sunan Geseng melaksanakan perintah sang guru. Anak istri sudah dibawa ke Lowanu. Sang Sunan lalu membuka pedukuhan. Tidak lama Lowanu sudah menjadi pedukuhan yang ramai.

Pada suatu hari Sunan Geseng pamit akan memancing. Sesungguhnya Sunan sekalian bertapa. Jaka Bedug penasaran, dalam hati berpikir, “Apa maksud ayah memancing, apa kurang makan?”

Jaka Bedug lalu memanjat pohon untuk mengintip sang ayah memancing. Sunan Geseng merasa ada yang mengintipnya, lalu berkata, “Siapa yang naik pohon mengintip seperti kera?”

Seketika Jaka Bedug berubah menjadi kera karena perkataan sang ayah. Demikian bila seorang wali utama berkata, perkataannya tidak akan menjadi kebenaran. Sang putra segera mendekat sambil menangis meminta ampun.

“Duhai ayah, saya bertobat. Kini saya berubah menjadi kera karena sabda paduka. Sekarang saya minta diruwat agar kembali ke wujud sediakala,” kata Jaka Bedug.

Sunan Geseng berkata, “Itu sudah kehendak Tuhan. Bila engkau ingin kembali ke wujudmu semula, mintalah kepada Tuhan dengan bersungguh-sungguh.”

Sang putra segera melaksanakan perintah. Setelah bertobat memohon ampun dengan sungguh-sungguh akhirnya permohonannya dikabulkan Tuhan. Namun masih menyisakan wujud kera berupa ekor sepanjang setengah cengkang[3]. Jaka Bedug lalu melapor kepada sang ayah. Sunan Geseng memberi nama Jaka Bedug dengan nama baru Nilasraba. Sampai zaman kini[4] anak keturunan Jaka Bedug di Bagelen masih menyisakan ekor sepanjang satu inci.

[1] Satu keteng = ½ sen

[2] 25 sen

[3] Ukuran panjang antara ujung jari telunjuk dan jari jempol yang diregangkan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/19/sajarah-jati-17-ki-cakrajaya-tukang-deres-kelapa-dari-desa-bedhug/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...