Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (13): Prabu Brawijaya bermusuhan dengan Sunan Giri

 Alkisah, Prabu Brawijaya di Majapahit suatu hari sedang bertahta di singgasana gading pada hari pisowanan. Para putra lengkap menghadap berserta para punggawa Majapahit.

Berkata Prabu Brawijaya, “Hai Patih Gajahmada, bagaimana kabar tentang orang di Giri itu. Beritanya dia sampai mempunyai banyak pengikut. Apakah benar demikian?”

Ki Patih Gajahmada menyembah dan melapor, “Berita itu benar paduka.”

Prabu Brawijaya berkata, “Hai Patih, perintahkan segera punggawa yang banyak untuk menyerang orang di Giri itu.”

Patih Gajahmada segera menyiapkan pasukan seperti perintah Sang Raja. Para punggawa telah menyiapkan pasukan bersenjata dan segera berangkat ke Giri. Tidak lama mereka telah sampai dan mengepung Giri. Seketika penghuni Giri geger karena tak menduga akan diserang pasukan Majapahit. Para wanita dan anak-anak berlarian mengungsi ke dalam pura meminta perlindungan kepada Kangjeng Susuhunan Giri. Sementara itu para lelaki bersiap mempertahankan diri dengan bertekad melakukan perang sabil. Namun karena memang bukan prajurit para santri di Giri terdesak oleh musuh. Banyak di antara mereka yang tewas. Mereka kemudian mengungsi ke kedaton Giri.

Ketika itu Kangjeng Susuhunan Giri sedang menulis. Sunan kaget oleh kedatangan istri para santri yang melaporkan bahwa Giri telah diserang Majapahit dan posisi mereka kini terdesak lawan.

“Duhai Kangjeng Susuhunan, para sahabat paduka sekarang terdesak oleh musuh yang menyerang tiba-tiba. Banyak yang tewas dan terluka. Sekarang bagaimana kehendak paduka?” kata para wanita.

Sunan Giri kaget mendengar berita penyerangan ini. Spontan Kangjeng Sunan membuang pena yang dipakai menulis dan berdoa meminta pertolongan Allah. Pertolongan itu datang dengan segera. Pena yang dipakai menulis berubah menjadi keris dan melesat ke arah pasukan Majapahit. Keris yang berasal dari pena itu berputar-putar sendiri mencari mangsa. Ia hanya memilih para pembesar Majapahit. Dada para pembesar Majahapit itu ditikamnya sehingga para panglima Majapahit banyak yang tewas dan terluka. Sementara itu para prajurit kecil yang melihat menjadi sangat miris dan bubar berlarian.

Menyadari bahwa yang dilawan bukan manusia biasa, para punggawa Majapahit ciut hatinya. Secara teratur mereka mundur dan kembali ke Majapahit. Patih Gajahmada segera melapor kepada Prabu Brawijaya perihal hasil penyerangan ke Giri.  Mereka mundur kalah oleh sesuatu yang bukan manusia. Seolah mereka melawan dewata yang perkasa. Kalau tidak, bagaimana mungkin sebilah keris bisa mengamuk sendirian mengobrak-abrik pasukan Majapahit.

Sang Prabu Brawijaya tertegun mendengar laporan Patih Gajahmada. Prabu Brawijaya menyimpulkan hal itu terjadi karena karamah Sunan Giri.

Prabu Brawijaya berkata, “Hai Patih, hentikan dulu perang ini. Kelak bila sudah berkurang kesaktiannya kita serang lagi.”

Pasukan Majapahit dibubarkan dan para prajurit kembali ke rumah masing-masing.

Sementara itu di Giri, setelah musuh pergi keris yang tadi mengamuk kembali lagi ke hadapan Kangjeng Sunan. Terlihat keris itu berlumuran darah. Kangjeng Sunan yang melihat keris berlumuran darah segera beranjak ke tempat shalat untuk bersujud kepada Allah. Sunan meminta pengampunan segala kesalahan dan dosa-dosa. Setelah selesai keris diambil dan seketika darah yang melumurinya hilang. Tidak lama kemudian para santri sudah berkumpul kembali.

Kangjeng Sunan berkata, “Wahai semua sahabatku, ingatlah kalian. Keris ini aku beri nama Kalamunyeng karena asalnya dari pena (kalam) yang berputar-putar. Sekarang kalian berdoalah meminta pengampunan Allah karena kita baru saja berperang melawan Majapahit. Dia adalah raja di Jawa dan kita telah berani melawannya.”

Setelah kejadian itu Giri aman sentausa. Sampai akhir usia Sunan Giri tak ada lagi gangguan datang dari Majapahit. Setelah Kangjeng Susuhunan Giri wafat yang menggantikan adalah sang cucu yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Parapen. Kangjeng Sunan Parapen memerintah Giri tak beda dengan sang eyang. Semua orang Giri hormat dan tunduk kepadanya.

Sementara itu di Majapahit, berita wafatnya Sunan Giri telah terdengar. Prabu Brawijaya teringat kekalahan pasukan Majapahit dahulu. Barangkali karena Giri sudah ditinggal oleh Kangjeng Sunan kekuatannya sekarang lemah. Maka Prabu Brawijaya berniat kembali menyerang Giri.

