Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (8): Kisah Radèn Rakmat (Sunan Ampèldênta)

 Di negeri Cempa tersebutlah Makdum Ibrahim mempunyai dua putra laki-laki. Putra yang tua bernama Raden Rahmat, yang muda bernama Raden Santri. Adapun Raja Cempa mempunyai seorang putra bernama Raden Abu Hurairah. Raden Rahmat mohon pamit kepada sang paman Raja Cempa hendak bepergian bersama adiknya.

Raden Rahmat berkata, “Paman, saya mohom pamit hendak pergi ke tanah Jawa. Mohon doa restu saya hendak menemui uwak di Majapahit.”

Raja Cempa berkata, “Baiklah, aku izinkan. Tetapi dua adikmu bawalah serta, Raden Santri dan Raden Abu Hurairah. Jangan sampai salah bertindak.”

Setelah diberi bekal ketiga pangeran Cempa berangkat ke Jawa dengan naik kapal. Setelah beberapa lama berlayar mereka sampai di Majapahit. Sang Raja Majapahit sangat bersukacita atas kedatangan tiga keponakan dari Cempa tersebut. Mereka disambut dengan hangat di istana Majapahit. Setelah satu tahun lamanya Raden Rahmat menikah dengan putri Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta mempunyai dua orang putra. Putra tertua seorang perempuan bernama Ni Gedhe Manila yang menikah dengan Raden Rahmat. Adapun putra kedua bernama Raden Said, seorang laki-laki yang tampan.

Setelah menikah Raden Rahmat mohon pamit kepada Sang Raja untuk menetap di Ampeldenta. Dua adik Raden Rahmat juga telah menikah dengan putri Arya Teja. Putri Arya Teja yang tua diambil istri oleh Raden Santri, adapun putri yang muda diambil istri oleh Raden Abu Hurairah. Kedua menantu Arya Teja lalu menetap di Gresik.

Alkisah ada seorang maulana yang baru datang dari Jullah, namanya Syekh Walilanang. Tempat pertama yang dituju adalah Ampeldenta. Di Ampeldenta Syekh Walilanang berdiskusi soal agama dengan Susuhunan Ampeldenta. Lalu setelah beberapa waktu Syekh Walilanang melanjutkan perjalanan hingga sampai di Blambangan. Di Blambangan Syekh Walilanang bermukim di muara, di sebuah desa bernama Purwasata.

Pada saat itu Raja Blambangan sedang bersedih karena putrinya menderita sakit berkepanjangan. Semua tabib telah didatangkan tetapi tak ada yang bisa menyembuhkan. Syekh Walilanang kemudian berhasil menyembuhkan sang putri Blambangan. Sang Raja sangat bersukacita karena putrinya berhasil disembuhkan. Atas kehendak Sang Raja Syekh Walilanang kemudian dinikahkan dengan sang putri. Tak lama kemudian sang putri mengandung.

Syekh Walilanang berusaha mengislamkan Sang Raja Blambangan, akan tetapi Sang Raja tidak berkenan. Setelah Sang Raja Blambangan tak mau masuk Islam, Syekh Walilanang kemudian pergi ke Malaka dengan meninggalkan istrinya yang sedang mengandung tua. Sepeninggal Syekh Walilanang Blambangan mengalami paceklik dan musibah. Banyak orang sakit dan tewas menemui ajal. Tak lama kemudian sang putri melahirkan seorang anak laki-laki. Oleh Prabu Blambangan anak tersebut disuruh untuk dibuang. Setelah dimasukkan ke dalam kotak si bayi lalu dibuang ke lautan.

Alkisah, ada seorang pejabat Majapahit yang oleh Sang Raja Majapahit ditempatkan di Gresik, namanya Ki Samboja. Ki Samboja kemudian meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri. Istri Ki Samboja adalah seorang pedagang yang kaya raya. Pada suatu pelayaran rombongan dagang Nyai Samboja menemukan kotak berisi bayi yang dibuang Raja Blambangan tadi. Oleh Nyai Samboja bayi tersebut kemudian diangkat sebagai anak. Setelah menjelang dewasa oleh Nyai Samboja anak tadi disuruh belajar agama kepada Sunan Ampeldenta. Anak tadi kemudian masyhur disebut Santri Giri.

Di Ampeldenta, Santri Giri belajar bersama anak Sunan Ampel yang bernama Santri Bonang. Santri Giri dan Santri Bonang sangat akrab layaknya saudara sendiri. Keduanya lalu bermaksud pergi ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama dan naik haji. Dalam perjalanan mereka singgah di Malaka. Ketika di Malaka mereka mendengar ada seorang ulama bernama Syekh Walilanang. Keduanya lalu berguru kepada Syekh Walilanang selama satu tahun.  Setelah satu tahun di Malaka oleh Syekh Walilang keduanya disuruh kembali ke tanah Jawa dan mengurungkan niat ke Mekkah. Kepada keduanya diberikan sisir dan pakaian jubah. Juga diberikan nama baru bagi keduanya. Santri Giri diberi gelar Prabu Satmata dan Santri Bonang diberi gelar Prabu Nyakrakusuma. Keduanya lalu kembali ke Ampeldenta.

Alkisah ada seorang darwis dari Atasangin yang datang ke Jawa, namanya Syekh Sarahidin. Tempat yang pertama didatangi Syekh Sarahidin adalah Ampeldenta. Setelah berdiskusi masalah ilmu dengan Sunan Ampel beberapa lama Syekh Sarahidin mohon pamit. Tak lama kemudian Syekh Sarahidin wafat dan dimakamkan di Pamalang.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/08/babad-tanah-jawi-8-kisah-raden-rakmat-sunan-ampeldenta/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...