Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (BP): Kisah Sukra-Lembah (7)

 Sang Raja sangat marah, segera turun ke bangsal Sri Manganti. Balatentara di dalam segera mendekat dengan senjata lengkap, mantri gedung keparak bekerja keras mempersiapkan pasukan bersiaga terhadap bahaya.

Para bupati di luar sudah bersiap di bangsal Pancaniti. Adipati Sampang sudah datang bersama pasukan, dan juga Adipati Surabaya sudah datang membawa pasukan. Di alun-alun mereka berbaris.

Ketika yang menjabat raja Sinuhun Amangkurat, para punggawa pesisir dan mancanegara atas perintah raja tidak diberi izin pulang ke tempatnya masing-masing. Disuruh tinggal di Kartasura membantu berjaga negara.

Ki Tumenggung Sumabrata sudah menghadap di Sri Manganti, dan Tumenggung Wirameja, serta Tumenggung Mangunnagara, Ki Tumenggung Surantani tidak ketinggalan menghadap.

Berkata Sang Raja, “Hai Sumabrata, Sindureja bagaimana kehendaknya sekarang?”

Ki Sumabrata melapor, “Si Arya Sindureja lupa kepada Sang Raja, terbebani cinta kepada anak, maka lupa mengabdi. Sudah menyiapkan balatentara berbaris di halaman.”

Sang Raja mendengar sangat marah, dada memerah, bibir bergetar, “Hai Tumenggung Sumabrata, kerahkan semua para adipati!”

Sumabrata menyembah, “Bila berkenan adik paduka Raden Ayu Pucang[1] sekarang lebih baik dipanggil ke hadapan paduka.”

Sang Raja pelan berkata, “Hai Wilaja dan Suwanda, segera panggil adikku.”

Yang disuruh segera berangkat, jalannya tergesa-gesa diiringi para punggawa dari pesisir mancanegara, ikut serta balatentara Madura dan Surabaya. Sindurejan sudah dikepung, Nyai wilaja dan Nyai Suwanda sudah datang tanpa pemberitahuan dan sudah bertemu dengan Raden Patih.

Nyai Wilaja berkata, “Hai Raden Patih, perintah raja putramu diambil, yang bernama Sukra. Putramu dijatuhi hukuman karena ulahnya Raden Ayu Lembah sudah tewas. Si Sukra sudah pasti mati.”

Raden Sindureja mendengar perintah Raja termenung tak bisa bicara, karena sangat cintanya kepada sang anak. Akhirnya Sindureja berkata, “Hamba serahkan mati-hidup kepada Sang Raja. Kalau boleh si Sindureja ini Nyai, yang akan menggantikan mati.”

Kedua utusan sangat kasihan melihat besarnya rasa cinta kepada sang anak. Segera Raden Ayu Pucang diberitahu dan dibawa oleh kedua utusan sampai di hadapan Raja. Raden Pucang lalu menyembah kaki sang Raja sambil menangis karena sangat takutnya, mengira akan mendapat amarah karena terlihat Raja sudah bersiap melakukan perang habis-habisan.

Sang Raja berkata, “Dinda pulanglah segera, katakan kepada suamimu Si Sindureja, kalau hendak menenui kebaikan dan hidup dari anaknya suruhlah menghadap ke hadapanku dik. Segeralah, kalau suamimu tak menghadap sungguh aku akan turun sendiri.”

Sang adik menyembah, segera kembali. Sesampai di rumah bertemu dengan suaminya. Raden Ayu bersedih seraya mengabarkan perintah Sang Raja, dari awal sampai akhir. Sang suami tak berkata sepatah pun. Raden Ayu Pucang berkata dia, “Engkau disuruh menghadap bersamaku.”

Sang suami bingung dalam hati, jadi menurut kepada istri. Raden Sukra dicium-cium keningnya, “Engkau tinggalah, saya akan menghadap Raja meminta ampunan.”

Raden Patih keluar bersama istrinya, tak diceritakan di jalan. Sesampai di Penangkilan lalu dipanggil ke dalam puri. Segera Ki Sumabrata menghadang Raden Patih, diiringi mantri keparak, Raden Sindureja dikepung pasukan. Kerisnya sudah diambil dan diserahkan kepada Raja. Raden Sindureja dijaga oleh para mantri agung di pintu Kamandungan.

Sementara itu Sang Raja berkata keras, “Heh bocah gandek, katakan kepada Adikku di Sampang agar cepat, dan juga Adipati Urawan beserta balatentaranya, laksanakan menghukum mati Si Sukra.”

