Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (27): Sultan Bintara Mengutus Adipati Pecattanda Menaklukkan Blambangan

Patih Wanasalam berkata, “Duh paduka, bila paduka berkehendak memukul Blambangan, adik paduka Adipati Pecattanda paduka perintahkan untuk berangkat. Sekarang beliau belum menghadap, sebaiknya segera paduka panggil.”

Sultan setuju dengan usulan Patih Wanasalam. Dua gandek segera diperintahkan memanggil Adipati Terung. Singkat cerita dua gandek sudah sampai di Terung dan bertemu sang adipati. Kedua gandek menyampaikan perintah Sultan: Adipati Terung dipanggil menghadap ke Bintara dan diminta berangkat bersama kedua gandek. Adipati Terung menyatakan kesanggupan. Kedua gandek lalu ditempatkan di gedung timur dan diberi jamuan beraneka warna. Sang adipati lalu memerintahkan kepada para bupati sekitar yang baru saja menyerah agar bersama-sama menghadap ke Bintara. Mereka pun bersiap untuk berangkat.

Ketiba tiba harinya para bupati sudah bersiap berangkat di bawah pimpinan Adipati Terung. Sang Adipati naik kuda teji dengan busana serba keemasan. Para bupati beriringan di belakang. Jika dilihat Adipati Terung tampak seperti putra Raden Bima. Dalam rombongan itu dibawa serta berbagai harta benda sebagai tanda tunduk kepada Bintara, berupa emas, perhiasan dan hasil bumi sesuai wilayah masing-masing.

Singkat cerita rombongan dari Terung sudah sampai di Bintara. Yang pertama dituju adalah kediaman Ki Patih. Di rumah Ki Patih, Adipati Terung dan para bupati beristirahat dan menikmati jamuan. Ki Patih lalu melaporkan kedatangan mereka kepada Sultan. Sultan sudah mengizinkan mereka semua menghadap. Seorang gandek diperintahkan untuk menjemput.

Adipati Terung dan para bupati menghadap Sultan dengan penuh takzim. Sultan memberi salam kepada para bupati yang hadir. Semua tertunduk dan siap menerima perintah. Adipati Terung lalu menghaturkan barang-barang bawaan berupa emas dan perhiasan serta hasil bumi.

Sultan berkata, “Aku terima dengan senang hati, Dinda. Dan kepada kalian para bupati yang telah tunduk, kalian boleh tetap menduduki jabatan kalian seperti sediakala. Dinda, tanah mereka jangan ada yang kurang dari kemarin, bahkan berikan tambah sepantasnya.”

Adipati Terung menyatakan kesiapan melaksanakan perintah. Para bupati sudah diizinkan undur diri dan kembali ke pondokan masing-masing. Ki Patih kemudian menjamu para bupati di Kepatihan. Pertunjukan tari bedaya kemudian digelar untuk memeriahkan suasana. Jamuan dari Ki Patih sangat pantas dan terus mengalir.

Selama di kotaraja Bintara para bupati disambut dengan hangat. Ki Patih sangat memuliakan mereka. Selain jamuan yang elok, Ki Patih juga memberi hadiah berupa kain batik. Ketika mandi mereka diberi air ledeng dan sabun wangi. Setiap hari selalu ada bupati keraton yang menemui mereka.

Sementara itu Sultan selalu memikirkan peristiwa di Blambangan. Adipati Blambangan tidak mau tunduk, bahkan berani membunuh utusan. Pada suatu hari Sultan memanggil Adipati Terung dan para bupati untuk membicarakan masalah ini.

Sultan berkata, “Dinda Adipati dan para bupati dari mancanegera, ketahuilah. Dahulu aku mengirim dua utusan dengan membawa surat kepada Adipati Blambangan Siunglaut. Dua utusan adalah mantri Tohjaya dan Tohjiwa disertai pengawal sejumlah tiga ratus prajurit. Dalam surat aku menghimbau agar Adipati Siunglaut tunduk secara damai ke Bintara. Dan aku meminta dua keris dhapur Sangkelat yang mereka miliki sebagai tanda tunduk. Namun Adipati Siunglaut malah mengumbar keberanian. Dua utusan dan pengawalnya dibantai. Dari tiga ratus prajurit hanya beberapa yang selamat. Mereka kemudian pulang dan melaporkan kejadian tersebut. Dinda, bagaimana saranmu menyikapi peristiwa ini?”

