Pada (bait) ke-261, Pupuh ke-13, Girisa, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Kang (yang) padha (sama) bisa (bisa) micara (bicara), miwah (serta) wong (orang) kang (yang) ulah (menggeluti) sastra (sastra). Yang pandai berbicara, serta orang yang menggeluti sastra.
Pada bait yang lalu dianjurkan untuk belajar tatakrama dan bahasa kepada yang ahli dalam hal itu. Untuk masalah bahasa ahlinya adalah orang-orang yang pandai berpidato dan para sastrawan atau penulis yang setiap hari menekuni sastra.
Iku (itu) pantes (pantas) takonana (ditanyai), bisa (bisa) madhangken (membuat terang) tyasira (hatimu). Itu pantas ditanyai, karena bisa membuat terang hatimu.
Kepada merekalah kita bertanya tentang penerapan bahasa. Ahli-ahli pidato jelas sudah mumpuni karena sering bicara kepada orang banyak. Mereka sangat mahir dalam merangkai perkataan, atau sastra tutur. Juga para penulis sangat piawai dalam merangkai kata karena memang itu sudah menjadi kegemarannya setiap hari, ini disebut sastra tulis. Tanyakan kepada mereka agar hatimu terang, agar jauh dari keragu-raguan. Dapat memakai bahasa tutur dan tulis dengan memadai, ini penting, seperti kata pepatah: bahasa menunjukkan bangsa.
Karana (karena) ujaring (perkataan) sastra (sastra), utawa (atau) teka (yang berupa) carita (ceritera) , ingkang (yang) kinarya (dipakai) gendholan (pedoman), amurukken (menasihati, mengajarkan) mring (kepada) wong (orang, anak) mudha (muda). Karena perkataan dalam sastra, atau yang berupa ceritera, yang dipakai pedoman, dalam menasihati anak-anak muda.
Mengapa kepada para sastrawan itu, baik yang tutur atau tulis kita bertanya tentang bahasa? Karena pada kedua profesi itu ada pedoman dalam menasihati anak-anak muda. Ajaran apapun di dunia ini dilestarikan oleh keberadaan mereka itu. Pada karya-karya mereka seluruh ensiklopedia kehidupan orang dahulu dicatat rapi.
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/13/kajian-wulangreh-261-gendholaning-wuruk/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar