Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (12): Kisah Ki Ageng Tarub

 Alkisah di negeri Kudus, ada seorang bernama Ki Gedhe Kudus yang mempunyai tiga orang putra. Dua putra tertua dari satu ibu. Adapun putra ketiga dari lain ibu. Dua putra tertua sudah menikah, sedangkan putra bungsu belum menikah karena masih remaja.

Setelah dewasa sang ayah menyuruhnya segera berumah tangga, tetapi sang putra ketiga selalu menghindar. Dia sangat enggan karena merasa belum mampu mengurus istri. Dia masih ingin belajar lebih banyak yang berkaitan dengan ketrampilan orang hidup agar menjadi manusia utama.

Ki Gedhe Kudus berkata kepada sang putra, “Anakku, segeralah engkau menikah. Jangan berlama-lama hidup sendirian. Akan menjadi perbincangan orang banyak kalau engkau tidak segera menikah. Nah, pilihlah anak perempuan siapa di Kudus ini, juga dari luar Kudus. Bahkan dari empat arah mancanegara. Kamu tinggal pilih siapa yang kamu suka, nanti aku yang akan melamarnya.”

Sang putra menjawab, “Terima kasih ayahanda, tetapi saya belum punya keinginan meminang wanita. Sudah saya lihat semua wanita tetapi tidak ada yang masuk di hati. Mohon maaf, saya belum ingin menikah.”

Sang ayah sangat marah mendengar jawaban sang putra. Merasa bahwa sang putra tidak menuruti nasihatnya, Ki Gedhe mengusir putranya. Maksudnya agar hal ini menjadi perhatian dan dorongan bagi sang putra. Namun, kemarahan sang ayah begitu membekas di hati sang putra. Pada malam harinya sang putra benar-benar pergi dari rumah.

Paginya Ki Gedhe mendapat laporan kalau sang putra benar-benar pergi. Ki Gedhe amat kaget dan segera memerintahkan para pembantunya untuk mencari. Seluruh Kudus diubres untuk mencari Ki Jaka Kudus, tetapi yang dicari tak ditemukan. Ki Gedhe Kudus pasrah dan berserah diri kepada Tuhan.

Sementara itu Ki Jaka Kudus terus berjalan tak tentu arah. Ki Jaka menerobos hutan dan semak belukar mengikuti langkah kaki yang berjalan tanpa tujuan. Sekitar pegunungan Kendeng telah dia jelajah. Sesampai di tengah hutan Ki Jaka bertapa ngidang, tak hendak bertemu dengan manusia. Hanya hidup dari makan dedaunan yang dia temukan di hutan.

Pada suatu hari Ki Jaka Kudus sampai pada sebuah telaga di pinggir hutan yang sangat asri. Airnya bening dan menjadi tempat penduduk desa Kembanglampir mengambil air. Di dekat telaga itu ada taman bunga yang indah. Karena terpesona keindahan taman di pinggir telaga itu untuk beberapa saat Ki Jaka berhenti di pinggir telaga menikmati suasana.

Pemilik taman itu seorang bernama Ki Ageng Kembanglampir. Dia mempunyai seorang putri cantik nan rupawan. Usianya sudah mencapai usia birahi, tetapi belum mau berumah tangga. Sang ayah sudah sering membujuknya agar menikah, tetapi tak satupun lelaki yang menjadi pilihannya.

Pada hari itu sang gadis hendak pergi mengambil air. Dengan berjalan sendirian si gadis menuju telaga. Dia mengira telaga dalam keadaan sepi tanpa seorangpun berada di situ. Oleh karena itu tanpa ragu si gadis berniat mandi di telaga itu. Ki Jaka yang kebetulan berada di dekat telaga segera bergeser, bersembunyi di balik pohon kepuh dan pohon gayam yang berdempetan. Namun yang namanya lelaki dewasa, Ki Jaka penasaran. Dari sela-sela kedua pohon Ki Jaka mengintip.

Sementara si gadis karena merasa sendirian, tak ada kekhawatiran kalau dilihat orang. Tanpa ragu dia melepas kain dan kembennya. Tampak rahasia tubuh si gadis terlihat jelas oleh Ki Jaka yang bersembunyi di balik pohon. Dia ikuti gerakan si gadis yang mengambil air untuk mengguyur tubuhnya. Gerakan tangan yang menggosok sela-sela tubuhnya. Ki Jaka melupakan pertapaannya dan tenggelam dalam angan yang liar. Kemolekan tubuh si gadis terbayang di pelupuk mata.

