Translate

Senin, 30 September 2024

Kajian Wulangreh (186;187): Den Eling Sangkaning Kamukten

 Pada (bait) ke-186;187, Pupuh ke-10, Mijil, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Krana ingkang kaprah mangsa iki,
anggone angrengkoh,
tan rumangsa lamun ngempek empek.
Ing batine datan nedya eling,
kamuktene iki,
ngendi sangkanipun.

Lamun eling jalarane mukti,
pasthine tan ngrengkoh.
Saka durung bisa ngrasakake,
ing pitutur engkang dhingin-dhingin.
Sarta tan praduli,
ing wong sepuh.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Karena yang lazim di zman ini,
dalam bersikap,
tidak merasa kalau berlindung.
Dalam batinnya tidak hendak ingat,
bahwa hidupnya yang berkecukupan ini,
darimana asalnya.

Kalau ingat sebab berkecukupan,
pastinya takkan bersikap seperti itu.
Karena belum bisa merasakan,
pada nasihat orang dulu-dulu.
Serta tak peduli,
ajaran para orang tua.


Kajian per kata:

Krana (karena) ingkang (yang) kaprah (lazim) mangsa (zaman) iki (ini), anggone (dalam) angrengkoh (bersikap), tan (tidak) rumangsa (merasa) lamun (kalau) ngempek empek (berlindung). Karena yang lazim di zman ini, dalam bersikap, tidak merasa kalau berlindung.

Karena yang lazim di zaman sekarang ini, dalam bersikap tak merasa sebagai orang yang berlindung. Tidak sadar bahwa dirinya menerima pengayoman dari Raja. Tidak sadar bahwa dirinya hanya menumpang hidup di kerajaan.

Ing (dalam) batine (hati) datan (tidak) nedya (hendak) eling (ingat), kamuktene (kecukupannya) iki (ini), ngendi (darimana) sangkanipun (asalnya). Dalam batinnya tidak hendak ingat, bahwa hidupnya yang berkecukupan ini, darimana asalnya.

Dalam batinnya juga tidak berkehendak mengingat, bahwa hidupnya yang sekarang berkecukupan, dengan terpenuhinya sandang pangan, kedudukan dan jabatan, itu semua diperoleh lewat perantaraan Raja. Jika Raja tak memberi kesempatan untuk berkarir dan memegang jabatan maka mustahi semua itu diperoleh, tapi kok ya tidak menyadari itu semua.

Lamun (kalau) eling (ingat) jalarane (sebab) mukti (berkecukupan), pasthine (pastinya) tan (tidak) ngrengkoh (bersikap seperti itu). Kalau ingat sebab berkecukupan, pastinya takkan bersikap seperti itu.

Jika memang mengingat asal muasal dari apa yang dicapainya kini, tentulah sikapnya tidak demikian, abai atau membantah atau menghindar perintah Raja.

Saka (karena) durung (belum) bisa (bisa) ngrasakake (merasakan), ing (pada) pitutur (nasihat) engkang (yang) dhingindhingin (dulu-dulu). Karena belum bisa merasakan, pada nasihat orang dulu-dulu.

Atau dia bersikap demikian itu karena belum memahami nasihat orang dulu-dulu. Boleh jadi karena ketidaktahuannya akan sikap yang semestinya dilakukan.

Sarta (serta) tan (tak) praduli (peduli), wuruking (ajaran) wong (orang) sepuh (tua). Serta tak peduli, ajaran para orang tua.

Atau mungkin memang karena tidak peduli dengan ajaran para orang-orang tua. Itu bisa saja terjadi karena memang orang-orang muda belum berpengalaman dalam kehidupan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-186187-den-eling-sangkaning-kamukten/

Kajian Wulangreh (188;189): Aja Isin Katon Bodho

 Pada (bait) ke-188;189, Pupuh ke-10, Mijil, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Ing dadine barang tindak iki,
arang ingkang tanggon.
Saking durung ana landhesane,
nganggo ing karsane pribadi.
Ngawag barang kardi,
dadi tanpa dhapur.

Mulanipun wekasingsun kaki,
den kerep tetakon.
Aja isin ngatokken bodhone,
saking bodho witing pinter kaki.
Mung Nabi kakasih,
pinter tanpa wuruk.

 

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Pada akirnya semua perbuatan ini,
jarang yang meyakinkan.
Karena belum ada dasarnya,
maka hanya memakai kehendak sendiri.
Ngawur dalam segala pekerjaan,
menjadi tanpa wujud.

