Translate

Senin, 30 September 2024

Kajian Wulangreh (224): Pituture Wong Kuna

 Pada (bait) ke-224, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Tur ta duk masihe bocah,
akeh temen kang nuturi,
lakune wong kuna-kuna.
Lelabetan kang abecik,
miwah carita ugi,
kang kajaba saking ebuk,
iku kang aran kojah.
Suprandene ingsun iki,
teka nora nana undaking kabisan.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Padahal ketika masih kecil,
banyak benar yang bercerita,
perilaku orang zaman dahulu kala.
Pengabdian yang baik,
serta cerita juga,
yang selain dari buku,
(juga) yang disebut dongeng.
Walau demikian diriku ini,
kok tidak ada tambahan kepandaian.


Kajian per kata:

Tur ta (padahal) duk (ketika) masihe (masih) bocah (kecil), akeh (banyak) temen (benar) kang (yang) nuturi (bercerita), lakune (perilaku) wong (orang) kunakuna (zaman dahulu kala). Padahal ketika masih kecil, banyak benar yang bercerita, perilaku orang zaman dahulu kala.

Kebiasaan bercerita ini sering dilakukan oleh para orang tua, terutama kakek dan nenek kepada cucu-cucunya sebagai bagian dari pola pengasuhan. Maka bertutur adalah aktivitas yang penting bagi orang Jawa tempo dulu. Mengapa yang sering bercerita adalah kakek dan nenek? Karena dalam tatakrama yang dianut orang Jawa semakin tua seseorang maka perkataannya harus semakin dipatuhi. Semakin tua seseorang pitutur atau nasihtnya semakin berharga. Orang tua-tua di Jawa dianggap sebagai orang yang telah kaya pengalaman hidup sehingga ilmunya layak ditimba, apapun itu.

Lelabetan (pengabdian) kang (yang) abecik (baik), miwah (serta) carita (cerita) ugi (juga), kang (yang) kajaba (selain) saking (dari) ebuk (buku), iku (itu) kang (yang) aran (disebut) kojah (dongeng). Pengabdian yang baik, serta cerita juga, yang selain dari buku, (juga) yang disebut dongeng.

Diceritakan tentang pengabdian yang baik dari orang-orang dahulu, juga cerita yang selain dari buku yang disebut dongeng. Umumnya dongeng fabel seperti kancil nyolong timun, atau timun mas, dll. Juga dongeng dari kisah 1001 malam yakni Ali Baba, Labakan, Aladin, dll. Itulah yang biasanya dilakukan oleh orang-orang tua di Jawa.

Kata ebuk dari kata Belanda boek, artinya buku. Kojah dari kata Arab hujjah yang artinya alasan, argumen datau dalil. Namun dalam bahasa Jawa artinya bergeser menjadi perkataan yang tak perlu pembuktian, alias dongeng.

Suprandene (walau demikian) ingsun (aku) iki (ini), teka (kok) nora (tidak) nana (ada) undaking (tambahan) kabisan (kepandaian). Walau demikian diriku ini, kok tidak ada tambahan kepandaian.

Kalau ini adalah curahan hati sang penggubah serat Wulangreh ini. Walau telah banyak mendengar berbagai cerita, baik yang dari pengalaman orang dahulu sampai dari buku dan kisah dongeng kok tidak ada tambahan ilmu yang berarti, kok masih merasa bodoh saja. Itulah biasanya yang terjadi pada orang-orang pandai, sebanyak apapun belajar dia akan tetap merasa kurang ilmu.

Sekedar tambahan, penggubah serat Wulangreh ini, Sri Pakubuwana IV adalah raja yang gemar akan sastra dan budaya Jawa. Beliau banyak memprakarsai penulisan kembali karya-karya zaman Majapahit seperti Baratayudha.  Selain itu beliau juga menulis beberapa serat piwulang secara mandiri, seperti serat Wulangreh ini. Ada beberapa serat lain yang beliau tulis, yang sudah kita kaji sebagian adalah serat Wulang reh ini dan serat Wulang Sunu. Keduanya belum selesai kita kaji.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-224-pituture-wong-kuna/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...