Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (19): Jaka Sura Membuat Keris Dapur Jangkung Mangkurat

Alkisah di negeri Majapahit, Prabu Brawijaya pada malam Rabu Legi bermimpi kedatangan dewata Hyang Triyatra.

Sang dewata memberi pesan: “Hai Raja utama, engkau akan mengalami masa prihatin.”

Seketika Sang Raja terbangun. Mimpi itu berisi pesan yang belum sempurna, tetapi keburu Sang Raja bangun. Sang Raja kemudian menuju tempat pemujaan. Dupa telah dinyalakan, Sang Raja mengheningkan cipta meminta petunjuk dewata.

Tidak lama datang pesan dari Hyang Otipati, “Hai Sang Prabu Brawijaya, atas kehendak Hyang Suksma Kawekas, sekarang aku beri tahu kamu bahwa keraton Jawa akan berpindah. Engkaulah raja terakhir di Majapahit. Kelak akan terjadi pergantian raja. Namanya memakai bahasa Arab. Akan ada kerusuhan. Adapun siapa yang akan menjadi raja berikutnya masih samar. Kalau belum hilang keraton Majapahit jangan engkau khawatir. Semua yang terjadi atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun ada sarana agar anak keturunanmu yang menjadi raja kelak. Engkau carilah pusaka berupa keris dapur Jangkung Mangkurat, yang dibuat tanpa api. Bukan terbuat dari besi surga atau bumi, tapi dari saripati ruh insan. Yang membuat adalah seorang anak berusia tujuh tahun, keturunan empu pilihan yang mendapat wejangan Empu Ramadi dari zaman Budhawaka. Tidak usah engkau cari, besok akan datang. Sudah kehendak dewata, tak akan berubah. Hai anakku, Sang Raja. Terimalah takdir ini. Hentikan semadimu.”

Sang Raja sudah turun dari tempat pemujaan. Pagi hari Sang Raja mengadakan tarian badaya.

Ganti cerita, ketika Pangeran Sendhang pulang dari Blambangan dan menikah dengan putra Sang Adipati serta menguasai kota Sidayu, pada waktu itu Dyah Sugiyah telah mengandung usia kandungan tujuh bulan. Ki Supa alias Pangeran Sendhang pamit kepada sang istri dengan pesan kelak bila lahir lelaki si anak diberi nama Jaka Sura. Adapun bila lahir perempuan terserah kepada sang ibu. Ki Supa juga meninggalkan  bakal keris sejumlah 20 bilah. Peristiwa itu sudah berlalu tujuh tahun. Putra Ki Supa telah lahir laki-laki dan sesuai pesan sang ayah diberi nama Jaka Sura.

Jaka Sura sudah berusia tujuh tahun. Kegemarannya adalah menjelajah hutan dan bertapa tanpa makan. Juga suka naik gunung turun jurang. Pada suatu waktu Jaka Sura sampai di tepi samudera dan bertemu Empu Ramadi, lalu diberi pelajaran membuat senjata dan berbagai pengetahuan lain. Sudah mahir membuat senjata hanya dengan cipta dan memberi pamor dengan mata. Itulah pengaruh pengajaran Empu Ramadi. Ki Jaka Sura sudah menguasai semuanya. Jaka Sura kemudian diizinkan pulang oleh sang guru.

Sesampai di rumah Jaka Sura bertemu sang ibu yang selalu memangisi kepergiannya.

“Duh anakku, engkau pergi ke mana saja,” ratap sang ibu.

Jaka Sura menceritakan pengalamannya selama pergi. Sang ibu merasa tenang hatinya. Meski baru berusia tujuh tahun Jaka Sura sudah mumpuni dalam membuat senjata. Juga cakap dalam susastra.

Pada suatu hari Jaka Sura menghadap sang ibu. Dengan menyembah dan memeluk kaki sang ibu Jaka Sura bertanya, “Duh Ibu, saya ingin tahu apakah saya mempunyai ayah? Kalau punya siapa namanya, di mana rumahnya? Apakah masih hidup?”

Mendengar pertanyaan sang putra Dyah Sugiyah menangis, lalu berkata, “Engkau bertanya tentang ayahmu, namanya Pangeran Sendhang. Semula bernama Ki Pitrang. Sekarang sedang pergi ke Tuban, wilayah negeri Majapahit. Raja Majapahit adalah Prabu Brawijaya. Ketika ayahmu pergi engkau baru tujuh bulan dalam kandungan. Namamu Jaka Sura juga atas pesan dari ayahmu. Sudah tujuh tahun ayahmu pergi, sampai sekarang aku belum mendengar kabar beritanya. Dulu ayahmu meninggalkan bakal keris 20 bilah. Entah apa dapurnya, semua dibungkus dalam peti. Sekarang coba telitilah.”

