Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (BP): Kisah Sukra-Lembah (5)

 Diceritakan, Raden Sukra sesampainya di rumah, jatuh di tempat tidur. Tidak lain yang dalam angan hanya si dinda sang kusuma. Yang dipikirkan dalam hati menempel di pelupuk mata.

Raden Sukra berkata lirih mengaduh, “Duhai sang ratna permataku, apakah engkau tidak mendengar kalau hambamu ini hampir mati diburu saudaramu yang bernama Antawirya. Akan saya hadapi, tak urung aku mati. Kalaupun mati dindaku pasti sangat marah kepadaku. Sungguh aku mending mati saja daripada mendapat marah.”

Tak karuan rasa di hati, Raden Sukra memanggil pengasuh wanita yang dikasihinya, Nyai Gori namanya. Berkata sang tampan, “Ibu, majulah sini.”

Pengasuh menghaturkan sembah dan mendekat di hadapan Raden Sukra yang berkata, “Ibu engkau aku suruh, aku minta karyamu. Ibu pergilah segera ke Kapugeran. Ini suratku sampaikan ke putri yang seperti permata yang membuat jatuh cinta. Ibu pesanku bisalah melihat celah untuk masuk. Ini ada pemberianku sepuluh riyal.”

Pengasuh Gori menyembah segera pergi dari hadapan Raden Sukra, sampai di pasar bertemu dengan temannya yang bernama Mbok Tambakbaya. Orang Kapugeran sebernarnya si Nyai Tambakbaya, tetapi sekarang sedang purik karena berselisih dengan lakinya, dimadu sakit hatinya. Sekarang Nyai Tambakbaya diberi tugas mengasuh Raden Ayu Lembah selama di Kapugeran. Nyai Gori sangat suka hatinya, merasa kalau akan berhasil melakukan tugas.

Pengasuh Gori bergegas menemui Nyai Tambakbaya, lalu berbisik, “Nyai saya minta tolong serahkan suratku kepada sang kusuma. Setelah bisa menyerahkan engkau saya beri upah sembilan riyal, pakailah membeli jambe kinang.”

Nyai Tambakbaya bertanya, “Ini surat siapa?”

Nyai Gori menjawab, “Yang memberi surat Pangeran Adipati, yang hendak memberi surat kepada sang istri.”

Nyai Tambakbaya segera pulang, perjalanannya sudah sampai di tempat yang dituju. Sang dewi sedang merias diri, sedang dikelilinggi para dayang sambil berbincang, mendadak Nyai Tambakbaya datang menghaturkan surat. Sang putri kaget dan bertanya, “Ini surat siapa Nyai?”

Nyai Tambakbaya berkata, “Surat dari suami paduka Pangeran Adipati.”

Tersenyum sang putri, surat sudah dibuka dan dibaca apa yang tertulis. Sang ratna kaget, bertanya pelan, “Siapa yang membawa surat ini?”

Nyai Tambakbaya berkata, “Seorang perempuan, sudah tua. Mengaku dari kadipaten.”

Sang putri berkata pelan, “Engkau sudah terkena yang namanya upaya sandi. Bukan kakanda Adipati yang berkirim surat. Kalau melihat dari isinya ini layang dari Sukra. Memakai tembang mijil segala. Si Sukra terus menjadi-jadi, ini orang memang ingin putus lehernya.”

Sesudah itu gubahan tembang tujuh bait, ditaruh di bawah kasur. Sang putri kemudian tidur. Nyai Tambakbaya segera keluar sudah sampai di jalan bertemu dengan utusan tadi. Nyai Tambakbaya berkata, “Si bibi ini kok aniaya benar, berani mencuri cinta sang ayu memakai upaya sandi.”