Selesai mandi si gadis keluar dari telaga dan memakai kembali pakaiannya. Ki Jaka yang selalu terbayang kemolekan tubuh si gadis tak mampu menahan diri. Dia mendekati gadis itu dan memegang tangannya. Si gadis kaget bukan kepalang tiba-tiba disentuh oleh seorang pria tampan. Seumur hidupnya belum pernah disentuh pria dewasa. Tetapi karena terdorong oleh rasa birahi yang sedang mekar kedua insan berlainan jenis itu seolah sudah satu kehendak. Di tempat itu mereka melakukan dorongan hatinya.

Setelah mereka selesai melampiaskan gejolak hati, keduanya pun berpisah. Ki Jaka kembali melanjutkan bertapa ngidang, si gadis pulang ke rumah Ki Ageng Kembanglampir. Tidak berapa lama muncul tanda-tanda aneh di tubuh si gadis. Perutnya semakin membesar dan perilakunya agak aneh. Kedua orangtuanya tanggap bahwa telah terjadi sesuatu pada putrinya. Anak gadisnya mengandung. Merasa bahwa dirinya akan mendapat malu sang ayah menanyakan kepada putrinya siapa yang telah berbuat sehingga dirinya hamil. Mumpung belum diketahui orang Ki Ageng akan menikahkan dengan si pria yang telah menghamilinya. Namun si gadis tak mampu menjawab. Dia bungkam seribu kata. Sang ayah sangat marah dan mencela si gadis. Terbayang hidup Ki Ageng akan mendapat malu yang sangat besar.

Adapun si gadis merasa bahwa hidupnya begitu berat. Tidak mampu berterus terang karena sungguh dia tak kenal dengan pemuda yang telah menghamilinya. Tak kuat menanggung tekanan si gadis melarikan diri dari rumah. Dengan berjalan tak tahu arah, si gadis menerobos hutan belantara. Tak kenal takut gelapnya malam dan binatang liar yang bisa mencelakakannya. Hidupnya serasa lebih baik jika mati saja. Sampai pada akhirnya kandungannya tiba saat melahirkan. Dengan susah payah si gadis melahirkan sendirian di tengah hutan. Berat derita yang dia tanggung, setelah si bayi lahir si gadis tewas mengenaskan. Si bayi tergeletak di bawah kaki ibunya yang tubuhnya telah membeku.

Kita tinggalkan dulu sang bayi yang menangis di bawah kaki ibunya. Ada seorang pemburu bernama Ki Ageng Selandaka. Kegemarannya berburu dengan sumpit. Hari itu sungguh sial baginya, seharian berburu tak menjumpai seekor pun hewan buruan. Jangankan burung, bahkan seekor belalang pun tak dia dapat. Karena penasaran Ki Ageng berburu melewati jalan yang sebelumnya tidak pernah dia rambah, masuk terus ke tengah hutan sampai di Kapanasan. Di tengah hutan Ki Ageng Selandaka kaget karena mendapati seorang bayi tergeletak di bawah kaki ibunya yang telah tewas. Dilihatnya jenazah si ibu itu tampak cantik jelita, juga si bayi tampak tampan dan lucu. Ki Ageng menduga bahwa pasti si bayi ini keturunan seorang bangsawan.

Karena merasa kasihan akan nasib si bayi Ki Ageng memutuskan untuk mengambilnya. Dengan kain cindhe yang dia bawa si bayi digendong. Maksudnya hendak pulang ke arah barat laut, arah dia datang tadi. Di tengah jalan Ki Ageng Selandaka melihat ada seekor kijang bertanduk emas. Warna bulunya seolah dicelup pewarna dan matanya indah seperti permata. Kijang yang elok itu membuat Ki Ageng tergiur untuk mengejar. Si kijang pun tampak selalu menggoda Ki Ageng. Setiap dia lari tidak pernah menjauh, seolah mengundang Ki Ageng untuk menangkapnya. Ki Ageng terus mengejar ke mana pun si kijang lari. Tak peduli hari sudah menjelang malam.