Oleh karena itu pesanku anakku,
yang sering bertanya-tanya.
Jangan malu memperlihatkan kebodohan,
karena dari bodohlah timbulnya kepandaian, anakku.
Hanya Nabi kekasih Allah saja,
pandai tanpa diajar manusia.


Kajian per kata:

Ing (pada) dadine (akhirnya) barang (semua) tindak (perbuatan) iki (ini), arang (jarang) ingkang (yang) tanggon (kokoh, yakin). Pada akirnya semua perbuatan ini, jarang yang meyakinkan.

Bait ini masih berkaitan dengan bait sebelumnya yang menyoroti tindak para pejabat yang seolah tak punya sikap ingat terhadap awal mulanya mereka sampai mencapai kedudukan yang mulia. Sikap ini kemudian melahirkan perbuatan yang seolah enggan atau menghindar terhadap perintah Raja. Telah sedikit disinggung bahwa mungkin saja ulah mereka itu karena mereka belum mengerti nasihat orang-orang dahulu, atau ajaran orang-orang tua.

Akibatnya banyak perbuatan mereka yang tidak meyakinkan. Dalam arti tidak mempunyai dasar moral yang kuat, atau tidak timbul dari sebuah etika yang bisa dipertanggung jawabkan.

Saking (karena) durung (belum) ana (ada) landhesane (dasarnya), nganggo (memakai) ing (pada) karsane (kehendak) pribadi (sendiri). Karena belum ada dasarnya, maka hanya memakai kehendak sendiri.

Itu semua karen mereka belum mempunyai dasar yang dipakai dalam berpikir dan menentukan sikap. Akibatnya mereka hanya menuruti kehendak sendiri.

Ngawag (ngawur) barang (dalam segala) kardi (pekerjaan), dadi (menjadi) tanpa (tanpa) dhapur (ujud). Ngawur dalam segala pekerjaan, menjadi tanpa wujud.

Itu membuat mereka hanya ngawur saja, berdasar duga-duga, tidak memakai wewaton atau dasar yang jelas. Maka hasilnya adalah perbuatan yang tak berwujud. Dhapur bisa berarti wajah, muka. Tanpa dhapur berarti tak berwajah atau tak berwujud, tak bisa dikenali ini apa.

Mulanipun (maka dari itu) wekasingsun  (pesanku) kaki (anakku), den (yang) kerep (sering) tetakon (bertanya-tanya). Oleh karena itu pesanku anakku, yang sering bertanya-tanya.

Maka dari itu, pesanku kepada anak-anakku, yang sering-sering bertanya-tanya. Agar mendapat tambahan ilmu dan pengetahuan. Agar tidak terkungkung dalam kebodohan. Setiap mendapat pangkat atau jabatan atau tugas baru hendaklah rajin memperlajari segala sesuatu yang berkaitan dengan jabatan baru itu.

Aja (jangan) isin (malu) ngatokken (memperlihatkan) bodhone (kebodohannya), saking (dari) bodho (bodoh) witing (asalnya) pinter (pandai) kaki (anakku). Jangan malu memperlihatkan kebodohan, karena dari bodohlah timbulnya kepandaian, anakku.

Jangan malu terlihat bodoh. Semua orang itu awalnya bodoh semua, tak tahu apa-apa. Karena belajar dan rajin bertanya mereka menjadi pintar.

Mung (hanya) Nabi (Nabi) kakasih (kekasih Allah), pinter (pandai) tanpa (tanpa) wuruk (diajar manusia). Hanya Nabi kekasih Allah saja, pandai tanpa diajar manusia.

Itu karena guru Nabi, yang mengajari Nabi adalah Allah sendiri, maka beliau menjadi pandai tanpa campur tangan manusia lain. Itulah sebabnya Nabi dibangkitkan dalam keadaan ummi, tak tahu apa-apa, karena Allah sendiri yang akan mengajarnya.

Kalau manusia seperti kita-kita ya harus rajin bertanya, belajar sungguh, berguru mencari ilmu, baru dapat menjadi orang pandai. Itu pun dengan susah payah.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-188189-aja-isin-katon-bodho/

Kajian Wulangreh (190;191): Ngupaya Ngilmu Dadya Pikukuh

 Pada (bait) ke-190;191, Pupuh ke-10, Mijil, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Sabakdane datan ana maning,
pinter tanpa tetakon.
Pan wus lumrahing wong urip kiye.
Mulane wong anom den taberi,
angupaya ngelmi,
dadya pikukuh.

