Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (25): Prabu Brawijaya Muksa Bersama Seluruh Keluarga

Kyai Empu Supasujana memanggil kedua putranya, Ki Anom bupati Guling dan Ki Surengrana bupati Jenu. Keduanya sudah berkumpul di kediaman Ki Supa atau Pangeran Sendhang.

Berkata Ki Supa, “Nah, anak-anakku, ayo kalian aku bawa ke tanah Mataram. Kita patuhi pesan Kangjeng Sunan Kalijaga.”

Ki Anom menyatakan kesanggupan, tapi Ki Surengrana tidak mau ikut.

Berkata Ki Surengrana, “Saya tidak ikut. Bila yah sekarang hendak menyingkir, saya doakan selamat. Saya juga minta doa restu agar selamat di sini.”

Ki Supa lalu membawa istri dan Ki Anom pergi ke Mataram. Pada waktu malam mereka berangkat. Para siswa dan pembantu banyak yang ikut serta. Hanya Ki Surengrana saja yang tertinggal. Ki Surengrana lalu masuk ke kedaton Majapahit bergabung dengan para punggawa. Sang Raja sangat gembira melihat kedatangan Adipati Surengrana.

Berkata Sang Raja, “Surengrana, engkau keluarkan budidayamu untuk mengusir para santri.”

Ketika Sang Raja dan Ki Surengrana sedang berbincang datang laporan yang menyebut bahwa Pangeran Sendhang dan istri telah meninggalkan kota. Kepergiannya banyak diikuti para siswa dan pelayannya. Ki Adipati Guling juga ikut pergi. Sang Raja sangat marah mendengar laporan itu.

Sang Raja lalu menjatuhkan larangan, “Kelak, seorang raja tidak boleh mengambil tukang pandai besi sebagai menantu!”

Sabda Sang Raja disambut kilatan halilintar di angkasa. Maka sejak saat itu sampai sekarang tidak ada lagi pandai besi menjadi bupati.

Pagi hari berikutnya, Ki Patih Wahan sudah memerintahkan agar sisa prajurit Majapahit berbaris di alun-alun. Hati ini mereka akan melakukan perang habis-habisan untuk mengusir pasukan santri yang mengepung kota. Namun Ki Patih kaget karena jumlah prajurit yang terkumpul sangat sedikit. Ki Patih merasa pasukan Majapahit tak sebanding dengan besarnya pasukan musuh. Ki Patih merasa ciut hatinya.

Para punggawa berkata, “Ki Lurah, sebaiknya kita pilih bagian yang terkuat musuh lalu kita serang. Tidak usah dipikirkan siapa panglima perang kita. Kita semua maju bersama-sama dan berperang sampai tetes darah terakhir. Tidak usah kita pikirkan harta dan sanak keluarga kita. Apa lagi yang kita takutkan. Bila kita semua tewas sungguh akan menemui kemuliaan di alam baka. Kita akan disambut Hyang Otipati dan diganjar surga sebagai ksatria yang gugur dalam medan perang.”

Ki Patih Adipati Wahan mendengar pernyataan para punggawa menjadi bangkit keberaniannya. Bersama Adipati Terung Ki Patih berganti pakaian dan memakai hiasan bunga sebagai tanda siap mati. Para prajurit Majapahit yang tersisa sudah pasrah hidup mati kepada Hyang Dwandakala. Tidak ada lagi yang menoleh ke belakang.

Pasukan Majapahit bergerak mendekati pasukan Bintara yang mengepung kota. Hanya tinggal 300 prajurit yang tersisa. Sebelum bertempur mereka meletakkan senjata dan mengheningkan cipta. Tampak dalam angan mereka indahnya surga. Para bidadari sekan memanggil mereka untuk segera masuk. Para prajurit kembali meraih senjata mereka dan menerjang barisan pasukan Bintara.

Pasukan Bintara menahan serangan terakhir pasukan Majapahit dengan tangguh. Ibarat satu banding seratus. Satu persatu prajurit Majapahit bertumbangan. Ketika hari menjelang sore yang hidup tinggal Adipati Terung yang meratapi mayat-mayat prajuritnya. Pasukan Bintara kembali ke barak mereka.

Di kedaton Majapahit, Prabu Brawijaya malam itu memerintahkan kepada juru tulis untuk menuliskan sastra dalam bahasa Sanskerta pada sebuah batu dan diberi sengkalan tahun. Isinya berupa kisah dari awal sampai akhir Majapahit yang berusia 120 tahun.

