Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (BP): Kisah Sukra-Lembah (1)

 Alkisah negeri Mataram baru saja mengalami perang besar yang memporak-porandakan negeri. Perang ini disebut perang Suksesi Jawa I. Demikian parahnya kerusakan negeri sehingga ibukota dipindahkan ke Kartasura. Setelah perang usai Mataram kembali menata diri dengan pemerintahan yang baru. Yang berdiri sebagai raja adalah Susuhunan Amangkurat II, putra dari Susuhunan Amangkurat Agung yang mangkat di Tegalarum.

Jalannya pemerintahan negeri Kartasura dibantu oleh Pangeran Puger yang bertindak sebagai patih. Pangeran Puger adalah putra dari Amangkurat Agung, sekaligus adik raja yang berkuasa. Diceritakan Pangeran Puger ini mempunyai banyak putra, dua perempuan dan tujuh laki-laki.

Putra yang sulung seorang perempuan yang bernama Raden Ayu Lembah, sangat cantik mengalahkan para bidadari. Sudah sejak kecil digadang-gadang menjadi istri dari putra raja. Panenggak atau putra kedua bernama Raden Teja, adiknya lagi bernama Raden Mesir yang tampan, adiknya lagi Raden Papak dan yang bungsu Raden Kawa. Kelima putra ini lahir dari istri selir.

Adapun istri padmi[1] berasal dari trah Juminahan, juga sudah mempunyai tiga putra yang semua laki-laki. Yang pertama Raden Surya, kedua Raden Sasangka dan ketiga Raden Sudama. Ketiganya sungguh tanpan rupawan. Pangeran Puger sangat mengasihi para putra-putranya.

Sementata itu di kedaton, Prabu Amangkurat sedang bercengkerama dengan permaisuri. Sang Prabu berkata, “Panggilah putramu Adipati Mangkunagara[2].”

Yang diperintah segera bergegas memanggil sang putra. Yang dipanggil pun segera menghadap dan menghaturkan sembah. Sang Prabu berkata kepada sang putra.

“Anakku pangeran adipati, engkau sudah dewasa. Sudah menjelang masa birahimu dan waktunya untuk membangun rumah tangga. Engkau menikahlah dengan saudaramu yang sudah aku jodohkan sejak kecil, yakni anak dari adikku, Pangeran Puger. Seorang gadis jelita yang bernama nini Lembah, yang sudah aku jodohkan denganmu sejak kecil. Sekarang lestarikan perjodohan itu.”

Pangeran Adipati berkata sambil menyembah, “Hamba belum pernah melihat putri dari adik paduka.”

Berkata Sang Prabu, “Kalau begitu segeralah ke Kapugeran.”

Sang putra segera menyembah dan melaksanakan perintah. Tidak berapa lama sudah sampai di Kapugeran, kediaman Pangeran Puger. Ketika itu putra Pangeran Puger yang bernama Raden Teja sedang berada di pintu, kaget melihat datangnya sang kakak. Segera masuk dan melapor kepada ayahandanya.

Pangeran Puger berkata kepada para putranya, “Hai Surya, segera siapkanlah penyambutan. Dan engkau Teja, segera keluar dan anakku pangeran adipati persilakan masuk.”

Raden Teja segera keluar menemui Pangeran Adipati, sementara Pangeran Puger pun turun menyambut sang keponakan. Tangan sang pangeran digandeng Pangeran Puger masuk ke puri. Sesudah nyaman duduk di tempat yang disediakan dan para putra turut menemui pangeran, Pangeran Puger bekata.

“Nak, kebetulan sekali berjalan-jalan sampai di sini. Apakah ada perintah dari ayahandamu kepadaku?”

Yang ditanya hanya menjawab, “Saya diperintah oleh ayahanda untuk datang ke sini.”

Seketika Pangeran Puger mengerti maksud dari sang kakak (Raja) menyuruh Pangeran Adipati datang ke kediamannya. Raden Sudira dilirik oleh sang ayah dan segera paham maksudnya. Dia segera memanggil kakak perempuannya, Raden Ayu Lembah.