Driyanira dadya tetali,
ing tyas dimen adoh,
akeh ati ingkang ala kiye.
Nadyan lali pan tumuli eling.
Yen wong kang wus ngelmi,
kang banget tuwajuh

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Setelahnya tidak ada lagi,
orang pandai tanpa bertanya-tanya.
Memang sudah lazim orang hidup demikian ini.
Maka orang muda rajinlah,
mencari ilmu,
agar menjadi penguat (hidupnya).

Inderamu jadilah pengikat,
dalam hati agar jauh,
dari hati yang buruk.
Walau lupa akan segera ingat kembali.
Kalau orang yang sudah berilmu,
yang sangat tawajuh (bulat tekadnya).


Kajian per kata:

Sabakdane (setelahnya) datan (tidak) ana (ada) maning (lagi), pinter (pandai) tanpa (tanpa) tetakon (bertanya-tanya, berguru). Setelahnya tidak ada lagi, orang pandai tanpa bertanya-tanya.

Setelah Nabi tak ada lagi manusia yang seperti itu, bisa pandai tanpa berguru. Ini hanya khusus kepada para nabi saja disebabkan guru mereka para nabi adalah Allah sendiri.

Pan (memang) wus (sudah) lumrahing (lazim) wong (orang) urip (hidup) kiye (ini). Memangsudah lazim orang hidup demikian ini.

Yang lumrah, lazim terjadi, adalah manusia jikalau ingin menambah pengetahuan harus asa usaha yang nyata, seperti banyak-banyak bertanya, berguru atau berlatih kepada seorang yang sudah mahir dalam berbagai ketrampilan.

Mulane (maka) wong (orang) anom (muda) den taberi (rajinlah), angupaya (mencari) ngelmi (ilmu), dadya (agar menjadi) pikukuh (penguat). Maka orang muda rajinlah mencari ilmu, agar menjadi penguat (hidupnya).

Maka orang-orang muda rajin-rajinlah mencari ilmu. Itu untuk memperkokoh wawasan dan mengikat akidah atau kepercayaan agar hati tidak terombang-ambing oleh peristiw dunia yang kadang membingungkan.

Driyanira (inderamu) dadya (jadilah) tetali (ikatan), ing (di) tyas (hati) dimen (agar) adoh (jauh), akeh (banyak) ati (hati) ingkang (yang) ala (buruk) kiye (ini). Inderamu jadilah pengikat, dalam hati agar jauh, dari hati yang buruk.

Jadikan inderamu ikatan agar hati jauh dari keburukan. Orang berilmu akan sanggup menemukan benar dan salah pada akhirnya. Jika suatu saat terperosok oleh pergaulan atau karena tadinya tidak tahu, maka dia akan berpikir dan mencari tahu untuk menemukan kebenaran.

Nadyan (walau) lali (lupa) pan (akan) tumuli (segera) eling (ingat). Walau lupa akan segera ingat kembali.

Sehingga walaupun terlanjur lupa, atau khilaf maka segera ingat kembali ke jalan yang benar. Oleh karena manusia akan penuh godaan dan rayuan, hal yang demikian seringkali terjadi.

Yen (kalau) wong (orang) kang (yang) wus (sudah) ngelmi (berilmu), kang (yang) banget (sangat) tuwajuh (mantap, bulat tekadnya). Kalau orang yang sudah berilmu, yang sangat tawajuh (bulat tekadnya).

Orang yang sudah berilmu akan sangat tawajuh, bulat tekad, golong-gilig, dalam kemauan untuk mencapai kebenaran. Walau hidup akan banyak rintangan orang berilmu akan mengatasi dengan cepat dan tanggap. Mencari cara untuk keluar dari masalah dengan cekatan. Itulah bedanya.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-190191-ngupaya-ngilmu-dadya-pikukuh/

Kajian Wulangreh (192;193): Den Brangta Ngelmu

 Pada (bait) ke-192;193, Pupuh ke-10, Mijil, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Kacek uga lan kang tanpa ngelmi,
sabarange kaot.
Ngelmi iku dene kangge,
saben dina gurokena dhingin.
Pan sarengat ugi,
parabot kang parlu.