Peti berisi bakal keris lalu diambil dan diserahkan kepada Jaka Sura. Jaka Sura lalu memeriksa satu per satu.

Jaka Sura berkata, “Ibu, saya ingin tahu ayah saya Pangeran Sendhang masih hidup atau sudah meninggal. Bila sudah meninggal saya ingin tahu kuburnya.”

Demikian Jaka Sura bersikeras melacak jejak sang ayah ke Majapahit. Sang ibu berusaha mencegahnya.

“Jangan anakku, Majapahit letaknya sangat jauh. Harus melalu hutan lebat. Banyak halangan untuk sampai ke sana,” kata Dyah Sugiyah.

Jaka Sura berkata, “Tidak Ibu, saya harus mencari ayah. Calon keris 20 bilah saya bawa sebagai tanda saya anak Pangran Sendhang. Keris itu juga nanti menjadi bukti bahwa saya benar-benar anak Ki Pitrang.”

Sang ibu tak kuasa mencegah. Jaka Sura lalu bersiap. Dua puluh bakal keris dipikul dan segera berangkat. Sepanjang jalan Jaka Sura banyak bertanya jalan menuju Majapahit. Setiap bertanya dia memberi upah sebilah calon keris itu. Akhirnya Jaka Sura sampai di Majapahit. Bakal keris sejumlah 20 tinggal sebilah. Jaka Sura lalu menuju bawah pohon beringin kembar. Jaka Sura duduk bersila seperti layaknya orang yang hendak menghadap Sang Raja. Perilakunya tak menceriminkan seorang bocah berusia tujuh tahun.

Pada waktu itu sedang ada pisowanan hari Senin. Sang Raja bertahta di hadapan para punggawa. Para tumenggung dari mancanegara dan dari dalam kota lengkap hadir. Para tukang pandai besi dan perajin emas juga hadir.

Sang Raja melihat ada seorang anak yang melakukan pepe di bawah pohon beringin.

Sang Raja berkata, “Aku melihat ada anak duduk bersila di bawah pohon beringin. Aku duga sudah lama dia di situ.”

Para bupati dan tumenggung pun heran melihat anak kecil duduk bersila di bawah beringin kembar alun-alun Majapahit.

Mereka berkata, “Benar sabda paduka, ada seorang bocah di bawah pohon beringin kembar.”

Sang Raja memerintahkan seorang pelayan untuk memanggil bocah tersebut. Yang disuruh segera membawa Jaka Sura menghadap ke Sitinggil. Sesampai di hadapan Sang Raja, Jaka Sura duduk menunduk menatap tanah. Sang Raja berpikir, apakah bocah ini yang disebut dalam pesan ketika melakukan puja.

Sang Raja berkata, “Hai bocah, siapa namamu? Di mana rumahmu? Engkau duduk di bawah beringin ada keperluan apa, katakan apa yang menjadi ganjalan hatimu.”

Si bocah menyembah dan berkata, “Duh paduka dewata di dunia, hamba bocah yang terlunta-lunta. Nama hamba Jaka Sura. Menurut ibu hamba, semula ada pandai besi dari Gresik namanya Pitrang yang mengabdi di Blambang. Pengabdiannya diterima dan diberi anugerah sebagai bupati di kota kecil Sidayu. Lalu diberi gelar Pangeran Sendhang dan diberi istri anak Raja Blambangan yang bernama Retna Sugiyah. Terlaksana mereka membangun rumah tangga dengan rukun sehingga sang istri mengandung. Ketika usia kandungan tujuh bulan, Pangeran Sendhang pamit pergi ke Tuban. Dia mempunyai anak lelaki di kota itu. Setelah beberapa bulan Retna Sugiyah melahirkan putra lelaki, itulah hamba. Setelah tujuh tahun berlalu Pangeran Sendhang tidak kunjung datang. Hamba bertanya kepada ibu siapa ayah hamba. Ibu menceritakan kisah seperti yang sudah hamba ceritakan tadi. Hamba kemudian minta pamit untuk mencari ayah hamba. Namun ketika hamba sampai di Majapahit, tidak seorang pun yang tahu nama Kyai Pitrang. Juga tidak ada yang pernah mendengar nama Pangeran Sendhang. Hamba sangat bingung ke mana lagi hendak mencari. Lalu hamba bermaksud menghadap paduka. Barangkali paduka sudi mengabdikan hamba sehingga hamba tidak terlunta-lunta. Akhirnya hamba sampai di alun-alun dan duduk di bawah pohon beringin. Duhai paduka, apakah paduka mengetahui ayah hamba yang bernama Pangeran Sendhang?”

Sang Raja kerepotan karena juta tidak mengetahui dua nama yang disebut si bocah. Namun Sang Raja berpikir, di Tuban pandai besi yang mumpuni hanya si Supa. Apakah si Supa pernah berkelana sampai Blambangan?

