Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (BP): Kisah Sukra-Lembah (3)

 Diceritakan, Pangeran Adipati Anom, sudah kehendak Tuhan dalam berjodoh selalu berselisih dengan sang putri. Selalu saja kehendaknya tak satu kata dengan sang putri. Tersudut pangeran oleh sang putri karena mempunyai dua selir yang sangat cantik dan selalu dipuji-puji. Malah menjadi lupa dengan sang putri dan lebih sering bersama dua selir dari Onje, anak dari Pakujaya seorang abdinya. Raden Ayu Lembah karena merasa tersisihkan kemudian pulang ke Kapugeran, istilahnya purik. Sementara sang adik Raden Suryakusuma masih tinggal di kadipaten.

Sedikit melihat cerita lama, ketika Sang Raja menaklukkan Giripura[1], beliau mengambil putra Pangeran Giri yang perempuan untuk diambil istri. Diceritakan sekarang Raden Ayu Giri sudah tiga bulan tidak mau melayani Sang Raja. Katanya kalau dipanggil Sang Raja, “Katakan kepada Sang Raja kalau saya tidak mau. Sudah bosan menjadi istri raja.”

Apa yang dikatakan tadi sudah dilaporkan kepada Raja, dan Sang Raja turun sendiri ke tempat Raden Ayu Giri.

Raden Ayu Giri menyembah kepada Raja, Sang Raja berkata, “Wahai Dinda, apakah benar engkau sudah bosan menjadi istriku.”

Raden Ayu Giri menjawab, “Benar sungguh sudah bosan mempunyai suami paduka.”

Sang Raja bertanya, “Apakah engkau ingin menikah (dengan yang lain)?”

Sang istri menjawab, “Bila paduka rela memang ingin menikah (dengan yang lain.”

Sang Raja berkata pelan, “Kalau demikian dindaku, pilihlah para adipati semua di Kartasura, punggawa dan para pembesar.”

Putri Giri berkata, “Tidak mau dengan orang sini, orang pesisir saja.”

Sang Raja berkata, “Kalau begitu engkau berhiaslah, nanti saya carikan suami.”

Sang putri menyembah, Sang Raja pun kemudian kembali. Sesampainya di istana segera memanggil Adipati Sampang Pangeran Cakraningrat. Tak lama kemudian yang dipanggil datang di hadapan sang Raja.

Berkata pelan Sang Raja, “Wahai Dinda, apakah engkau bersedia menikah. Kalau bersedia aku akan menikahkanmu.”

Cakrangingrat, “Ampun paduka. Kalau ada kasih Sang Raja bagaimana hamba akan menolak?”

Sang Raja kemudian memanggil Raden Ayu Giri yang sudah berhias, dan segera datang di hadapan Raja.

Sang Raja berkata kepada Cakraningrat, “Ayolah Dinda, engkau pilihlah wanita yang ada di belakangku ini.”

Pangeran Adipati Sampang ketika melihat ada wanita cantik yang dirias sudah menduga maksud Sang Raja, Cakraningrat menyembah dan berkata, “Baiklah paduka, yang berpakaian sutra, berkain motif bunga.”

Sang Raja tersenyum, berkata pelan, “Ayolah Dinda, segera gotonglah pulang sana.”

Pangeran Cakraningrat segera menyingsingkan kain yang terjurai, ketika tadi dipanggil tak mengenakan tutup kepala, hanya membawa selendang saja. Sudah digendong Raden Ayu Giri oleh Adipati Sampang. Peralatan upacara juga diberikan berupa bokor emas dan tempat kinangnya.

Sementara itu Ki Patih Arya Sindureja adalah seorang bijaksana dan sangat tajam perasaannya. Ketika melihat Adipati Sampang dipanggil Raja sudah menduga yang akan terjadi. Segera mempersiapkan tandu dan menyusul menghadap di istana. Ketika sampai di Panangkilan tandu diletakkan dan menyusul masuk sampai ke Sri Manganti. Ketika sampai di pintu berpapasan dengan Adipati Sampang yang baru saja keluar sambil menggotong wanita.

Tersenyum Raden Sindureja, “Duhai Pangeran, mendapat rejeki nomplok.”

Keduanya lalu bertolak keluar istana. Sesampai di luar Raden Sindureja berkata, “Kembalilan dulu ke pondokan. Adindamu ini saya bawa, nanti ketemu di Sindurejan.”

Pangeran Sampang tak menolak. Raden Ayu Giri dinaikkan ke tandu dibawa ke Kasindurejan. Pangeran Sampang sampai di pondokan, segenap para adipati pesisir diundang berkumpul lalu dibawa ke Sindurejan. Sesampainya di Kasindurejan sang adipati lalu berembug untuk melakukan pernikahan. Singkat cerita keduanya lalu menikah di Kasindurejan.

Ganti cerita, ketika Sang Raja mendengar sang putra menantu, yakni Raden Ayu Lembah meninggalkan rumah kembali ke Kapugeran, sangat galau hatinya. Sang Raja lalu bermaksud mengutus seseorang. Ada tiga abdi dalem yang dekat dari Suranatan, Ki Angga, Ki Eseh dan Sarawadi yang ketiganya sangat dipercaya di istana. Mereka diberi sawah masing-masing dua jung. Ki Angga sudah dipanggil bersama Ki Eseh dan Ki Sarawadi.

Sang Raja berkata, “Engkau Angga laksanakan segera, aku utus ke Kapugeran, berangkatlah bersama Eseh. Tugasmua ada dua, yang pertama tanyakan kabar tentang putraku apa yang menjadi sebab bertengkar dan purik ke sana. Kedua, engkau katakan kepada Dinda Puger kalau aku meminta pola pusaka Kyai Maesanular dan Kyai Plered. Ingat, polanya engkau tunggu sampai jadi. Aku hendak membuat pusaka tiruannya.”

Angga dan Eseh menyembah dan keluar, jalannya tergesa-gesa. Sesampai di Kapugeran, Pangeran sedang duduk di luar masjid kecil dekat kolam. Terlihat kaget ketika melihat Ki Angga datang dengan Ki Eseh. Pangeran berkata, “Apakah engkau diutus menyampaikan perintah?”

Angga dan Eseh menyembah, “Nak Pangeran, hamba diutus kakanda paduka Raja bertanya mengapa raden ayu ada di sini.”

Pangeran berkata, “Angga, aku belum mendengar kabar, karena aku belum bertanya. Nak Pangeran Adipati juga belum memberi tahu masalah istrinya. Aku juga belum bertemu dengan anakku, belum tahu berapa lama sudah berada di luar rumah. Sekarang aku ingin engkau Angga, temuilah dan periksalah sendiri.”

Ki Angga berkata, “Takut saya paduka mendahului kehendak Kakanda paduka, apa yang paduka katakan akan saya laporkan kepada Raja. Dan lagi, saya diutus meminta pola dua pusaka paduka. Karena kakanda paduka akan meniru pusaka Maesanular dan Kyai Plered.

Pangeran berkata manis, “Pusaka itu bawalah segera, tidak harus membuat pola segala, untuk apa itu. Kyai Mesanular dan Kyai Plered saja kau haturkan.”

Angga dan Eseh memohon, “Saya sangat takut kalau tidak diijinkan. Perintah Kakanda Raja hanya meminta pola saja.”

Pangeran Puger berkara, “Sudah bawalah itu, jangan khawatir hai Angga, tidak apa-apa. Bawalah segera!”

Pangeran masuk ke dalam rumah, keris dan tombak sudah dibawa keluar. Keris Kyai Maesanular dan Kyai Plered sudah diterima. Yang membawa Kyai Pleret Ki Angga, Ki Eseh membawa keris Kyai Maesanular. Segera menyembah dua utusan dan beranjak dari Kapugeran. Tak diceritakan perjalanan mereka.

Sementara itu, Sang Raja setelah keberangkatan Ki Angga dan Ki Eseh ke kadipaten disuruhlah Ki Sarawadi agar bertanda kepada Patih Soda[2], dengan pesan agar jangan mengaku kalau disuruh.