Ngelmu sarengat puniku dadi,
wewadhah kang sayektos.
Kawruh tetelu kawengku kabeh,
kang sarengat,
kang lair myang batin.
Mulane den sami,
brangtaa ing ngelmu.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Ada beda juga dengan yang tanpa ilmu,
semua ada selisihnya.
Ilmu itu supaya berguna,
setiap hari ajarkanlah dahulu.
Akan halnya ilmu syariat juga,
itu perangkat yang perlu (bagi manusia).

Ilmu syariat itu menjadi,
wadah yang sejati.
Ilmu pengetahuan ketiganya dikuasai semua,
yang syariat, yang lahir dan batin.
Maka harap semua,
mencintai ilmu pengetahuan.


Kajian per kata:

Kacek (ada beda) uga (juga) lan (dengan) kang (yang) tanpa (tanpa) ngelmi (ngelmu), sabarange (semua) kaot (ada selisih). Ada beda juga dengan yang tanpa ilmu, semua ada selisihnya.

Ada perbedaan jauh antara orang berilmu dan tidak berilmu. Orang berilmu akan cepat mencari solusi dari masalah yang ada. sementara si bodoh akan gelagapan, bingung tak tahu apa yang mesthi dikerjakan.

Ngelmi (ilmu) iku (itu) dene (supaya) kangge (berguna), saben (tiap) dina (hari) gurokena (ajarkanlah) dhingin (dahulu). Ilmu itu supaya berguna, setiap hari ajarkanlah dahulu.

Ilmu itu akan berguna jika setiap hari diajarkan terlebih dahulu. Dengan mengajarkannya si empunya ilmu juga akan semakin pandai, semakin hapal di luar kepala. Kadang dalam mengajarkan malah akan muncul pengetahuan baru dari pertanyaan si murid-murid yang hadir.

Pan (akan halnya) sarengat (ilmu syariat) ugi (juga), parabot (itu alat) kang (yang) perlu (perlu). Akan halnya ilmu syariat juga, itu perangkat yang perlu (bagi manusia).

Akan halnya ilmu syariat, itu adalah perangkat yang perlu bagi orang hidup. Parabot diartikan sebagai kelangkapan yang diperlukan bagi seorang manusia untuk mempermudah kehidupannya. Tanpa perabot hidup manusia akan lebih sulit. Syariat dengan demikian akan memudahkan orang hidup, bukan mempersulitnya dalam suatu ikatan. Tanpa syariat manusia ibarat orang yang berjalan dalam gelap, syriat adalah segala petunjuk yang diperlukan untuk mengarahkan perjalanan hidupnya.

Ngelmu (ilmu)  sarengat (syariat) puniku (itu) dadi (menjadi), wewadhah (wadah) kang (yang) sayektos (sejati). Ilmu syariat itu menjadi, wadah yang sejati.

Ilmu syariat jug merupkan wadah dari ilmu-ilmu yang lain, tempat ilmu yang lain bernaung. Tak ada ilmu lain, jika bertentangn dengan syariat. Jika ada pastilah ilmu itu tak berguna alias bukan ilmu sejati.

Kawruh (pengetahuan) tetelu (ketiganya) kawengku (dikuasai) kabeh (semua), kang (yang) sarengat (syariat), kang (yang) lair (lahir) myang (dan) batin (batin). Ilmu pengetahuan ketiganya dikuasai semua, yang syariat, yang lahir dan batin.

Pengetahuan dalam ketiga hal itu perlu dikuasai semua, yang ilmu syariat harus dipelajari dengan tuntas, ilmu-ilmu lahir yang berkaitan dengan ketrampilan dan teknologi. Serta ilmu-ilmu batin yang berkaitan dengan pemuliaan diri, pitutur atau petuah dan cara-cara untuk meraih kesempurnaan jiwa manusia.

Mulane (maka) den (harap) sami (semua), brangtaa (mencintai) ing (pada) ngelmu (ilmu). Maka harap semua, mencintai ilmu pengetahuan.

Begitu pentingnya ilmu bagi manusia, maka harap semua, mencintai pada ilmu pengetahuan. Brangta berarti jatuh cinta, kata ini juga merupakan isyarat bahwa bait selanjutnya akan masuk ke Pupuh Asmarandana. Kata asmara mempunyai arti yang berdekatan dengan kata brangta.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-192193-den-brangta-ngelmu/

Kajian Wulangreh (194): Netepana Parentah Sarak

 Pada (bait) ke-194, Pupuh ke-11, Asmarandana, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Padha netepana ugi,
kabeh parentahing sarak.
terusna lair batine.
Salat limang wektu uga,
tan kena tininggala.
Sapa tinggal dadi gabug,
yen misih remen neng praja.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Harap patuhilah juga,
semua perintah syariat,
teruskan dari lahir ke batin.
Shalat lima waktu juga,
tak boleh ditinggalkan.
Siapa meninggalkan menjadi kosong,
kalau masih suka hidup di dunia.