Tak diceritakan yang terjadi, singkatnya Nyai Tambakbaya dibawa ke Kasindurejan. Tak diceritakan dalam perjalanannya. Sementara itu Raden Sukra sangat menunggu-nunggu datangnya utusan. Tak lama segera datang pengasuh Gori ke hadapannya. Segera dipanggil, berkata Raden Sukra, “Bagaimana pekerjaanmu?”

“Nyai Gori berkata, “Saya tidak mengetahui, saya tidak masuk sendiri. Inilah yang saya suruh masuk ke tempat sang putri, istri dari Ki Tambakbaya, tetapi sedang purik. Sekarang yang mengasuh sang ayu. Makanya surat bisa masuk.”

Raden Sukra mendengar perkataan pengasuhnya sangat suka hatinya, manis berkata, “Duhai bibi, saya bertanya bagaimana surat itu, apakah sudah dihaturkan kepada sang putri?”

Nyai Tambakbaya berkata pelan, “Raden surat paduka setelah saya haturkan sang putri dibaca berkali-kali. Sang ayu lalu tidur dengan surat ditaruh di bawah kasur. Raden ketika membaca surat paduka sang dewi tidak berkata apapun, tetapi agaknya suka hati selalu ditambah tertawa-tawa.”

Raden Sukra mendengar perkataan Nyai Tambakbaya hatinya sangat suka. Angannya seperti sudah mendapat tanggapan baik, maka lalu mendendangkan tembang. Seakan sang putri di hadapannya, hendak minta kawin kepadaku.

Banyak perilakunya yang sedang kasmaran, jatuh bangun Raden Sukra. Sudah buram pandangannya. Segera menuju tempat tidur, berkata kepada sang pengasuh, “Hai pengasuh, panggilah Nyai Tambakbaya, hendak aku tanyai.”

Pengasuh Gori keluar memanggil Nyai Tambakbaya, yang diundang segera datang. Raden Sukra hatinya sudah terlena, disambut Nyai Tambakbaya.

“Bibi jangan sedih. Ini bibi saya umpamakan sang putri saja, yang telah membuat saya sakit asmara.”

Nyai Tambakbaya digandeng, dibawa ke tempat tidur. Raden Sukra merayu-rayu dengan kata manis seolah sedang bersama sang dewi. Nyai Tambakbaya mendengar rayuan maut seketika barangnya mengeras, layaknya api panasnya, membara seperti bara.

Raden Sukra tak berhenti merintih, rayuannya meminta kasih, “Duhai permata jiwaku, siapa yang memiliku tuan. Apakah hanya Sukra, berkatalah wahai cantik, permata di Kapugeran. Pikiraku dindaku, sakit mendapat obat, sudah lama hamba kasmaran, siang malam yang diangan hanya dindaku selalu lekat di mata.”

Watak laki dan perempuan, keduanya tak ingat apapun dan bertindaklah melanggar susila. Maka sering disebut combang adalah talangan asmara, kalau gak ada aslinya, comblang yang diembatnya. (Sukra, Sukra…sang putri yang diangan, kok babu yang dimakan-pengkaji).

Setelah selesai bersetubuh, Raden Sukra bersuci lalu duduk dikelilingi para dayang. Lalu kembali membuat surat dengan tembang, akan dihaturkan kepada sang ayu, dibungkus sutra kuning. Adapun isi suratnya hendak menghadap bila  sang dewi berkenan hatinya. Surat sudah diterima oleh Mbok Tambakbaya, segera pergi tak menunggu. Tak diceritakan bagaimana si utusan.

Sementara itu, Kagjeng Pangeran Adipati dikisahkan sedang dihadapan punggawa, Patih Soda dan Udawa ada di depannya. Diceritakan sang pangeran mempunyai seorang paman, seseorang yang mengabdi kepada sang ibunda, Ratu Kilen. Sudah diangkat kedudukannya oleh Sang Raja, diberi nama Raden Arya Tiron. Sang paman sudah menghadap sang putra, sesampainya di hadapan menyembah dan melapor bahwa baru saja dari Kasindurejan secara rahasia.

