Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (2): Prabu Watugunung di Gilingwêsi

 Kita tinggalkan sejenak Hyang Guru di surga Suralaya. Ganti cerita tentang yang terjadi di alam dunia. Di sebuah negeri bernama Gilingwesi. Kerajaan Glingwesi dipimpin seorang raja bernama Prabu Watugunung, seorang raja yang sangat berkuasa di seantero negeri. Maharaja yang kaya harta dan saudara serta dikasihi seluruh rakyatnya. Prabu Watugunung mempunyai dua puluh delapan saudara yang semuanya laki-laki.

Pada suatu masa di Gilingwesi sedang mengalami huru-hara. Gerhana bulan dan matahari, ada bintang berekor, gempa bumi dan petir menyambar-nyambar. Ada hujan di salah musim dan air samudera bergejolak. Suaranya bergemuruh menakutkan. Semua itu terjadi akibat Prabu Watugunung sedang terlena. Tanpa sadar Prabu Watugunung mengambil istri seorang wanita yang tak lain ibunya sendiri, yakni Dewi Sinta. Sang Dewi pun tak menyadari bahwa raja yang telah memperistrinya adalah putranya sendiri. Terbukanya rahasia ini terjadi secara tidak sengaja.

Pada suatu hari Sang Prabu Watugunung tertidur di pangkuan sang istri Dewi Sinta. Sang istri membelai kepada Sang Raja dengan penuh kasih. Tiba-tiba Dewi Sinta menemukan di kepada Sang Raja ada sebuah bekas luka sehingga pada bagian itu rambut tidak tumbuh atau buthak. Karena penasaran Dewi Sinta kemudian bertanya kepada Sang Raja.

“Apa sebab kepala paduka buthak duhai Kanda?” kata Dewi Sinta.

Prabu Watugunung menjawab, “Dulu ketika aku masih kecil aku sangat nakal. Suatu ketika aku merengek minta makan kepada ibuku. Waktu itu ibu sedang menanak nasi dan belum matang. Rengekanku membuat ibu marah dan memukul kepalaku dengan centong. Pukulan itu meninggalkan bekas luka. Akibat dipukul aku sakit hati dan pergi meninggalkan rumah. Sekarang aku mendapat anugerah Tuhan dapat menjadi raja besar. Nama ibuku adalah Basundari. Nama kecilku adalah Raden Radite.”

Setelah mendengar penuturan Sang Prabu, sang istri seketika meneteskan airmata. Teringat dulu pernah memukul anaknya dengan centong. Tak ragu lagi bahwa suaminya adalah anaknya sendiri. Walau demikian rahasia itu dia pegang rapat. Namun karena ingin menghindari sang putra Dewi Sinta kemudian berkilah meminta hadiah.

Berkata Dewi Sinta, “Duhai Kanda. Hamba minta hadiah sebagai bukti cinta kasih Kakanda.”

Prabu Watugunung menjawab, “Hadiah apa yang kau minta kekasihku?”

Dewi Sinta berkata, “Hamba minta dimadu dengan para bidadari di kahyangan?”

Prabu Watugunung tertawa, “Dinda mengapa engkau minta yang demikian. Baiklah akan aku laksanakan. Aku hendak menyerang Suralaya dan mengambil para bidadari. Akan aku jadikan mereka sebagai pelayanmu. Tinggalah di keraton, aku akan menyiapkan pasukan.”

Sang Prabu Watugunung segera keluar ke Panangkilan. Para punggawa dan saudara-saudara raja telah hadir. Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut dan juga Dewi Landhep istri sang raja.

Prabu Watugunung berkata, “Punggawaku semua, aku hendak menyerang Suralaya. Semua para dewata taklukkanlah kepadaku. Juga seranglah Paparewarna. Siapkan pasukan dan senjata kalian. Naiklah ke Suralaya. Tangkaplah para dewa.”

Semua punggawa menyatakan kesiapannya. Tanda berangkat telah dipukul. Bunyi gong dan beri bersahutan. Ringkik kuda dan jerit gajah bersahutan dengan sorak-sorai para prajurit. Aliran prajurit Gilingwesi seperti gelombang samudera. Warna-warni pakaian mereka seolah mengalahkan sinar matahari. Pakaian mereka menyala seperti gunung terbakar. Denting senjata bersahutan di sepanjang jalan.