Ki Angga dan Ki Eseh sudah sampai di istana, sudah menghadap Sang Raja. Ketika Sang Raja melihat Ki Angga dan Ki Eseh membawa Kyai Plered dan Maesanular sangatlah marah Sang Raja. Terlihat wajahnya memerah, bibir bergetar, dada memerah, seakan-akan hendak menusuk kedua utusan tanpa dosa itu.

Berkata keras Sang Raja, “Kelewat lancang kalian ini namanya. Berani-beraninya membawa pusaka itu. Aku tidak meminta kedua pusaka, hanya polanya saja. Bawalah kembali segera!”

Angga Eseh gemetar ketakutan, berkata terputus-putus, “Hidup mati hamba serahkan. Bukan kehendak hamba, hanya karena setianya adinda paduka sehingga kedua pusaka disuruh membawa saja.”

Sang Raja kasihan melihat kedua orang yang ketakutan, Angga dan Eseh disuruh kembali dan meminta polanya saja. Angga dan Eseh sudah kembali, tak mengira kalau masih diberi hidup. Sesampai di luar disertai abdi keparak berangkat ke Kapugeran.

Sesampai di Kapugeran Ki Angga berkata meminta belas kasih, “Duh Pangeran saya dimurkai oleh kakanda Raja, karena saya lancang membawa dua pusaka. Kehendak kakanda paduka polanya saja yang diminta. Hampir-hampir saja saya dibunuh.”

Pangeran Puger tersenyum dalam hati, segera membuat pola. Tak lama pola sudah jadi lalu diserahkan kepada Ki Angga dan keduanya segera kembali. Sesampai di istana dihaturkan kepada Raja. Pola diambil dan Ki Angga melaporkan tugas lainnya.

“Perkara putra paduka sang putri yang sedang berada di Kapugeran, adik paduka belum mengetahui beritanya. Sudah lama putra paduka Pangeran Adipati tidak berkunjung ke Kapugeran, juga belum memberitahu kepada adik paduka apa yang terjadi.”

Sang Raja ketika mendengar sangatlah galau hatinya. Sementara itu Ki Sawadi datang dan menghaturkan sembah lalu melapor.

“Mohon izin melapor, sebab putra paduka berselisih dengan suaminya bisa disebut karena tinggi hati, tak boleh terkena perkataan kasar. Raden Ayu hatinya sensitif dan putra paduka Kangjeng Pangeran sedikit gampang marah.”

Sang Raja sangat bersedih oleh karena sang putra tidak rukun dalam berumah tangga dengan putri Kapugeran.

Sang Raja ketika itu mengumumkan akan membuat danau buatan, letaknya di sebelah barat kotaraja. Yang mengerjakan orang pesisir serta orang Kartasura. Lamanya pekerjaan tidak diceritakan, danau buatan sudah jadi. Dalam dan luas dan juga diberi piaraan buaya. Tak lama kemudian juga membuat gorong-gorong. Kemudian menggiring rusa dari Mataram diberi kandang di pinggir danau buatan sebagai tempat untuk bercengkerama.

Sang Raja kemudian membuat masjid dengan pola seperti masjid Demak. Masjid itu sebagai pengganti masjid lama yang terbakar dan juga hanya kecil dan karenanya membuat lagi yang besar.

Ganti cerita, Raden Arya Sindureja mempunyai seorang putra yang sangat tampan, bernama Raden Sukra. Sudah menginjak dewasa dan semakin rupawan sehingga menjadi idaman para gadis. Wataknya semangat dan ringan tangan, bijaksana menguasai sastra, selalu membuat kepincut para gadis. Walau sesama pria pun akan terpesona (melihat ketampanannya yang macho dan cool).

Suatu ketika Raden Sukra disuruh mengiring prajurit saat latihan di alun-alun. Dengan naik kuda di barisan Raden Sukra terlihat mencolok dengan busana yang gemerlap. Terlihat sangat gagah dan menonjol di tengah barisan prajurit.