Kajian per kata:

Padha (harap) netepana (patuhlah) ugi (juga), kabeh (semua) parentahing (perintah) sarak (syara’, syariat), terusna (teruskan) lair (dari lahir) batine (ke batin). Harap patuhilah juga, semua perintah syariat, teruskan dari lahir ke batin.

Harap patuhlah juga, pada semua perintah sarak. Arti sarak adalah syari’at. Dalam bagian lain juga disebut sarengat. Itu adalah ejaan Jawa untuk syari’at. Dalam menjalankan syariat teruskan dari lahir sampai ke batin. Jangan hanya dilaksanakan secara lahiriah, tapi juga ditanamkan dalam batin, dihayati agar tidak berhenti pada sisi formal saja.

Salat (shalat) limang (lima) wektu (waktu) uga (juga), tan (tak) kena (boleh) tininggala (ditinggalkan). Shalat lima waktu juga, tak boleh ditinggalkan.

Memang diantara perintah syariat shalat lima waktu adalah yang paling berat karena harus dilakukan secara ajeg, waktu yang tertentu dan terus menerus selama hidup. Inilah yang menjadikannya berat, karena itu perlu untuk diingatkan secara khusus mengenai hal ini.

Sapa (siapa) tinggal (meninggalkan) dadi (menjadi) gabug (kosong), yen (kalau) misih (masih) remen (suka) neng (hidup di) praja (dunia). Siapa meninggalkan menjadi kosong, kalau masih suka hidup di dunia.

Siapa yang meninggalkan shalat lima waktu tersebut hidupnya akan kosong. Gabug artinya kosong tidak ada isinya, kata ini biasanya dipakai untuk menyebut keadaan buah atau biji. Misalnya biji padi yang menguning di sawah. Setelah dipelihara setiap hari dengan ketekunan dan kerja keras, tibalah saatnya pak Tani untuk panen padi. Namun betapa kecewanya ketika mendapati bulir padinya kosong tak berisi. Inilah yang disebut gabug.

Perumpamaan tersebut juga berlaku untuk buah dari perbuatan manusia ketika didunia. Ketika hidup didunia diperjuangkan dengan susah payah, dengan pengorbanan dan usaha keras, banting tulang di siang malam dengan harapan kelak di akhirat mendapat pahala yang berlimpah dan kemuliaan. Namun ketika tiba saatnya dinikmati apa yng telah diusahakan di dunia tiba-tiba dia mendapati hasilnya kosong, inilah hidup yang gabug. Dalam bait ini disebutkan bahwa meninggalkan shalat dapat menyebabkan hidup kita gabug. Oleh karena itu jikalau masih ingin hidup di dunia ini, hendaklah jangan meninggalkan syariat dan shalat, agar amalnya tidak gabug.

Kata praja dalam bait ini berarti dunia, praja adalah kerajaan atau kraton. Orang hidup di dunia memang tak bisa lepas dari kerajaan, atau masyarakat. Jika orang hidup sendirian di hutan, maka tak bisa dia disebut hidup di dunia. Hidup di dunia adalah hidup dalam masyarakat, bercampur, bergaul dengan manusia lain.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-194-netepana-parentah-sarak/

Kajian Wulangreh (195): Parabot Agung

Pada (bait) ke-195, Pupuh ke-11, Asmarandana, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Wiwitane badan iki,
iya saking ing sarengat,
anane manusa kiye.
Rukune Islam lelima,
tan kena tininggala.
Pan iku parabot agung,
mungguh uripe neng donya.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Asal mulanya tubuh ini,
juga dari syariat,
adanya manusia ini juga.
Rukun Islam yang lima,
tak boleh ditinggalkan,
emang itu perangkat besar,
bagi kehidupan di dunia.


Kajian per kata:

Wiwitane (asal mulanya) badan (tubuh) iki (ini), iya (juga) saking (dari) ing (dalam, pada) sarengat (syariat), anane (adanya) manusa (manusia) kiye (ini juga). Asal mulanya tubuh ini, juga dari syariat, adanya manusia ini juga.