 Sementara itu di Suralaya, terjadi huru-hara. Seolah sudah tahu akan diserang alam di Suralaya pun menunjukkan tanda-tanda. Kawah Candradimuka bergejolak, pohon Dewandaru condong seolah roboh, jembatan ogal-agil bergoyang seolah hampir putus, bale Marcukundha bergeser seakan roboh, neraka mendidih luber. Para dewata naik ke Paparewarna di taman para bidadari yakni di Jonggring Salaka. Mereka melapor kepada Hyang Girinata.

Alkisah, Hyang Narada yang melihat gejolak alam Suralaya segera menemui Hyang Girinata. Para dewata telah lengkap menghadap menunggu perintah. Bathara Sambo, Kuwera, Brahma, Sakri, Bayu, Mahadewa telah duduk di hadapan Hyang Girinata.

Berkata Hyang Narada, “Dinda Guru, bagaimana bisa terjadi huru-hara di kahyangan Suralaya. Selama aku tinggal di sini baru kali ini melihat gejolak alam yang begitu hebat. Apa penyebab semua ini?”

Berkata Hyang Girinata, “Kanda, ketahuilah. Di alam dunia ada seorang manusia yang hendak naik ke Suralaya. Dia Prabu Watugunung dari Gilingwesi. Dia hendak mengambil para bidadari untuk dibawa ke dunia.”

Hyang Narada tertegun, sejenak kemudian lalu berkata, “Celaka Dinda Guru. Kalau Watugunung menyerang Suralaya, mustahil para dewata bisa menahan. Saya kira tidak ada yang mampu melawannya. Sekarang aku tanya kalian para dewata, siapa di antara kalian yang sanggup melawan Prabu Watugunung?”

Para dewata terdiam, tak satupun yang menyatakan sanggup.

Hyang Narada kembali bicara, “Kita akan kerepotan dan mendapat malu. Sungguh hina bila sampai kita ditawan oleh manusia.”

Hyang Pramesthi Guru berkata, “Kanda Narada, sekarang engkau aku utus turun ke dunia untuk meminta bantuan. Carilah manusia yang mampu menandingi kesaktian Prabu Watugunung.”

Hyang Narada berkata, “Kalau saya turun ke dunia untuk minta bantuan manusia, sungguh saya akan ditertawakan. Mana mungkin dewata meminta tolong manusia? Dinda Guru, kalau menurut saya si Watugunung ini hanya dapat dilawan oleh putra paduka si Wisnu. Bagaimana kalau saya temui Wisnu dan meminta kesanggupannya? Kalau dia sanggup mengalahkan Watugunung nanti, maka dosa-dosanya diampuni.”

Hyang Girinata berkata, “Baiklah Kanda, aku turuti saran Kanda Narada. Turunlah mencari Wisnu.”

Hyang Narada segera turun ke tempat Hyang Wisnu yang sedang bertapa di bawah pohon beringin. Bathara Wisnu sudah beberapa lama bertapa di bawah pohon beringin tujuh. Tekadnya tidak akan pulang setelah mendapat amarah sang ayah. Ketika Hyang Narada sampai dan melihat Wisnu hatinya bergetar. Keadaan Wisnu sungguh memprihatinkan. Kedua dewata itu kemudian duduk berbincang.

Berkata Narada, “Kedatanganku ke sini diutus ayahmu. Suralaya sekarang kedatangan musuh. Prabu Watugunung dari Gilingwesi hendak menyerang Suralaya dan mengambil para bidadari. Prabu Watugunung sudah terkenal kesaktiannya. Para dewa tak ada yang mampu melawannya. Apakah engkau bersedia melawannya?”

Hyang Wisnu berkata, “Bila memang diizinkan, saya sanggup menghadapinya.”

Hyang Narada sangat bersukacita mendengar kesanggupan Hyang Wisnu.

Berkata Hyang Narada, “Kalau demikian anakku, mari kita segera naik ke kahyangan.”

Hyang Wisnu menjawab, “Saya ingin berpamitan kepada keluargaku dulu. Uwak Narada tunggulah sebentar di sini.”

Berkata Hyang Narada, “Saranku jangan pulang ke rumahmu dulu. Engkau sekarang sedang kena marah. Kalau engkau kembali kepada istrimu barangkali engkau akan membangkitkan kembali amarah ayahmu.”

