Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (26): Adipati Pecattandha Lestari Berkuasa di Kadipaten Terung

 Sultan Bintara berkehendak memuliakan sang ibu Kangjeng Ratu Dwarawati. Sultan lalu meminta agar sang ibu bersedia menikah lagi. Yang ditunjuk sebagai suami adalah Kangjeng Sunan Kudus, seorang wali yang masih muda usia. Walau Kangjeng Ratu Dwarawati sudah sepuh, tidak jadi soal. Pada zaman dahulu ada contoh kejadian seperti itu, yakni Siti Wuryan di tanah Ajam.

Sunan Kudus mempunyai adik perempuan bernama Retna Salamah. Oleh Sultan kemudian dinikahkan dengan Adipati Pecattanda dari Terung. Pernikahan kedua pengantian dilaksanakan bersamaan. Kedua pengantin sudah hidup berumah tangga dengan rukun.

Kangjeng Sultan kemudian berkata kepada Adipati Terung, “Dinda, engkau pulanglah ke negerimu. Wilayah di kanan kiri Terung ajaklah masuk Islam. Dan perintahkan agar mereka menghadap ke Bintara. Bila ada yang melawan selesaikanlah. Istri ajaklah serta pulang ke Terung. Adapun para mantri dari Majapahit, mana yang engkau kehendaki bawalah serta menjadi punggawamu. Adapun barang peninggalan ayah Prabu Brawijaya, aku ingin memakai bale witana sebagai tempat pisowanan luar. Agar berkah negeri besar Majapahit membuat Bintara bersinar kelak. Lalu bangsal pengrawit akan aku jadikan serambi. Sudah hanya itu pesanku. Pulanglah engkau segera ke Terung.”

Adipati Terung menyatakan kesanggupan. Segera kembali ke pondokan untuk bersiap. Pagi hari berikutnya sang adipati kembali menghadap Sultan untuk minta pamit. Sang kakak Sunan Kudus juga memberi restu dan doa selamat.

Singkat cerita Raden Arya Pecattanda sudah sampai di Terung. Para abdi menyambut kedatangan tuan mereka. Para tetua di Terung juga ikut menyambut. Mereka tak mengira masih akan bertemu setelah Majapahit sirna. Ki Adipati segera menata kembali para punggawa dan pasukan. Sudah terkumpul prajurit sejumlah 5000 orang.

Sementara itu, Kangjeng Sunan Kalijaga mengunjungi Bintara dan bertemu Sultan Adi Natapraja. Pada waktu itu Sultan sedang duduk sendirian di pendapa. Sultan menyambut kedatangan Sunan Kalijaga dan mempersilakan duduk.

Sunan Kalijaga berkata, “Anakku, keraton Bintara semaki makmur dan masyhur. Tidak ada lagi yang mengimbangi kekuasaanmu di tanah Jawa. Namun aku menyimpang kekhawatiran terhadap negeri Blambangan. Setelah Majapahit surut adipati Blambangan punya niat menjadi raja dan menguasai tanah Jawa. Mereka percaya diri karena mempunyai dua pusaka kembar berupa keris Kyai Sangkelat. Keris itu buatan Empu Supa. Mereka sudah mulai memperluas wilayah dengan menaklukkan wilayah sekitar, mulai Bandawasa, Lumanjang, Kraksan, Puger sampai Prabalingga. Maka dari itu segeralah bertindak. Ambillah kedua keris dengan cara halus. Namun bila mereka melawan segera pukul dengan perang. Juga aku memberi tahu kepadamu bahwa di Mataram hidup Ki Supa atau Pangeran Sendhang. Dia adalah wali yang tekun beribadah di Mataram karena mengikuti nasihatku. Istrinya adalah adikku si Rasawulan. Dulu ketika Majapahit akan kita serang dia aku minta meninggalkan negeri dan hidup di Mataram. Dia seorang empu yang mumpuni. Maka sebaiknya engkau panggil agar membantumu sebagai aparat negara. Nah, anakku, cukup itu pesanku. Aku hendak meneruskan perjalanan.”

Dalam sekejap Sunan Kalijaga sudah menghilang. Sultan lalu masuk ke puri dan memberi perintah kepada dua mantri untuk pergi ke Mataram. Mereka ditugaskan membawa Ki Supa dan anak istrinya. Setiap hari mereka membuat keris dan senjata.

Ki Supa sudah berhasil di bawa ke Bintara dan dihadapkan kepada Sultan. Sultan menerima kedatangan Ki Supa sekeluarga. Ki Supa kemudian diberi rumah dan tanah. Ki Supa sangat bersyukur dapat mengabdi di Bintara.

Pada suatu hari Sultan bertahta di hadapan para punggaa. Ki Patih, jaksa dan pengulu telah hadir. Juga para bupati dan panewu.

Sultan berkata kepada Ki Patih, “Bagaiman pendapatmu, aku ingin mengirim utusan ke Blambangan untuk mengambil dua bilah keris dhapur Sangkelat dari tangan Adipati Siunglaut. Jika tak diberikan akan aku  pukul perang. Hai Patih, siapa yang seyogyanya berangkat?”

