Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (5): Radèn Sesuruh pergi dari Pajajaran lalu membuka negeri Majapait

 Setelah Raden Sesuruh tersingkir, Arya Banyakwidhe mengangkat dirinya sebagai raja. Semua orang tunduk kepadanya, para prajurit, punggawa negeri sampai kawula di desa-desa. Raja baru mengumumkan barangsiapa ada yang berani menampung Raden Sesuruh akan mendapat hukuman yang berat. Titah Sang Raja ini membuat Nyai Kaligunting resah. Nyai Kaligunting kemudian menemui tiga adik laki-lakinya, namanya Ki Wiro, Ki Nambi dan Ki Bandar.

Berkata Nyai Kaligunting, “Bagaimana pendapat kalian atas titah Sang Raja itu, barangsiapa yang ketempatan Raden Sesuruh akan ditumpas anak-cucunya. Aku ini sudah merasa sayang kepada tuan kita Raden Sesuruh, ibarat sudah seperti anakku sendiri. Kalau Raden sampai menemui ajal aku akan ikut mati bersamanya.”

Para adik laki-lakinya berkata, “Jangan khawatir, selama kami bertiga masih hidup akan kami hadapi kemarahan Sang Raja.”

Ketiga adiknya kemudian berjaga di rumah Nyai Kaligunting dan menemui Raden Sesuruh.

Setelah bertemu Ki Wiro bersaudara berkata, “Kami ini hidup mati akan ikut bersama raden. Kami akan tetap mengikuti raden ke manapun raden pergi.”

Nyai Kaligunting pun ingin ikut serta bila Raden Sesuruh hendak melanjutkan perjalanan. Sudah terkumpul seratus orang pengikut Raden Sesuruh beserta keluarga Nyai Kaligunting. Mereka kemudian pergi ke arah timur. Nyai Kaligunting tak ketinggalan.

Ki Nambi berkata, “Kalau raden berkenan, mari kita naik ke gunung Kombang. Ada seorang pertapa tua yang sangat awas penglihatannya. Sebaiknya kita mengungsi ke sana. Barangkali dia akan memberi kita petunjuk.”

Raden Sesuruh menerima usulan Ki Nambi. Rombongan Raden Sesuruh lalu naik ke gunung Kombang. Ketika sampai di kaki gunung tampak oleh mereka gunung itu sangat angker. Gunung itu menjadi kerajaan para mekhluk halus, lelembut dan jin. Di atas gunung tinggallah seorang ajar bernama Ajar Camaratunggal. Ajar yang terkenal sakti dan mempunyai prajurit makhluk halus. Walau ada banyak ajar tetapi tak ada yang seperti Ki Ajar Camaratunggal. Ajar yang kewibawaannya laksana raja. Makhluk halus di seluruh Jawa tidak ada yang tidak tunduk menghadap kepada Sang Ajar.

Di atas gunung Ajar Camaratunggal berkata kepada muridnya, “Nah, para uluguntungpanantangmanguyu dan para wasi, aku akan kedatangan tamu. Sekarang sedang berjalan menuju ke sini. Tampaknya mereka sedang menderita kesusahan. Mereka dipimpin seorang mulia keturunan raja yang baru saja kalah dalam perang. Ayo segeralah menggelar tikar dan lapisi permadani sepantasnya. Setelah semua siap para wasi segera bersemedilah dengan memukul genta dan keleng.”

Sementara itu Raden Sesuruh bersusah payah mendaki gunung. Di tengah perjalanan mereka disambut hujan rintik-rintik, angin ribut dan tornado. Banyak pohon-pohon bertumbangan, batu-batu berjatuhan dan lumpur mengalir deras. Suasana menjadi gelap gulita. Maka bangkitlah para makhluk halus menghadap kepada tuannya. Mereka hendak ikut menyambut datangnya tamu yang sedang bersedih. Di tengah suasana yang gelap Raden Sesuruh merasa bingung arah yang hendak ditempuh. Namun samar-samar terdengar olehnya bunyi genta yang ditabuh. Seketika suasana terang kembali. Di puncak gunung Raden Sesuruh melihat sebatang pohon cemara. Terlihat pula pertapaan Sang Ajar.