Hyang Wisnu berkata, “Sudah jamak di dunia ini orang berkasih mesra dengan istri. Kalau hendak pergi pasti pamitan agar tidak menjadi kekhawatiran. Juga saya akan tenang jika terjadi apa-apa karena keluargaku sudah tahu kepergianku. Saya hanya akan pamit sebentar, tidak lama akan kembali ke sini lagi.”

Hyang Narada berkata, “Baiklah, jangan lama-lama.”

Hyang Wisnu segera melesat ke rumahnya.

Sementara itu Ni Medhang ketika ditinggal Hyang Wisnu dahulu dalam keadaan mengandung. Hyang Wisnu berpesan agar kalau si bayi lahir laki-laki diberi nama Srigati. Bayi dalam kandungan itu telah lahir, seorang laki-laki tampan yang kini telah menginjak remaja. Sesuai pesan sang ayah si anak diberi nama Srigati. Selama ini Srigati selalu menanyakan keberadaan sang ayah. Jika masih hidup di mana tempatnya. Jika sudah mati di mana candinya. Si ibu semakin terdesak oleh pertanyaan sang putra.

Pada akhirnya Ni Medhang menjawab, “Ketahuilah, ayahmu bukan seorang manusia. Sesungguhnya ayahmu adalah seorang dewata dari Suralaya yang bernama Sang Hyang Wisnu. Dahulu ayahmu pergi untuk bertapa.”

Srigati berkata, “Walau ayah seorang dewata, aku tetap ingin bertemu. Ibu undanglah ayah pulang.”

Sang ibu menjawab, “Baiklah, ibu akan undang ayahmu pulang.”

Si ibu pergi ke tempat pemujaan bersama sang putra. Asap dupa mengepul ke langit, Ni Mbok Medhang dan Srigati fokus berdoa memuja Sang Hyang Wisnu. Tidak lama yang dipuja segera datang. Ni Mbok Medhang segera sungkem kepada sang suami. Hyang Wisnu kaget melihat ada seorang pemuda bersama istrinya.

Hyang Wisnu berkata, “Wahai istriku, siapakah anak muda ini?”

Ni Medhang berkata, “Paduka, yang berada di belakang hamba ini putra paduka sendiri. Ketika paduka pergi masih berada di dalam kandungan. Sekarang sudah menginjak dewasa.

Hyang Wisnu teringat peristiwa dahulu dan segera menyadari kalau kepergiannya sudah sangat lama.

Hyang Wisnu berkata, “Anak ini siapa namanya.”

Ni Medhang berkata, “Sesuai pesan paduka, hamba beri nama Srigati.”

Raden Srigati lalu maju untuk sungkem kepada sang ayah. Hyang Wisnu sangat bersukacita melihat sang putra.

Hyang Wisnu berkata, “Duduklah kalian dengan baik. Aku hendak menyampaikan kabar. Aku telah mendapat perintah dari Hyang Narada agar naik ke kahyangan. Kahyangan sekarang sedang kedatangan musuh dari alam dunia. Prabu Watugunung menyerang kahyangan hendak mengambil para bidadari. Aku ditugaskan untuk melawan Prabu Watugunung. Aku minta pamit kepada kalian. Bila nanti aku tewas dalam peperangan, kalian lanjutkan hidup kalian dengan baik-baik.”

Sang istri Ni Medhang tak mampu menahan airmata mendengar perintah sang suami. Raden Srigati yang baru saja bertemu dengan sang ayah sangat bersedih karena segera akan berpisah kembali.

Raden Srigati berkata, “Saya ingin ikut dengan ayah ke medan perang. Walau sampai mati pun saya ingit ikut.”

Hyang Wisnu berkata kepada sang putra, “Duh anakku, jangan ikut denganku. Engkau masih bocah, belum masanya engkau berperang. Dan juga engkau seorang manusia, tidak boleh naik ke Suralaya. Tinggallah di dunia bersama ibumu.”

Hyang Wisnu seketika musnah dari hadapan ibu dan anak itu. Hyang Wisnu kembali ke pohon beringin tujuh tempat Hyang Narada menunggu. Keduanya bersiap naik ke Suralaya.