Sang Raja berkata kepada wadana pandai besi, “Apakah si Supa menghadap?”

Wadana pandai berkata, “Ada, paduka.”

Sang Raja berkata, “Hai Supa, majulah ke hadapanku.”

Empu Supasujana segera maju ke depan.

Sang Raja berkata, “Hai Supa, ini ada anak bertanya bapaknya. Katanya namanya Pangeran Sendhang. Ketika di Blambangan namanya Pitrang.”

Ki Supa berkata, “Sungguh, hamba pernah mendapat nama Pangeran Sendhang dan menjadi adipati di Sidayu. Ketika magang di Blambangan hamba memakai nama Pitrang. Waktu itu Raja Blambangan memberi hamba putrinya yang bernama Retna Sugiyah. Namun terhadap bocah ini hamba ragu karena mustahil sudah sebesar ini. Dan bagaimana dia dapat menempuh perjalanan sejauh ini.”

Sang Raja berkata, “Anakku, engkau mengaku sebagai anak Pitrang, apa bukti yang engkau bawa?”

Jaka Sura berkata, “Hanya ini bukti yang hamba bawa. Satu bilah bakal keris. Semula jumlahnya 20 bilah. Namun setiap hamba minta tolong seseorang menunjukkan jalan ke Majapahit, hamba memberinya hadiah satu bilah sehingga tinggal satu. Inilah bukti bahwa hamba anak Ki Pitrang.”

Jaka Sura menyerahkan bakal keris kepada Sang Raja. Sang Raja tak samar lagi, segera tahu bakal keris ini karya Ki Supa. Postur bilah keris, kembang kacang, ganja dan sogokan khas buatan Ki Supa.

Sang Raja berkata, “Hai Supa, sudah nyata bakal keris ini buatanmu. Coba engkau teliti.”

Ki Supa menerima bakal keris dan memeriksanya. Memang benar, Supa yakin ini buatan tangannya.

Ki Supa berkata, “Tidak ragu lagi, ini buatan hamba. Jadi bocah ini benar anak hamba. Namanya pun sesuai. Dulu hamba berpesan kepada ibunya bila lahir lelaki supaya diberi nama Jaka Sura.”

Sang Raja berkata, “Hai Jaka Sura, orang inilah ayahmu. Di sini namanya Kyai Supa. Aku tidak tahu dia juga bernama Pangeran Sendhang. Mulai hari ini aku mengizinkan dia memakai nama itu.”

Sang Raja berkata lagi, “Hai Jaka Sura, engkau sudah bertemu dengan ayahmu dalam keadaan selamat. Sekarang aku minta karyamu. Aku sedang kerepotan. Aku mendapat pesan dewata agar membuat keris sebagai sarana keselamatan negeri. Sebilah keris dengan dapur Jangkung Mangkurat. Aku belum pernah mengetahui ada keris dapur seperti itu. Aku telah mencari para pandai besi yang dapat membuatnya. Namun tak satu pun yang bisa. Walau ayahmu si Supa juga belum mengetahui keris seperti itu. Barangkali engkau bisa membuat keris seperti itu.”

Jaka Sura berkata, “Hamba sanggup, semoga berkah paduka membuat pekerjaan hamba berhasil. Namun hamba minta tempat yang sepi untuk mengerjakannya. Jangan sampai terlihat orang.”

Sang Raja mengangguk, lalu berkata, “Hai Sura, engkau kerjakan di tempat sepi di gedung sebelah barat alun-alun. Engkau Ki Supa, anakmu bawalah ke sana.”

Sudah terlaksana Jaka Sura mengerjakan keris Jangkung Mangkurat. Selama pembuatan keris Ki Supa dan Sang Raja menunggui di luar. Di dalam Jaka Sura mengerjakan dengan cipta. Besi diambil dari baitul makmur. Bilah besi diurut dengan jari-jari Ki Jaka Sura. Selama pengerjaan Jaka Sura selalu mengingat pengajaran Empu Ramadi. Akhirnya jadilah keris Jangkung Mangkurat luk tiga, dengan kembang kacang, sogokan, greneng belakang, dan mempunyai ada-ada di sepanjang bilah. Setelah selesai Jaka Sura mengetuk pintu dan keluar dari gedung. Jaka Sura kaget karena sang ayah dan Sang Raja selalu menunggui selama pengerjaan keris.

Jaka Sura duduk bersila di hadapan Sang Raja, keris segera dihaturkan. Sang Raja mengamati keris dengan seksama. Memang benar ini bocah yang berada dalam pesan dewata.