Si kijang terus berlari, sampai pada sebuah bekas pertapaan. Karena kecewa tak kunjung mendapatkan si kijang Ki Ageng menyalahkan si bayi yang dibawanya. Pasti si bayi ini yang telah membuatku sial seharian. Ki Ageng memutuskan untuk menaruh si bayi di bekas pertapaan tersebut. Ki Ageng kemudian meneruskan perjalanan mengejar si kijang.

Bekas pertapaan tersebut ternyata milik keluarga Ki Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub telah wafat dan meninggalkan seorang istri. Nyai Ageng Tarub sendirian di rumahnya sepeninggal sang suami. Nyai Ageng belum berputra. Sejak dahulu Nyai Ageng mendambakan seorang putra, tetapi tak kunjung mendapatkan. Setelah Ki Ageng meninggal Nyai Ageng merasa sangat bersedih karena harapannya untuk menimang seorang bayi pupus sudah.

Pada hari itu, malam Selasa Kliwon, pada tengah malam Nyai Ageng melihat berkas cahaya terang dari arah bekas tempat yang biasa dipakai Ki Ageng Tarub untuk bertapa. Terbawa rasa penasaran yang sangat Nyai Ageng mendekati arah sumber cahaya tersebut. Setelah dekat nyatalah bahwa berkas cahaya tadi berasal dari seorang bayi yang tampak baru lahir. Nyai Ageng sangat bersukacita. Bayi yang dia temukan seolah menjawab keinginannya untuk menimang putra yang selama ini sangat dia rindukan.

Nyai Ageng membawa si bayi pulang ke rumah. Si bayi kemudian dirawat layaknya anak sendiri. Sangat kasih Nyai Ageng Tarub kepada putra angkatnya itu. Bahkan seolah anugerah Tuhan, air susu Nyai Ageng pun seketika keluar seperti seorang yang baru saja melahirkan. Ketika tiba pagi hari para tetangga kaget mendengar suara tangis bayi dari rumah Nyai Ageng. Mereka beramai-ramai menengok. Ada yang heran ada pula yang nyinyir. Tak sedikit yang menduga Nyai Ageng telah berbuat yang tidak seharusnya sehingga sampai melahirkan seorang bayi.

Sejak Nyai Ageng mengambil si bayi sebagai anak, rejekinya mengalir deras. Kekayaan Nyai Ageng semakin bertambah-tambah. Si bayi semakin besar dan ketika berumur tujuh tahun telah menjadi anak yang tampan. Oleh orang banyak anak itu dipanggil si Jaka Tarub. Semua orang merasa suka kepadanya. Teman-teman bermainnya banyak dan selalu mengikuti ke mana perginya si Jaka Tarub. Kegemarannya adalah berburu hewan dengan sumpit.

Pada suatu malam si Jaka Tarub tidur di teritis pertapaan mendiang sang ayah. Ketika bangun dia mendapati sebuah sumpit di atas bantalnya. Sumpit itu segera diambil, tampak berhias emas. Dengan sumpit itu kemudian dia berburu setiap hari. Teman-temannya masih setia mengikuti kegemarannya berburu. Demikian setiap hari yang dia lakukan sampai berusia empat belas tahun.

Nyai Ageng merasa gusar karena kegemaran Ki Jaka Tarub yang sampai perjaka masih gemar bermain sumpit. Nyai Ageng meminta Jaka Tarub menghentikan kegemarannya dan segera menikah.

Berkata Nyai Ageng, “Anakku, hentikanlah kegemaranmu bermain sumpit itu. Engkau sekarang sudah besar. Sudah waktunya berumah tangga. Pilihlah gadis mana yang engkau sukai di seluruh wilayah Warung dan Sela ini.”

Ki Jaka Tarub berkata, “Ibu, aku belum mau berumah tangga. Aku masih gemar menyumpit di hutan. Entah nanti Bu.”

Sang ibu berkata, “Kalau engkau tak mau menikah dengan gadis di sini, apa engkau menunggu bidadari?”

Ki Jaka Tarub berkata, “Ibu, sabarlah. Mungkin tidak lama lagi.”