Berkata Raden Sesuruh, “Nah, Paman. Itulah pertapaan Ajar Camaratunggal. Ayo kita segera naik.”

Sang putra raja bergegas naik ke puncak gunung. Setelah sampai di pertapaan Raden Sesuruh masuk sendirian. Para pengikutnya menunggu di pintu gerbang. Setelah Raden Sesuruh dipersilakan duduk, Ki Ajar segera menemui dan menyambut tamunya.

Berkata Sang Ajar, “Duhai raden, selamat datang di pertapaanku. Dari mana asal raden dan siapa nama raden?”

Raden Sesuruh berkata, “Kedatanganku ini dan apa maksudku pasti kakek sudah tahu.”

Ki Ajar berkata, “Benar cucuku, apa gunanya aku hidup di puncak gunung dan makan nasi kering kalau tidak mengetahui apa kehendakmu. Kedatanganmu raden karena engkau kalah perang oleh saudaramu sendiri. Maka engkau sampai naik ke gunung karena ingin mencari tempat tinggal. Apakah demikian?”

Raden Sesuruh menyembah, “Benar tidak keliru tebakan kakek. Saya tak perlu mengatakan maksud kedatanganku. Kakek pasti sudah tahu.”

Ki Ajar berkata, “Cucuku, kalau engkau bermaksud tinggal di sini dan ikut bertapa, maka kehendakmu aku cegah. Karena hal seperti itu bukan pekerjaanmu. Engkau ini keturunan raja, tidak sepantasnya mengerjakan hal demikian.”

Raden Sesuruh berkata, “Kalau begitu aku ikut saran dari kakek, bagaimana seharusnya yang saya lakukan.”

Ki Ajar Camaratunggal berkata, “Cucuku, turutilah petunjukku. Berjalanlah engkau ke timur terus lurus saja. Bila nanti menemui buah maja yang rasanya pahit, engkau berhentilah dan buatlah pemukiman di situ. Jangan berpindah-pindah lagi, tetaplah di situ. Ketahuilah kelak di situ akan menjadi negeri yang besar. Sudah kehendak dewata engkau kelak menjadi perintis negeri baru itu. Anak keturunanmu akan menjadi raja besar yang menguasai pulau Jawa. Sudahlah cucuku, jangan lagi bersedih. Kelak engkau bisa membalas dendam kepada Siyung Wanara. Tapi engkau harus sabar, sekarang belum waktunya membalas. Dan ketahuilah cucuku, aku bukan seorang ajar. Sebenarnya aku seorang putri dari Pajajaran. Adikku adalah kakekmu, yang kemudian berputra ayahmu yang diceburkan ke sungai dan dibakar oleh Banyakwidhe. Awal mulanya aku sampai di sini karena dahulu aku seorang putri yang cantik. Semua putri dari pulau Jawa ini tidak sebanding denganku. Banyak raja dari penjuru pulau Jawa datang melamar, tetapi aku tidak menerima mereka. Karena aku tidak kunjung menerima pinangan, ayahku sangat marah. Karena telah membuat sedih ayah-ibuku aku lalu memutuskan pergi dari keraton. Di waktu malam aku keluar melewati saluran air dan masuk ke hutan. Perjalanaku melantur sampai naik ke gunung Kombang. Ada sebuah pohon cemara di puncak. Di situlah aku bertapa. Pohon itu sampai sekarang masih hidup.”

Ki Ajar lalu berganti rupa menjadi wanita yang cantik. Sungguh cantik seperti bidadari dari kahyangan. Seketika Raden Sesuruh kaget melihat wanita yang sangat cantik. Selama hidupnya belum pernah Raden Sesuruh melihat wanita secantik ini. Raden Sesuruh seketika kepincut dengan sang wanita. Dia lupa tatakrama karena didorong nafsu yang membara. Segera mendekat Raden Sesuruh hendak meraih tangan sang cantik.