Pangeran Adipati Anom yang melihat hal itu menjadi panas hatinya. Dia bertanya kepada Patih Soda, “Siapa yang menunggang kuda di tengah barisan itu?”

Patih Soda menjawab, “Pangeran, itu anak dari Patih Sindureja.”

Pangeran berkata dengan amarah, “Segera panggilah menghadap!”

Pangeran Adipati kembali segera dan duduk menanti di pinggir pagar bata di kadipaten. Sudah berkumpul para abdi, Ki sutipon, Gagarungsit, sutama, Kontholbelang, Sutakithung, Wirakabluk, Jagadngampar, Bajobarat, Kartipancal, Secaluthik ada di hadapannya.

Raden Sukra ketika itu sudah datang di hadapan Pangeran Adipati, duduk dengan menunduk. Pangeran melihat sangat panas hati. Tak ada dosanya, hanya tampannya itu membuat Pangeran tidak suka. Para abdi sudah diberi isyarat dengan kedipan mata, langsung menubruk Raden Sukra.

Kerisnya dicabut, Raden Sukra sudah diikat, merintih tanpa dosa. Pangeran berkata keras, “Diam jangan berisik. Engkau sewenang-wenang angkuh Sukra, berani menunggang kuda di tengah orang banyak. “

Raden Sukra dipukuli, dan dicocok bara, mata dijejali semut, semut hitam yang dipakai. Menggelepar tobat-tobat minta ampun, “Aduh hamba tidak salah jangan dianiaya tuan.”

Dijejali semut lagi matanya, Raden Sukra berkalang tanah. Setelah sempat memukul kepalanya Pangeran Adipati berlalu. Raden Sukra terkapar, abdinya datang menolong. Sudah digendong Raden Sukra, kedua matanya terpejam. Darah menetes dari matanya. Sesampai di pasar orang banyak datang menolong dengan membawa tandu, lalu dibawa ke Kasindurejan.

Raden Arya Sindureka melihat, sudah diberi tahu yang terjadi. Raden Patih seketika melihat sang putra lupa akan tuannya, mata melotot dada memerah seperti bunga wora-wari, sangat marah mengapa tanpa dosa Pangeran tega menganiaya. Dibujuk dan dipegangi para abdi, Raden Sindureja luluh kemarahannya. Walau sangat kasihan melihat sang putra tetapi pasrah, “Duh anakku, ya Tuhan.”

Ketika itu setelah diobati tujuh hari sehat kembali seperti sedia kala, Raden Sukra berkata kepada sang ayah, “Hamba pamit mati, akau mengamuk di kadipaten nanti malam memakai tombak dan pedang.”

Memang Raden Sukra mempunyai pasukan Bugis tujuh puluh orang, demikian juga ayahandanya, juga mempunyai banyak prajurit Bugis.

Raden Sindureja berkata kepada sang anak, “Duh anakku, terapkan kesungguhanmu pada tuan, merasalah kalau sebagai hamba. Sekehendak tuan laksanakan kalau mampu. Jangan sok meringankan mati, walau mati pun tetap terkena dosa. Sudah menjadi beban kawula tak boleh memilih mati.”

Raden Sukra takut kepada ayahandanya, tetapi hatinya menyimpan dendam. Kapan bisa bertemu satu lawan satu dengan pangeran akan beradu tombak, kapan lagi akan beradu keris.

Teks Asli:

126. kawarnaa pangeran dipati | apan sampun karsaning Hyang Suksma | yèn jodho mrandangi bae | lawan sang rêtnaningrum | apan anggung kalawan prapti | sakarsane tan rêmbag | lawan radèn ayu | katutuh kangjêng pangeran | pan adarbe sêlir kêkalih yu luwih | langkung ingêla-êla ||

127. malah supe marang sang rêtnadi | amung sêlir kêkalih pundhutan | saking ing Onje angsale | Pakujaya puniku | pan abdine pangran dipati | punika kang sêsuta | pinundhut sang bagus | ing Onje kawijilannya | ya ta Radèn Ayu Lêmbah pan gumingsir | marang ing Kapugêran ||