Asal mulanya tubuh ini juga dari syari’at, yang dimaksud adalah asal tubuh ini juga dari perintah Allah, yang menjadi sebab dari diciptakannya manusia. Jika Allah tak menetapkan syari’at maka takkan pula Dia menciptakan manusia. Pernyataan ini ada hubungannya dengan teori singularitas Muhammad yang diyakini oleh para ahli tasawuf sebagai cikal-bakal diciptakannya umat manusia. Tetapi kita harus berhenti sampai di sini agar pembahasan tidak melebar, dan keluar dari maksud semula.

Rukune (Rukun) Islam (Islam) lelima (yang lima), tan (tak) kena (boleh) tininggala (ditinggalkan).  Rukun Islam yang lima, tak boleh ditinggalkan.

Rukun Islam yang lima tak boleh ditinggalkan. Itulah identitas yang dengannya seseorang disebut muslim. Jika salah satu tak dilaksanakan maka batallah keislamannya.

Pan (memang, dari kata mapan) iku (itu) parabot (perangkat) agung (besar), mungguh (bagi) uripe (kehidupan) neng (di) donya (dunia). Memang itu perangkat besar, bagi kehidupan di dunia.

Bukan sekedar identitas saja, Rukun Islam juga merupakan alat kelengkapan (parabot) yang besar bagi manusia. Dengannya hidup manusia menjadi lebih mudah dan lebih terarah. Bayangkan jika manusia harus mencari jalan sendiri-sendiri ke arah kebenaran, tentu akan sulit sekali. Tetapi syariat telah menunjukkan itu semua. Kita tinggal mengikuti saja. 


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-195-parabot-agung/

Kajian Wulangreh (196): Den Lakoni Sakuwasane

 Pada (bait) ke-196, Pupuh ke-11, Asmarandana, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Kudu uga den lakoni,
rukun lelima punika.
Apan ta sakuwasane,
nanging aja tan linakwan.
Sapa tan ngalakanana,
tan wurung nemu bebendu.
Mula padha estokena.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Harus juga dilaksanakan,
Rukun yang lima itu.
Memang hanya semampunya,
tapi jangan tidak dilakukan.
Siapa tidak melaksanakan,
tidak urung mendapat hukuman.
Maka harap patuhilah.


Kajian per kata:

Kudu (harus) uga (juga) den (di) lakoni (laksanakan), rukun (Rukun) lelima  (yang lima) punika (itu). Harus juga dilaksanakan, Rukun yang lima itu.

Oleh karena rukun yang lima itu menjadi perabot yang utama, besar atau sangat penting bagi orang hidup maka harus dilaksanakan. Melaksanakannya bukan saja sebagai bentuk ketundukan kepada Yang Kuasa, tetapi juga membuat hidup lebih mudah.

Apan ta (walau) sakuwasane (semampunya), ning (tapi) aja (jangan) tan (tidak) linakwan (dilakukan). Memang hanya semampunya, tapi jangan tidak dilakukan.

Walau hanya semampunya, tetapi lakukanlah. Semampunya di sini dalam arti tidak boleh melakukan di luar kesanggupan badannya. Misalnya orang berpuasa jika sedang sakit, bisa diganti di lain hari. Jika sakitnya permanen dan membahayakan kesehatannya, boleh tidak puasa namun diganti dengan fidyah. Kewajiban naik haji jika belum mampu tidakklah harus dipaksakan. Demikian juga shalat, jika tidak kuat berdiri sambil duduk, atau berbaring. Zakat pun demikian, jika tak punya harta benda tidaklah wajib berzakat, dll.

Ada banyak keringanan sehingga seluruh manusia dapat melakukan semua rukun ini dengan bertahap sampai akhirnya terlaksana semua. Bilamana tak cukup kemampuan atau umur tak sampai maka tidaklah menghalangi untuk berislam. Niatkanlah dahulu dengan tulus ikhlas, adapun tercapainya adalah semata-mata kehendak Allah. Jangan karena merasa tidak mampu kemudian putus asa. Janganlah demikian, tetapi niatkanlah dahulu untuk melakukan semuanya.

Sapa (siapa) tan (tidak) ngalakanana (melaksanakan), tan (tak) wurung (urung) nemu (mendapat) bebendu (hukuman). Siapa tidak melaksanakan, tak urung mendapat hukuman.