Si cantik menghindar dan berkata, “Apa yang akan engkau lakukan. Mengapa hilang tatakramamu seperti orang mabuk. Engkau ini hanya terpesona oleh rupa.”

Raden Sesuruh makin menjadi. Perilakunya tak berhitung lagi sebagai seorang putra raja yang seharusnya berbuat utama. Si cantik  segera ditubruk. Seketika si cantik menghilang musnah.

Raden Sesuruh sangat menyesal. Hatinya sudah tertutup nafsu angkara. Yang diingat hanya wajah cantik sang putri yang telah menghilang. Duhai tuanku, mengapa sampai tega meninggalkan gedibalmu ini, ratapnya pilu. Tiba-tiba Ki Ajar sudah berada di depannya. Si cantik telah kembali menjadi wujud Ki Ajar yang telah sepuh. Seketika Raden Sesuluh tersadar dari mabuk kepayang. Raden Sesuruh kembali duduk di hadapan Ki Ajar. Raden Sesuruh sungkem sambil meminta maaf seraya menangis.

Ki Ajar berkata, “Jangan menangis. Sudah lazim seorang pria kepincut dengan wanita cantik. Hanya saja aku punya petunjuk kepadamu. Lakukan agar segala kehendakmu tercapai. Aku ini hanya manusia biasa. Tetapi karena gemar bertapa maka mendapat anugerah bisa menjadi laki-laki atau perempuan, bisa menjadi tua atau muda. Juga terhindar dari sakit dan mati. Hanya akan mati kelak kalau sudah kiamat. Kelak kita akan bertemu lagi cucuku. Namun waktunya kalau engkau sudah menjadi raja dan menguasai tanah Jawa. Aku kelak akan berpindah dari sini, negeriku akan berada di Tasikwedhi. Di situ aku menjadi raja bagi kalangan bangsa jin dan keratonku berada di Pamantingan. Adapun prajuritku kelak adalah para raja dari kalangan makhluk halus di pulau Jawa semuanya. Kelak aku pun punya patih, adipati dan tumenggung, rangga, demang, ngabei, pecatanda, kanduruan dan ondhamoi. Tetapi aku kelak akan mengabdi kepada dirimu dan anak cucumu. Kelak anak cucumu akan menjadi raja di sebelah utara Pamantingan, sebelah selatan gunung Merapi. Siapapun yang menjadi raja akan menjadi suamiku. Dan ingatlah cucuku, kalau engkau mendapat bahaya undanglah aku, aku akan segera datang. Sudah, sekarang segera berangkatlah cucuku. Tujulah negeri yang bernama Singasari.”

Raden Sesuruh segera turun dari gunung. Dia berjalan tanpa menoleh bersama seratus orang pengikutnya. Sesuai perintah Ki Ajar mereka berjalan lurus ke arah timur. Singkat cerita mereka sudah jauh berjalan. Sampailah pada sebuah pohon maja yang hanya berbuah sebutir.

Raden Sesuruh berkata, “Ambillah buah maja itu.”

Buah maja segera dipetik dan dimakan oleh Raden Sesuruh. Terasa pahit rasa buah maja itu.

Raden Sesuruh berkata, “Saudaraku semuanya. Aku hendak menetap di sini membuat pedukuhan. Kalian semua buatlah rumah untuk tempat tinggal. Desa kita ini aku beri nama Majapahit.”

Raden Sesuruh menetap di desa Majapahit dan hidup sebagaimana orang desa dengan bercocok tanam. Desa Majapahit menjadi desa yang aman dan tenteram. Lama-lama banyak orang yang kemudian ikut bermukim di desa itu. Kehidupan di Majapahit lalu berkembang. Ada pasar besar, ada pandai besi, ada tukang emas, ada pedagang yang berdatangan. Semua warga Majapahit merasa kerasan. Perlahan desa Majapahit menjadi kota besar yang makmur.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/05/babad-tanah-jawi-5-raden-sesuruh-pergi-dari-pajajaran-lalu-membuka-negeri-majapait/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...