Sang Raja lalu masuk ke puri sambil mengandeng Jaka Sura. Ki Patih, para tumenggung dan punggawa yang menghadap sudah diizinkan pulang ke rumah masing-masing. Sepanjang jalan pulang mereka tak henti membicarakan anak berumur tujuh tahun yang sangat mumpuni dalam sastra. Dia bahkan dapat berbahasa cara keraton, ngoko, madya, krama dan kawi tanpa cela. Pengucapannya pun tepat dan intonasinya tenang. Sungguh tak seperti perilaku seorang bocah.

“Aku duga dia kesurupan dewata. Mustahil bisa melakukan itu. Dalam berbahasa dan berperilaku mengalahkan para tetua. Sikapnya sangat mengesankan ketika berhadapan dengan Sang Raja. Sungguh, sudah pasti dia calon bupati,” kata seorang punggawa.

“Dan lagi, kemampuannya sungguh menakjubkan. Mampu membuat pusaka keraton dengan sarana puja. Keris Jangkung Mangkurat dapat dia buat dengan cara apa, entahlah kita tidak tahu. Ini sungguh keajaiban dari dewata,” timpal punggawa lain.

Sementara itu Sang Raja sudah masuk ke dalam puri dan bertemu permaisuri.

Permaisuri berkata, “Duh Sang Raja, siapa bocah yang paduka gandeng ini?”

Sang Raja berkata, “Ketahuilah Dinda, bocah ini anak si Supasujana Tuban. Dia anak Supa dari istri putri Blambangan, anak Adipati Siunglaut. Dia ke Majapahit hendak mencari ayahnya. Namanya Jaka Sura. Umurnya baru tujuh tahun. Dialah yang telah membuat keris seperti yang aku kehendaki, keris berdapur Jangkung Mangkurat. Keris yang diminta Hyang Triyatra sebagai sarana keselamatan negeri Majapahit. Hai Mbok Ratu, anak ini biarlah tinggal di puri.”

Sang Raja kemudian berkata kepada Jaka Sura, “Hai Sura, jangan engkau pulang ke kotamu. Tetaplah di sini. Kelak engkau aku beri kedudukan dan kemuliaan. Sungguh seorang raja takkan ingkar janji.”

Jaka Sura menyembah dan menyatakan kesanggupan. Selama tinggal di puri permaisuri Ratu Dwarawati sangat mengasihinya. Jaka Sura seorang bocah yang sopan dan pandai membawa diri. Dia juga patuh dan setia, selayaknya orang mengabdi kepada raja.

Beberapa tahun berlalu. Jaka Sura sudah tumbuh menjadi remaja. Pada waktu itu Sang Raja mempunyai seorang putri bungsu yang sudah waktunya berumah tangga. Sang Raja bermaksud menikahkan putri bungsu dengan Jaka Sura. Sang Raja kemudian memanggil Patih Adipati Wahan.

Berkata Sang Raja, “Wahai Patih, ketahuilah. Aku ingin menikahkan putri bungsuku dengan si Sura anak Supa Tuban. Engkau persiapkan segala sesuatunya. Si Sura bawalah ke Kapatihan untuk memulai tatacara pernikahan. Undanglah para adipati, panewu dan seluruh punggawa Majapahit.”

Ki Patih menyatakan kesanggupan. Jaka Sura lalu dibawa ke Kapatihan. Sesampai di dalem Kepatihan para punggawa segera mempersiapkan acara pernikahan. Setelah temu pengantin kedua mempelai diarak keliling kota. Jaka Sura nai kuda yang berhias indah dengan pakaian yang mencolok. Raden Ayu memakai wahana tandu. Para kawula Majapahit berbondong menyaksikan arak-arakan pengatin yang seperti dewa turun ke dunia.

Setelah selesai acara temu pengantin Jaka Sura diberi kedudukan adipati di Jenu dengan nama Raden Adipati Surengrana. Sang adipati lalu memboyong sang istri ke Jenu. Para mantri dan panewu berbondong-bondong mengantar. Adipati Surengrana lestari memimpin Jenu sehingga menjadi kadipaten yang makmur. Adipati Surengrana cakap dan mumpuni sehingga hutan, desa-desa dan tanah yang angker dapat diberi penawar.

Raden Adipati Surengrana lalu memboyong sang ibu Retna Sugiyah yang masih berada di Sidayu. Sang ayah Pangeran Sendhang juga diminta datang ke Jenu. Rombongan penjemput sudah berangkat. Satu rombongan berangkat ke timur menuju Sidayu. Satu rombongan menuju ke Tuban di barat. Singkat cerita kedua orang tua sang adipati sudah berkumpul di Jenu. Raden Adipati Surengrana sangat bersuka cita. Kini terlaksana ditunggui kedua orang tua.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/19/sajarah-jati-19-jaka-sura-membuat-keris-dapur-jangkung-mangkurat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...