Sementara itu Raden Srigati yang baru saja ditinggal pergi sang ayah selalu berpikir tentang sang ayah yang maju ke medan perang. Dia merasa tak elok kalau enak-enak tinggal di dunia sementara ayahnya bersabung nyawa melawan musuh. Tekadnya hendak menyusul ayahnya. Pikirnya, kalau aku keturunan dewata pasti bisa terbang ke langit. Segera Raden Srigati mencoba melesat ke langit. Tak lama kemudian berhasil menyusul sang ayah di bawah pohon beringin, lalu duduk di belakangnya. Hyang Narada kaget melihat ada seorang anak duduk di belakang Hyang Wisnu.

Berkata Hyang Narada, “Nah, itu siapa yang duduk di belakangmu?”

Hyang Wisnu menoleh ke belakang, kaget mendapati sang putra telah menyusul.

Hyang Wisnu berkata, “Dia putra saya, namanya Srigati. Lahir dari istriku Ni Medhang.”

Sang Hyang Narada berkata, “Duh anakku, suruhlah pulang. Kalau sampai Dinda Pramesthi Guru mengetahu, akan semakin bangkit amarahnya. Karena dulu ibunya adalah gebetan Hyang Guru, pasti semakin menambah amarahnya kepadamu.”

Hyang Wisnu berkata, “Saya sudah melarangnya Wak, tetapi dia bersikeras ikut.”

Hyang Wisnu kemudian berkata kepada Srigati, “Anakku, pulanglah engkau. Jangan mengikutiku. Sangat dilarang manusia naik ke Suralaya.”

Hyang Wisnu dan Hyang Narada segera terbang ke langit meninggalkan Srigati. Tak lama mereka sampai di pintu Sela Matangkep yang terbuka ke arah jembatan Ogal-Agil dan lumpur Blegedaba.

Berkata Hyang Narada, “Kalau anakmu menyusul, walau dia bisa terbang, aku duga dia tidak akan mampu melewati pintu Sela Matangkep dan jembatan Ogal-Agil. Juga tak mampu melewati lumpur Blegedaba. Karena dia tetaplah seorang manusia. Ayo sekarang kita teruskan perjalanan.”

Hyang Narada dan Hyang Wisnu terus melaju sampai di hadapan Hyang Pramesthi Guru. Ketika itu Hyang Guru sedang bertahta di hadapan para dewata. Hyang Wisnu menghadap ke depan dan sungkem kepada sang ayah.

Sementara itu, Srigati yang ditinggalkan di bawah pohon beringin berpikir keras bagaimana caranya menyusul sang ayah. Dia kemudian mencoba naik ke langit dengan mengendarai mega putih. Tekadnya, bila memang keturunan Wisnu pastilah bisa sampai kahyangan. Namun bila memang bukan anak Wisnu, menjadi hancur pun tak mengapa. Dengan tekad kuat Srigati berhasil melewati pintu Sela Matangkep, jembatan Ogal-Agil, lumpur Blegedaba dan neraka Yamaniloka. Tidak lama sudah berhasil menyusul sang ayah dan segera duduk di belakangnya. Hyang Pramesthi Guru kaget melihat ada seorang pemuda tampan duduk di belakng Wisnu.

Berkata Hyang Guru, “Hai anakku Wisnu, siapa yang berada di belakangmu itu?”

Hyang Narada yang menjawab, “Dinda Guru, dia adalah anak Wisnu dari istrinya Ni Mbok Medhang.”

Melengos Hyang Pramesthi Guru. Seketika bangkit amarahnya kembali. Segera berdiri dan masuk ke istana dengan menahan sakit hati. Hyang Narada tanggap bahwa Hyang Pramesthi sangat marah. Hyang Narada segera menyusul masuk ke pura.

Hyang Pramesthi berkata kepada Hyang Narada, “Segeralah suruh Wisnu menghadapi Prabu Watugunung. Anaknya aku minta. Akan aku bunuh. Akan aku pakai tumbal di surga.”

Hyang Narada segera kembali dan berkata, “Apa kataku. Ayahmu sangat marah melihat putramu. Bagaimana dia bisa masuk ke sini. Mengapa bisa lolos dari jembatan Ogal-Agil. Sekarang engkau Wisnu, engkau disuruh segera menghadapi Prabu Watugunung. Adapun anakmu akan diambil oleh Dinda Pramesthi Guru sebagai tumbal surga. Anakmu benar-benar tidak bisa diatur.”

