Translate

Senin, 30 September 2024

Kajian Wulangreh (252): Wewaler Kudus Lan Sumenep

 Pada (bait) ke-252, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Yen tedhak Kudus tak kena,
adhahara daging sapi.
Tedhaking Sumenep ika,
nora kena ajang piring,
watu tan den lilani.
Lawan kidang ulamipun,
tan kena yen dhahara.
Miwah lamun dhahar ugi,
nora kena ajang godhong pelasa.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kalau keturunan Kudus tak boleh,
memakan daging sapi.
Keturunan Sumenep itu,
tidak boleh mekan beralas piring,
dari batu itu tak boleh.
Dan kijang dagingnya,
tak boleh kalau dimakan.
Serta kalau makan,
tidak boleh beralas daun pelasa.


Kajian per kata:

Yen (kalau) tedhak (keturunan) Kudus (Kudus) tak (tak) kena (boleh), adhahara (memakan) daging (daging) sapi (sapi). Kalau keturunan Kudus tak boleh, memakan daging sapi.

Kalau keturunan Kudus dilarang makan daging sapi. Ini adalah kebijakan Sunan Kudus ketika memulai dakwah di sana. Pada waktu itu di Kudus banyak orang menganut agama Hindu yang melarang memakan daging sapi. Dakwah Sunan Kudus adalah dakwah simpatik, karena itu berusaha untuk menghormati agama lain di situ. Toh tidak makan sapi juga tidak apa, jadi tak ada salahnya menghormati saudara yang beragama Hindu.

Masjid Sunan Kudus pun corak bangunannya juga menyerupai candi, hal itu karena Sunan mengambil bentuk rumah peribadatan yang sudah lazim di sana. Karena dakwah yang simpatik tersebut masyarakat Kudus menjadi tertarik untuk memperlajari Islam. Dan hasilnya kini Kudus terkenal sebagai daerah yang kuat dalam mengamalkan agama Islam. Larangan makan daging sapi tersebut sampai beberapa generasi masih dilestarikan.

Tedhaking (keturunan) Sumenep (Sumenep) ika (itu), nora (tidak) kena (boleh) ajang (makan beralas) piring (piring), watu (batu) tan (tak) den (di) lilani (ijinkan). Keturunan Sumenep itu, tidak boleh mekan beralas piring, dari batu itu tak boleh.

Keturunan Sumenep tidak boleh makan dengan alas pring yang terbuat dari batu. Benda dapur yang menyerupai piring dan terbuat dari batu adalah layah, atau cobek. Di Jawa pun makan dengan cobek ini juga tidak dianjurkan.

Lawan (dan) kidang (kijang) ulamipun (dagingnya), tan (tak) kena (boleh) yen (kalau) dhahara (dimakan). Dan kijang dagingnya, tak boleh kalau dimakan.

Dan juga tidak boleh makan daging kijang, di Jawa disebut kidang, adalah hewan yang masuk dalam genus muntiacus. Besarnya bervariasi antara kambing sampai sebesar sapi. Sebenarnya termasuk dalam hewan yang halal dimakan, namun bagi orang Sumenep tidak boleh karena melanggar wewaler tersebut.

Miwah (serta) lamun (kalau) dhahar (makan) ugi (juga), nora (tidak) kena (boleh) ajang (beralas) godhong (daun) pelasa (pelasa). Serta kalau makan, tidak boleh beralas daun pelasa.

Juga tidak boleh makan dengan alas daun pelasa, butea monosperma. Pohon plasa banyak mengandung manfaat untuk berbagai keperluan manusia, batangnya sebaga sarana pengembangbiakan kutu lak yang menghasilkan sirlak, sejenis bahan dasar untuk politur. Buahnya bermanfaat untuk pewarna merah. Getah, daun muda dan bijinya dapat dimanfaatkan sebagai obat, dan banyak manfaat lagi.  Namun ingat, daunnya tak boleh dipakai untuk alas makan.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/13/kajian-wulangreh-252-wewaler-kudus-lan-sumenep/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...