Sang ibu kembali berkata, “Baiklah. Tetapi aku berpesan. Kalau engkau menyumpit, jangan sampai engkau naik ke gunung itu. Jangan menganggu burung di sana.”

Jaka Tarub pergi ke hutan seperti biasanya. Kali ini nasibnya tak beruntung. Sepanjang jalan tak mendapati satupun burung. Perjalanannya melantur sampai ke gunung. Jaka Tarub melupakan pesan ibunya. Di atas gunung Jaka Tarub melihat seekor burung yang elok warnanya. Ketika hendak disumpit si burung terbang tinggi dan hinggap di lain pohon. Jaka Tarub terus mengikuti si burung. Walau medan berat harus dilalui, Ki Jaka tak hendak kembali.

Perjalanan Ki Jaka Tarub sampai ke tengah hutan, semakin jauh dari pedukuhannya. Di tengah hutan itu ada kolam yang airnya jernih. Ki Jaka bermaksud hendak berhenti sebentar untuk istirahat, tetapi dari atas langit dia mendengar suara bergemuruh. Tak lama kemudian dari atas langit turun tujuh wanita cantik. Rupanya mereka hendak mandi di kolam itu. Kolam di tengah hutan itu rupanya tempat pemandian bidadari. Setiap hari Selasa Kliwon mereka turun untuk berendam.

Satu persatu para bidadari melepas pakaian dan menceburkan diri ke dalam kolam. Ki Jaka Tarub menyaksikan dengan jantung berdebar-debar. Keindahan tubuh para bidadari yang cantik jelita kini ia saksikan tanpa halangan selembar kain pun. Tampak payudara yang kuning mulus seperti buah kelapa gading. Jantung Ki Jaka Tarub serasa copot menyaksikan pemandangan yang tiada tara itu. Timbul dalam hati keinginan untuk memiliki salah satu bidadari itu. Dengan perlahan Ki Jaka Tarub mengendap-endap mendekati kolam. Sumpitnya yang panjang dia pakai untuk meraih satu stel pakaian milik salah satu bidadari itu. Setelah satu stel pakaian ia dapat, Ki Jaka bergegas pulang. Pakaian bidadari itu kemudian dia sembunyikan di dasar lumbung. Tak satupun yang menyaksikan polah Ki Jaka Tarub.

Segera setelah dia menyimpan pakaian bidadari, Ki Jaka mengambil kain dan kemben dari rumahnya sendiri. Kemudian Ki Jaka bergegas kembali ke kolam di tengah hutan dengan membawa pakaian pengganti. Sesampai Ki Jaka di tepi kolam para bidadari masih asyik mandi dan bercanda. Ki Jaka pura-pura terbatuk-batuk agar para bidadari mendengar. Para bidadari kaget, tidak menyangka akan ada orang yang datang. Dengan bergegas mereka meraih pakaian dan terbang ke langit. Namun ada satu bidadari yang tak menemukan pakaiannya. Dia kembali menceburkan diri ke kolam dan tak berani naik ke daratan. Bidadari yang tertinggal itu bernama Nawangwulan, salah satu bidadari yang tercantik di antara mereka. Wajahnya seperti rembulan.

 Ki Jaka Tarub segera mendekat dan berkata, “Mbok ayu, dari mana asalmu, siapa namamu dan mengapa engkau berendam di kolam ini. Katakan yang sebenarnya.”

Si cantik yang berendam menjawab sambil menangis, “Aku ini bukan manusia. Sesungguhnya aku seorang bidadari. Nawangwulan namaku. Aku mandi di telaga ini dan ditinggal oleh teman-temanku karena kaget ada manusia datang. Sungguh gila orang yang telah membuat kami semua terkejut dan teman-temanku semua pergi. Pakaianku semua hilang. Aku kira pasti teman-temanku yang membawanya, karena sangat gugup mereka asal ambil. Apakah engkau sedang mabuk wahai anak muda sehingga membuat kaget orang mandi.”

Ki Jaka tersenyum dan berkata manis, “Jangan marah wahai cantik. Sungguh aku tidak tahu ada yang mandi di sini. Seandainya ada orang yang memberi pakaian kepadamu, apa upah yang akan kau berikan?”

Sang jelita menjawab, “Kalau ada orang muda yang mau memberiku pakaian, akan aku angkat sebagai saudara sendiri. Kalau dia seorang tua akan aku anggap sebagai ayah-ibuku.”

