Translate

Jumat, 16 Agustus 2024

Sajarah Jati (29): Ulah Kyai Ageng Pengging Menjadi Perhatian Sultan Bintara

Alkisah, Sultan Bintara sudah mendengar berita suami Kangjeng Ratu Pembayun, yakni Kyai Andayaningrat di Pengging tidak mau menghadap ke Bintara. Malah mengumpulkan orang-orang agar berguru kepadanya tentang pengetahuan muksanya tubuh. Namun pengajaran ilmunya menyimpang dari ajaran para wali. Pengetahuannya bersumber dari ajaran Syekh Sitijenar yang murtad. Ajaran itu tidak mengakui kekuasaan Allah, keluar dari ajaran Al Qur’an. Bahkan Sitijenar berani mengaku sebagai Tuhan. Banyak orang sudah hanyut dalam ajaran yang menyimpang dari agama Islam ini. Sungguh akan merusak syari’at Al Mustafa Rasul yang terpilih. Ajaran yang diperuntukkan bagi seluruh umat sampai hari kiamat.

Apa yang diajarkan Sitijenar dan Kyai Ageng Pengging telah melampaui batas syari’at dengan membicarakan hal-hal yang di luar kewenangan manusia. Kyai Ageng Pengging telah menyelisihi ajaran dari tanah Arab itu, dan membantah syari’at.

Sultan sangat marah mendengar sepak terjang Kyai Ageng Pengging. Diam-diam Sultan memanggil Pengulu Katib Anom dan Patih Wanasalam. Kedua punggawa telah menghadap.

Sultan bertanya kepada Ki Patih Wanasalam, “Paman, di Pengging ada berita apa?”

Ki Wanasalam berkata, “Duh Kangjeng Sultan, mohom maaf, saya belum mendengar kabar selain berita yang menyebutkan bahwa kakak paduka Kyai Andayaningrat bersikeras tak mau tunduk kepada paduka. Dia bersikukuh menjadi petani sehingga tak perlu menghadap kepada raja.”

Sultan berkata lagi, “Itu benar, Paman. Namun ada berita lain yang menyebutkan bahwa dia telah berguru kepada Sitijenar dan telah mendapat wejangan ilmu. Dia kini murtad dari agama Rasul. Dia membantah kekuasaan Allah. Malah menurut berita dia mengaku sebagai Tuhan. Dia melecehkan ajaran wali sanga, menyanggah kekuasaan raja dan mengajarkan kesesatan. Hai Patih, andai saja dia ingin menjadi raja itu tidak aneh karena dia keturunan raja. Namun itu tidak bisa dibiarkan. Seumpama api, sekarang ini masih kecil. Sebaiknya segera disiram air. Paman, berangkatlah ke Pengging membawa pasukan. Tangkaplah Kyai Ageng Pengging.”

Ki Patih Wanasalam berkata, “Paduka, jangan dulu dipukul perang. Dia hanya orang menetap di desa tanpa pasang bendera dan membentuk pasukan. Kesalahannya hanya melanggar syari’at. Itu termasuk perkara sipil. Sebaiknya dipanggil dulu dengan cara yang baik agar mau menghadap ke Bintara.”

Sultan menyetujui usul Patih Wanasalam. Dua mantri lalu dikirim ke Pengging. Singkat cerita mereka berdua sudah sampai di Pengging dan bertemu Kyai Ageng. Pada waktu itu Kyai Ageng sedang berada di langgar. Kedua mantri berterus terang bahwa kedatangan mereka diutus Sultan Bintara untuk memanggil Kyai Ageng Pengging. Kyai Ageng diminta ikut bersama kedua mantri ke negeri Demak untuk bertemu Sultan.

Kyai Ageng berkata, “Hai utusan, saya diminta bertemu Sultan apa keperluannya? Saya tak punya perkara apapun berkait kenegaraan. Saya di sini hanya menanam padi dan mencari nafkah sesuai kehendak Tuhan. Jika saya panen kentang, jagung dan ketela, saya minta kepada Tuhan yang telah memerintah menanam. Ketika mencangkul saya juga bersama Tuhan, memanen saya bersama Tuhan. Itu yang saya lakukan di desa. Maka kalau saya dipanggil saya tidak mau kalau tidak bersama Tuhan yang pembimbing saya. Walau saya mau tapi jika Tuhan tidak mau saya datang, maka mustahil saya sampai di Demak. Saudara, katakan kepada Sultan, Kyai Ageng tidak menolak dipanggil, tapi Tuhan tak berkenan.”

Dua utusan kembali ke Bintara tanpa hasil. Keduanya melapor kepada Sultan semua yang dikatakan Kyai Ageng Pengging dari awal sampai akhir. Sultan kaget, merasa bahwa Kyai Ageng telah nyata-nyata melawan perintah raja. Sultan lalu memanggil Ki Patih Wanasalam dan memberi tahu kepadanya semua yang terjadi.

