Translate

Senin, 30 September 2024

Kajian Wulangreh (243;244): Prasapane Ki Ageng Sela Lan Senapati

 Pada (bait) ke-243;244, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Dene Ki ageng Sesela,
prasapane nora keni,
ing satedhak turunira,
nyamping cindhe den waleri.
Kapindhone tan keni,
ing ngarepan nandur waluh,
wohe tan kena dhahar,
Panembahan Senopati,
ingalaga punika ingkang prasapa.

ingkang tedhak turunira,
mapan nora den lilani,
nitih kuda ules napas.
Lan malih dipun waleri,
nitih turangga ugi,
kang kekoncen surinipun.
Dhahar ngungkurken lawang,
ing wuri tan anunggoni,
dipun emut punika mesthi tan kena.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Adapun Ki Ageng Sela,
prasapanya tidak boleh,
bagi anak keturunannya,
dilarang memakai kain cinde.
Yang kedua tidak boleh,
menanam buah waluh di depan rumah,
serta tidak boleh memakan buahnya.
Panembahan Senopati,
Ing Ngalogo yang mempunyai prasapa,

anak keturunannya,
tidak diijinkan,
naik kuda warna napas (abu-abu kekuningan).
Dan lagi juga dilarang,
naik kuda juga,
yang dikepang surinya.
Makan sambil membelakangi pintu,
di belakangnya tak ada yang menunggui,
harap diingat itu juga tidak boleh.


Kajian per kata:

Dene (adapun) Ki ageng (Ki Ageng) Sesela (Sela), prasapane (prasapanya) nora (tidak) keni (boleh), ing (pada) satedhak turunira (anak-keturunannya), nyamping (memakai kain) cindhe (cinde) den (di) waleri (larang). Adapun Ki Ageng Sela, prasapanya tidak boleh, bagi anak keturunannya, dilarang memakai kain cinde.

Ki Ageng Sela termasuk salah satu tokoh yang dihormati oleh kalangan pembesar kerajaan pada waktu itu. Sejak kerajaan Demak tokoh ini sudah banyak dikenal kesaktiannya, konon bahkan bisa menangkap petir. Beliau adalah kakek buyut Panembahan Senopati raja pertama Mataram sehingga termasuk salah satu leluhur wangsa Mataram.

Walau seorang yang sakti Ki Ageng Sela hanyalah seorang petani yang tidak mempunyai jabatan di kerajaan. Hal itu karena Ki Ageng Sela pernah melamar sebagai wiratamtama (perwira kepala prajurit) di kasultanan Demak namun gagal. Ketika itu dia berhasil melewati ujian ketangkasan dengan menundukkan seekor banteng. Dengan sekali pukul kepala banteng pecah, darah muncrat berceceran. Ki Ageng sela memalingkan muka ketika melihat darah itu, maka dia dinyatakan diskualifikasi karena dianggap berhati kecil. Dia kemudian pulang ke Sela dan menjadi petani sambil tekun beribadah kepada Tuhan.

Karena ketinggian ilmu yang dimilikinya banyak orang yang kemudian berguru kepadanya, termasuk Jaka Tingkir. Oleh karena itu Jaka Tingkir sangat akrab dan dipersaudarakan dengan tiga murid Ki Ageng Sela lainnya, yakni Ki Juru Martani, Ki Pemanahan dan Ki Panjawi. Jaka Tingkir kelak mewarisi tahta kasultanan Demak, sedangkan tiga tokoh terakhir itu nantinya menjadi pendiri kerajaan Mataram.

Prasapa Ki Ageng sela yang pertama adalah anak cucunya cilarang memakai kain cinde, yakni kain berbahan sutera dengan motif bunga. Larangan ini tampaknya karena menurut fikih Islam laki-laki tidak boleh memakai kain dari sutera.

Kapindhone (yang kedua) tan (tak) keni (boleh), ing (di) ngarepan (depan rumah) nandur (menanam) waluh (waluh), wohe (buahnya) tan (tak) kena (boleh) dhahar (dimakan). Yang kedua tidak boleh, menanam buah waluh di depan rumah, serta tidak boleh memakan buahnya.

Hal ini karena konon Ki Ageng Sela pernah tersandung akar pohon waluh di depan rumahnya. Suatu ketika ada orang gila yang mendatangi perkampungan Ki Ageng Sela. Beliau hendak menangkap orang itu, tetapi karena buru-buru kakinya tersandung batang pohon waluh yang menjalar. Peristiwa nahas itu kemudian menjadi prasapa, bahwa anak keturunannya dilarang menanam waluh di depan rumah.

Panembahan Senapati (Panembahan Senopti), ingalaga (Ing Ngalogo) punika (itu) ingkang (yang) prasapa (mempunyai prasapa), ingkang (yang) tedhak turunira (anak keturunannya), mapan (memang) nora (tidak) den (di) lilani (ijinkan), nitih (menunggang) kuda (kuda) ules (warna) napas (abuabu kekuningan). Panembahan Senopati, Ing Ngalogo yang mempunyai prasapa, anak keturunannya tidak diijinkan, naik kuda warna napas (abu-abu kekuningan).

Anak keturunan Panembahan Senopati tidak diijinkan naik kuda ules napas, yakni warna abu-abu kekuningan seperti tapas, atau serabut pelepah daun kelapa. Napas adalah istilah untuk penamaan warna bulu kuda. Ada beberapa nama lain yang sering dipakai, antara lain: bopong untuk warna kuda kemerahan, jragem untuk kuda warna hitam, kembang duren untuk warna kuda seperti bunga durian, dan lain-lain.

Lan (dan) malih (lagi) dipun (di) waleri (larang), nitih (naik) turangga (kuda) ugi (juga), kang (yang) kekoncen (dikepang, dikelabang) surinipun (surinya). Dan lagi juga dilarang, naik kuda juga, yang dikepang surainya.

Suri atau surai adalah bulu-bulu pada leher atau tengkuk kuda atau singa. Ini tidak boleh dikepang karena akan mengurangi kegagahan kudanya. Apalagi jika di medang perang penampilan gagah sangat diperlukan untuk membuat gentar musuh.

Dhahar (makan) ngungkurken (membelakangi) lawang (pintu), ing (di) wuri (belakang) tan (tak) anunggoni (ditunggui), dipun (di) emut (ingat) punika (itu) mesthi (pasti) tan (tak) kena (boleh). Makan sambil membelakangi pintu, di belakangnya tak ada yang menunggui, harap diingat itu juga tidak boleh.

Yang dimaksud adalah makan di depan pintu dengan posisi membelakangi pintu. Apabila di belakangnya tidak ada orang, maka yang demikian itu tidak diperkenankan. Semua prasapa dan wewaler tadi patuhilah sebagai ujud penghormatan kepada leluhur sepanjang tidak ada alasan yang kuat dari sisi kemaslahatan untuk melanggarnya.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-243244-prasapane-ki-ageng-sela-lan-senapati/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...