Raden Ayu Lembah, kaget melihat kedatangan sang adik, “Ada apa engkau datang ke sini Dik?”

Raden Sudira berkata, “Saya diperintah ayah agar kakak menghadap ayah dengan membawa tempat kinang.”

Raden Ayu Lembah bertanya, “Ada apa ayah menyuruh menghadap dengan membawa tempat kinang? Siapa tamu yang datang?”

Raden Sudira berkata, “Tamunya adalah kakak Pangeran Adipati.”

Raden Ayu Lembah berkata, “Kok tumben kakak Pangeran Adipati bertamu ke sini. Duh, saya enggan. Walau masih saudara sendiri tetapi sudah sama-sama dewasa, dan antara laki-laki dan perempuan. Sebenarnya saya tidak mau.”

Raden Sudira membujuk-bujuk sang kakak, “Kakak jangan sampai engkau membangkang. Tidak urung pasti terkena marah ayahanda.”

Sudah menghadap Raden Ayu Lembah dengan membawa tempat kinang dan segera menghaturkannya kepada ayahanda.

Pangeran Puger berkata pelan, “Engkau haturkan kepada gustimu.”

Yang disuruh menyembah dan sangat malu hatinya, tetapi sangat takut kepada ayahandanya. Segera dihaturkan tempat kinang kepada Pangeran Adipati. Yang diberi tempat kinang memperhatikan wajah sang putri sampai tertegun dan terbayang-bayang. Raden Ayu Lembah menghaturkan sembah dan segera mundur dengan sangat malu hatinya.

Sang Pangeran Adipati berkata kepada sang paman, “Adik Ayu Lembah ini berapa usianya?”

Pangeran Puger menjawab, “Dengan Ananda hanya selisih satu tahun. Ketika dulu masih di Mataram, ananda pangeran sudah disapih dan adinda ini masih menyusui.”

Pangeran Adipati segera mohon pamit dan kembali ke keraton menghadap Sang Raja. Sudah melapor apa yang terjadi mulai awal sampai akhir.

Tersenyum Sang Raja berkata pelan, “Anakku segeralah pulang ke rumahmu. Pesanku kalau engkau sudah menjadi suami dari nini Lembah yang bisa engkau ngemong kepada istrimu. Ketahuilah kalau aku meninggal kelak, engkau yang menggantikan sebagai raja. Pamanamu Adipati Puger itu yang mengasuhmu dan juga Adik di Madura, bersama-sama mengasuhmu dengan Adipati Surabaya. Ketiganya punggawa yang aku pesankan kepadamu jangan sampai engkau buat kecewa. Kelak apa yang mereka katakan turutilah wahai anakku. Tidak akan lestari engkau menjadi raja di Kartasura kalau tidak bisa membuat nyaman ketiga punggawa itu. Tidak akan laggeng engkau menjadi raja dan akan rusak negara.”

Pangeran menyembah dan pulang ke kediamannya karena hari sudah larut malam. Paginya, ketika hari Senin Sang Prabu menggelar pisowanan di hadapan segenap balatentara. Orang-orang besar berada di depan, diapit para magersari di kiri dan kanan. Begitu berwibawa Sang Prabu laksana matahari yang bersinar terang. Dikelilingi para abdi dalem keparak, prajurit jagabaya, prajurit sangkragnyana, prajurit yudamanggala, nirbaya, kartiyasan, wisamarta, brajanala dan wirabraja. Prajurit patrayuda kanoman, martalulut dan singanagara, mantri anom dan gandek dan semua prajurit yang ada di keraton lengkap hadir. Juga hadir niyaga, kabayan, carik, gamel, judipati, jagasura, margasa, tuwaburu, gowong dan panajegan.

Sang Adipati Puger sudah menghadap, duduk berjajar dengan Pangeran Arya Mataram dan Pangeran Panular, juga dengan para adipati Pangeran Arya Sindureja dan Pengeran Wiradigda dan Tumenggung Urawan, Tumenggung Mangkuyuda, Tumenggung Natayuda dan Ki Tumenggung Wiraguna. Juga telah hadir para kandhuruan, Kyai Mangunnagara, Kyai Sumabrata, pada rongga, demung, pecatanda, ondamoi, ngabei, dan Arya Jasupanteng.