128. Radèn Suryakusuma pan maksih | wontên kangjêng pangêran dipatya | warnanên wau sang rajèng | nutur caritèng dangu | amangsuli kôndha puniki | duk bêdhah Giripura | sang nata amundhut | putrane Pangeran Arga | èstri luwih pinundhut kinarya rabi | dening sri naranata ||

129. ya ta wau Radèn Ayu Giri | pan ing mangke sampun tigang côndra | tan purun ngandikan sare | dènira sang aprabu | aturira yèn dèn timbali | matura mring sang nata | marma sun tan purun | bosên laki sri narendra | katur marang sang nata têdhak pribadi | wus praptèng dalêmira ||

130. Radèn Ayu Giri manganjali | mring kang raka sang nata ngandika | babo ariningsun anggèr | apa ta sira tuhu | bosên laki marang ing mami | sang rêtna matur nêmbah | pan inggih satuhu | bosên alaki paduka | sang natangling apa sira arsa krami | kang rayi matur nêmbah ||

131. yèn rilaa paduka narpati | inggih ugi ajêng palakrama | sang natalon andikane | yèn mangkono mas ingsun | pilihana para dipati | kabèh wong Kartasura | punggawa gung-agung | umatur Dyan Giripura | botên arsa akrami têtiyang ngriki | wong pasisir kewala ||

132. sri narendra angandika aris | yèn mangkono sira pêpaesa | ing mêngko sun lakèkake | sang rêtna awotsantun | nulya kondur sri narapati | sapraptanirèng pura | animbali gupuh | ing Pangeran Cakraningrat | tan adangu wus prapta ing dalêm puri | ngarsane sri narendra ||

133. angandika alon sri bupati | hèh adhi mas apa arsa krama | yèn arsa sun rabèkake | Cakraningrat manuhun | yèn wontêna sih sri bupati | paran gèn suminggaha | nulya sang aprabu | animbali Radèn Arga | apan sampun pêpaès Dyan Ayu Giri | wus marak ing ngayunan ||

134. sri narendra angandika aris | ayo adhi sira pilihana | pawèstri wuri ngong kiye | pangran ing Sampang dulu | èstri luwih dèn pêpaèsi | apan anduga ing tyas | ing sêmu Sang Prabu | Cakraningrat matur nêmbah | inggih ingkang awastra limar katangi | sinjang cindhe puspita ||

135. wau nata mèsêm ngandikaris | alah payo dhimas dèn aenggal | pondhongên gawanên mulèh | ya ta pangeran gupuh | anguculi kampuh kumitir | duk wau tinimbalan | tan amawi kuluk | apan asondhèr kewala | wus ingêmban wau Radèn Ayu Giri | marang Dipati Sampang ||

136. upacara apan dèn paringi | dening nata asarwa kancana | bokor lawan lêlancange | gantya ingkang winuwus | ya ta wau radèn apatih | Ki Arya Sindurêja | wicaksanèng sêmu | limpat pasanging graita | lêpas ingkang dêduga angadu budi | wahyaning môngsa kala ||

137. duk Dipati Sampang dèn timbali | gêgêpahan Dyan Radèn Sindurja | animbangi watarane | apandam ing tyasipun | marmanira môngka pratali | pratamaning sujana | waskithèng ing laku | rahadèn ing kapatihan | wus samakta ing pasowan bêkta joli | prapta ing panangkilan ||

138. wiwarananira bisa tuwi | mrayogakakên liring watara | duga-duga pan dêlinge | sigra radèn tumanduk | kang jampana maksih nèng jawi | ing sripanganti prapta | sarêng wêdalipun | lawan Adipati Sampang | praptèng regol sarwi amondhong pawèstri | mèsêm Radèn Sindurja ||

139. hèh pangeran daulat tan sipi | ya ta sarêng radèn nulak mêdal | prapta ing jawi lampahe | ya ta radèn amuwus | hèh pangeran kondura dhingin | dhatêng ing pasanggrahan | arinta dèn ayu | pan inggih kawula bêkta | kapanggiha wontên Kasindurjan nênggih | pangran datan sawala ||

