Translate

Senin, 30 September 2024

Kajian Wulangreh (225): Pitutur Saking Nenular

 Pada (bait) ke-225, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Carita nggonsun nenular,
wong tuwa kang momong dingin.
Akeh kang padha cerita,
sun rungokna rina wengi,
samengko isih eling.
Sawise diwasa ingsun,
bapa kang paring wulang,
miwah ibu mituturi,
tatakrama ing pratingkah karaharjan.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Cerita ini kutularkan dari,
orang tua yang mengasuhku dulu.
Banyak yang bercerita,
kudengarkan siang dan malam,
sekarang masih ingat.
Setelah dewasa,
bapak yang memberi pelajaran,
serta ibu yang menasihati,
tatakrama dalam bertingkah laku kebaikan.


Kajian per kata:

Carita (cerita) nggonsun (dari aku) nenular (menularkan), wong (orang) tuwa (tua) kang (yang) momong (mengasuhku) dingin (dulu). Cerita ini kutularkan dari, orang tua yang mengasuhku dulu.

Cerita ini beliau dapat dari tutur tinular, folklore, cerita rakyat yang disampaikan dari mulut ke telinga ke mulut lagi dan seterusnya. Pada zaman dahulu belum ada buku yang bisa dipedomani, maka satu-satunya penyampaian informasi yang berkonten pendidikan ya hanya melalui cerita lisan. Maka tak heran kalau kemudian ada beberapa versi cerita yang saling berbeda satu dengan yang lain.

Dalam bait ini dijelaskan bahwa cerita yang diperoleh beliau berasal dari pengasuhnya. Hal itu karen beliau di waktu kecil adalah seorang pangeran, jadi wajar kalau yang momong adalah pengasuh dari abdi dalem karaton.

Akeh (banyak) kang (yang) padha (sama) cerita (bercerita), sun (aku) rungokna (dengarkan) rina (siang) wengi (malam), samengko (sekarang) isih (masih) eling (ingat). Banyak yang bercerita, kudengarkan siang dan malam, sekarang masih ingat.

Pada zaman dahulu memang cerita lisan atau tutur tinular ini banyak dipakai sebagai pengisi waktu senggang dikala malam hari. Karena dahulu belum ada hiburan semacam TV, maka anak-anak pun suka dengan cerita-cerita ini. Apalagi kalau yang menuturkan pandai mendongeng, akan menjadi acara favorit yang dinanti. Tak aneh kalau dari cerita itu banyak yang berkesan dan diingat sampai tua.

Sawise (setelah) diwasa (dewasa) ingsun (aku), bapa (bapak) kang (yang) paring (memberi) wulang (pelajaran), miwah (serta) ibu (ibu) mituturi(menasihati), tatakrama (tatakrama) ing (dalam) pratingkah (tingkah laku) karaharjan (kebaikan). Setelah dewasa, bapak yang memberi pelajaran, sert ibu yang menasihati, tatakrama dalam bertingkah laku kebaikan.

Gatra ini menceritakan pengalaman masa kecil yang mungkin agak berbeda dengan anak-anak Jawa lainnya, karena penggubah serat ini adalah seorang pangeran yang jelas pengalamananya unik. Namun secara umum pola didik di masa itu tak jauh berbeda, yakni dengan dongen anak seperti telah disinggung di atas.

Ketika sudah dewasa barulah mereka dididik sesuai lingkungan mereka, umumnya jika seorang bangsawan akan diajari tentang tatakrama oleh ibu-ibu mereka, adab sopan santun dalam membawa diri di masyarakat, pantangan dan anjuran yang harus dipatuhi, dll. Sedangkan ayah akan mengajarkan  tentang keperwiraan, berbagai ketrampilan, ulah kanuragan dan ilmu pemerintahan.

Bagi orang biasa atau kawula alit, bergantung pada kekampuan intelektual orang tua mereka. Tapi yang umum anak laki-laki akan diajari untuk bekerja mencari nafkah, sedangkan anak perempuan akan diajari memasak di dapur.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-225-pitutur-saking-nenular/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...