Sang Raja memberi isyarat agar Pangeran Puger mendekat. Yang dipanggil segera mendekat sambil menyembah serta menyentuh kaki Sang Raja, sangat takutlah Pangeran Puger kepada kakandanya. Setelah Pangeran Puger duduk di hadapan, Sang Raja berkata pelan.

“Adik, anakmu nini Lembah aku minta untuk kujodohkan dengan anakmu Adipati Anom.”

Sang Adik menyembah tak menolak kehendak raja, walau hidup mati pun dihaturkan sang Raja.

Sang Prabu bertitah kepada patih Sindureja, “Si Penghulu panggilah segera!”

Penghulu sudah menghadap dan ketika sedang berbincang mendadak datang utusan dari Sampang membawa surat, yang segera diambil oleh Ki Patih. Surat sudah dihaturkan kepada Raja dan dibaca segera.

Sinuhun berkata, “Wahai Sindureja, balaslah surat dari Adik Adipati di Sampang ini.  Katakan kelak kalau sudah genap tujuh bulan aku panggil kembali ke kotaraja.”

Sindureja menyembah mematuhi perintah. Sang Prabu segera masuk puri diiringi para wanita. Sesampainya di puri Pangeran Puger dipanggil beserta segenap para punggawa. Ki Pengulu dan Ki Ketib sudah datang, sang pangeran sudah dipanggil. Pangeran datang dengan menghaturkan sembah.

Sang Prabu berkata kepada Penghulu, “Hai Penghulu, anakku nati nikahkanlah dengan anak adikku di Kapugeran.”

Penghulu menghaturkan sembah kepada Sang Raja lalu memanjaatkan doa. Tak diceritakan secara rinci jalannya ijab-kabul. Ketib segera membaca shalawat dan keluar dari tempat akad nikah. Semua warga bersorak dari dalam puri dengan suara gemuruh tanda sukacita.

Sang Raja berkata kepada Pangeran Puger, “Dik segera pulanglah dan riaslah anakmu.”

Pangeran Puger meninggalkan tempat dengan menyembah. Sesampai di Kapugeran berkata kepada istrinya, “Dik, segera riaslah anakmu. Nanti sore anakmu diambil masuk ke istana.”

Istrinya menjawab dengan menyembah. Raden Ayu Lembah segera dirias oleh ibunya. Para bibi menghadap kepada yang mirip Dewi Ratih, semua membujuk-bujuk sang putri yang sangat galau hatinya. Karena sudah mendengar kalau Raden Mantri (Pangeran Adipati) berwatak rusuh dan rakus. Maka hati menjadi ragu-ragu menerima perjodohan ini, hanya semata-mata karena takut kepada sang ayah. Para bibi terus membujuk sehingga hati sang putri kembali gembira.

Diberi ganti pakaian bawah sang putri yang mirip Dewi Ratih oleh sang ibu, dan diberi wewangian. Sudah dipakaikan kampuh dan dirias tuntas. Tampak penampilan kalau dilihat seperti bulan di pagi hari, bersinar samar-samar membuat kesengsem yang melihat. Terlihat wajahnya berseri, rambutnya bagaikan ombak lautan bertabur bunga semakin menambah harum, bulu mata lentik, mata sayu karena kurang tidur. Alis seperti bulan tanggal satu, gigi seperti deretan mutiara, dada bidang luas, payudara seperti kelapa gading, kalau berjalan bergoyang-goyang membuat kepincut. Sungguh, bahkan di dalam mimpi pun belum ada yang pernah melihat wanita yang demikian, benar-benar ratunya para gadis.

Kita tinggalkan yang seperti Dewi Ratih, sementara itu Raden Ayu Sindureja diutus Sang Raja datang di Kapugeran beserta istri para bupati, sudah sampai di hadapan Pangeran Adipati Puger.