Hyang Wisnu berkata, “Saya tidak mau menghadapi Watugunung kalau anak saya akan dipakai tumbal surga. Anak saya hanya satu, kalau sampai saya tewas siapa yang akan meneruskan keturunanku? Kalaupun saya nanti menang, untuk apa. Tidak ada lagi yang akan menemani saya hidup mulia. Saya mau bersabung nyawa hanya demi anak istriku. Kalau Srigati tewas untuk apa aku hidup. Lebih baik aku kembali bertapa di bawah pohon beringin lagi.”

Hyang Narada berkata, “Sebentar, jangan mutung dulu. Aku akan melapor kepada Dinda Guru.”

Hyang Narada kembali masuk ke pura menemui Hyang Guru. Kepada Hyang Guru, Narada berkata, “Anak paduka tidak mau menghadapi Watugunung kalau Srigati paduka ambil.”

Belum sampai Hyang Guru menjawab dari luar terdengar suara bergemuruh menakutkan. Musuh telah datang dan tertahan di pintu. Mereka lalu menabuh tanda perang dan berusaha menjebol pintu. Suara senjata yang mereka pakai menggedor pintu menimbulkan suara menggelegar dahsyat. Takkan perlu waktu lama bagi pasukan Gilingwesi yang kuat dan perkasa itu untuk meratakan kahyangan.

Sementara itu Hyang Girinata yang sedang kecewa sangat kaget mendengar suara menggelegar hebat.

Berkata Hyang Girinata, “Suara apa itu yang seperti gunung runtuh?”

Berkata Hyang Narada, “Itu suara pasukan Watugunung menggedor pintu.”

Hyang Guru berkata, “Bagaiman sekarang Kanda Narada?”

Hyang Narada berkata, “Tidak ada pilihan lagi. Wisnu harus disuruh maju ke medan perang tanpa syarat. Ampunilah dosanya yang dulu. Biarkan anak istrinya hidup. Kalau paduka tidak berkenan, Suralaya akan segera hancur.”

Bergetar tubuh Sang Hyang Guru, lalu dengan gugup berkata, “Baik Kanda, aku menuruti pertimbanganmu. Segera suruh anakku si Wisnu menahan Watugunung. Kalau sampai Watugunung tewas semua dosanya aku ampuni. Si Wisnu aku angkat jadi raja lagi. Walau dia minta menjadi raja di Suralaya, akan aku berikan. Aku minta segera bunuhlah Watugunung, akan aku ceburkan ke neraka Yamani.”

Sang Hyang Narada segera menemui Wisnu dan menyampaikan perintah Hyang Guru.

Narada berkata, “Anakku Wisnu, segeralah engkau hadapi Watugunung. Kalau sampai Watugunung berhasil engkau tewaskan, semua dosamu dan anak istru akan diampuni. Juga engkau akan diangkat sebagai raja kembali.”

Hyang Wisnu menjawab, “Saya siap melaksanakan perintah Sang Raja. Walau sampai mati tidak akan mundur. Restu Hyang Pramesthi yang aku minta.”

Hyang Wisnu segera maju ke medan perang bersama sang putra Srigati.

Sementara itu Prabu Watugunung bersama pasukannya masih menggedor pintu kahyangan.

Prabu Watugunung berteriak menantang, “Hai para dewa, keluarlah segera. Hadapi Prabu Watugunung. Atau segera menyerahlah saja sebelum aku obrak-abrik kahyangan.”

Hyang Wisnu keluar dari pintu kahyangan. Tak lama Wisnu sudah sampai di hadapan Prabu Watugunung.

Hyang Wisnu berkata, “Hai Raja Gilingwesi, aku cegah engkau merusak Suralaya. Celaka yang akan kau temui jika engkau sampai merusak kahyangan. Engkau kurang apa? Sudah mendapat anugerah menjadi raja, mengapa masih mau merusak kahyangan tempat tinggal para dewamu? Durhaka itu namanya.”

Prabu Watugunung kaget karena mendengar suara tanpa rupa.

Berkata Prabu Watugunung, “Engkau siapa, mengapa ada suara tanpa ada wujudnya. Keluarlah aku ingin tahu.”

Hyang Wisnu berkata, “Ketahuilah, aku dewa dari Suralaya, namaku Hyang Wisnu.”

Prabu Watugunung tertawa, “Kalau engkau memang benar dewa, tampakkan wujudmu. Hadapi Prabu Watugunung. Kalau memang bukan dewa, segera pergilah.”

