Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (23): Panglima Bintara Sunan Ngudung Gugur di Medan Perang

 Sunan Cirebon berkata kepada Sunan Ngudung dari Kudus, “Hai Kudus, apa engkau sanggup melawan Adipati Terung?”

Sunan Ngudung dari Kudus berkata, “Saya sanggup melawan Pecattanda dari Terung. Siang malam saya tidak takut bila memakai Antrakusuma. Sangat besar pengaruhnya. Walau dikeroyok berjuta prajurit Majapahit, saya tak takut bila memakai pakaian Sultan Antrakusuma.”

Adipati Natapraja segera menabuh tanda perang. Para perwira perang telah dipanggil; Kyai Ageng Getaspandawa, Ngabei Anggaranu dan Ki Suranata yang memakai sorban putih. Pagi hari pasukan Bintara sudah bersiap. Kangjeng Sunan Kudus sudah memakai baju Kyai Antrakusuma dan sorban ungu, serta berkaos kaki tinggi. Penampilannya tampak seperti malaikat pencabut nyawa. Tiga ribu prajurit santri sudah bersenjata. Segera berangkat ke medan perang. Kangjeng Sunan Kudus naik kuda. Bergemuruh suara prajurit selama perjalanan. Mereka selalu melantunkan shawalat. Bedug dan terbang terus dipukul sepanjang jalan. Empat santri memandu mendendangkan lagu.

Di markas pasukan Majapahit, Adipati Terung bersiap memukul perang. Waktu dua hari yang diberikan kepada sang kakak telah lewat tanpa ada kabar beritanya. Adipati Terung sudah mantap hendak memukul Bintara. Mendadak datang seorang prajurit yang melapor bahwa pasukan Bintara sudah datang dipimpin seorang wali memakai sorban ungu dan berpayung putih dihias benang emas. Kaget sang adipati, bergegas memberangkatkan pasukan.

Prajurit Majapahit dan pasukan Bintara sudah berhadap-hadapan. Tidak lama kemudian pertempuran pun pecah. Kedua pasukan sama-sama berani. Tombak-tombak telah beradu. Setelah seharian bertempur panglima Bintara Sunan Kudus terluka di dada lalu gugur. Pasukan Bintara mundur karena panglimanya tewas. Pasukan Majapahit tidak mengejar karena hari menjelang malam.

Pasukan Binta segera melapor kepada Adipati Natapraja dan para wali bahwa Sunan Ngudung gugur di medang perang. Para wali heboh. Bersama-sama mereka membaca shalawat dan memanjatkan doa.

Kangjeng Sunan Benang berkata, “Nak Sunan Ngudung rupaya takabur karena memakai baju Antrakusuma sehingga kurang hati-hati. Walau telah memakai baju Antrakusuma sehatusnya tetap berhati-hati. Ujub dan riya’ tidak boleh. Sudah ada banyak contoh. Seperti ketika perang Uhud. Kaum muslim merasa unggul karena musuh sudah terdesak. Mereka hilang kewaspadaan sehingga musuk berbalik menyerang. Hamzah paman Kangjeng Nabi gugur. Nak Sunan Ngudung tidak ingat, meski memakai baju Antrakusuma bukan berarti lolos dari takdir. Namun kita hatus bersyukur Nak Sunan Ngudung gugur sebagai syuhada yang berjuang fi sabilillah. Sungguh pahalanya besar.”

Raden Adipati Natapraja berkata, “Sekarang siapa yang harus menggantikan sebagai panglima Bintara? Apakah saya sendiri yang harus maju ke medan perang?”

Sunan Benang berkata, “Sekarang tatalah dahulu para prajurit Bintara. Besarkan hati mereka agar kembali berani perang. Namun jangan engkau sendiri yang maju. Siapa yang  nanti akan menjadi panglima, serahkan pada para wali.”

Jenazah Sunan Ngudung lalu dipulasara dan dimakamkan di sebelah barat masjid agung Demak. Sebagai pengganti panglima Bintara para wali menunjuk putra Sunan Ngudung yang bernama Bagus Kusman. Sudah diwisuda menjadi wali menggantikan sang ayah dan memakai nama Sunan Kudus.

Sunan Benang berkata kepada Bagus Kusman, “Hai anakku, engkau mendapat kepercayaan para wali.”

Bagus Kusman berkata, “Saya siap, paduka.”

Pada malam Jum’at para wali bersidang di masjid Demak. Raden Adipati Natapraja, Kyai Ageng Getaspandawa, Ki Wanasalam dan Sunan Kudus yang baru diangkat sudah hadir.

Syekh Maulana Maghrib berkata, “Bagaimana agar kita unggul dalam perang. Banyak perwira Majapahit yang tangguh dan perwira dalam perang. Walau seluruh orang di Bintara dikerahkan kita masih kalah jauh dari mereka. Ibarat satu dibanding seratus kekuatan kita dibanding Majapahit. Prajurit kita banyak yang tidak terlatih. Panglima kita sudah gugur sehingga banyak prajurit merasa ciut hatinya.”