Berkata Prabu Brawijaya, “Wahai Patih Gajahmada. Sekarang siapkan para punggawa beserta pasukan bersenjatanya. Kita akan kembali menyerang Giri. Semua putraku ikutlah dalam penyerangan ini.”

Patih Gajahmada menyatakan kesiapan. Pagi hari berikutnya pasukan besar Majapahit sudah bersiap berangkat. Bergemuruh sorak-sorai pasukan Majapahit sepanjang perjalanan.

Sementara itu di Giri, berita kedatangan kembali pasukan Majapahit sudah terdengar. Kabarnya para putra Sang Raja Majapahit sendiri yang melaksanakan penyerangan. Seketika Giri kembali geger. Para wanita dan anak-anak kembali mengungsi sampai ke pinggir samudera. Sedang para lelaki kembali bersiap menghadapi musuh yang datang. Tak lama pasukan Majapahit tiba dan langsung mengepung Giri. Begitu besar pasukan Majapahit sehinga datangnya mirip gelombang samudera yang menerjang kedaton Giri. Para santri di Giri bubar berlarian.

Sunan Giri Parapen memutuskan keluar dari pura beserta para santri. Kedaton Giri sengaja dibakar agar tidak diduduki pasukan Majapahit. Para prajurit yang mendapati kedaton Giri telah kosong meras tidak puas, lalu naik ke pemakaman Sunan Giri di puncak gunung. Mereka lalu merusak makam Kangjeng Sunan Giri. Makam Sunan Giri digali oleh para putra raja Majapahit. Di pemakaman itu ada dua orang penjaga yang cacat tubuhnya dan tampak hina. Seorang pincang dan bengkok kakinya sehingga tak mampu lari.

Para putra raja Majapahit segera memerintahkan para prajurit untuk menggali makam. Para prajurit mengambil cangkul untuk menggali, tetapi setiap mengayun cangkul mereka jatuh terkapar dan muntah darah. Lalu datang temannya menggantikan, tetapi lagi-lagi mereka jatuh terkapar. Begitu terjadi seterusnya sehingga para prajurit takut menggali.

Para putra raja berkata, “Suruh dua orang penjaga makam yang cacat tadi untuk menggali. Kalau tidak mau aku akan mencoba kerisku padanya.”

Kedua orang tadi terpaksa menurut karena diamcam akan dibunuh. Mereka berdua berhasil menggali sampai pada penutup jenazah yang terbuat dari kayu. Kayu segera dibuka. Tiba-tiba dari dalam muncul tawon yang jumlahnya ribuan. Semakin lama tawon yang keluar semakin banyak sampai-sampai langit menghitam seperti mendung. Tawon-tawon lalu turun menyerang para prajurit Majapahit sehingga bubar berlarian. Tawon-tawon yang jumlahnya terus bertambah mengejar sampai ke negeri Majapahit dan masuk ke dalam keraton. Penghuni keraton Majapahit bubar berlarian. Laki-perempuan dan anak-anak pun semua diserang. Prabu Brawijaya dan para wanita penghuni istana ikut lari terbirit-birit sampai jauh dari keraton. Untuk beberapa saat keraton Majapahit kosong ditinggalkan penghuninya.

Sementara itu di Giri dua orang cacat yang menggali kubur selamat. Yang ajaib cacat mereka hilang seketika dan kembali menjadi manusia normal. Setelah merapikan makam Sunan mereka segera berlari menyusul Sunan Parapen di tempat pengungsian. Di tepi samudera mereka berhasil menemui Sunan Parapen beserta para santri dan penduduk Giri. Mereka mengabarkan bahwa musuh telah sira dan mempersilakan Sunan Parapen kembali ke kedaton. Sunan Parapen dan para penghuni Giri segera kembali.

Sesampai di Giri mereka mendapati semua rumah telah musnah terbakar. Giri seperti lapangan luas yang kosong. Kangjeng Sunan Parapen kemudian menyuruh para santri ke Majaphit untuk mengambil rumah-rumah kosong di kotaraja. Saat itu Majapahit masih ditinggalkan para penghuninya. Rumah-rumah yang kecil dan bisa dibawa mereka angkut sebagai ganti perumahan di Giri yang terbakar. Walau kota Majapahit kosong Sunan Parapen tidak ingin menguasainya. Hanya mengambil sejumlah rumah sebagai pengganti saja.

Di lain tempat, Prabu Brawijaya yang berada di pengungsian diberitahu bahwa kota Majapahit telah aman. Prabu Brawijaya lalu kembali ke keraton. Sejak peristiwa itu Prabu Brawijaya kapok menyerang Giri. Kangjeng Sunan Giri Parapen lestari memerintah Giri dan mengajar para santri. Selamanya aman dari gangguan Majapahit.

Di Majapahit Prabu Brawijaya sudah tidak lagi memikirkan Giri. Perhatiannya kini tertuju kepada sang putra yang ditanam di Demak Bintara.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/13/babad-tanah-jawi-13-prabu-brawijaya-bermusuhan-dengan-sunan-giri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...