Translate

Senin, 30 September 2024

Kajian Wulangreh (277;278): Titi Tamating Carita

Pada (bait) ke-277;278, Pupuh ke-13, Girisa, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Titi tamating carita,
serat wawaler mring putra,
kang yasa serat punika,
nenggih kanjeng Susuhunan,
Pakubuwana Kaping Pat,
ing galih panedhanira,
kang amaca kang miyarsa,
yen lali muga elinga

Telase panuratira,
sasi Besar ping sangalas,
Akad Kaliwon, taun Dal,
tata guna swareng nata,
mangsastha windu Sancaya,
wuku Sungsang kang atampa,
ya Allah kang luwih wikan,
obah osiking kawula

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Habis tamatlah ceritera,
surat pesan larangan kepada anak-anak ini.
Yang membuat surat ini,
Kanjeng Susuhunan,
Pakubbuwana keempat.
Dalam hati sangat meminta,
yang membaca dan yang mendengar,
kalau lupasemoga segera ingat.

 Selesai penulisan serat ini:
Bulan Besar tanggal 19,
Minggu Kliwon, tahun Dal.
Tata Guna Swareng Nata =1735J (1809M).
Mangsa Astha, Windu Sancaya,
Wuku sungsang. Semoga diterima,
Ya Allah, yang lebih mengetahui,
gerak geriknya hambaMu.


Kajian per kata:

Titi (habis) tamating (tamatlah) carita (ceritera), serat (surat) wawaler (pesan larangan) mring (kepada) putra (anak-anak). Habis tamatlah ceritera, surat pesan larangan kepada anak-anak ini.

Telah selesai, tamat sudah penulisan ceritera dalam serat Wulangreh ini. Serat ini berisi pesan dan larangan kepada anak cucu agar hidup mereka selamat dunia akhirat.

Kang (yang) yasa (membuat) serat (surat) punika (ini), nenggih (yakni) kanjeng  (Kanjeng) Susuhunan (susuhunan), Pakubuwana (Pakubuwana) Kaping Pat (keempat). Yang membuat surat ini, Kanjeng Susuhunan, Pakubbuwana keempat.

Yang membuat serat ini adalah: Kanjeng Susuhunan Pakubuwana keempat. Adalah raja keraton Surakarta Adiningrat, pengganti dari Susuhunan Pakubuwana ketiga. Dalam bait-bait sebelumnya kita telah mengutip sedikit riwayat para raja-raja Surakarta sebelumnya secara singkat, rasanya tidak afdhol kalau kita tidak memberi ruang yang cukup untuk mengenal tokoh yang menjadi sentral dari kajian kita ini, yakni sang penggubah serat Wulangreh ini.

Beliau adalah raja ketiga yang bertahta di keraton Surakarta Adiningrat. Gelar lengkapnya adalah: Sampeyan Dalam Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhanan Prabu Sri Pakubuwana IV Senapati ing Alaga Ngabdulrahman Saiyiduddin Panatagama. Naik tahta pada 29 September 1788. Beliau juga dikenal dengan panggilan Sunan Bagus karena naik tahta pada saat usianya masih muda dan berwajah tampan.

Berbeda dengan dua pendahulunya yang sangat pro VOC, Sunan PB IV sangat anti barat. Dia juga merupakan raja yang gigih memberlakukan syariat Islam di keraton. Banyak pejabat keraton warisan raja sebelumnya yang korup dan pro VOC dicopot dan diganti dengan orang-orang yang sepaham dengan raja. Akibatnya muncul gerakan konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan dua kerajaan pecahan lainnya. Akibat isu yang berkembang bahwa PB IV akan menyerang VOC maka VOC mengerahkan pasukan mengepung istana. Tidak itu saja, keraton Yogyakarta dan Pura Mangkunegaran juga mengerahkan pasukan mereka untuk bergabung di pihak VOC. Mengapa kedua negara sempalan mau membantu VOC? Inilah politik, antara ketiga negara sempalan Mataram itu sebenarnya juga saling mengintip untuk menjatuhkan. Tujuannya apalagi kalau bukan kekuasaan tunggal atas tanah Jawa. Apalagi status Mangkunegaran juga belum merdeka penuh, jadi bisa saja sewaktu-waktu dihapus. Mangkunegaran baru mendapat status penuh pada masa Mangkunegara IV.