Ki Patih berkata, “Si Ngabei Tohjaya dan Tohjiwa mampu melaksanakan tugas itu, paduka. Mereka luwes dalam bicara dan cakap.”

Ngabei Tohjaya dan Tohjiwa sudah diberi perintah. Sang Raja lalu meminta juru tulis segera membuat surat. Setelah surat selesai lalu diserahkan kepada kedua utusan. Kedua punggawa Bintara segera berangkat.

Sementara itu Adipati Terung telah melaksanakan tugas yang diberikan Kangjeng Sultan. Wilayah sekitar Terung telah diajak untuk bergabung ke Bintara. Yang menolak segera dipukul perang. Harta mereka dijarah dan para wanitanya diboyong. Semua harta rampasan dan boyongan kemudian dikirim ke Bintara. Sultan sangat bersukacita melihat hasil pekerjaan Adipati Terung. Sang Adipati semakin bersemangat menaklukkan wilayah. Tempat-tempat yang jauh pun sudah tunduk, Ponorogo, Trenggalek, Ngrawa, Kediri, Brebeg, Kartasana, Malang, Gembong, Bangil, Gresik, Lamongan, Japan, Surabaya dan Madura. Semua wilayah tadi sudah tunduk dan menyerahkan upeti kepada Sultan Adi Natagama di Bintara.

Kembali ke dua utusan yang dikirim ke Blambangan. Mereka berdua sudah sampai di Blambangan dan dibawa menghadap Adipati Siunglaut pada hari pisowanan. Para punggawa hadir ketika sang adipati menerima surat dari Bintara. Surat sudah dibaca sang adipati dengan seksama.

Isi suratnya: “Surat dari Sultan Natagama di Bintara, yang perkasa dan menguasai tanah Jawa tiada duanya. Perintahku kepadamu Adiapti Siunglaut di Blambangan. Aku mendengar engkau memiliki dua keris kembar yang sama persis. Kerismu aku minta. Kirimkan ke Bintara pada hari ini. Dan, aku mendengar Paman Siunglaut berdiri menjadi raja di Blambangan. Bila benar demikian, aku tak memberi izin. Kecuali jika negeri yang Paman pimpin tunduk ke Bintara dan mengirim upeti. Jika Paman bersikeras, aku akan menjatuhkan hukuman. Silakan memperkuat benteng dan melapisinya dengan baja karena pasukanku akan datang. Tamat isi surat, tertanggal 8 Sura, tahun Dal, dengang sengkalan tahun: janma nir catur bupati[1]. Tertanda Kangjeng Sultan Natapraja.”

Selesai membaca surat terlihat raut muka Adipati Siunglaut menahan marah.

“Hai dua utusan, katakan mengapa tuanmu berani memberi surat tanpa sopan santun. Basi-basi dan tatakrama hilang sama sekali. Aku takkan menghadap ke Bintara. Bahkan aku tak sudi berkenalan dengan santri nista seperti dirinya. Semestinya orang mengirim surat kepada sesama raja memakai bahasa yang baik, tuanmu ini tak tahu tatakrama. Apakah belum lama mengaji sehingga berkirim surat layaknya tukang kuda?” kata Siunglaut bengis.

Kedua utusan mundur tanpa pamit. Mereka lalu membawa pasukan Bintara ke tempat yang bagus. Adipati Siunglaut memerintahkan pasukan Blambangan mengejar kedua utusan. Pasukan Blambangan segera bersiap. Sejumlah 6.000 prajurit telah berbaris di alun-alun. Pasukan Blambangan dipimpin Ki Patih Cluring mengejar pasukan Bintara.

Pasukan Blambangan berhasil menyusul pasukan Bintara. Kedua pasukan sudah berhadap-hadapan. Jumlah pasukan Bintara hanya tiga ratus, dipimpin dua mantri. Merasa prajuritnya tak mampu melawan pasukan Blambangan Ngabei Tohjaya dan Tohjiwa perlahan membawa pasukannya mundur. Namun pasukan Blambangan terus mengejar. Terjadi pertempuran sengit antara kedua kubu. Dalam  waktu tak terlama lama pasukan Bintara berhasil dihancurkan. Kedua mantri tewas. Ada beberapa prajurit yang lolos dari maut. Mereka segera lari melapor ke Bintara.

Di Bintara, Sultan dan para punggawa sedang menyaksikan pemasangan bangsal pangrawit yang dibawa dari keraton Majapahit. Bangsal witana sudah didirikan sebaga tempat para punggawa menghadap. Adapun bangsal pangrawit dipasang sebagai serambi masjid Demak. Belum selesai pemasangan bangsal pangrawit mendadak datang para prajurit yang kalah dari Blambangan. Mereka memberi tahu bahwa kedua utusan Sultan sudah tewas. Semua peristiwa sudah dilaporkan dari awal sampai akhir.

Sultan berkata kepada Ki Patih, “Hai Patih, bagaimana rencanamu sekarang? Blambangan ternyata melawan. Tak hendak tunduk kepadaku.”

[1] 8 Sura, Dal: janma nir catur bupati (1401)


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/21/sajarah-jati-26-adipati-pecattandha-lestari-berkuasa-di-kadipaten-terung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...