Pangeran Adipati Puger berkata kepada istrinya, “Nah Dinda, putramu segera berangkatkanlah.”

Sang istri menyembah lalu berangkat, tangan sang putri digandeng Raden Ayu Sindureja dinaikan ke tandu dan diiringi para bibi dari Kapugeran.

Tidak diceritakan di jalan, sampailah sudah di sitibentar[3] keraton. Tandu sudah berlalu masuk ke keraton, lalu terus berhenti di bangsal Sri Manganti. Raden Ayu Lembah dipersilakan turun dari tandu, disambut para istri punggawa keraton. Permaisuri pun turun menyambut sang menantu. Tangan kanan digandeng Kangjeng Ratu Kancana, tangan kiri digandeng Kangjeng Ratu Kilen. Segera dibawa masuk ke dalam puri dan dipertemukan dengan Raden Mantri. Keduanya lalu menyembah dan sungkem kepada Raja.

Sang Raja berkata, “Anakku Pangeran Adipati, yang bisa ngemong pada istrimu karena itu masih saudaramu sendiri.”

Kedua putra menyembah patuh. (Bersambung ke bagian 2)

=================================

Teks Asli:


47. …………. | Pangran Pugêr wau | kacarita sugih putra | ingkang èstri atmajanira kêkalih | sapta atmaja priya ||

48. putra ingkang pambajêng pawèstri | akêkasih Radèn Ayu Lêmbah | sor widadari citrane | ingkang badhe pinundhut | wus pinacang-pacang duk alit | pinanggihakên lawan | putra sang aprabu | arine Dyan Ayu Lêmbah | akêkasih Radyan Impun yu linuwih | putri ing Kapugêran ||

49. panênggak jalu warnane pêkik | apêparab sira Radèn Teja | Rahadèn Mêsir arine | citranira abagus | Radèn Papak arine malih | sira Rahadèn Kawa | nênggih kang waruju | putra pônca kang punika | kacarita samya miyos saking sêlir | sira sang adipatya ||

50. grahanira pangeran kang padmi | nênggih putri saking Juminahan | sampun apêputra mangke | têtiga sami jalu | warnanira samya apêkik | kêkasih Radèn Surya | putra ingkang sêpuh | panênggak Radèn Sasôngka | kang waruju Radèn Sudama namèki | katri bagus kang warna ||

51. Jêng Pangeran Pugêr langkung asih | mring atmaja langkung ngêla-êla | anak kang asih putrane | kawarnaa Sang Prabu | Amangkurat ing nuswa Jawi | lagya siniwèng garwa | anèng jro kadhatun | naradipatya ngandika | timbalana sutèngong Ki Adipati | Anom Mangkunagara

||52. ingkang kinon mentar awotsari | animbali pangeran dipatya | datan kawarna lampahe | kang ingandikan gupuh | tumamèng jro prapta ing ngarsi | ning rama atur sêmbah | mangusapi lêbu | rinangkul mring sri narendra | sang natangling sutèng ulun ki dipati | sira wus adiwasa ||53. wus amêpêg birainirèki | sêdhêng kaki amanguna krama | olèha kadangmu dhewe | pêpacangan duk timur | atmajane ari dipati | ing Pugêr pan wanodya | warnanipun ayu | ingkang aran nini Lêmbah | duk lagyalit sun pacangkên lan sirèki | ing mêngko tulusêna ||

54. jêng pangeran matur awotsari | patik aji pan dèrèng uninga | ari nata atmajane | angandika sang prabu | yèn mangkono mentara kaki | marang ing Kapugêran | kang putra wotsantun | sampun mêdal saking pura | jêng pangeran dipati lampahnya aglis | wus praptèng Kapugêran ||

55. Radèn Têja lagya anèng kori | kagyat mulat praptane kang raka | anulya malêbêt age | katur uninga sampun | dhatêng rama yèn raka prapti | Pangeran Pugêr mojar | hèh Surya dèn gupuh | padha sira gêgêlara | hèh ta Têja mêtua sira dèn aglis | nah anggèr aturana ||