Kangjeng Sunan Benang menyambung, “Dalam perang ini hanya ada dua langkah yang bisa kita lakukan. Pertama, pasrah atas segala kehendak Tuhan Yang Agung. Kedua, memasang sarana agar kekuatan musuh kendur. Nak Kalijaga sebaiknya pergi ke Majapahit untuk melakukan itu dengan cara menyamar. Adapun terhadap pasukan kita, aku serahkan kepada empat orang untuk memberi mereka semangat. Pertama, panglima perang yang baru Nak Sunan Kudus. Kedua Suranata, Ketiga Ki Getaspandawa, dan keempat Ki Anggaranu. Kita serahkan kepada keempatnya untuk membentuk pasukan yang kuat.”

Keempat orang menyatakan kesanggupan. Walau hancur menjadi debu di medan perang mereka telah siap.

Sunan Benang berkata, “Baiklah, sekarng kalian mundur untuk mempersiapkan diri. Nak Kalijaga, segera engkau berangkat ke Majapahit untuk memasang sarana agar kita unggul dalam perang.”

Sunan Kalijaga menyatakan kesanggupan. Segera berangkat ke arah timur menuju kota Majapahit tanpa teman. Tempat yang pertama dituju adalah kediaman Ki Supa atau Pangeran Sendhang. Pada waktu itu Ki Supa sedang berada di rumah.

Ki Supa bergegas sungkem kepada Kangjeng Sunan. Mereka kemudian duduk nyaman dan berbincang.

Kangjeng Sunan berkata, “Hai Supa, kedua anakku undanglah. Katakan ada pekerjaan penting. Jangan sampai ada orang lain yang tahu.”

Ki Supa sudah tanggap maksud Kangjeng Sunan. Segera Ki Supa mengirim siswanya untuk memanggil kedua anaknya dari Jenu dan Guling. Si utusan sudah sampai dan kembali membawa kedua putra Ki Supa.

Kangjeng Sunan Kalijaga berkata, “Ketahuilah, sudah dekat datangnya ramalan bahwa pusat tanah Jawa akan berpindah dari Majapahit. Tinggal beberapa hari lagi hal itu akan terjadi. Peristiwa itu sudah diramalkan para guru, pendeta, resi dan para wali. Negeri Majapahit akan berganti menjadi negeri Islam. Maka dari itu, sebaiknya engkau Ki Supa beserta istri dan anak-anakmu segera pergi dari Mahapahit. Jangan tinggal di sini karena akan ada perang besar. Bawalah anak istrimu ke Mataram. Kelak Mataram akan menjadi sebuah negeri. Sekarang masih berupa hutan. Kalian buka pemukiman di sana. Yang kedua, aku ke Majapahit hendak memasang azimat agar Sang Raja segera lengser dari tahta Majapahit. Ki Supa, antarkan aku ke tempat yang baik untuk menanam zimat.”

Pada malam hari Kangjeng Sunan diiringi Ki Supa memasang azimat di beberapa tempat. Lima penjuru sudah dipasang, lalu satu di pasang di tengah, tepat di antara dua pohon beringin alun-alun Majapahit. Menjelang pagi pemasangan azimat sudah selesai. Kangjeng Sunan dan Ki Supa kembali ke rumah Ki Supa. Kedua putra Ki Supa telah menunggu.

Kangjeng Sunan Kalijaga berkata kepada Ki Surengrana, “Hai Adipati Jenu, engkau sudah masyhur dapat mengolah besi dari baitul makmur. Coba buatkan aku sebuah keris yang pantas untuk aku sandang. Terserah bagaimana bentuknya.”

Ki Surengrana menyatakan kesanggupan, lalu mengheningkan cipta. Kedua tangan bersidekap dan pancaindera ditutup. Lalu besi baja dipegang dan dilipat menjadi sebuah keris luk tiga. Keris itu bergandik panjang, ada greneng, kembang kacang dan lambe gajah. Bilah keris tampak merah kehijauan.

Kangjeng Sunan berkata, “Ini keris dapur apa?”

Surengrana berkata, “Terserah paduka, hamba tidak tahu. Hamba hanya mencocokkan dengan perintah paduka.”

Kangjeng Sunan berkata, “Keris ini berdapur Kebo Lajer. Aku beri nama keris ini Maesa Panular. Sekarang buatkan lagi sebuah kendali kuda dari besi seperti ini.”

Ki Surengrana menyatakan kesanggupan. Tangannya kembali diputar dan sekelebat sudah muncur sebuah kendali kuda. Oleh Kangjeng Sunan kendali itu diberi nama Kyai Macan Guguh. Kelak kendali ini juga akan menjadi pusaka para raja di tanah Jawa.

Kangjeng Sunan berkata, “Ki Supa, aku pamit kembali ke Demak. Kalian tinggallah dengan selamat.”

Dalam sekejap Kangjeng Sunan sudah hilang dari pandangan. Sunan Kalijaga langsung menuju Demak. Pada waktu itu Raden Adipati Natapraja sedang mempersiapkan pasukan. Melihat Kangjeng Sunan datang Raden Adipati duduk dan memberi hormat.

Kangjeng Sunan berkata, “Nak Adipati, segera berangkatkan pasukan. Jangan khawatir, di tempat musuh sudah aku beri sarana. Empat penjuru dan satu pusat sudah aku tanam azimat. Sudah pasti Prabu Brawijaya akan lengser dari kedatonnya. Dan lagi, aku beri kalian pusaka berupa kendali kuda. Kendali ini bernama Kyai Macan Guguh.”


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/21/sajarah-jati-23-panglima-bintara-sunan-ngudung-gugur-di-medan-perang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...