140. apan sampun tinitihkên joli | radèn ayu binaktèng Sindurjan | Pangeran Sampang lampahe | prapta ing pondhokipun | sakathahing para dipati | pasisir ingaturan | pan sampun akumpul | binakta mring Kasindurjan | sapraptaning Kasindurjan sang dipati | arêmbag nulya nikah ||

141. ri sampuning paragad ing kardi | paningkahe Pangeran Madura | tan winarna patêmone | gantia kang winuwus | sri narendra miyarsa warti | yèn ingkang putra tukar | nênggih Raden Ayu | Lêmbah ngubon Kapugêran | sang narendra dahat putêkirèng galih | sang natarsa putusan ||

142. wontên abdi karakêt ing puri | pan têtiga sami suranata | Ki Ôngga lawan Ki Êsèh | Sarawadi katêlu | apan samya kandêl ing puri | kalangkung kinasihan | sabine ngalih jung | Ki Ôngga wus ingandikan | praptèng ngarsa Ki Êsèh lan Sarawadi | sang nata angandika ||

143. sira Ôngga lumakua aglis | ingsun utus marang Kapugêran | lumakua lan Si Êsèh | rong prakara lakumu | ingkang dhingin takona warti | prakara sutaningwang | apa kang pinadu | purike ana ing kana | kaping pindho sira matura si adhi | yèn ingsun mundhut pola ||

144. dèn gawèkna polane Kiyai | Mesanular poma antènana | lan polane Ki Palèrèd | ingsun arsa anurun | Ôngga Êsèh wotsari mijil | lampahe sigra-sigra | Kapugêran rawuh | ya ta wau jêng pangeran | apan lagya pinarak jawining masjid | alit pinggir balumbang ||

145. kagyat wau duk Ki Ôngga prapti | lan Ki Êsèh pangeran ngandika | ragane baya kinèngkèn | andhawuhakên wuwus | Ôngga Êsèh saha wotsari | anggèr amba dinuta | ing rakanta prabu | ingutus dangu putranta | paran marma dèn ayu wontêne ngriki | pangeran angandika ||

146. ingsun Ôngga tan miyarsa warti | apan ingsun durung atêtanya | jêng pangeran nahing anggèr | durung nêdhani wêruh | aprakara dening kang rayi | ewuh sun durung panggya | lawan sutèngulun | pira lawase nèng jaba | iya Ôngga apan durung sun panggihi | mêngko ta karsaningwang ||

147. sira Ôngga têmua pribadi | iya sira pariksaa dhawak | Ki Ôngga nuhun ature | ajrih amba pukulun | anglangkungi karsa raka | anggèr atur sampeyan | katura ing prabu | lan malihipun kawula | dipun utus amundhut pola kêkalih | babarkatan paduka ||

148. apan arsa anelad rakaji | ing polane Kyai Mesanular | kalawan Kyai Palèrèd | pangeran ngandikarum | kyai bae gawanên aglis | aja kudu amola | dadak apa iku | kyai bae aturêna | Ôngga Êsèh anuhun kalangkung ajrih | amba botên rinilan ||

149. kang pangandika rakanta aji | inggih amundhut pola kewala | Pangran Pugêr andikane | têka gawanên iku | aja sira awalangati | hèh Ôngga ngarah apa | gawanên dèn gupuh | jêng pangeran marang wisma | dhuwung waos pan sampun binêkta mijil | dhuwung Ki Mesanular ||

150. Ki Palèrèd sampun dèn tampèni | ingkang bêkta pan wau Ki Ôngga | Kya Mesanular Ki Êsèh | ingkang angampil dhuwung | sigra nêmbah kang duta kalih | lèngsèr sing Kapugêran | tan kawarnèng ênu | ya ta wau sri narendra | saungkure Ki Ôngga pan Sarawadi | dinutèng kadipatyan ||

151. kinèn mrasadu Ki Sarawadi | atêtanya mring Ki Patih Soda | aja ngaku yèn kinèngkèn | ya ta warnanên wau | Kyai Ôngga Êsèh wus prapti | lajêng tumamèng pura | prapta ngrasèng prabu | sri naranata umiyat | yèn Ki Ôngga lan Êsèh ambêkta Kyai | Palèrèd Mesanular ||