Hyang Wisnu segera menampakkan diri di hadapan Prabu Watugunung.

Raja Gilingwesi itu tertawa bersukacita, “Ternyata tidak menakutkan, hanya seperti manusia biasa dewa ini. Tidak takut aku melawanmu. Hai, siapa namamu dewa dari Suralaya?”

Hyang Wisnu berkata, “Aku Wisnumurti.”

Prabu Watugunung berkata, “Kalau engkau melawanku, sungguh sayang. Engkau dewa yang tampan sayang kalau harus mati mengenaskan. Sebaiknya kita main tebak-tebakan sjaa. Tebaklah teka-tekiku, jika bisa silakan bertindak semaumu. Boleh bunuh kami semua. Kalau engkau tak bisa menjawab semua dewa harus tunduk kepadaku, juga para bidadai akan aku bawa ke dunia.”

Segera Hyang Wisnu menjawab, “Baiklah, katakan apa teka-tekimu. Aku jawab segera.”

Prabu Watugunung berkata, “Ini teka-tekiku. Ada pohon besar tapi buahnya kecil. Dan ada pohon kecil tapi buahnya besar. Apakah itu?”

Hyang Wisnu menjawab, “Pohon besar buahnya kecil adalah pohon beringin. Pohon kecil buahnya besar adalah semangka.”

Prabu Watugunung ciut hatinya. Sejenak tak mampu bicara karena teka-tekinya terjawab.

Hyang Wisnu berkata, “Hai, waspadalah. Tepatilah janjimu.”

Hyang Wisnu segera mengeluarkan senjata cakra. Raja Gilingwesi dibidik dengan senjata cakra tepat di lehernya. Seketika putus lehernya dan tewas. Tubuhnya segera diangkat ke kahyangan. Sementara itu pasukan dari Gilingwesi bubar berlarian karena mereka tak punya raja lagi. Tubuh Prabu Watugunung dihaturkan ke hadapan Sang Hyang Girinata.

Berkata Hyang Wisnu, “Paduka, inilah mayat Sri Watugunung. Sudah tewas oleh hamba. Tubuhnya sudah dibawa gerobak. Dia tewas karena kalah main tebak-tebakan. Hamba berhasil menebak teka-tekinya.”

Sang Hyang Girinata sangat bersukacita melihat musuh yang hendak menyerang kahyangan telah tewas.

Sementara itu di Gilingwesi, sepeninggal Prabu Watugunung permaisuri Dewi Sinta sangat bersedih. Setiap hari menangisi kematuan suaminya, Prabu Watugunung. Tangisannya menimbulkan huru-hara di seluruh alam dunia. Petir menyambar-nyambar, hujan salah musim, bumi bergoncang dan angin topan melanda, gunung-gunung meletus dan lautan seperti mendidih. Huru-hara di dunia sedemikian hebatnya sampai kahyangan ikut berguncang hebat. Kawah Candradimuka meluber, neraka Yamani mendidih dan jembatan Ogal-Agil bergoncang hebat. Para bidadari di surga diliputi ketakutan, mereka mengungsi ke istana Sang Hyang Girinata.

Sang Hyang Pramesthi Guru bertanya kepada Hyang Narada, “Kanda Narada, huru-hara apa yang terjadi di kahyangan ini, mengapa kahyangan sampai terguncang hebat? ”

Hyang Narada menjawab, “Ada manusia di alam dunia yang sedang prihatin karena suaminya tewas. Seorang istri bernama Sinta sejak kematian suaminya terus-menerus menangis sehingga menimbulkan huru-hara hebat di dunia.”

Hyang Pramesthi Guru berkata, “Kalau begitu segera turunlah ke alam dunia Kanda. Katakan kepada Sinta kalau suaminya sudah aku hidupkan lagi. Jangan lagi menangis sehingga membuat dunia berguncang.”

Hyang Narada segera melesat menuju Gilingwesi. Tak lama kemudian sudah sampai di hadapan Dewi Sinta yang sedang bersedih hati.

Berkata Hyang Narada, “Engkau berhentilah menangis, anakku. Jangan engkau membuat heboh Suralaya. Kalau engkau tak berhenti menangis, anakku, para dewa akan selalu kebingungan. Kalau engkau selalu bersedih, para dewa akan menderita. Apa yang menjadi kesedihanmu telah didengar. Hyang Guru sudah memerintahkan suamimu dihidupkan lagi.”