Kyai Patih berkata, “Paduka, bila diizinkan saya sendiri yang akan berangakat ke Pengging menemui Kyai Andayaningrat. Saya akan menyamar sebagai orang kecil dan mencari tahu keadaan di sana. Nanti saya bisa menilai keinginan Kyai Ageng yang sebenarnya.”

Sultan berkata, “Jika demikian Patih, baik jika engkau sendiri yang menemuinya. Selesaikanlah masalah ini. Aku memberimu tiga pertanyaan. Suruh dia menguraikannya.”

Ki Patih Wanasalam menyatakan kesiapan. Hanya dengan tiga pembantu Ki Patih berangkat. Setelah sampai di Pengging Ki Wanasalam bertanya keberadaan Kyai Ageng Pengging kepada seseorang yang sedang mencangkul di halaman. Orang tersebut menjawab bahwa Kyai Ageng Pengging berada di langgar sedang bercakap-cakap dengan Yang Menguasainya.

Kyai Patih kaget ketika mendengar jawaban orang tersebut. Dalam hati Ki Patih heran mengapa orang yang terlihat sederhana itu bisa memberi jawaban yang sangat filosofis. Kyai Patih laju ke langgar dan mengucap salam kepada Kyai Ageng sampai tiga kali. Kyai Ageng diam tak menjawab. Pada saat itu Kyai Ageng tak terlihat karena berada di balik tabir.

Kyai Patih lalu berkata, “Hai Allah, saya diutus Yang Maha Suci, yang menguasai keraton Bintara, untuk menemui Anda Yang Maha Melihat.”

Kyai Ageng menoleh dan menganggukkan kepala. Lalu keluar menemui Patih Wanasalam. Keduanya lalu bersalaman. Keduanya lalu beramath-tamah seperlunya, kemudian duduk nyaman.

Kyai Ageng Pengging berkata, “Hai utusan, saya ingin tahu arti perkataan Anda. Anda katakan sebaga utusan Yang Maha Suci yang menguasai keraton Bintara, untuk menemui Yang Maha Melihat di sini. Bagaimana itu maksudnya?”

Ki Patih tanggap dan berkaa, “Kangjeng Sultan itu bersifat hawadits semua perbuatannya atas kehendak Yang Maha Suci di dalam jiwanya. Ini berarti perintah datang ke sini bersih atas kehendak Tuhan. Lalu mengutus saya datang ke sini untuk menemui Anda Yang Maha Melihat. Artinya sebagai utusan saya hanya melaksanakan kehendak Yang Maha Suci. Dan Anda jika bukan atas kehendak Yang Maha Melihat pasti juga tidak akan menemui saya.”

Kyai Ageng menganggukkan kepala karena merasa sepakat dengan pernyataan Ki Patih. Kyai Ageng menduga si utusan seorang bijaksana karena perkataannya runtut, raut mukanya tenang dan kata-katanya bersahabat.

Kyai Patih kembali berkata, “Duh Kyai, saran saya Anda penuhi panggilan adik Anda. Beliau merasa mempunyai saudara ipar di desa dan merasa rindu kedatangan Anda. Dan sekarang adik Anda mendengar Anda mengaku sebagai Tuhan dan mengajarkan keyakinan Anda itu kepada orang banyak. Kalau melantur-lantur perbuatan Anda, pasti merusak agama. Sebaiknya Anda hentikan. Bila memang Anda mengajarkan kepada orang banyak, mereka bisa salah mengerti dan tersesat. Mereka menjadi abai terhadap perbuatan baik dan tidak takut siksa neraka.”

Kyai Ageng Pengging berkata, “Saya tidak mau menghadap kepada raja karena saya hanya seorang petani yang pekerjaannya menanam. Adapun persoalan Sang Raja melarang saya mengajarkan ilmu, itu tidak tepat. Orang mengajarkan ilmu sesuai keyakinan mengapa dilarang. Dan seorang raja tidak berhak mengakui bumi dan langit ini sebagai miliknya. Yang menjadi miliknya hanya sebatas pajak yang dibayarkan karena itu menghasilkan pendapatan negara. Adapu diri saya bukan bawahan dari siapa pun, kecuali Allah yang berada di dalam diri saya. Itulah yang kulakukan setiap hari. Jika bukan atas kehendak Allah sungguh diri ini tak mampu melakukan apapun. Meski sekuat tenaga saya berusaha jika Allah tidak menghendaki pasti tidak terjadi. Namun walau saya kecapaian, jika Allah menghendaki pasti sanggup melangkahi gunung Merapi. Bila Allah menghendaki, jangankan hanya Bintara, ke Mekkah atau Madinah pun mampu. Maka, apapun yang saya lakukan hanya sekedar menjalani perintah.”