Karena yang tidak melaksanakan, lebih-lebih bagi yang sudah mempunyai kemampuan berarti dia abai, atau sengaja membangkang. Tak urung akan terkena hukuman Tuhan jika berlaku seperti itu.

Mula (maka) padha (harap) estokena (patuhilah). Maka harap patuhilah.

Maka harap semua mematuhi dengan sepenuh hati. Pertama niatkan dahulu, kedua upayakan sesuai kemampuan, ketiga jika sudah mampu segera laksanakan. Jika terpaksa tidak mampu memenuhi kelima rukun, setidaknya sudah berusaha semampunya. Soal tercapai atau tidak adalah kehendak Allah.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-196-den-lakoni-sakuwasane/

Kajian Wulangreh (197): Dimen Padhang Tyasira

 Pada (bait) ke-197, Pupuh ke-11, Asmarandana, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Parentahira Hyang Widdhi,
kang dhawuh mring Nabiyullah,
ing Dalil Kadis anggone,
aja na padha sembrana,
rasakna den karasa,
Dalil Kadis rasanipun,
dimene padhang tyasira.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Perintah Yang Maha Benar,
yang memberi perintah melalui NabiNya,
dalam dalil (Al Quran) dan Hadits tempatnya.
Jangan anggap sembarangan,
rasakan supaya paham,
maknanya Dalil dan Hadits.
Agar teranglah hatimu.


Kajian per kata:

Parentahira (perintah) Hyang (Yang) Widdhi (Maha Benar), kang (yang) dhawuh (memberi perintah) marang (kepada) Nabiyullah (Nabi Allah), ing (dalam) Dalil (dalil Al Qur’an) Khadis (Hadits) anggone (tempatnya). Perintah Yang Maha Benar, yang memberi perintah melalui NabiNya, dalam dalil (Al Quran) dan Hadits tempatnya.

Itu semua adalah perintah Tuhan, yakni syari’at yang diturunkan kepada Nabi Allah. Dalam Al Quran dan  Hadits lah tempatnya semua syariat itu. Dalam bait ini nama Allah disebut dengan Hyang Widhi, Yang Maha Benar, mengisyaratkan bahwa perintah itu benar karena diturunkan oleh Yang Maha Benar. Jadi jangan diragukan lagi.

Aja na(jangan) padha (sama) sembrana (sembarangan), rasakna (rasakan) den (supaya) karasa (terasa, paham), Dalil (dalil) Kadis (Hadits) rasanipun (maknanya). Jangan anggap sembarangan, rasakan supaya paham, Dalil dan Hadits maknanya.

Oleh karena itu jangan sembarangan, jangan main-main, yang sungguh-sungguh dalam menanggapi perintah tersebut. Rasakan supaya paham. Dalam menjalankan perintah tersebut rasakanlah di hati, renungkanlah, jangan hanya tubuhmu  saja yang bergerak mengikuti sunnah. jika tubuhmu merunduk dalam ruku’ hatimu juga harus menghormat, jika tubuhmu bersujud hatimu juga harus tunduk.

Dimene (agar) padhang (teranglah) tyasira (hatimu). Agar teranglah hatimu.

Setelah paham dan merasuk dalam hati semoga hatimu menjadi terang. Padahang di sini berarti tidak ada yang samar-samar atau tidak jelas, sudah mencapai keyakinan sejati. Ini hanya dapat dicapai melalui ibadah lahir dan batin. Dalam kajian serat Wedatama yang telah kita tuntaskan, ada empat lapis ibadah yang yang harus dikerjakan manusia dalam melaksanakan syariat, yakni: sembah raga, sembah sipta (kalbu), sembah jiwa, sembah rasa.

Yang dimaksud empat sembah bukanlah berdiri sendiri-sendiri, tetapi manakala seseorang melakukan kewajiban syariat, maka kalbu, jiwa dan rasa juga harus mengikuti kusyu dalam peribadatan.

Tidak boleh seseorang yang sedang sembahyang, misalnya, ketika tubuhnya melakukan gerakan sembahyang, hatinya malah teringat pada bakul nasi. Untuk mengingat kembali tentang empat sembah ini silakan buka kembali kajian Serat Wedatama yang telah kita tuntaskan pada sub-kategori Serat Wedatama di situs ini.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/10/kajian-wulangreh-197-dimen-padhang-tyasira/

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...