“Nak, saya beri tahu, sekarang adinda paduka berselingkuh, yang sedang berada di Kapugeran. Si Sukra pasangannya. Sudah kirim-kiriman surat. Yang menjadi comblang istri dari Tambakbaya. Ketika hari Kamis Si Sukra datang ke taman diiringi dua pengasuhnya. Kepergok oleh adik paduka Raden Antawirya. Si Sukra sudah dikepung oleh semua putra Kapugeran, tetapi tidak tertangkap. Si Sukra lari, tetapi tak berhenti keinginannya. Sekarang masih menantang paduka, berani bertakar darah dengan paduka tuanku. Sangat ingin bertameng dada bertukar keris, bertarung dengan paduka. Tidak di hutan, di kota, di gunung kalau ketemu paduka hendak menantag paduka.”

Pangeran Adipati begitu mendengar penuturan sang paman langsung bangkit kemarahannya. Dada memerah, bulu mata berdiri tegak, dan bersiap memberangkatkan pasukan. Balatentara kadipaten bersiaga. Kehendak sang pangeran hendak menyerang Kasindurejan membunuh Sukra sekarang juga. Lupa kalau seorang putra raja.

Patih Sida dan Udawa memberi saran, “Nal Pangeran, marilah kangan segera berperang menyerang kepada Sukra. Sungguh nista paduka putra raha dan si Sukra hanya seorang hamba. Sungguh nista seorang tuan berperang dengan hambanya. Mari memakai cara rahasia dalam kehendak, mustahil gagal. Paduka mengirimlah surat kepada ayahanda paduka Pangeran Puger.”

Pangeran lega hatinya, segera menulis surat untu ayahanda Pangeran Puger, adappun bunyi surat: “Hamba memberi tahu sekarang putri paman berselingkuh dengan Sukra. Sesudah jadi sang adik Raden Suryakusuma dipanggil, sudah menghadap dan menghaturkan sembah.

Pangeran berkata, “Dinda aku utus untuk menghaturkan surat untuk Paman.”

Raden Suryakusuma sesudah menerima surat segera pergi ke Kapugeran.

Sementara itu, Nyai Tambakbaya perjalanannya sudah sampai, sudah bertemu dengan sang ayu. Berkata memohon belas kasih serta mengaturkan surat. Sang ayu bertanya, “Siapa yang mengirim surat kepadaku Nyai?”

Nyai Tambakbaya berkata, “Sama dengan yang kemarin, dari si Sukra. Sungguh yang selalu mengirim surat. Kasihan saya melihat pada perilaku si Sukra. Bingung sepanjang jalan seperti orang sakit jiwa, bertemu dengan saya si Sukra berkata meminta kesembuhan. Dan berkata tuanku Si Sukra, kalau aku bertemu dengan sang dewi akan aku bawa pergi jauh dari Kartasura. Hendak mandiri di Kedu, dan berkota di Tarayem. Adik paduka Raden Mantri hendak diangkat jadi raja, Raden Suryaputra. Balatentara Kedu dan Mataram sudah diberi surat, Si Sukra mau perang habis-habisan menyerang Kartasura. Sekarang sudah punya pasukan Bugis tujuh puluh yang akan diandalkan dalam perang.”

Tertawa sang putri, serta berkata, ”Si Sukra sungguh kerasukan, terkena tulah laknat. Apakah tak merasa hanya tukang kuda si Sukra hendak memusuhi uwak raja? Nah gila kau bibi Tambakbaya, apa tidak punya  hati menurut orang kena tulah?”

Nyai Tambakbaya bekata pelan, “Saya kira mustahil menyalahi janji, watak orang muda tampan itu, dan Sukra sudah menyatakan kalau sang raja mangkat dan suami paduka menjadi raja Si Sukra tak mau mengabdi. Tak hendak mengatupkan tangan, yang diinginkan bertanding jurit dengan Pangeran Adipati. Hendak bertakar darah, sang tampan mustahil kalah.”