Ki Jaka Tarub berkata, “Aku punya kain dan kemben, tapi aku belum sepakat dengan upahnya. Aku mau memberikan kainku asal engkau mau jadi istriku. Karena hanya kain itu milikku dan itu aku pakai sebagai seserahan. Kalau engkau sudah setuju kain akan aku serahkan dan engkau jadi istriku.”

Sang ayu sungguh repot hatinya. Tak mampu berkata-kata.

Ki Jaka berkata lagi, “Jangan diam saja wahai cantik. Segeralah memberi jawaban.”

Sang bidadari tak mampu menjawab, hanya menunduk dan tetap berada di dalam air. Akan tetapi semakin lama semakin dia kedinginan.

Ki Jaka terus mendesak, “Bagaimana cantik?”

 Sang ayu menjawab, “Kalau engkau tulus memberi pakaian, aku anggap engkau sebagai saudaraku. Adapun permintaanmu agar aku menjadi istrimu, sungguh aku tak sanggup.”

Ki Jaka berkata, “Kalau seperti itu aku tak mau memberikan pakaian.”

Nawangwulan semakin kerepotan hatinya. Kalau tak mau menuruti permintaan orang ini sungguh aku akan selamanya berada di kolam ini. Namun kalau aku turuti, bagaimana aku bisa menjadi istri seorang manusia. Apakah ini memang sudah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa?

Nawangwulan menjawab, “Sudah cepat berikan, wahai orang tampan. Diriku ini terserah engkau bagaimana kehendakmu. Sekarang cepatlah berikan kain dan pakaian.”

Ki Jaka segera memberikan kain yang dibawanya. Sang jelita segera memakainya dan keluar dari kolam. Ki Jaka sangat bersukacita dan mengajak sang bidadari pulang ke rumahnya. Hati Ki Jaka gembira tak terkira mendapat istri yang sangat cantik. Adapun bidadari Nawangwulan berjalan menunduk dengan penuh penyesalan. Tidak mengira dirinya akan mendapat nasib seperti ini. Namun segera saja hatinya pasrah, mungkin ini memang sudah kehendak Tuhan.

Ki Jaka dan Nawangwulan sudah sampai di rumah Nyai Tarub. Sang ibu kaget melihat Jaka Tarub pulang membawa wanita cantik. Segera dipeluk Ki Jaka oleh ibunya dan ditanyai.

“Dari mana saja engkau anakku? Mengapa engkau pulang membawa wanita cantik? Siapakah dia?”

Ki Jaka menjawab, “Ibu, ini istriku. Kami baru saja menikah.”

Nyai Tarub membawa mereka masuk dan ketiganya duduk di dalam. Tak henti-henti Nyai Tarub mengagumi kecantikan menantunya. Duh, cantiknya anak ini. Apakah ini yang disebut bidadari Dewi Supraba dalam dongeng itu, pikir Nyai Tarub.

Nyai Tarub berkata, “Sekarang anakku. Bersih-bersihlah rumah. Pernikahan kalian harus aku rayakan.”

Kedua pengantin kemudian dirayakan bersama dengan para penduduk desa Tarub. Semua orang bersukacita menyambut kedua pengantin. Orang-orang tak henti membicarakan paras istri Jaka Tarub yang secantik bidadari. Sungguh mereka pasangan yang serasi karena Ki Jaka pun seorang yang rupawan. Tampak keduanya seperti pasangan dewata Kamajaya-Ratih.

Diantara penduduk desa Tarub yang paling gembira tentu saja Nyai Ageng Tarub. Keinginannya agar Ki Jaka Tarub segera menikah sudah terlaksana. Kedua pengantin sudah hidup rukun tak kurang suatu apapun. Nawangwulan mulai bisa menyesuaikan dengan kehidupan sebagai manusia. Ki Jaka Tarub dan istri saling mengasihi. Setiap hari keduanya memadu kasih, lengket seperti mimi dan mintuna. Setelah beberapa waktu mereka berumah tangga Nawangwulan mengandung. Ki Jaka semakin mengasihi istrinya. Namun sayang sekali, Nyai Ageng tak sempat melihat kelahiran cucunya. Nyai Ageng Tarub mendahului wafat.

