Translate

Senin, 23 September 2024

Babad Tanah Jawi (7): Kisah hidup Arya Damar

 Alkisah, di tengah sebuah hutan hiduplah dua raksasa bersaudara, jantan dan betina. Pada suatu hari raksasa betina berkata kepada saudaranya.

“Kakak, aku ingin menjadi istri raja Majapahit yang bernama Brawijaya. Bagaimana pendapatmu?”

Raksasa jantan berkata, “Berlagak kamu. Tak sadar dengan rupamu sendiri. Engkau punya taring dan rambutmu gimbal. Aku duga Sang Raja tak ingin punya istri sepertimu. Sedangkan di Majapahit saja ada banyak putri cantik rupawan. Semua bupati rela memberikan putri-putri mereka, bahkan raja-raja dari negeri seberang pun mau mengirim putri mereka. Kalau engkau bertemu Prabu Brawijaya, pasti raja itu pingsan ketakutan.”

Raksasa betina berkata, “Kakak, aku bisa berganti rupa wanita cantik.”

Segera raksasa betina berubah wujud menjadi wanita secantik bidadari. Raksasa jantan sangat gembira melihat adiknya kini menjadi cantik. Raksasa jantan tertawa-tawa ngakak. Rasanya keinginan sang adik kini bukan hal mustahil. Tentu saja dirinya ikut senang karena kalau berhasil kelak akan ikut hidup mulia. Juga anak-anak raksasa kelak akan ikut mewarisi bumi Jawa.

Raksasa jantan berkata, “Sekarang segeralah ke Majapahit. Temuilah Sang Raja dan upayakan engkau punya anak lelaki yang tampan. Aku akan belajar mengasuh anak agar kelak bisa ikut momong keponakan. Semoga keponakanku kelak bisa menjad ksatria pilihan di tanah Jawa. Dan semua hasil aku bertapa akan aku serahkan kepada keponakanku. Dik, segera berangkatlah. Engkau sekarang aku panggil Ni Endang Sasmitapura.”

Ni Endang menyembah lalu minta pamit berangkat ke Majapahit. Perjalannya segera sampai di Majapahit. Endang Sasmitapura terhenti di pasar. Orang-orang yang sedang berada di pasar sangat takjub dengan kecantikan Ni Endang. Berbondong-bondong mereka ingin melihat si cantik. Semua yang melihat mengira bila dia seorang bidadari yang turun dari kahyangan. Semua wanita di pasar tampak kusam berada di samping Ni Endang.

Alkisah Patih Gajahmada hendak berangkat menghadap Sang Raja. Perjalananya terhenti oleh kerumunan orang. Ki Patih turun dari kudanya dan mendekat.

Berkata Ki Patih, “Engkau ini siapa, mengapa berhenti di sini? Di mana rumahmu? Dan mengapa engkau tampak berbeda dengan orang banyak.”

Ni Endang berkata, “Saya dari gunung. Nama saya Endang Sasmitapura. Kedatangan saya ke sini hendak mengabdi kepada Sang Prabu Brawijaya.”

Belum lagi Ki Patih menanggapi dari dalam istana keluar dua utusan. Mereka kemudian menjumpai Ki Patih Gajahmada yang berada di situ.

Dua utusan itu berkata, “Hai Ki Patih. Saya mendapat perintah untuk memeriksa. Dari atas panggung di istana tampak pasar amat sepi. Ada apa gerangan?”

Ki Patih menjawab, “Pasar sepi karena orang-orang berkumpul di sini untuk melihat wanita cantik dari gunung. Namanya Endang Sasmitapura. Keinginannya hendak mengabdi kepada Sang Raja Majapahit. Sebaiknya nini ini segera dihadapkan kepada Sang Raja.”

Sudah dibawa menghadap Ni Endang, Sang Raja sangat suka. Ni Endang diterima pengabdiannya. Tak lama kemudian dipakai sebagai selir Sang Raja. Ni Endang Sasmitapura kemudian mengandung anak Sang Raja. Ketika mengandung Ni Endang nyidam daging mentah. Sang Raja semula mencegah, tetapi karena setiap hari memaksa akhirnya dituruti. Ketika makan daging mentah Ni Endang tiba-tiba rambutnya menjadi gimbal, lalu muncul taringnya dan kembali berubah menjadi raksasa betina. Seisi istana seketika geger. Prabu Brawijaya sangat marah. Segera mengambil tombak dan membidik Ni Endang. Namun Ni Endang berhasil lolos dan kembali ke tempatnya semula.