Ki Patih berkata, “Jika demikian Kyai,  kita tidak akan sepakat. Seorang raja itu berkuasa di dunia, berwenang mengusai dan menghukum kepada yang berbuat jahat. Apa yang Kyai lakukan itu tidak lazim. Kita hidup di dunia tentu menurut aturan orang banyak. Kita hidup bersama orang banyak tentu harus menurut aturan yang lazim. Jika tidak, tentu tidak akan terjadi kesepatakan. Orang yang berbuat nyleneh, beda dengan orang lain pasti akan tersingkir meski dia kuat. Maka, saya minta Anda menghadap kepada Sultan di Bintara. Saya membawa perintah Sultan, bila Anda bersikeras mengaku sebagai Allah, maka Anda diminta memecahkan tiga teka-teki ini. Salah satu atau syukur bisa ketiganya.”

Kyai Ageng berkata, “Apa tiga pertanyaan itu, katakanlah. Barangkali saya bisa memecahkan.”

Kyai Patih berkata, “Perintah Sang Raja, Anda diminta memecahkan tiga pertanyaan; pertama, hidup ada di mana letaknya, kedua, apa yang disebut ilmu, dan ketiga, yang mengajak tidur itu apa?”

Kyai Ageng Pengging tersenyum dan berkata pelan menguraikan pertanyaan, “Yang disebut ilmu adalah pengetahuan tentang yang tidak terlihat. Seperti pengetahuan saya tentang negeri Demak yang tidak terlihat dari sini. Adapun yang kedua, di mana letak hidup, letaknya di alam ananing ananung. Dan yang mengajak tidur adalah air suci. Dalam bahasa Arab disebut air hayat. Air itulah yang dahulu dicari Bina Sena. Dalam agama Buddha disebut banyu perwira. Adapun tempat di terot tottot tottot jing tongjing. Silakan dinilai jawaban saya benar atau salah.”

Kyai Patih berkata, “Benar atau salahnya Sultan yang akan menilai. Tidak lebih saya berharap paduka berangkat ke Demak dan bertemu saudara paduka. Karena masih saudara. Kapan waktunya tidak ditentukan. Bila paduka berdalih masih menunggu kehendak Allah, itu saya khawatirkan menjadi salah paham. Barangkali keterlambatan paduka menghadap ke Demak akan ditafsirkan sebagai melawan raja. Paduka putra raja, tidak mustahil berkehendak menjadi raja pula. Bila ada orang mengadu domba, akan berakhir tidak elok. Begini saja Kyai, paduka minta waktu tiga tahun supaya tidak dianggap membantah. Saya yang akan menanggung. Namun setelah tiga tahun paduka segera menghadap.”

Kyai Ageng berkata, “Saya bersikeras tidak datang. Saya ini sudah dalam keadaan mati. Baru akan hidup kalau sudah meninggalkan dunia.”

Kyai Patih kaget, lalu berkata, “Bagaimana bisa paduka berkata seperti itu. Itu sungguh keliru. Lazimnya orang menyebut di dunia ini kita hidup, sesuah mati baru ke akhirat. Di sana hidup mulia dalam kelanggengan.”

Kyai Ageng Pengging berkata, “Sekarang hidup, kelak mati, lalu hidup mulia di akhirat. Itu kepercayaan santri musibah. Perkataan orang yang mengharap sesuatu yang belum pasti. Hai utusan, segeralah pulang.”

Kyai Patih pamit, tapi tak dijawab Kyai Ageng. Denan tangan hampa Ki Patih kembali ke Demak. Sesampai di kota Bintara segera menghadap Sang Raja.

Kyai Patih berkata, “Duh Sang terpilih di jagad raya, perjalanan hamba sudah berhasil bertemu Ki Andayaningrat. Dia tetap bersikeras tak mau menghadap ke Bintara. Adapun tiga pertanyaan paduka sudah saya sampaikan dan dijawab dengan tepat. Saya lalu menyarankan agar Ki Pengging minta tempo tiga tahun untuk menghadap. Setelah tiga tahun saya minta menghadap tanpa harus dipanggil lagi. Namun dia tampaknya tidak berkenan. Hamba beri waktu tiga tahun karena hamba pikir setelah tiga tahun kita punya alasan untuk menyelesaikan nanti. Karena jika dia tidak menghadap, terbukti dia menolak perintah raja.”

Sultan berkata, “Hai Patih, yang engkau lakukan sudah bagus.”


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2023/11/22/sajarah-jati-29-ulah-kyai-ageng-pengging-menjadi-perhatian-sultan-bintara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...