Yang disuruh bergegas sambil menghormat. Sudah bertemu Adipati Cakraningrat dan Adipati Urawan, semua mematuhi perintah. Sementara itu Raden Sukra setelah kepergian sang ayah menutup pintu Kasindurejan. Pasukan Sindurejan sudah dipisahkan dengan orang Bugis yang lalu disuruh berbaris di pelataran. Sudah bersiap mengamuk mereka, tetapi Raden Sukra tak ingin. Jadi mereka hanya berputar-putar tak jauh dari tuannya. Adipati Urawan bingung dalam hatinya, akan diterabas Raden Sukra banyak tentara Bugisnya, kalau benar mengamuk akan jatuh korban dari para prajurit. Adipati Urawan tak mampu berkata, sementara gandek utusan Raja mengingatkan agar segera diselesaikan.

Ki Adipati Urawan berkata, “Tunggu sebentar.”

Semua pungga ditanya pendapatnya, semua menjawab seperti itu. Diminta dengan lembut supaya tidak membuat rusak para prajurit. Ada kerabat Raden Sindureja berkedudukan mantri panumping, namanya Ki Mandaraka. Masih terhitung sepupuh jauh dengan Sindureja.

Berkata Ki Mandarakan kepada Adipati Urawan, “Saya akan masuk membujuk Sukra.”

Sudah izinkan oleh Adipati Urawan, sudah masuk tanpa keris, dengan memanjat pagar bata. Di dalam tentara Bugis ketika melihat orang memanjat pagar kaget dan hendak langsung membunuh, tetapi urung karena yang masuk tidak membawa keris.

Raden Sukra ketika itu selalu membawa tombak pendek di tangan, tak pernah lepas. Raden Sukra kaget melihat sang paman Kyai Mandaraka, segera berlari mendekat. Dirangkul Raden Sukra serta ditangisi.

“Duh anakku, bagaimana polahmu ini. Kok tidak kasihan dengan ayahmu. Engkau menurutlah pada uwakmu Ki Urawan yang sudah datang di depan. Ki Adipati Urawan diutus oleh Sang Raja menyampaikan perintah, kalau engkau sungguh bertobat akan diampuni oleh Sang Raja. Nak, engkau keluarlah.”

Raden Sukra menjadi luluh kemarahannya. Sudah menjadi kehendak Tuhan Sukra harus mati. Barisan Bugis segera bubar, gerbang dibuka segera. Adipati Urawan berkata, “Jangan diganggu balatentara Bugis. Biarkan keluar dulu.”

Setelah barisan Bugis keluar, Adipati Urawan masuk bersama Tumenggung Wiradigda. Raden Sukra sungkem, kerisnya ditarik dari belakang oleh Wiradigda. Bersamaan Ki Mandaraka menubruk dari belakang. Raden Sukra sudah diikat tangannya dengan kain hijau.

Ki Adipati Urawan berkara, “Sukra bagaimana kehendakmu sekarang, apakah kamu ingin mati atau ingin hidup? Kalau kamu memilih mati ayahmu yang hidup, kalau kamu memilih hidup ayahmu yang mati. Kalaupun kamu hidup tanpa guna ayahmu mempunyai anak seperti kamu.”

Raden Sukra berkata meminta belas kasih, “Duh uwak, mending saya yang berkorban mati. Tapi setelah saya mati ayah tetap terus pada kedudukannya.”

Adipati Urawan berkata, “Jangan engkau ulang dua kali, saya yang akan memohonkan kepada Raja.”

Raden Sukra berkata, “Wak Adipati, kalau saya dibunuh uwak, jangan dibunuh sekalian, biarkan mati dengan sendirinya.”

Adipati Urawan mengambil bisa dan racun, semua wujud bisa diminumkan segera, tetapi tidak mempan kepada Raden Sukra. Mendadak datang gandek utusan Raja datang mengingatkan agar kematian Sukra disegerakan. Ki Tumenggung Wiradigda takut pada perintah Raja demikian pula Ngabei Mandaraka. Kaku hati keduanya, segera meraih Sukra dan dipuntir lehernya, Raden Sukra mati seketika. Terbujur jenazahnya memilukan.

Adipati Urawan keluar bersama Tumenggung Wiradigda dan Ngabei Mandaraka. Sesampai di luar bertemu Pangeran Cakraningrat dan Adipati Surabaya. Barisan pasukan disuruh bubar, para adipati lalu menghadap ke Panangkilan memberitahu Sang Raja. Sudah diberitahu Sang Raja, para punggawa yang menghadap semua menyembah.