Sang Raja terkakhir agama Buddha lalu berkata kepada Ratu Dwarawati, “Ketahuilah, aku hendak pergi ke alam Tejamaya, ke kahyangan Bethara Indra. Anakumu Bondhan Surati aku ajak serta. Adapun dirimu tidak boleh ikut karena batinmu Islam. Nah, engkau keluarlah dan pergilah ke Genthan. Semoga mendapat petunjuk Tuhan.”

Sang Ratu menjerit dan sungkem ke kaki Sang Raja sambil berkata, “Duhai paduka, di dunia sampai alam Tejamaya saya ingin tetap mengabdi paduka. Tak bisa hamba paduka tinggalkan sendirian.”

Sang Raja berkata, “Itu bukan yang aku kehendaki. Jangan engkau mengganggu perjalananku ke Endralaya. Petunjuk dewata takkan berubah walau serambut pun. Kelak engkau akan mendapat jodoh sesama Islam dan menjadi wali. Engkau tak bisa mencegahku.”

Pada malam Kamis Legi, wuku Julungkembang, Hyang Pramesti berkenan membuka pintu langit. Sang Raja berdiri bersiap berangkat.

“Dinda, segeralah keluar menuju Genthan,” kata Sang Raja kepada permaisuri Dwarawati.

Ratu Dwarawati keluar dari pura. Sang Raja bersama para putra mengucap mantra dan mengheningkan cipta. Segera mereka melesat ke alam Tejamaya. Semua isi kedaton tak ada yang tersisa. Mereka sama sekali tak merasakan kematian, yang ada kehidupan penuh nikmat di surga. Yang tertinggal kini hanya Ratu Dwarawati.

Pagi hari, Adipati Pecattanda terbangung di antara tumpukan mayat prajurit Majapahit. Mendapati dirinya masih hidup, Adipati Pecattanda merangkak perlahan-lahan. Dengan mengendap-endap supaya tak terlihat orang, Adipati Terung meninggalkan medan perang. Dia ingin segera sampai di kedaton dan melapor kepada Sang Raja. Namun ketika sampai di kedaton dia mendapati seisi istana telah raib. Gedung Prabasuyasa telah lenyap. Gedung pusaka beserta isinya tak tampak lagi. Namun gedung harta masih terlihat. Adipati Pecattanda mengubres seisi istana, barangkali masih mendapati orang yang tertinggal. Ketika sampai di Genthan dia mendapati permaisuri Ratu Dwarawati duduk sambil menangis. Beberapa pelayan mendampingi sang ratu.

Ratu Dwarawati masih terduduk meratapi kepergian Sang Raja Prabu Brawijaya. Semua kenangan hadir kembali. Sejak awal mula kedatangannya di Majapahit dari negeri Cempa. Semua seperti mimpi, kini dia mendapati dirinya sendiran. Sungguh sang permaisuri sangat bersedih karena tidak dizinkan ikut ke alam baka.

Adipati Pecattanda mendekati permaisuri dan berkata, “Duh Kangjeng Ratu, janganlah bersedih karena semua yang terjadi sudah kehendak dewata. Kita hanya sekadar menjalani. Sudah lazim bila kalah perang semua wanita menjadi boyongan. Paduka seorang wanita, tidak mampu berperang. Jadi tidak ada lagi yang dapat paduka lakukan sekarang. Sebaliknya, hamba sangat bersedih mendapati diri hamba hidup sendirian. Hamba seorang prajurit dan sudah diberi kedudukan adipati. Namun, ketika negeri ini sirna hamba masih hidup. Sungguh hamba akan menjadi bahan tertawaan orang seluruh negeri. Hidup hamba serasa sampah.”

Ketika keduanya sedang berbincang mendadak Sunan Kudus masuk ke puri bersama Kyai Getaspandawa, Ki Suranata dan Ki Anggaranu. Mereka mencari boyongan dan harta benda serta pusaka Majapahit. Harta benda berhasil mereka kumpulkan, tapi pusaka-pusaka Majapahit tak mereka temukan. Gedung pusaka telah kosong. Gong Kyai Sekardelima juga ikut raib. Sunan Kudus lalu masuk ke Genthan dan mendapati seorang lelaki muda bersama beberapa wanita.