56. Radèn Têja mentar awotsari | praptèng jawi panggih lan pangeran | dipati ngaturan age | kang raka lumastantun | Radèn Têja nulya kinanthi | prapta ing palataran | sira sang abagus | Pangeran Pugêr gya têdhak | ingkang putra astane sampun kinanthi | dyan ingaturan lênggah ||

57. ri sampune atata alinggih | para putra sumiwi ring ngarsa | kang paman alon ature | anggèr dingarènipun | amêng-amêng dhatêng ing ngriki | baya ta wontên karya | kang tinanya matur | dinuta ing kangjêng rama | sang dipati ing Pugêr sampun andugi | yèn raka darbe karsa ||

58. Radèn Sudira dinuk ing liring | pan uninga karsane kang rama | anulya mêsat sirage | ing dalêm sampun rawuh | raka èstri kapanggih linggih | Rahadèn Ayu Lêmbah | kagyat dènnya dulu | atanya ing arinira | kadingarèn yayi sira praptèng ngriki | baya ta ana karya ||

59. Dyan Sudira matur awotsari | kakang êmbok paduka ngandikan | mring rama lah dipun age | pawohan sampun kantun | kinèn bêkta atur nèng ngarsi | sang dyah ayu ngandika | sapa tamunipun | jêng rama mundhut pawohan | ingkang rayi umatur sarya wotsari | tamunipun kakang mas ||

60. Radèn Ayu Lêmbah angling aris | kadingarèn kakang mas dipatya | yayi mratamu marene | dhuh yayi sungkan ingsun | nadyan kadangira pribadi | mapan sami diwasa | èstri lawan kakung | yêktine ingong lênggana | Dyan Sudira umatur angasih-asih | kangbok atur kawula ||

61. sampun paduka lêngganèng kapti | datan wande dinukan ing rama | Dyah Ayu Lêmbah sirage | nambut pawohanipun | sang dyah ajrihira nglangkungi | dhumatêng ingkang rama | wus têdhak sang ayu | sarya anômpa pawohan | praptèng ngarsa wus ingaturakên aglis | marang ngarsaning rama ||

[1] 62. Sang Dipati Pugêr ngandikaris | aturêna marang gustinira | kang kinèn atur sêmbahe | kalangkung merangipun | nging ajrih ing rama nglangkungi | ingaturakên sigra | marang sang abagus | sang tami cêngêng tumingal | mring sang rêtna kamanisên aningali | tansah mikir ing nala ||

63. Sang Dyah Ayu Lêmbah atur bêkti | marang rama langkung merangira | mring raka wus mundur age | sang dipati umatur | mring kang paman saha wotsari | adhi ajêng punika | pintên yuswanipun | Pangeran Pugêr ngandika | lan paduka watawis kaot sawarsi | duk wontên ing Mataram ||

64. andika anggèr lagya sinapih | dening ibu arinta ni rara | maksih sinêsêpan anggèr | pangeran dipatya wus | atur pamit sahatur bêkti | sigra mantuk mring pura | tumamèng kadhatun | wus cundhuk lan sri narendra | dyan umatur miwiti malah mêkasi | mèsêm sri naradipa ||

65. jêng sinuhun angandika aris | kaki mantri lah uwis muliha | marang dalêm kadipatèn | anging wêwêkas ingsun | lamun sira tulus apanggih | kalawan arinira | ni Lêmbah nakipun | dèn bisa sira mong garwa | wruhanira ing benjing yèn ingsun lalis | sira gantyani nata ||

66. pamanira ing Pugêr Dipati | iku ingkang angêmong ing sira | myang ari ing Madurane | sami among sirèku | lan dipati ing Surawèsthi | katri ingkang punggawa | ing wêwêkas ingsun | aywa sira wèhi rêngat | saature ing benjing turutên kaki | hèh radèn wruhanira ||

67. nora tulus sira madêg aji | anèng nagara ing Kartasura | yèn ora enak atine | têtiga punggawèku | datan tulus kaki dadyaji | yêkti rusak kang praja | pangeran wotsantun | wus kondur mring dalêmira | sampun dalu ya ta kawarnaa enjing | nata ngrasuk busana ||