Sembilan bulan kemudia Ni Endang melahirkan seorang anak laki-laki yang berujud manusia. Sangat berbeda dengan keadaan ibunya, bayi itu sangat tampan. Ni Endang sangat berbelas kasih kepada putranya. Itu dia rawat dengan penuh perhatian. Bayi itu diberi nama Dilah. Setelah tumbuh sebagai anak remaja si Dilah bertanya siapa bapaknya. Sang uwak raksasa jantan mengaku sebagai bapaknya. Tetapi si Dilah tak percaya. Ni Endang merasa kerepotan hatinya.

Ni Endang berkata, “Anakku, sesungguhny engkau anak Prabu Brawijaya dari Majapahit. Namun sebaiknya engkau tidak memberitahukan kepada siapapun karena pasti mereka akan sangsi.”

Dilah berkata, “Ibu, kalau begitu aku hendak mengabdi kepada Prabu Brawijaya di Majapahit.”

Ni Endang berkata, “Jangan engkau mengabdi kepada Brawijaya. Ayahmu takkan mengakuimu. Dia akan merasa malu.”

Dilah berkata, “Ibu, boleh atau tidak, aku tetap memaksa pergi ke Majapahit. Sangat ingin hatiku mengabdi kepada Sang Raja.”

Si Dilah bersikeras pergi. Sang ibu tak dapat mencegah lagi. Segera melesat si Dilah ke Majapahit. Singkat cerita si Dilah telah sampai di Majapahit. Si Dilah menuju ke Pancaniti dan melakukan pepe di pelataran. Ketika Patih Gajahmada hendak menghadap Sang Raja, Ki Patih melihat si Dilah yang sedang pepe.

Ki Patih bertanya, “Wahai anak muda, dari mana asalmu?”

Si Dilah berkata, “Hamba anak dari hutan, tak tahu asal dan tak tahu orang tua. Hamba selama ini dipelihara kijang dan merak. Hamba ini ibarat layangan putus yang jatuh di sini atas kehendak Tuhan.”

Berkata Ki Patih Gajahmada, “Anak hutan, siapa namamu dan apa maksudmu datang ke sini?”

Si Dilah berkata, “Hamba bernama Dilah. Hamba datang ke Majapahit hendak mengabdi kepada Prabu Brawijaya. Menjadi pencari rumput pun hamba bersedia.”

Ki Gajahmada berkata, “Baiklah Dilah, ayo ikut menghadap Sang Raja di balai pertemuan.”

Ki Patih membawa si Dilah ke alun-alun lalu menyuruhnya untuk melakukan pepe yakni berjemur sebagai tanda kesungguhan hendak mengabdi.

Prabu Brawijaya yang melihat dari balai pertemuan segera mengutus gandek untuk memeriksa siapa yang melakukan pepe. Gandek utusan kemudian berjumpa dengan Gajahmada yang berada di alun-alun. Gajahmada menyampaikan kepada gandek bahwa anak tersebut hendak mengabdi kepada Sang Raja. Gandek segera menyampaikan kepada Sang Raja bahwa ada anak dari hutan yang namanya Dilah. Keperluannya melakukan pepe karena hendak mengabdi kepada Sang Raja.

Prabu Brawijaya lalu menyuruh agar Dilah dibawa maju menghadap ke balai pertemuan. Sang Raja merasa suka dengan penampilan dan perilaku Dilah yang mengesankan. Tampak oleh Sang Raja si Dilah seperti bukan berasal dari hutan. Maka pengabdian si Dilah pun diterima dengan baik.

Tak berapa lama Prabu Brawijaya berkehendak melakukan acara berburu di hutan. Dilah yang mendengar rencana tersebut mengajukan usul kepada Sang Raja.

Berkata si Dilah, “Paduka, terlalu jauh kalau berburu ke hutan. Lebih baik di alun-alun saja. Hamba sanggup mendatangkan hewan buruan dari hutan ke alun-alun.”

Prabu Brawijaya berkata, “Engkau anak kecil berani menyatakan sanggup? Baiklah kalau memang engkau bisa mendatangkan hewan buruan. Tapi kalau engkau berbohong aku akan penggal lehermu dan aku kuliti engkau di alun-alun di hadapan orang banyak.”