Sepeninggal sang ibu Jaka Tarub menggantikan kedudukannya sebagai sesepuh desa Tarub. Namanya kini dikenal sebagai Kyai Ageng Tarub. Orang-orang desa Tarub tunduk dan patuh kepadanya. Kyai Ageng Tarub menjadi pemimpin penduduk seluruh wilayah Sesela. Setelah sembilan bulan mengandung Nyai Nawangwulan pun melahirkan seorang putri yang sangat cantik layaknya ibunya. Bayi mungil yang cantik itu diberi nama Nawangsih. Ayah ibunya sangat memanjakannya.

Setelah mempunyai anak pekerjaan rumah Nawangwulan semakin banyak. Harus mencuci popok si bayi di sungai, harus menyiapkan makan si bayi dan berbagai keperluan lain. Sungguh sama sekali pekerjaan yang tak pernah terbayangkan olehnya. Pada suatu hari Nawangwulan sedang menanak nasi. Di saat yang bersamaan popok si kecil perlu segera dicuci. Nawangwulan terpaksa meninggalkan nasi yang sedang dikukus. Dia meminta kepada Ki Ageng Tarub untuk menjaganya.

Pesannya, “Kyai, aku hendak mencuci popok di sungai. Aku minta jagalah api nasi yang sedang aku kukus. Jangan sekali-kali membukanya.”

Ki Ageng Tarub menjawab, “Baik Nyai, nanti aku jaga.”

Sepeninggal istrinya Kyai Ageng Tarub menjaga nasi yang sedang dikukus sambil momong anaknya yang masih kecil. Selama menjaga api Ki Ageng Tarub berpikir mengapa persediaan padi di lumbung hanya berkurang sedikit. Ki Ageng Tarub penasaran bagaimana istrinya menanak nasi sehingga persediaan padi bisa awet. Lupa akan pesan istrinya tangannya meraih tutup kukusan. Seketika Ki Ageng kaget karena di dalam kukusan hanya ada setangkai padi. Ki Ageng segera menutup kukusannya kembali.

Sementara itu Nawangwulan yang baru saja selesai mencuci popok sudah kembali. Nyai Nawangwulan segera menggantikan kembali Ki Ageng Tarub menjaga api. Lama sekali nasi yang dia masak tak kunjung matang. Hatinya merasa tidak enak. Pasti Ki Ageng telah melupakan pesanku, pikirnya. Nawangwulan segera membuka kukusan, tampak olehnya setangkai padi belum matang. Yakinlah Nyai Nawangwulan bahwa suaminya telah melanggar pesannya. Nawangwulan merasa perjodohannya akan segera berakhir.

Nawangwulan berkata kepada suaminya, “Kyai, apakah engkau tadi membuka kukusan? Aku sudah berpesan agar engkau tak membukanya. Akibat ulahmu sekarang hilang kesaktianku. Semula aku bisa menanak nasi dari satu tangkai padi saja. Sekarang sudah tidak bisa lagi.”

Ki Ageng hanya bisa terdiam menyadari kesalahannya. Hatinya sangat menyesal karena kini istrinya hilang kesaktiannya. Kini Nyai Nawangwulan sepenuhnya menjadi wanita biasa, tak sama dengan hari-hari kemarin. Setiap hari dia harus menumbuk padi agar bisa dimasak. Dengan alu dan lesung Nawangwulan harus bekerja keras seperti wanita desa lainnya. Persediaan padi di lumbung segera cepat menipis karena harus masak beras sebakul penuh. Lama-lama habis persediaan padi di lumbung. Ketika padi di lumbung habis tampak oleh Nawangwulan pakaian bidadari miliknya. Ternyata selama ini si Jaka Tarub yang sengaja menyembunyikan.

Nyai Nawangwulan tertegun. Sekejap tak mampu berkata apapun. Sungguh jahat suaminya si Jaka Tarub. Tega berbuat durhaka kepadaku. Kemarahannya bangkit dan tiba-tiba perasaannya menjadi sangat benci kepada suaminya. Sangat bencinya sampai-sampai rasa kasihnya kepada sang anak yang masih bayi pun pupus.