Sang Raja berkata, “Bagaimana si Sukra sudah mati?”

Adipati Urawan berkata, “Benar paduka, sudah mati.”

Sang Raja berkata dengan manis, “Lepaskan Sindureja.”

Yang disuruh menyembah dan segera melaksanakan. Tak diceritakan pelaksanaannya, singkatnya Sindureja telah dilepaskan. Kerisnya pun sudah diberikan dan dosanya diampuni. Sudah disuruh pulang kembali menempati kedudukannya. Semua punggawa mengiringi kepulangan Sindureja. Kejadian besar ini masih terhitung di tahun yang sama dengan tahun saat pernikahan Pangeran Adipati Anom dan Raden Ayu Lembah.

Raden Patih sudah sampai di rumah, melihat jenazah putranya tertegun tak mampu bicara. Berkata Adipati Sampang, “Kanda, janganlah terus dipikirkan. Sudah kehendak Tuhan kematian putra Anda.”

Jenazah disuruh membawa keluar untuk dimandikan dan dikuburkan segera. Tak tergambarkan kesedihan Ki Patih sekeluarga yang mengalami musibah. Raja berkenan mengirim utusan untuk berbelasungkawa dan memberi kain mori dua lembar, Nyai Wijaya yang diutus.

Raja lalu meminta putri Pengeran Puger yang namanya Raden Ayu Impun dan salah seorang keponakan Raden Ayu Puger agar masuk ke istana. Sang adik tidak menolak dan dihaturkan ke istana. Sangat kasih Sang Raja kepada keponakan perempuannya itu laksana putra sendiri.

Teks Asli:

123. Pangkur

1. sri narendra langkung duka | sigra têdhak marang ing srimanganti | wadyèng jro sumahab rawuh | marêk saha warastra | mantri gêdhong kaparak kinon anggrêgut | datan kaliru ing prênah- | ira prayitna ing wèsthi ||

2. para bupati ing jaba | sampun pêpak nangkil nèng pôncaniti | Dipati Sampang wus rawuh | sayaga saha bala | atanapi Dipati Surabayèku | sampun prapta saha bala | ing alun-alun abaris ||

3. kala jênênge sang nata | Amangkurat pra punggawèng pasisir | miwah môncanagarèku | timbalannya narendra | tan sinungan mantuk dhatêng wismanipun | kinèn wismèng Kartasura | pêpatih têngga nagari ||

4. Ki Tumênggung Sumabrata | sampun nangkil dhatêng ing srimênganti | myang Wiramêja Tumênggung | miwah Mangunnagara | Ki Tumênggung Surantani datan kantun | saos ngarsaning narendra | angandika sang siniwi ||

5. hèh Tumênggung Sumabrata | Si Sindurja paran karêpe mangkin | Ki Sumabrata umatur | abdi dalêm pun Arya | Sindurêja supe dhatêng sang aprabu | kawratan trêsnèng atmaja | mila asupe angabdi ||

6. wau sampun mêpak bala | kinèn baris wau kang wadya Bugis | têtêbusan pitung puluh | sami baris malatar | sri narendra miyarsa kalangkung bêndu | jajabang mawinga-winga | kumêjot padoning lathi ||

7. hèh Tumênggung Sumabrata | kêbutêna sakèh para dipati | Ki Sumabrata wotsantun | yèn suwawi ing karsa | ari nata Dyan Ayu Pucang pukulun | mangke sae tinimbalan | dhatêng ing ngarsa narpati ||

8. sang nata lon angandika | hèh Wilaja lan Suwônda dèn aglis | timbalana ariningsun | kang kinon awotsêkar | aglis mêdal sigra-sigra lampahipun | ingiring para punggawa | pasisir môncanagari ||

9. gumulung wadyèng Madura | atanapi bala ing Surawèsthi | ing Sindurjan wus kinêpung | sira nyai Wilaja | miwah nyai Suwônda pan sampun rawuh | dumrojog tanpa larapan | apanggih lan radèn patih ||

10. nyai Wilaja lingira | hèh dyan patih timbalaning narpati | atmajanira pinundhut | ingkang aran Si Sukra | putranira kêna kukum ulah tuhu | Dyan Ayu Lêmbah wus seda | Si Sukra mêsthi ngêmasi ||

11. Rahadyan Arya Sindurja | amiyarsa timbalannya narpati | anjêtung tan kêna muwus | saking trêsnèng atmaja | awasana Rahadèn Sindurja muwus | kawulatur pêjah gêsang | dhatêng kangjêng sri bupati ||