Sunan Kudus bertanya, “Hai manusia, siapa namamu? Engkau masih muda mengapa berada di puri? Dan wanita cantik ini istri siapa?”

Arya Pecattanda menjawab bengis, “Hai Santri, jangan engkau pura-pura tak tahu. Aku Pecattanda dari Terung. Walau telah kalah, sekalian aku akan membela kawan-kawanku.”

Arya Pecattanda memutar keris Segarawedang dan berusaha menghunusnya. Namun Kyai Segarawedang tak mau keluar dari sarungnya.

Sunan Kudus berkata, “Hai Dinda, kedatanganku ke sini diutus kakakmu Adipati Natapraja di Bintara. Engkau dipanggil menghadap segera bersamaku. Engkau menjadi wakil Sang Raja untuk menyerahkan kedaton Majapahit. MEngapa engkau menganggu perjalananku? Sudah lazim orang menang perang membawa boyongan dan jarahan. Jika engkau hendak berbela kepada kawan-kawanmu, sungguh itu tanpa guna. Lebih baik engkau menyerah dan bergabung dengan kakakmu. Sudah banyak contoh orang kalau perang mengabdi kepada yang menang. Engkau jangan salah paham. Para wali tetap menjalani jalan keutamaan seperti Budha, tapi hanya berganti nama. Agama Islam juga mengajarkan jalan keutamaan. Allah itu sejatinya satu. Kalian menyebutnya Hyang Otipati. Sesungguhnya tidak ada penguasa jagad yang lain. Kalian mempunyai surga, kami mempunyai alam akhirat yang kekal.  Jadi apa keberatanmu mengikuti ajaran kami? Kami mendasarkan hidup pada syari’at nabi yang mengajarkan kemuliaan hidup di alam akhirat. Jadi apa bedanya? Nah Dinda, ikutlah denganku sekarang ke Bintara. Kakakmu sudah menunggu! Ingatlah masa-masa dulu ketika kalian berangkat bersama-sama dari Palembang. Kalian menderita dalam perjalanan. Sekarang kalian telah hidup mulia. Kakakmu sebentar lagi akan menjadi raja di tanah Jawa. Jadi mengapa engkau tidak bergabung?”

Adipati Terung ketika mendengar ucapan Sunan Kudus yang lembut dan bersahabat seketika luluh. Ingatannya kembali melayang ke masa-masa puluhan tahun lalu. Saat itu dia bersama sang kakak Raden Patah berangkat bersama-sama dari Palembang. Lalu mampir di Cirebon menemui Pangeran Modang. Tanpa terasa air mata Arya Pecattanda mengalir deras.

Arya Pecattanda berkata pelan, “Duh Kanda Pangeran Kudus, saya menurut perkataan Anda. Saya sadar bermusuhan dengan saudara tidak baik. Saya sangat menyesal. Sekarang Majapahit tempat saya mengabdi sudah sirna. Sudah semestinya saya menggantungkan hidup kepada kakakku.”

Sunan Kudus berkata, “Baiklah Dinda. Kita berangkat ke Bintara. Namun aku ingin tahu, siapa wanita cantik ini?”

Arya Pecattanda berkata, “Inilah permaisuri Majapahit, Kangjeng Ratu Dwarawati. Beliau tidak ikut muksa karena beliau menganut ajaran Islam. Sekarang terserah paduka, bagaimana selanjutnya.”

Sunan Kudus berkata, “Jika demikian pasti Adipati Natapraja akan sangat gembira karena sang ibu selamat. Nah, marilah Kangjeng Ratu, kita berangkat ke Bintara. Putra paduka pasti sangat bersyukur paduka berkenan datang ke Bintara. Kangjeng Ratu ingin naik apa?”

Kangjeng Ratu menjawab pelan, “Terserah Anda.”

Kangjeng Ratu lalu dinaikkan ke tandu. Adipati Pecattanda naik kuda. Rombongan segera berangkat ke Bintara. Semua harta benda jarahan sudah dibawa serta. Juga para wanita yang tidak ikut muksa bersama Prabu Brawijaya. Adapun perwira Majapahit beberapa menjadi tawanan. Mereka yang masih hidup adalah; Kanduruan Kyai Bobos, Pangalasan Arya Simping, Ki Buyut Tejamantri, Demang Blagedur Ki Sumbul dan Pandlegan Arya Tiron. Mereka telah menyatakan bersedia masuk Islam.