Akibat pengepungan itu PB IV terdesak dan terpaksa berdamai. Syarat yang diajukan pihak Kumpeni (VOC) adalah beliu menyerahkan 5 orang penasihat raja yang selama ini dituding berada dibalik gebrakan kebijakan raja. Kelima orang itu merupakan ahli agama yang menganut tasawuf. Pendekatan mereka terhadap agama cenderung kultural. Dan ini kemudian menjadi pendekatan PB IV dalam memerintah, yakni religius-kultural. Peristiwa pengepungan itu sendiri kemudian dikenang sebagai peristiwa Pakepung. Terjadi pada tahun 1790, dua tahun setelah raja PB IV naik tahta.

Walau gigih menerapkan syariat Islam PB IV tidak menjalankan agama secara kaku. Beliau tetap mengadopsi tradisi baik yang selama ini dilakukan oleh orang-orang Jawa. Pendekatan yang beliau pakai sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh para wali. Hal ini tidak aneh karena dinasti Mataram sangat memuliakan Sunan Kalijaga, seorang wali yang dikenal sering menerapkan pendekatan budaya dalam berdakwah.

Kontribusi Sunan PB IV dalam bidang ini dapat dilihat dalam kebijakan dan karya-karya beliau. Dalam kebijakan beliau sangat keras melarang abdi dalem meminum minuman keras dan madat. Beliau meneruskan pembangunan masjid keraton sehingga menjadi Masjid Agung, beliau juga mendirikan shalat jum’at dan seringkali beliau sendiri yang menjadi khotib. Dalam bidang susastra beliu memerintahkan penyaduran kembali beberapa karya zaman Majapahit dalam format bahasa Jawa baru, antara lain serat Panitisastra. Pada masanya juga disusun kitab yang bisa dikatakan sebagai ensiklopedia budaya Jawa, yakni serat Centhini yang ditulis oleh sebuah tim di bawah pimpinan Putra Mahkota.

Selain serat Wulangreh ini beliau juga menulis beberapa karya lain seperti Wulang Putri, Wulang Sunu, dll.

Ing (dalam) galih (hati) panedhanira (sangat meminta), kang (yang) amaca (membaca) kang (yang) miyarsa (mendengar), yen (kalau) lali (lupa) muga (semoga) elinga (segera ingat). Dari dalam hati sangat meminta, yang membaca dan yang mendengar, kalau lupa semoga segera ingat.

Dengan sepenuh hati Sunan Pakubuwana Iv sangat meminta kepada yang membaca atau mendengar kitab ini untuk memperhatikan isinya, melaksanakan anjurannya, menjauhi larangan yang tertulis di dalamnya dan kalau lupa segeralah sadar kembali.

Telase (selesai) panuratira (penulisan), sasi (bulan) Besar (besar) ping sangalas (tanggal 19), Akad Kaliwon (Minggu Kliwon) taun (tahun) Dal (Dal), tata (tata) guna (guna) swareng (sabda) nata (raja) (1735J, 1809M), mangsastha (mangsa Astha) windu Sancaya, (Windu Sancaya) wuku Sungsang (wuku Sungsang) kang (yang) atampa (menerima).

Selesai penulisan serat ini:
Bulan Besar tanggal 19,
Minggu Kliwon tahun Dal,
Tata Guna Swareng Nata =1735J (1809M).
Mangsa Astha,
Windu Sancaya,
Wuku sungsang.

Ya Allah (YaAllah) kang (yang) luwih (lebih) wikan (mengetahui), obah (gerak) osiking (geriknya)  

kawula (hambaMu). Semoga diterima,Ya Allah, yang lebih mengetahui, gerak geriknya hambaMu.

 

EPILOG

Dengan berakhirnya kajian bait ini selesai sudah kita mengkaji serat Wulangreh ini. Kami berharap karya kecil ini dapat memberi manfaat kepada yang membutuhkan. Ditulis sebagai upaya untuk menjelaskan kembali warisan leluhur yang masih berserak sebagai tembang-tembang yang sering kita dengar, kajian ini berusaha menampilkannya secara utuh.

Mohon dimaafkan jika dalam mengutip naskah asli yang berbahasa Jawa kami banyak melakukan kesalahan. Hal itu karena sumber-sumber yang kami dapat sangat terbatas. Beberapa buku yang kami kutip sering juga terdapat salah cetak dan kami tidak mempunyai naskah pembanding. Semestinya naskah asli perlu dikaji secara filologis, namun itu tidak dapat kami lakukan karena bukan merupakan fokus kajian kita. Kajian ini kami fokuskan untuk menjelaskan apa yang ada di masyarakat agar didapat manfaat darinya. Adapun masalah keaslian naskah kami serahkan kepada para ahli di bidang itu.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/13/kajian-wulangreh-277278-titi-tamating-carita/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...