Dilah menyatakan sanggup dan segera berangkat. Sesampai di hutan Dilah menghadap kepada ibunya seraya menangis.

Berkara raksasa Ni Endang, “Hai Dilah, ada apa engkau menangis? Apakah pengabdianmu tidak diterima Sang Raja?”

Si Dilah menjawab, “Diterima ibu, tapi aku disuruh mendatangkan hewan buruan dari hutan ke alun-alun kota Majapahit.”

Sang ibu berkata, “Dilah, kembalilah engkau ke kota. Aku yang akan membawa hewah buruan ke alun-alun. Semua hewan di hutan akan aku bawa. Akan aku turuti kehendak Sang Raja.”

Si Dilah lalu berpamitan hendak kembali ke kota. Di belakangnya telah beriringan segala hewan buruan yang ada di hutan. Sesampai di alun-alun terlihat oleh Prabu Brawijaya dan para punggawa dari balai pertemuan si Dilah telah membawa banyak hewan buruan dari hutan. Ada kijang, banteng, kerbau, kancil dan hewan buruan lainnya.

Si Dilah lalu menghadap Sang Raja dan berkata, “Duhai paduka, hamba menghaturkan semua hewan dari hutan. Silakan kalau hendak diburu di alun-alun.”

Prabu Brawijaya lalu memanggil para istri dan penghuni istana untuk menikmati acara berburu hewan hutan di alun-alun. Dengan naik pedati dan kereta hewan-hewan dibidik senjata. Sang Prabu sangat bersukacita. Selama hidup belum pernah mengalami rasanya berburu seperti ini. Sang Prabu puas bersuka-suka.

Atas jasanya itu si Dilah kemudian diwisuda menjadi mantri dengan nama Arya Damar dengan diberi wilayah di tanah seberang yang bernama Palembang. Arya Damar diberi prajurit sepuluh ribu dari Jawa dan juga diangkat sebagai putra Sang Raja. Arya Damar pun bersiap berangkat ke Palembang.

Alkisah, dahulu Sang Prabu Brawijaya pernah mengirim utusan ke Cina untuk melamar putri Cina sebagai istri. Tak lama kemudian Raja Cina berkenan mengirim putrinya untuk diperistri Prabu Brawijaya. Seorang putri yang cantik dan berpenampilan sempurna. Jadilah permaisuri Ratu Darawati dari Cempa kini mempunyai madu yang cantik jelita. Prabu Brawijaya sangat menyukai putri Cina sehingga permaisuri merasa tersisihkan. Olah karenanya sang putri Cempa bermaksud meminta cerai dan akan kembali ke Cempa. Prabu Brawijaya merasa kerepotan hatinya, tetapi cintanya kepada sang permaisuri ternyata lebih besar.

Prabu Brawijaya berkata, “Baiklah Dinda, kalau engkau tak mau dimadu dengan putri Cina, dia akan saya keluarkan dari istana.”

Prabu Brawijaya lalu mengutus Patih Gajahmada untuk membawa putri Cina dan menulis surat yang berisi pesan rahasia. Ki Patih segera berangkat menuju pelabuhan Gresik menemui Arya Damar yang sedang bersiap berangkat ke Palembang.

Berkata Patih Gajah Mada, “Aku diutus Sang Raja menyerahkan istri Sang Raja yang berasal dari Cina kepadamu. Juga ada surat yang ditujukan kepadamu. Ini suratnya.”

Surat diserahkan kepada Arya Damar dan segera dibaca dengan seksama.

Isi suratnya, “Suratku Raja Majapahit Brawijaya. Wahai Arya Damar, engkau aku beri putri Cina. Jangan dulu engkau gauli karena dia mengandung anakku. Tunggullah sampai anak itu lahir, lalu jadikan dia istrimu.”

Arya Damar menerima sang putri Cina dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Palembang. Patih Gajahmada kembali ke istana untuk melapor bahwa persoalan putri Cina telah selesai. Arya Damar sangat berterima kasih.

Sementara itu perjalanan Arya Damar lancar tak mendapat halangan apapun. Segera Arya Damar dan pasukan pengiringnya sampai di Palembang. Arya Damar kemudian menjadi raja perwakilan dari Majapahit di Palembang.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/07/babad-tanah-jawi-7-kisah-hidup-arya-damar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...