Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (1): Sejarah Nabi Adam sampai Para Dewa

 Semanis madu isyarat yang tertulis dalam kitab ini, menuruti gejolak hati sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang mengatur segala urusan, yang menguasai dan membagi isi bumi, yang mengutus para nabi sebagai pertanda kasih kepada seluruh umat manusia.

Apa yang tertulis di dalam kitab ini adalah ungkapan kewajiban mengingat sejarah para leluhur, di tanah Arab dan di tanah Jawa. Atas kehendak Sang Prabu Pakubuwana IV agar jangan sampai hilang cerita-cerita yang indah penuh teladan. Agar apa yang disampaikan ini dapat menjadi pelajaran bagi seluruh umat manusia.

Atas perkenan Kangjeng Sinuhun Pakubuwana VII kitab ini terus dilestarikan agar manfaatnya mengalir kepada seluruh negeri. Pada hari Sabtu Wage, tanggal 5 Rajab, tahun Ehe, Windu Sancaya, mangsa keempat, wuku Mandasiya, ditandai dengan sengkalan dadi rasa sabdendra[1]. Semoga Allah Yang Maha Tinggi memberi rahmat kepada seluruh negeri.

Awal kisah di tanah Jawa ini dimulai dari para leluhur di tanah Arab. Dahulu Nabi Adam mempunyai putra bernama Nabi Sis. Nabi Sis mempunyai putra Hyang Nur Cahya. Nur Cahya berputra Sang Hyang Nur Rasa, Hyang Nur Rasa berputra Hyang Wening, Hyang Wening berputra Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Tunggal berputra Sang Hyang Guru. Hyang Guru kemudian menjadi raja di kahyangan para dewa dengan gelar Sang Hyang Girinata, atau Hyang Pramesthi, Hyang Pramoni atau Hyang Jagad Pratingkah.

Sang Hyang Guru mempunyai lima putra. Yang sulung bernama Hyang Sambo. Penghulunya bernama Hyang Brama. Putra tengah bernama Hyang Mahadewa, yang bungsu bernama Hyang Wisnu, putra yang lain adalah Dewi Sri.

Sang Hyang Wisnu menjadi raja di tanah Jawa sebagai perimbangan para nabi yang mengajarkan agama Islam di negeri Mekkah. Ada pula sebuah negeri di Jawa bernama Gilingwesi, yang dikuasai oleh seorang raja bernama Prabu Wanugunung.

Alkisah, Sang Hyang Pramoni atau Bathara Guru mempunyai incaran seorang putri dari Medang, seorang yang cantik dan utama. Bathara Guru berkehendak untuk mengambil sang putri sebagai istri. Hyang Wisnu yang menjadi raja di tanah Jawa mengetahui bahwa ada seorang wanita cantik yang melebihi sesama bernama Ni Mbok Medhang. Oleh Hyang Wisnu Ni Mbok Medhang diambil sebagai istri. Hyang Wisnu tidak tahu bahwa Ni Mbok Medhang adalah wanita gebetan ayahnya.

Melihat gebetannya diambil, Hyang Guru sangat marah. Patih Narada segera dipanggil.

Berkata Hyang Guru, “Kanda Narada, turunlah ke alam dunia. Segera temuilah si Wisnu dan pecatlah sebagai raja.”

Hyang Narada segera melaksanakan perintah, turun ke dunia dan menemui Hyang Wisnu.

Hyang Narada berkata, “Hai Ki Wisnu, kedatanganku diutus oleh ayahandamu. Dinda Pramesthi Guru sangat marah kepadamu. Sekarang engkau diusir dari kerajaanmu akibat kesalahanmu berani mengambil gebetan ayahmu, yakni Nini Medhang. Kedudukanmu sebagai raja diambil kembali.”

Hyang Wisnu tidak bisa bicara sepatah katapun. Dengan lunglai kemudian pergi meninggalkan kerajaannya. Tanpa arah Hyang Wisnu menerobos hutan belantara. Sesampai di sebuah pohon beringin Hyang Wisnu bertapa di bawahnya. Dengan bersedekap menutup lubang sembilan hawa, Hyang Wisnu bertapa hendak mati raga.

Sementara itu Hyang Narada kembali ke Suralaya untuk melapor tugas yang dia emban. Sang Resi Narada melaporkan bahwa Wisnu kini telah pergi dari kerajaannya dan bertapa di bawah pohon beringin di tengah hutan.


[1] Sabtu Wage 5 Rajab, Ehe, windu Sancaya, môngsa sêkawan, wuku Môndhasia. Tahun 1764 J atau bertepatan dengan tahun 15 Oktober 1836 M.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/01/babad-tanah-jawi-1-sejarah-nabi-adam-sampai-para-dewa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...