Dewi Sinta kaget mendengar suara tanpa wujud, seketika tangisnya reda.

Dewi Sinta berkata, “Siapa yang bersuara ini?

Yang bersuara menjawab, “Ketahuilah, aku dewata yang turun ke dunia. Suamimu yang telah mati sekarang sungguh telah hidup lagi di surga. Tunggulah sehari dua hari lagi, pasti suamimu akan datang.”

Setelah mendengar pernyataan Hyang Narada yang tidak menampakkan diri, kesedihan Dewi Sinta hilang seketika. Hatinya telah tenang dan tangisnya telah berhenti. Huru-hara di dunia hingga ke kahyangan pun sirna. Namun setelah dua tiga hari kemudian suami yang ditunggu-tunggu tak juga datang. Dewi Sinta kembali bersedih. Sang Dewi mengira dewata telah menipunya hanya agar tangisnya berhenti. Dewi Sinta kini sadar dirinya telah diberi janji palsu. Seketika tangisnya pecah kembali. Timbul huru-hara di dunia dan kahyangan yang lebih hebat dari yang dulu.

Hyang Pramesthi Guru kemudian kembali memanggil Hyang Narada, “Kanda Narada, mengapa timbul huru-hara lagi di kahyangan?”

Hyang Narada menjawab, “Anak paduka di bumi, yakni Dewi Sinta kembali menangis. Karena dia menunggu suaminya tak kunjung datang. Kalau memang paduka sudah berkehendak semestinya Prabu Watugunung segera dihidupkan agar para dewa tidak dianggap berbohong. Kalau Prabu Watugunung tidak hidup lagi, mustahil bisa tenteram alam kahyangan.”

Hyang Pramesthi Guru berkata, “Baiklah Kanda, segera hidupkan lagi Prabu Watugunung.”

Hyang Narada segera melaksanakan perintah. Mayat Prabu Watugunung yang diangkut di dalam gerobak didekati.

Hyang Narada lalu berkata, “Watugunung, hiduplah engkau kembali.”

Seketika bangkitlah kembali mayat Prabu Watugunung dan selamat seperti sediakala. Setelah keduanya duduk nyaman Hyang Narada menyampaikan perintah kepada Prabu Watugunung.

Berkata Hyang Narada, “Anakku, pulanglah kembali ke alam dunia. Engkau ditunggu oleh istrimu. Jadilah engkau Raja di Gilingwesi kembali.”

Prabu Watugunung berkata, “Saya tidak mau kembali ke dunia lagi. Sekarang saya sudah berada di surga. Untuk apa kembali lagi ke dunia. Sebaiknya mereka yang didunia dibawa ke sini. Saya tak mau berada di surga kalau tidak bersama istri dan saudara-saudara saya. Saya minta mereka semua diangkat ke surga bersama saya.”

Hyang Narada segera melaporkan permintaan Prabu Watugunung bahwa Watugunung tidak mau pulang ke dunia lagi. Dan juga tidak mau di surga kalau tidak bersama istri dan saudaranya yang semuanya berjumlah tiga puluh orang.”

Hyang Pramesthi Guru berkata, “Kalau seperti itu Watugunung sungguh tidak berkehendak baik.”

Berkata Hyang Narada, “Jangan marah Dinda kepada Watugunung. Kalau Watugunung marah sekarang ini tidak mudah dikalahkan lagi karena sekarang tidak bisa mati. Kalau sampai mengamuk pasti berat ditahan.”

Hyang Guru berkata, “Baiklah kalau begitu aku turuti. Angkatlah istri dan semua saudaranya yang semua berjumlah tiga puluh orang. Lakukan setiap minggu satu orang secara bergiliran.”

Narada melaksanakan perintah Hyang Guru. Satu persatu keluarga Watugunung diangkat ke surga. Pengangkatannya urut mulai dari Dewi Sinta, lalu Dewi Landhep dan berlanjut ke saudara-saudaranya; Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu dan Dhukut.

Kelak, bersama Prabu Watugunung nama-nama yang diangkat ke surga tadi kemudian menjadi nama wuku di dalam kalender Jawa.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/02/babad-tanah-jawi-2-prabu-watugunung-di-gilingwesi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...