Adipati Pecattanda setelah mendengarkan uraian Sultan segera menanggapi, “Paduka, sebaiknya Blambangan segera dipukul perang. Jangan sampai mereka mencari dukungan untuk melawan paduka. Bila mereka semakin besar pasti akan semakin sulit ditaklukkan. Kapan paduka perintahkan, kami siap berangkat.”

Para bupati bawahan Terung menyambung, “Benar perkataan Ki Lurah, kami semua siap berangkat. Walau kami hancur menjadi tanah, bila paduka perintahkan kami akan berangkat. Kelak atau sekarang, jiwa kami sudah kami serahkan ke hadapan paduka Sultan.”

Sultan berkata, “Dinda, berangkatlah besok. Tidak usah pulang ke Terung. Aku beri kalian doa selamat.”

Pertemuan selesai. Sultan kembali ke puri, Adipati Terung dan para bupati kembali ke pondokan. Sesampai di pondokan Adipati Terung segera mengumumkan kepada para prajurit agar bersiap. Pagi hari pasukan Adipati Terung dan para bupati mancanegara telah berbaris. Sejumlah 8.000 prajurit telah siap berangkat.

Tanda berangkat telah dipukul. Adipati Terung sudah naik ke atas kuda. Pasukan Terung segera berangkat. Bergemuruh suara barisan di sepanjang jalan. Perlahan mereka melewati Besuki, Bandawasa, Bajulmati dan sampailah di Banyuwangi. Pasukan Terung kemudian berhenti untuk menata barisan. Adipati Terung dan para bupati sepakat untuk mengirim utusan kepada Siunglaut. Sebuah surat lalu dikirim.

Isi suratnya: Surat dariku, Pecattanda dari Terung, andalan perang Sultan Adi Panata Agami di Bintara, kepada Sang Adipati Blambangan Siunglaut yang perwira. Suratku memberi tahu bahwa kedatanganku ke Blambangan diutus Sultan Bintara untuk mengajak engkau berdamai. Rajaku memanggilmu dengan cara baik-baik. Menghadaplah ke Bintara dengan membawa dua keris dhapur Sangkelat bila engkau ingin tetap lestari hidup mulia sebagai adipati di Blambangan.”

Dua mantri kemudian diutus menyampaikan surat kepada Adipati Siunglaut. Pada waktu itu Sang Adipati sedang tampil di hadapan para bupati di wilayah Banyuwangi. Surat sudah diterima oleh Sang Adipati dan dibaca dengan seksama. Selesai membaca surat Adipati Siunglaut sangat murka. Bibir bergetar, mata memerah karena menahan amarah yang sangat.

Berkata Sang Adipati, “Hai Patih Cluring, ketahuilah. Pecattanda disuruh si santri dari Bintara. Tidak tahu malu. Kurang ajar. Hai Patih, tangkap dua utusan itu. Bunuhlah. Penggal lehernya.”

Ki Patih berkata, “Jangan berbuat yang tidak baik, paduka. Utusan tidak boleh dianiaya apalagi dibunuh. Itu merusak tatakrama. Akan berakhir tidak baik. Belum pernah terjadi seorang utusan dibunuh. Kecuali dia prajurit sandi yang mencuri, pantas bila dihukum mati. Bahkan jika dia melakukan itu dan tertangkap, lebih baik dia dilepaskan dan diberi hadiah. Ketika zaman Sri Ramawijaya berbaris di Swelagiri, menangkap prajurit sandi Sokasrana utusan Raja Dasamuka. Walau demikian si utusan dimaafkan dan dilepaskan. Paduka sedang marah, maka paduka berbuat yang tidak sepantasnya. Nista keraton kita jika paduka berbuat demikian. Nanti hamba ikut bersalah.”

Adipati Siunglaut tak reda amarahnya. Bahkan semakin kesetanan. Ki Patih dimaki-maki dengan bengis.

“Hai Cluring, engkau sungguh tak bisa membalas kebaikanku. Aku mengangkatmu dari derajat sudra menjadi punggawa negeri. Sekarang engkau berani mengguruiku. Engkau sok pintar layaknya pendeta agung. Sebenarnya engkau hanya takut mati. Engkau orang hina yang tak mengerti arti hidup mulia. Engkau hanya tahu makan enak, tak tahu apa itu harga diri seorang perwira. Engkau sudah hidup enak dan dimuliakan. Sekarang negeri meminta karyamu, engkau tak jadi teman malah berani melawan perintah. Jika demikian sebaiknya aku bunuh dulu engkau,” kata Adipati Siunglaut sambil menarik kerisnya.