152. langkung duka wau sri bupati | apan rêngu sirating wadana | angatirah pasuryane | ingkang lathi kumêdut | jajanira lir wora-wari | kadi ta anuwêka | wong tanpa dosèku | asru dènira ngandika | liwat langar sira iki sun arani | dene wani anggawa ||

153. ingsun ora amundhut kiyai | Mesanular Ki Palèrèd ora | mung mundhut polane bae | gawanên bali gupuh | Ôngga Êsèh gumêtêr ajrih | ature pêgat-pêgat | pêjah gêsang katur | apan dede saking amba | inggih saking satyanipun ari aji | marma kinèn ambêkta ||

154. sri narendra awlas aningali | Ôngga Êsèh kinèn wangsul enggal | mundhuta polane bae | Ôngga Sèh sampun wangsul | tan anyana yèn darbe urip | sapraptanirèng jaba | jinajaran wau | dening priyayi kaparak | tan winarna ing marga pan sampun prapti | ing dalêm Kapugêran ||

155. Ki Ôngga Sèh matur ngasih-asih | dhuh pangeran kawula dinukan | dhatêng rakanta sang rajèng | de amba kamipurun | bêkta dhatêng pusaka kalih | ingkang karsa rakanta | pola kang pinundhut | mèh kadya tinêlasana | Jêng Pangeran Pugêr mèsêm jroning galih | sigra akarya pola ||

156. tan adangu kang pola wus dadi | gya pinaringakên mring Ki Ôngga | lèngsèr kang duta kalihe | datan kawarnèng ênu | Ôngga Êsèh praptèng jro puri | katur ing sri narendra | pola gya pinundhut | Ki Ôngga matur wotsêkar | aprakawis putranta rêtnadi murti | wontên ing Kapugêran ||

157. rayi tuwan tan uningèng warti | sampun lami putranta nèng jaba | lan arinta panggih dèrèng | putranta sang binagus | inggih dèrèng asuka warti | dhumatêng rayi tuwan | sang nata myarsatur | putêk sadalêming driya | Sarawadi samana pan lagya prapti | majêng arsatur sêmbah ||

158. amba nuwun putra dalêm gusti | mila salaya lawan kang raka | winastan manah kagêdhèn | tan kenging ujar gangsul | radèn ayu galihe mingis | putra tuwan jêng pangran | wontên lêngusipun | sang nata langkung sungkawa | dening putra tan atut dènnya akrami | lan putri Kapugêran ||

159. sri narendra samana ngundhangi | apan akarya sagarayasa | kilèning kitha prênahe | dene ingkang anambut | wong pasisir môncanagari | miwah wong Kartasura | prasamya anambut | apan rare limang kilan | ingkang kenging kêrigan anambut kardi | lamine tan winarna ||

160. sagarayasa pan sampun dadi | lêbêt wiyar tur ngingonan baya | tan antara ing lamine | akarya urung-urung | giring sangsam saking Matawis | pinggir sagarayasa | kinarapyak sampun | kinarya amêng-amêngan | sri narendra nyukakkên manah ing alit | anggung-angggung cangkrama ||

161. sri narendra nulya karya masjid | kang pinola nênggih masjid Dêmak | masjid lami duk kobare | lan alit masjidipun | milanipun akarya malih | sigêgên kang winarna | gênti kang winuwus | Radèn Arya Sindurêja | wus pêputra jalu warnane apêkik | ingaran Radèn Sukra ||

162. wus diwasa baguse linuwih | dadya pêpujining rara kênya | sêkaring praja angêne | baranyak kaduk purun | wicaksana tur pramèng kawi | titir agawe brôngta- | ning para dyah arum | sanajan samia priya | rêsêp mulat bagus tur pratamèng kawi | wasis ulah grahita ||

163. Radèn Sukra samana winarni | apan lagya sinuruhan ngarak | pan ginawe kêkêmbange | angarak ngalun-alun | nulya kangjêng pangran dipati | ningali wong angarak | nanging ta anamur | kagyat ningali Dyan Sukra | nitih kuda têtêgar têngahing baris | mubyar busananira ||