Selain para pembesar prakurit, banyak prajurit Majapahit yang juga menyerah. Sejumlah 2.000 prajurit yang ketakutan dan berceceran sepanjang jalan telah berkumpul. Mereka ingin segera menyerah kepada putra Sang Raja yang sudah lama memisahkan diri di luar negeri. Ketika Sang Raja sudah hengkang dari keraton, konon berpindah ke gunung Lawu dan bergelar Sunan Lawu. Namun sudah masuk ke alam gaib.

Prabu Brawijaya berputra sepuluh orang. Putra sulung adalah seorang putri yang menikah dengan Adipati Andayaningrat Pengging. Yang kedua, Arya Damar yang menjadi adipati di Palembang. Ketiga, Raden Adipati Natapraja yang akan segera menjadi raja. Keempat, Raden Bondan Kajawan yang tinggal di desa Tarub. Kelima seorang putra yang bergelar Batara Katong. Keenam, Kangjeng Pangeran Adipati Bondan Surati, ikut muksa sang ayah. Ketujuh, Raden Jaran Panolih. Kedelapan Raden Guntur yang tinggal di Bali. Kesembilan seorang putri yang menjadi istri Ki Supa Anom di Guling. Kesepuluh seorang putri yang menjadi istri Ki Jaka Sura bupati Jenu.

Para putri boyongan sudah sampai di kota Bintara. Sang Retna Dwarawati sudah masuk ke puri belakang, para wanita mengikutinya. Sudah disambut istri Raden Adipati Natapraja, putri Sunan Ampel. Sang Adipati pun sangat hormat kepada Ratu Dwarawati meski ibu tiri.

Raden Adipati Natapraja lalu keluar menemui Adipati Terung dan para pembesar Majapahit. Raden Adipati Natapraja menyambut sang adik. Sang adik menghaturkan sungkem.

Adipati Pecattanda berkata, “Kanda, saya beritahukan kepada paduka. Dulu sewaktu mendapat perintah melawan para wali, saya diberi pusaka oleh Sang Raja berupa keris Kyai Segarawedang. Keris berdapur seribu inilah wujudnya. Saya sekedar membawanya. Sekarang saya serahkan kepada paduka sebagai pewaris negeri.”

Keris sudah diterima Raden Adipati Natapraja, lalu dihunus dan diperiksa dengan seksama.

“Aku terima Dinda, semoga semua mendapat pertolongan Tuhan,” kata Adipati Natapraja.

Sang Adipati lalu memberi selamat kepada para pembesar Majapahit yang baru saja menyerah. Mereka telah menyatakan tunduk dan pasrah atas segala yang akan terjadi pada mereka. Bila akan dibunuh pun tidak menolak.

Raden Adipati Natapraja berkata, “Jika musuh menyerah maka menjadi larangan untuk membunuhnya. Aku ingin bertanya apakah kalian bersedia masuk agama Islam mengikuti syari’at Rasul?”

Para pembesar Majapahit bersahutan menyatakan bersedia. Raden Adipati lalu memerintahkan kepada Ki Patih Wanasalam untuk membawa mereka ke hadapan para wali. Secara bersama-sama dibimbing para wali semua mengucap kalimat syahadat. Kemudian mereka diberi bimbingan ilmu agama oleh para santri di beberapa desa. Di desa Mersan ditempatkan Kasanreja. Kasanmunangin di desa Dawi. Kasanwiradi di desa Butuh. Dan di desa Pundhong ditempatkan Mustakim. Mereka diajarkan zikiran empat macam. Zikir Satariyah, zikir Satari Alip, zikir Allah dan zikir Naqsabandiyah dengan menyebut hu, hu, hu.

Semua punggawa Majapahit yang menyerah telah masuk Islam. Mereka semua kemudian diberi pakaian santri. Jubah, peci dan berbagai pakaian lain seperti yang dipakai penduduk Bintara.

Pada kesempatan itu Sunan Kudus juga menyerahkan harta benda jarahan dari kedaton Majapahit. Permata, emas, perak berdacin-dacin ditumpuk di pendapa Kadipaten Bintara. Adipati Natapraja kemudian menemui para wali untuk menyerahkan harta jarahan tersebut. Juga nasib Adipati Terung dan permaisuri Ratu Dwarawati.