Patih Cluring waspada. Keris segera direbut. Namun sarung keris itu berisi dua bilah keris kembar. Adipati Siunglaut masih membawa bilah yang satunya. Keduanya kini sama-sama membawa keris Sangkelat yang persis sama. Siunglaut menerjang, Patih Cluring menangkis. Tangan Siunglaut tertusuk, lalu tewas. Leher Patih Cluring sedikit tergores, lalu juga tewas. Keduanya tewas bersamaan.

Para punggawa Blambangan segera melapor kepada permaisuri. Seketika permaisuri menjerit dan berlari ke Panangkilan. Permaisuri memeluk jenazah sang suami. Jenazah lalu dibawa ke dalam puri. Seketika puri Blambangan hujan tangis.

Sementara itu istri Patih Cluring sudah diberi tahu bahwa suaminya tewas. Nyai Patih segera berlari ke Panangkilan bersam anak-anaknya yang masih kecil. Jenazah Patih Cluring segera dibawa ke Kapatihan.

Sementara itu, dua utusan Adipati Terung telah meloloskandiri dan lari kencang ke barisan. Tidak lama kemudian mereka telah sampai ke hadapan Adipati Terung. Sang Adipati mengira mereka lari ketakutan.

“Hai utusan, mengapa kalian berlari ketakutan?” tanya Adipati Terung.

Dua utusan menceritakan apa yang terjadi di balai Panangkilan Kadipaten Blambangan dari awal sampai akhir. Adipati Terung heran dengan kejadian aneh ini. Sang Adipati segera memerintahkan agar tanda perang dipukul. Bergemuruh suara pasukan Terung. Adipati Terung memberangkatkan pasukan bersenjata lengkap ke kota Blambangan.

Sementara itu di kota Blambangan, berita kedatangan pasukan Terung sudah mereka terima. Seorang bupati bawahan Blambangan dari Ragajampi, masih saudara dengan Adipati Siunglaut. Dia bermaksud membela negeri dan menghadang pasukan Adipati Terung. Terjadi pertempuran antara pasukan Terung dan Blambangan. Namun tidak lama kemudian pasukan bupati Ragajampi kocar-kacir. Tinggal si bupati sendiri yang masih tersisa. Bupati Ragajampi menyerah dan memohon ampun. Adipati Terung memaafkannya. Pasukan Adipati Terung kemudian masuk kota. Jenazah Adipati Siunglaut kemudian diberikan upacara sesuai keyakinannya. Juga jenazah Ki Patih sudah diberi upacara menurut agama Buddha. Blambangan sudah takluk sepenuhnya kepada Adipati Terung. Pasukan Adipati Terung kemudian mengambil harta benda Kadipaten Blambangan. Peralatan upacara kadipaten diambil, seperti singgasana, kacu emas, kijang emas dan ardawalika. Peralatan upacara Blambangan lengkap karena Siunglaut telah mengangkat diri sebagai raja. Semua kini dirampas. Tak ketinggalan dua keris dhapur Sangkelat buatan Ki Supa atau Empu Pitrang.

Adipati Terung memutuskan untuk menjadikan permaisuri Blambangan dan para putrinya sebagai boyongan. Para putri tak kuasa menolak. Meski permaisuri sudah sepuh, tetapi tetap dibawa ke Bintara. Adapun Nyai Patih Cluring dan anak-anaknya tidak dijadikan boyongan. Malah karena jasa mendiang Patih Cluring yang telah membuat penaklukan Blambangan menjadi mudah, anak Patih Cluring diangkat sebagai adipati di Blambangan. Namun dia harus memeluk agama Islam. Putra Ki Patih tidak keberatan. Semua sudah terlaksana. Di Blambangan lalu didirikan sebuah masjid.

Sementara itu beberapa bupati bawahan Blambangan yang masih mengungsi ke gunung antara lain para tumenggung Kraksaan, Lumanjang, Setubanda, Prabalingga dan Besuki sepakat untuk menyerah dan berganti agama Islam. Mereka juga ingin mengabdi ke Bintara, karena Sultan Bintara tak lain putra Prabu Brawijaya Majapahit. Setelah semua mufakat mereka kemudian turun gunung menemui Adipati Terung. Kedatangan para tumenggung diterima Adipati Terung dengan suka hati.

Adipati Terung berkata, “Kawan-kawan semua, sudah saya terima pernyataan tunduk kalian. Namun sebaiknya kalian tetap menghadap ke Bintara bersama kepulanganku. Sesudah sampai di sana semua terserah kehendak Sultan. Dan sebaiknya kalian semua memeluk agama Islam.”