12. yèn kenginga pun Sindurja | nyai ingkang nalangana ing pati | duta kalih wlas andulu | dhatêng kang trêsnèng putra | sigra Radèn Ayu Pucang ngandikan wus | kering dhatêng ing caraka | kalih praptèng ngarsa aji ||

13. nulya Radèn Ayu Pucang | anungkêmi pada sahawor tangis | sakalangkung ajrihipun | narka yèn ana duka | dening ngagêm sakapraboning prang pupuh | naradipati ngandika | yayi muliha dèn gipih ||

14. lah warahên lakinira | Si Sindurja yèn arêp nêmu bêcik | lan uripe anakipun | sira kona aseba | marang ngarsaningsun yayi dèn agupuh | yèn lakinira tan seba | yêkti sun tindak pribadi ||

15. kang rayi saha wotsêkar | sigra mentar praptèng dalêmirèki | wus panggih lan rakanipun | radyan ayu karuna | sarya warti timbalanira sang prabu | ing purwa têkèng wasana | kang raka tan kêna angling ||

16. Dyan Ayu Pucang lingira | sira kinon parêng kalawan mami | kang raka kewran ing kalbu | dadya anut ing garwa | Radèn Sukra sinêsêp-sêsêp kang êmbun | lan gusti sira karia | ingsun seba ing narpati ||

17. anuwun apurèng nata | dyan apatih mijil lan swaminèki | tan kawarna lampahipun | prapta ing panangkilan | lajêng tinimbalan dhatêng ing purarum | anulya Ki Sumabrata | amapagakên dyan patih ||

18. ingiring mantri kaparak | Dyan Sindureja kinubêng ing baris | dhuwungira wus pinundhut | curiga katur nata | Dyan Sindurja rinêksa ing mantri agung | anèng kori kamandhungan | warnanên sri narapati ||

19. asru dènira ngandika | hèh wong gandhêk lah warahên si adhi | ing Sampang mara dèn gupuh | lan Dipati Urawan | sakancane andikakêna tumanduk | amêjahana Si Sukra | kang kinèn mentar wotsari ||

20. wus cundhuk lan Adipatya | Cakraningrat lan Urawan Dipati | sami sandika turipun | warnanên Radèn Sukra | sapêngkêre ingkang rama inêb pintu | wong Kasindurjan wus pisah | amung tiyang Bugis sami ||

21. kinèn baris palataran | samya kilung wanèh anaut rawis | karsanya arsa angamuk | Radèn Sukra tan arsa | dadya muwêr tan têbah lan gustinipun | sira Dipati Urawan | èsmu kewran jroning ati ||

22. arsa kinasap kewala | Radèn Sukra kathah wadyanya Bugis | sayêkti asoroh amuk | têmah wadyalit rusak | Ki Dipati Urawan tan kêna muwus | gandhèk wantu-wantu prapta | angenggalakên ing pati ||

23. patinira Radèn Sukra | Ki Dipati Urawan angling aris | dipun samêne karuhun | sakèh para punggawa | dan tinari sami mangkana turipun | apênêd ingarah lêmbat | tan karya rusaking cilik ||

24. ya ta wontên kang santana | Dyan Sindurja lungguh mantri panumping | Ki Môndaraka ranipun | kaprênah naking-sanak | lan Sindurja matur mring Urawan sampun | kawularsa malêbêta | ambujuk pun Sukra panggih ||

25. ingidèn mring ki dipatya | wus lumêbêt sarya atilar kêris | mènèk banon marginipun | ing jro banon wus prapta | wadya Bugis kagyat dènira andulu | arsa nulya pinarjaya | dene tan ambêkta kêris ||

26. Rahadèn Sukra samana | talêmpake ingkang tansah pinusthi | nèng asta tan kêna ucul | kagyat miyat ing paman | Kyai Môndaraka agêpah malayu | rinangkul Rahadèn Sukra | pan sarya dipun tangisi ||

27. adhuh anak ingsun nyawa | kayaparan ing polahira iki | tan wêlas mring sudarmamu | gusti sira nututa | uwakira Ki Urawan sampun rawuh | dipati anèng paseban | dinuta ing sri bupati ||

28. timbalane sri narendra | lamun sira kaki tobat sayêkti | ingapura ing sang prabu | anggèr sira metua | Radèn Sukra samana lêjar tyasipun | sampun karsaning Hyang Suksma | Dyan Sukra prapta ing pati ||

29. wadya Bugis sigra bubar | ingkang kori winêngakakên aglis | Dipati Urawan muwus | aja ana sikara | marang wadya Bugis dimèn samya mêtu | sigra Dipati Urawan | lumêbêt sajroning kori ||