Nyai Nawangwulan berkata kepada Ki Ageng Tarub, “Kyai, sudah tiba saatnya aku berpisah denganmu. Aku akan kembali ke kahyangan. Anakmu aku tinggal. Kalau dia nanti menangis naikkan ke atas rumah panggung, lalu bakarlah sekam ketan hitam. Aku akan datang untuk menyusuinya.”

Kyai Ageng Tarub menghiba-hiba agar istrinya tetap tinggal. Dia sungguh-sungguh meminta maaf atas berbagai kelancangannya selama ini.

“Jangan tinggalkan aku Nyai. Lebih baik engkau membunuhku saja. Setelah itu terserah padamu hendak ke mana. Aku tak bisa hidup tanpamu Nyai,” rintih Ki Ageng Tarub memelas.

Nawangwulan kukuh pendiriannya. Tak mempan oleh bujuk rayu lelaki buaya itu. Dulu engkau sudah menipuku, jangan ulangi lagi, bisik hatinya. Nawangwulan lalu membakar sekam ketan hitam. Asapnya akan dia pakai sebagai titian untuk naik ke kahyangan. Ki Ageng Tarub yang melihat segera menubruk hendak memeluk istrinya, tetapi Nawangwulan menghindar. Nawangwulan berhasil pergi tanpa menoleh, meninggalkan sang suami yang menangis tersedu-sedan.

Setiap hari kalau si bayi Nawangsih menangis Ki Ageng menaruhnya di atas panggungan. Setelah itu sekam ketan hitam dinyalakan. Bidadari Nawangwulan segera turun untuk menyusui si bayi Nawangsih. Setiap dia datang tak sekalipun mau memandang Ki Ageng Tarub. Dia selalu melengos setiap beradu pandang. Hati Ki Ageng kian tercabik-cabik. Semakin lama semakin jarang Nawangsih menangis minta disusui, Ki Ageng semakin jarang melihat istrinya. Sampai ketika waktu disapih Ki Ageng berpisah untuk selamanya dengan sang istri, tanpa ucapan selamat tinggal. Uh, sedih ya gaes..

Nawangsih kini sudah menginjak remaja, tumbuh menjadi gadis cantik jelita. Memang dasarnya anak seorang bidadari, kecantikannya pun melebihi sesama gadis desa bahkan putri-putri keraton pun kalah bersinar bila disandingkan dengannya.

Kita lupakan dulu kisah Ki Ageng Taruh yang mengenaskan. Kita kembali kepada cerita lama, si Bondan Kajawan putra Prabu Brawijaya dari pembantu putri Wandhan kuning. Si Bondan Kajawan kini sudah remaja. Dasar putra raja Bondan Kajawan tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Pada suatu hari Ki Buyut Masahar hendak menyerahkan hasil panen kepada Sang Raja di Majapahit. Ada banyak hasil panen padi tahun ini yang dipanen para penggarap. Raden Bondan Kajawan ketika itu ikut ke kota tanpa sepengetahuan Ki Buyut.

Di balai pisowanan Sang Prabu Brawijaya bertahta di hadapan para punggawa. Semua hadir lengkap, tak ketinggalan Ki Buyut Masahar. Ki Buyut menghaturkan hasil panen dari desa. Sang Raja memerintahkan punggawa gedong untuk menerima hasil panen yang dibawa Ki Buyut. Sementara itu tanpa sepengetahuan Ki Buyut Bondan Kajawan masuk ke tempat gamelan. Di dalam tanpa ada takut-takutnya Bondan Kajawan menabuh gong Kyai Sekar Delima. Suara gong menggema sampai ke balai pisowanan. Sang Raja dan para punggawa yang hadir kaget mendengar bunyi gong Sekar Delima. Sang Raja memerintahkan untuk memeriksa siapa yang telah menabuh gamelan keraton. Ketika diperiksa ternyata seorang anak kecil yang melakukannya. Ketika ditanya dia menjawab bahwa anak Ki Buyut Masahar. Si bocah lalu dihadapkan ke balai pisowanan.

Sang Prabu Brawijaya berkata, “Wahai Ki Buyut, apakah bocah ini anakmu sendiri?”

Ki Buyut menjawab, “Benar paduka, dia anak saya sendiri.”