Para bupati menyatakan kesanggupan. Mereka kembali ke tempat masing-masing untuk bersiap. Ketika tiba harinya Adipati Terung dan para bupati bawahan Blambangan bersiap berangkat. Harta benda dan peralatan upacara Blambangan telah dimuat dan diletakkan di depan barisan. Lalu di belakangnya permaisuri Blambangan naik tandu bersama para putri. Di belakang Adipati Terung bersama para bupati. Rombongan besar dari Blambangan berangkat.

Singkat cerita, rombongan dari Blambangan sudah tiba di kota Bintara. Mereka menuju Kapatihan. Ki Patih Wanasalam menmpatkan mereka dalam pondok-pondok yang telah disediakan. Ki Patih sudah melaporkan kedatangan Adipati Terung dan para bupati yang hendak menyatakan kesetiaan kepada Sultan Bintara. Sultan Adi Natapraja sangat bersukacita. Semua sudah diizinkan menghadap.

Adipati Terung menceritakan penugasan yang dia emban sejak awal sampai akhir. Harta benda dan boyongan kemudian diserahkan kepada Sultan. Permaisuri Blambangan dan para putri sudah dibawa masuk menemui permaisuri Bintara. Kangjeng Sultan lalu mempersilakan para bupati maju ke depan. Sultan sendiri yang menuntun mereka mengucapkan kalimah syahadat sebagai pernyataan mememuk agama Islam. Para bupati sudah mendapat izin tetap berkuasa seperti sebelumnya. Namun mereka diharuskan membuat masjid di kabupaten masing-masing. Pada kesempatan itu Sultan juga mewisuda putra Patih Cluring sebagai adipati di Blambangan. Kepada semua punggawa yang baru juga diminta menepati suarat perjanjian sebagaimana punggawa Bintara lainnya. Setelah pertemuan selesai para bupati diizinkan kembali negeri masing-masing.

Sultan juga menetapkan bahwa permaisuri Blambangan diberikan kepada Patih Wanasalam. Perayaan pernikahan dilaksanakan dengan meriah seperti pengantin gadis. Sang putri sudah nyaman berada di Kapatihan.

Negeri Bintara semakin hari semakin makmur dan berkembang. Wilayahnya kini sudah mencakup tanah Jawa bagian timur sampai ke ujung di Blambangan. Sejak Bintara berdiri berbondong-bondong penduduk tanah Jawa memeluk agama Islam. Masjid-masjid berdiri si setiap wilayah. Banyak para durjana dan penjahat bertobat dan melaksanakan syari’at. Negeri Bintara tumbuh menjadi negeri yang aman dan sentausa. Rakyat merasa aman dari segala tindak kejahatan. Mereka dapat berkarya dengan leluasa. Pertanian dan peternakan berkembang pesat. Hasil bumi melimpah. Pertanian maju pesat. Banyak tanah-tanah baru dibuka. Juga rawa-rawa dan sungai-sungai diberdayakan untuk memelihara ikan. Para petani mendapat hasil yang menggembirakan. Para fakir dan orang telantar mendapat santunan yang cukup dari negara. Banyak kaum miskin diangkat derajatnya menjadi lebih bermartabat. Penduduk tanah Jawa tak kurang sandang pangan.

Kemasyhuran negeri Bintara terdengar sampai ke mancanegara. Banyak pedagang mengadu nasib ke negeri Bintara. Perdagangan menjadi berkembang pesat. Para pendatang merasa aman karena semua tindak kejahatan segera mendapat penyelesaian. Si penjahat segera ditangkap dan diadili.

Selain penghidupan yang lebih baik, Sultan juga mengupayakan kemajuan dalam pendidikan. Sultan gemar mengundang para guru dari berbagai wilayah. Bahkan para ajar di gunung-gungung pun diminta sumbangsih membagi ilmunya kepada masyarakat. Walau orang desa jika pandai dalam sastra akan diminta karyanya. Sultan juga berkenan menata penanggalan. Nama-nama hari dan bulan diganti menjadi nama-nama bulan dalam bahasa Arab. Ahi-ahli ilmu falak bekerja keras mengerjakannya. Setelah selesai para punggawa diminta mengundangkan ke seluruh negeri.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/22/sajarah-jati-27-sultan-bintara-mengutus-adipati-pecattanda-menaklukkan-blambangan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...