164. awas andulu pangran dipati | langkung panas ningali Dyan Sukra | asru tanya ing abdine | sapa têtêgar iku | anêlasah têngahing baris | Patih Sodatur sêmbah | pun Sukra pukulun | anakipun Dyan Sindurja | ngandikasru pangeran panas ing galih | lah enggal timbalana ||

165. pangran dipati kondur tumuli | dènya pinarak pinggiring bata | batagung ing kadipatèn | abdinira akumpul | Ki Sutipon lan Gagarungsit | Sutama Kontholbêlang | miwah Sutakithung | Wirakabluk Jagadngampar | Bajobarat Kartipancal Sêcaluthik | munggèng ing ngarsanira ||

166. Radèn Sukra samana wus prapti | nèng ngarsane jêng pangran dipatya | tumungkul wau linggihe | pangran dipatya dulu | langkung panas raosing galih | tan ana dosanira | amung bagusipun | pangeran galihe ewa | ingkang abdi apan sampun dèn kêjèpi | anubruk Radèn Sukra ||

167. dhuwungipun sinêndhal wus kêni | Radèn Sukra pan sampun binônda | tanpa dosa sêsambate | pangeran ngandikasru | wis mênênga aja baribin | dènya kawênang-wênang | Sukra ing angkuhmu | têtêgar têngah wong kathah | iya maning ora ana wong jêngkining | kapungkur dening sira ||

121. Pangkur

1. Radèn Sukra pinilara | tinabokan pan sarwi dèn sumêdi | maripat jinêjêl sêmut | sêmut irêng kinarya | kalosodan tobat-tobat sambatipun | adhuh anggèr datan dosa | sampun nganiaya gusti ||

2. sinêmut malih netranya | Radèn Sukra nangis ngrungkêbi siti | sasampunira anjagur | pangeran nulya jêngkar | Radèn Sukra anggêladrah anèng lurung | kalosodan kawlasarsa | panakawane marani ||

3. wus ginendhong Radèn Sukra | netra kalih mêrêm awaspa gêtih | sapraptane pasar agung | wong ngira Radèn Sukra | ting balêbêr prasamya amapag tandhu | wus tinandhu Radèn Sukra | awlas kang samya ningali ||

4. sapraptaning Kasindurjan | Radèn Arya Sindurja aningali | wus tinutur mulanipun | radèn patih sakala | mulat maring putra lali gustinipun | sirating netra ngatirah | jaja bang lir wora-wari ||

5. dene têka tanpa dosa | jêng pangeran sikara maring abdi | rinapu ing garwanipun | pan sarwi ginendholan | lilih Radèn Sindurja dadya amupus | kalangkung awlas ing putra | adhuh anak ingsun gusti ||

6. samana wus ingusadan | sapta ratri waluya kadi nguni | umatur ing ramanipun | kawula amit pêjah | sun amuke wong kadipatèn ing dalu | sun anglangi ganjur watang | arêramon pêdhang tamsir ||

7. pan kacatur Radèn Sukra | ngingu Bugis pitung dasa kèhnèki | pan kajawi ramanipun | wonge Bugis akathah | Radèn Arya Sindurja ngandikèng sunu | adhuh nyawa putraningwang | trapna mujadahmu gusti ||

8. angrasaa yèn kawula | sakarsane linakon yèn kuwawi | sok aja tumêkèng lampus | nadyan silih pêjaha | lamun uga kabênêran dosanipun | wis bubuhaning kawula | tan kêna amilih pati ||

9. radèn supe ing batinnya | ing laire maring kang rama ajrih | angunandika ing kalbu | paran margane baya | lan pangeran dipati têpung aluwung | gêntia tumbak-tinumbak | kapan baya gênti kêris ||


[1] Istana Sunan Giri

[2] Patih kadipaten Mangkunagaran, istana putra mahkota.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2021/11/29/babad-tanah-jawi-bp-kisah-sukra-lembah-3/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...