68. dintên Soma sang nata tinangkil | sampun mungging dhêdhampar kancana | siniwèng wadyabalane | wong priyantaka ngayun | têpung lawan wadya saragni | kakôndha munggwing ngarsa | lir raditya murub | magêrsari apan kapang | amarapit ing kanan miwah ing keri | ning nata myang ing ngarsa ||

69. wadya kaparak samya marapit | jagabaya sisih sangkragnyana | kapilih samya sisihe | yudamanggala ngayun | lan wong miji sisihanèki | nirbaya sisihira | samya nirbayèku | kartiyasa sisihira | wisamarta wong brajanala asisih | lawan wong wirabraja ||

70. patrayuda kanoman asisih | martalulut lan singanagara | mantri anom lawan gandhèk | maundara wong kidul | astranôngga sisihirèki | myang wadya patranala | darpaitèng ngayun | jantaka lan tanuastra | sisihira wirapracôndha tan têbih | sikêp tulus prayatna ||

71. kabayan niyaga anèng wuri | suranata carik jajarira | sarati gamêl jajare | kriya keri gènipun | judhipati wontên ing ngarsi | jagasura sisihnya | ing ngarsa gènipun | wong margasa ngarsa têbah | tuwaburu gowong prasamya anangkil | miwah wong pamajêgan ||

72. sang dipati ing Pugêr wus nangkil | lênggah jajar lan Arya Mataram | miwah Pangran Panulare | pangeran dipatyèku | jajar lawan para dipati | Radèn Arya Sindurja | lan Wiradigdèku | miwah Tumênggung Urawan | Mangkuyuda kalawan Natayudèki | miwah Ki Wiraguna ||

73. Kandhuruan pan sampun anangkil | muwah Kiyai Mangunnagara | myang Kyai Sumabratane | myang rôngga lawan dêmung | pêcatôndha lan ôndhamoi | ngabèi lawan Arya | Jasupantèng ngayun | pêpak kang para niyaka | yèn dinulu lir sêkar sataman asri | busananing punggawa ||

74. sri narendra angawe ing ari | Dipati Pugêr sigratur sêmbah | wus majêng ngarsa sirage | sarya ngusapi lêbu | anungkêmi padèng narpati | kalangkung ajrihira | ing raka sang prabu | ri sampunira alênggah | munggwing ngarsa sang nata ngandika aris | yayi atmajanira ||

75. nini Lêmbah lah sun pundhut yayi | apanggiha lan atmajanira | kaki adipati anom | kang rayi awotsantun | tan lênggana karsèng narpati | sanadyan pêjah gêsang | katurèng sang prabu | sri narendra angandika | si pangulu patih timbalana aglis | kang kinèn awotsêkar ||

76. ki pangulu sampun dèn timbali | naradipa eca angandika | kasaru wau dhatênge | duta ing Sampang sampun | atur surat marang ki patih | sampun katur mring nata | tinupiksa gupuh | jêng sinuhun angandika | angsulana Sindurja layange adhi | adipati ing Sampang ||

77. besuk yèn wus gênêp pitung sasi | ingsun timbali mulih mring praja | Sindurja atur sêmbahe | dyan ingangsulan sampun | sri narendra kondur mring puri | ingiring pra wanodya | swarane gumuruh | sapraptanira ing pura | jêng pangeran ing Pugêr glis dèn timbali | myang sagunging niyaka ||

78. ki pangulu lan kêtib wus prapti | ingkang putra sampun tinimbalan | praptèng ngarsatur sêmbahe | angandika sang prabu | hèh pangulu atmaja mami | ing mêngko ningkahêna | lawan putranipun | yayi mas ing Kapugêran | ki pangulu atur sêmbah ing narpati | nulya amaos donga ||

79. tan kawarna solahirèng nguni | putra nata pan sampuning ningkah | kêtib andum salawate | sigra tadhahan mêtu | pan gumêrah saking jro puri | wong dalêm awurahan | swaranya gumuruh | sri naranata ngandika | ari êmas ing Pugêr mantuka aglis | Ni Rara Pahyasana ||