Sang Prabu Brawijaya tersenyum. Dalam hati dia teringat pernah menitipkan seorang bayi kepada Ki Buyut. Dan beberapa tahun lalu Ki Buyut telah melaporkan bahwa anak itu telah mati. Namun Prabu Brawijaya tidak percaya bahwa si anak adalah putra Ki Buyut. Karena kalau dilihat sekilas perawakan dan wajahnya tampak seperti keturunan bangsawan, tidak sama dengan umumnya anak desa.

Prabu Brawijaya berkata, “Anakmu aku minta. Aku ambil sebagai anakku. Sekarang anak titipkanlah kepada temaku Ki Gedhe di Tarub agar diberi pelajaran secukupnya.”

Sang Prabu lalu memberi pusaka berupa satu buah tombak bernama Kyai Palered dan dua keris bernama Kyai Maesanular dan Kyai Malela. Bondan Kajawan dan Ki Buyut Masahar sangat bersukacita. Kedua bapak dan anak itu segera menuju desa Tarub untuk menemui Kyai Ageng Tarub. Dalam perjalanan mereka dihadang dua begal. Raden Bondan Kajawan menyuruh Ki Buyut bersembunyi. Dua begal dihadapi sendirian oleh Bondan Kajawan. Ketika dua begal menikam Raden Bondan Kajawan, keris yang mereka pakai tidak mempan. Begal merasa tertantang dan menyuruh Bondan Kajawan untuk membalas. Raden Bondan Kajawan menarik keris bawaan dari rumah yang terbuat dari baja. Keris tersebut patah seketika. Lalu Bondan Kajawan menarik lagi keris Maesanular dan menikam dua begal tersebut. Keduanya tewas seketika.

Raden Bondan Kajawan lalu menjatuhkan larangan, “Kelak anak cucuku jangan ada yang memakai keris dari baja.”

Kedua bapak anak kembali melanjutkan perjalanan menuju desa Tarub.

Sementara itu Ki Ageng Tarub sudah merasa bahwa hari itu akan ada tamu. Ki Ageng menyuruh Nawangsih untuk membersihkan rumah dan menyiapkan tikar sebagai tempat duduk.

Ki Ageng berkata, “Nak, bersihkan rumah dan siapkan tikar. Hari ini akan ada tamu seorang keturunan bangsawan. Seorang anak raja yang disertai pengasuhnya.”

Rara Nawangsih segera melaksanakan perintah sang ayah. Rumah dibersihkan dan tikar sudah digelar. Tak lama kemudian yang ditunggu pun datang, Raden Bondan Kajawan dan Ki Buyut Masahar. Mereka kemudian dipersilakan duduk di tempat yang telah disediakan.

Berkata Ki Ageng Tarub, “Duduklah anakku yang baru datang. Selamat datang di desa Tarub.”

Ki Buyut berkata, “Kyai saya datang ke sini diutus Prabu Brawijaya untuk menitipkan putra Sang Prabu. Mohon untuk dididik dan diajar agar mempunyai pengetahuan yang cukup.”

Kyai Ageng Tarub tak kuasa menolak permintaan Prabu Brawijaya. Dengan sukacita Kyai Ageng Tarub menerima Bondan Kajawan. Ki Buyut lalu mohon pamit untuk pulang ke Masahar.

Ki Ageng Tarub berkata kepada Bondan Kajawan, “Apakah Raden akan kerasan hidup di pedukuhan?”

Raden Bondan Kajawan berkata, “Saya siap Kyai.”

Ki Ageng Tarub berkata, “Aku mempunyai seorang anak perempuan. Anggaplah sebagai saudaramu sendiri. Dia sudah ditinggal pergi oleh ibunya. Sungguh kasihan hidupnya. Maka kalian rukunlah sebagai saudara.”

Ki Ageng Tarub lalu memanggil Rara Nawangsih agar menghadap dan memperkenalkan kepada Bondan Kajawan. Keduanya saling berkenalan dan tidak lama telah akrab.

Kyai Ageng Tarub berkata, “Raden Bondan, sekarang aku ingin mengganti namamu. Aku beri nama engkau Lembupeteng.”

Bondan Kajawan tidak menolak dan menghaturkan banyak terima kasih.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/12/babad-tanah-jawi-12-kisah-ki-ageng-tarub/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...