Sunan Benang berkata, “Hai Nak Adipati, karena sekarang kerajaan Majapahit sudah lenyap, sebaiknya engkau segera berdiri menjadi raja di tanah Jawa. Hanya engkau yang pantas untuk mengelola tanah Jawa. Lagipula engkau menjadi ahli waris dari raja terdahulu. Lalu setelah engkau menjadi raja buatlah peraturan berkaitan dengan segala hal. Pengangkatan para wali dan ulama, pembentukan angkatan perang dan pengangkatan para punggawa negeri. Maka tetapkanlah hari apa engkau akan mengadakan acara pengangkatan tersebut. Tanyakan kepada para guru untuk mempersiapkan segala sesuatunya.”

Raden Adipati menyatakan kesanggupan. Segera memanggil juru emas untuk membuat singgasana dan berbagai peralatan upacara keraton. Ada banyak dalang, sawunggaling, ardawalika dan lain-lain sebagai simbol negeri. Juga payung dan pakaian resmi kerajaan. Beberapa hari kemudian peralatan upacara yang diperlukan sudah siap.

Pada hari yang ditentukan penobatan akan dimulai. Adipati Natapraja duduk di kursi menghadap ke selatan. Para calon-calon punggawa dan Arya Pecattanda duduk di sebelah kiri menghadap ke barat. Para wali duduk di sebelah kanan menghadap ke timur. Singgasana sudah dipersiapkan dengan dipayungi payung gilap lengkap dengan segala peralatan upacara.

Kangjeng Sunan Benang lalu membawa surat peraturan yang diambil dari negeri Majapahit. Beberapa aturan zaman Budha masih akan dilestarikan untuk menjaga kesinambungan pemerintahan.

Kangjeng Sunan lalu berkata, “Wahai segenap yang hadir, baik para pembesar maupun kawula tanah Jawa. Saksikanlah, para wali dan para guru sudah sepakat bahwa Adipati Natapraja sekarang menggantikan kedudukan sebagai raja di Bintara yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan gelar Sultan Adi Natapraja.”

Para wali dan para guru menyambut dengan doa dan restu. Ki Pengulu kemudian membaca doa-doa. Semua mendukung dengan ikut mengucap amin. Setelah doa selesai dipanjatkan, Sultan dipersilakan duduk di singgasana emas. Payung kebesaran kemudian dikembangkan. Para wali bergiliran bersalaman dengan raja yang baru. Lalu disusul para punggawa dimulai dari Patih Wanasalam, Ki Pengulu Iman Semantri, Arya Pecattanda, dan jaksa serta para bupati.

Kangjeng Sunan Benang lalu membacakan janji pernyataan raja yang baru. Isinya berupa empat pernyataan. Pertama, raja diberi kuasa tapi bukan miliknya pribadi, semua milik Allah yang Maha Kuasa. Kedua, raja diberi kewajiban memutuskan hukuman. Ketiga raja diberi wewenang mengelola harta negara. Keempat raja harus mampu mengelola negeri.

Sultan lalu memberi Ki Patih Wanasalam kedudukan Adipati dan lestari menjadi patih di Kasultanan Bintara. Kemudian kepadanya dibacakan tugas dan janji seorang patih. Ada lima belas macam. Sunan Benang lalu membacakan janji seorang patih. Setelah dibaca surat perjanjian kemudian diserahkan kepada Patih Adipati Wanasalam.

Sultan Adi Natapraja kemudian mewisuda Kyai Pengulu sebagai pengulu Kasultanan. Ada dua puluh janji yang harus dipatuhi. Jaksa Ki Iman Semantri juga diangkat kembali sebagai jaksa negara dengan janji sejumlah tiga puluh dua. Semua punggawa baru sudah sepakat dan menyimpan pernjanjian masing-masing.

Sulan Adi Natapraja berkata, “Wahai Patih, aku putuskan Dinda Pecattanda lestari menjadi adipati di Terung. Dan kepadanya aku beri tugas menaklukkan wilayah timur. Mana saja negeri yang tidak mau tunduk aku beri kepadanya wewenang untuk menghukum.”

Adipati Terung menyatakan kesanggupan. Semua punggawa yang hadir siap melaksanakan perintah Sultan. Kemudian jamuan dikeluarkan. Setelah didahulu doa para yang hadir menikati jamuan. Rangkaian acara penobatan selesai. Sultan kembali ke dalam puri. Para wali dan para punggawa membubarkan diri kembali ke tempat masing-masing.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/21/sajarah-jati-25-prabu-brawijaya-muksa-bersama-seluruh-keluarga/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...