30. lan Tumênggung Wiradigda | wus acundhuk Radyan Sukra ngabêkti | dhuwunge sinêndhal sampun | marang Ki Wiradigda | Môndaraka anubruk sangking ing pungkur | Radyan Sukra wus binônda | ginodhi ing cindhe wilis ||

31. Ki Adipati Urawan | angandika Sukra paran ing kapti | apa sira arsa lampus | tuwin yèn arsa gêsang | lamun sira nyawa amiliha lampus | ramanira ingkang gêsang | yèn sira amilih urip ||

32. ramanira ingkang pêjah | lamun sira kaki miliha urip | tanpa karya bapakamu | apêputra ing sira | Radyan Sukra ature amêlasayun | dhuh uwa lêhêng kawula | ingkang anglabuhi pati ||

33. anging sawingking kawula | kangjêng rama lulusa mukti sari | Dipati Urawan muwus | ywa sira pindho karya | yêkti ingsun ingkang matur ing sang aprabu | Rahadèn Sukra turira | uwa dipati tur mami ||

34. yèn kawula pinêjahan | kangjêng uwa sampun dika sesani | sakarsa-karsanya lampus | Ki Dipati Urawan | sigra mundhut upas baruwang myang racun | sakathahe punang wisa | tinamakakên tumuli ||

35. nanging rahadyan wantala | tan tumama sagunging wisa mandi | kasaru timbalan rawuh | wong gandhèk tundha-tundha | ngenggalakên Dyan Sukra ing pêjahipun | Ki Tumênggung Wiradigda | ajrih timbalan narpati ||

36. myang Ngabèi Môndaraka | kaku tyase Sukra cinandhak aglis | dyan pinunter gulunipun | Radèn Sukra wus pêjah | gilang-gilang kunarpanya kawlasayun | sira Dipati Urawan | wus mijil jawining kori ||

37. myang Tumênggung Wiradigda | Angabèi Môndaraka tan kari | wus praptèng jawining pintu | panggih lawan Pangeran | Cakraningrat lan Dipati Surèngkewuh | kang baris wus kinèn bubar | dene kang para dipati ||

38. lajêng maring panangkilan | tur uninga ing kangjêng sri bupati | sampun katur ing sang aprabu | nulya sami ngandikan | pra punggawa tumamèng byantara prabu | samya nêmbah ring suku sang | mangusapi lêbu sami ||

39. sang nata aris têtanya | kayaparan Si Sukra wus ngêmasi | Dipati Urawan matur | inggih sampun pralina | sri narendra awacana pait juruh | Si Sindurja luwarana | kang kinon mentar wotsari ||

40. tan kawarna polahira | Dyan Sindurja pan sampun dèn luwari | dhuwung pinaringkên sampun | dosane ingapura | sampun kinon mantuk dhatêng wismanipun | sakèhe para nayaka | samya ngiring mring dyan patih ||

41. sêngkalanira ingetang | tuggil warsa lan pangeran dipati | duk kala pêpanggihipun | lawan Dyan Ayu Lêmbah | dyan apatih wus prapta ing dalêmipun | miyat layoning atmaja | lêng-lêng mangu tan kênangling ||

42. lingira Dipati Sampang | kakang sampun kathah rinaos galih | pinasthi karsèng Hyang Agung | pêjahe putrandika | ingkang layon kinèn bêkta mêdal sampun | nulya lajêng siniraman | sigra pinêtak tumuli ||

43. tan kocapa kang sungkawa | sri narendra utusan mring kang rayi | maringi salawatipun | lawan mori rong kêbar | ni Wijaya ingkang ingutus de prabu | sarya mundhut ingkang putra | Dyan Ayu Impun namèki ||

44. lawan ingkang kaponakan | Radèn Ayu Pugêr èstri yu luwih | kêkalih sarêng pinundhut | kang rayi tan lênggana | ingkang putra sampun katur ing purarum | langkung sihira sang nata | maring kaponakan èstri ||


[1] Raden Ayu Pucang adalah istri dari Patih Sindureja dan juga merupakan adik Sang Raja. Dahulu ketika Mataram ditaklukkan Trunajaya, Raden Ayu Pucang menjadi putri boyongan, kemudian diperistri Trunajaya. Ketika Trunajaya dihukum mati Raden Ayu Pucang kembali ke Kartasura dan menjadi istri Sindureja.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/01/13/babad-tanah-jawi-bp-kisah-sukra-lembah-7/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...