80. ingkang rayi mentar awotsari | sampun praptèng dalêm Kapugêran | angandika ing garwane | yayi mas dèn agupuh | Pahyasana putranirèki | mêngko sore nakira | pinundhut malêbu | kang garwa sahatur sêmbah | Radèn Ayu Lêmbah agya dèn paèsi | dhumatêng ibunira ||

81. para bibi ngadhêp sang lir Ratih | samya angimur-imur ing putra | sang dyah sangêt onêng tyase | marma rêncakèng kalbu | dene myarsa yèn radèn mantri | ambêg rusuh tur arda | mila rangu-rangu | kapêksa ajrih ing rama | para bibi sadaya angarih-arih | sang dyah lêjar ing nala ||

82. sinalinan sinjang sang lir Ratih | mring kang ibu myang ginônda wida | dyan tinata sri natane | wus inganggenan kampuh | mring sang ibu sah ingaèsi | katuhon warnanira | sira sang dewayu | yèn tinon kadya basônta | karainan piningit ing ima nipis | riyêm-riyêm sung brôngta ||

83. tinon kadi laywan ing wratsari | citranira adining kusuma | wênês ijo pamulune | sri natasri dinulu | kèswanira lir jalanidhi | sinangsayèng puspita | amêwahi rungrum | idêp tumêngge anawang | soca balut labête atajin guling | alis angroning imba ||

84. wajanira lir mutyarèng nganggit | jaja kaêtang wêlar awijang | lir nyu dênta pambayune | yèn lumampah sang ayu | ngandul-andul akarya brangti | têngah kadya pêpêsa | sung marma kadulu | sanajan jroning supêna | dèrèng mulat kang kadya sang ruming sari | ratu-ratuning kênya ||

85. datatita sang apindha Ratih | kawarnaa Dyan Ayu Sindurja | dinutèng nata praptane | ing Kapugêran rawuh | myang rabining para bupati | pan umiring sadaya | wus tumamèng ngayun- | nira Pangeran Dipatya | Kapugêran angandika marang rabi | lah yayi putranira ||

86. budhalêna lah payo dèn aglis | dutèng nata ing mangkya wus prapta | kang rayi atur sêmbahe | nulya umangkat sampun | ingkang putra tansah kinanthi | mung Dyan Ayu Sindurja | nyandhak astanipun | binaktèng minggah jêmpana | para bibi sadaya samya umiring | sumrêg wong Kapugêran ||

87. tan kawarna solahirèng margi | sampun prapta anèng sitibêntar | jajaran wus madêg kabèh | jêmpana lajêng sampun | dyan lumêbêt ing kênyapuri | warnanên para graha- | nira sang aprabu | wus mêthuk wijil ping tiga | para sêlir katangguh manggung myang sêlir | gumêdêr awurahan ||

88. sampun prapta anèng srimanganti | radèn ayu ingaturan têdhak | saking jêmpana sirage | sagunging swaminipun | pra punggawa anggrêbêg sami | pramèswari gya nyandhak | mring astaning mantu | kang têngên Ratu Kancana | asta keri Ratu Kilèn ingkang nganthi | wus binakta mring pura ||

89. wus pinanggihakên radèn mantri | lawan kang garwa ngarsaning nata | kalih nungkêmi padane | rinangkul de sang prabu | anak ingsun kaki dipati | dèn bisa among ing dyah | nyawa putraningsun | apan iku kadangira | nimas rara sira kang ngêmonga kaki | kang putra atur sêmbah ||

[1] Istri utama. Kalau bagi raja namanya istri prameswari (permaisuri).

[2] Adipati Mangkunagara adalah gelar dari putra mahkota. Lengkapnya: Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Amangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra Ing Mataram.

[3] Siti bentar atau sitinggil adalah tanah yang ditinggikan dan diberi tatanan batu sebagai tempat pisowanan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2021/11/25/babad-tanah-jawi-bp-kisah-sukra-lembah-1/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...