Sang putri tak bicara mendengar perkataan Nyai Tambakbaya.

Ganti yang diceritakan, yang sedang menjadi utusan, Raden Suryakusuma sudah sampai di hadapan sang ayah. Segera dipanggil menghadap, Raden menyembah serta menghaturkan surat. Sudah diterima oleh sang Pangeran Puger.

Surat dibaca, maknanya dari Pangeran Adipati, menghaturkan bakti kepada sang paman yang terpuji, yang bewatak sabar, sesepuh warga Kartasura. Setelah semua pujian dihaturkan, disebutkan hendak memberi tahu bahwa sekarang Dinda Dewi telah berselingkuh dengan Sukra, sudah bersebadan dan saling berkirim pakaian. Yang menjadi comblang adalah istri Tambakbaya.

 Teks Asli:

46. Rahadyan Sukra winarni | sadhatêngira ing wisma | niba ing pagulingane | datan lyan ingkang kacipta | mung adining kusuma | ingkang kacipta ing kalbu | tumèmpèl tungtunging netra ||

47. Radèn Sukra angling aris | asambat-sambat sang rêtna | mirah ingsun nahing anggèr | baya datan myarsa warta | yèn dasih mèh antaka | binuru ing kadangipun | kang nama Dyan Ôntawirya ||

48. arsa kawula ladosi | tan wande ingsun pralaya | lamun pêjaha arine | mandahe sang kadi rêtna | dukane mring kawula | yêkti ngong palaur lampus | lawan amanggih dêduka ||

49. tanbuh raose kang galih | sira wau Radèn Sukra | animbali pamomonge | pawèstri tur kinasihan | nyai Gori kang nama | angandika sang abagus | biyang dèn kaparêng ngarsa ||

50. êmban Gori atur bêkti | sampun tumamèng ing ngarsa | Rahadèn Sukra dêlinge | biyang sira ingsun duta | ngong jaluk karyanira | biyang mintara dèn gupuh | marang dalêm Kapugêran ||

51. ênya iki layang mami | aturna sang kadi rêtna | kang karya brôngta wirage | biyang poma wêkas ingwang | dipun angon iriban | ênya iki paring ingsun | reyal sadasa kèhira ||

52. êmban Gori awotsari | sigra mentar maring ngarsa | dhatêng ing pasar lampahe | kapanggih lan mitranira | aran bok Tambakbaya | wong Kapugêran satuhu | sira nyai Tambakbaya ||

53. anging mangke lagya purik | sêsêrikan lawan priya | kinawayah lara tyase | mangkya amomong sang rêtna | êmban Gori uninga | langkung suka manahipun | angraos yèn angsal karya ||

54. êmban Gori glis marani | dhatêng nyai Tambakbaya | nulya binisikan age | nyai kula nêdha karya | aturna sêrat ingwang | dhatêng kusumaning ayu | samangsanipun katura ||

55. andika kula upahi | punika reyal sasanga | karyanên patumbas jambe | nyai Tambakbaya lingnya | iki layange sapa | kang tinanya alon muwus | nyai kang ngaturi sêrat ||

56. nênggih pangeran dipati | kang atur sêrat mring garwa | nyai Tambakbaya age | nulya mantuk lampahira | sampun praptèng udyana | kawarnaa sang dyah ingrum | kang lagya momong sarira ||

57. lagya pinarêk ing cèthi | sang dyah eca angandika | kasaru wau praptane | sira nyai Tambakbaya | prapta sahatur surat | kagyat sang dewaning ayu | sêrat sampun tinampanan ||

58. kusumayu ngandikaris | lah iki layange sapa | nyai Tambakbaya ture | kang sêrat raka andika | pangeran adipatya | mèsêm kusumaning ayu | kang sêrat sampun binuka ||

59. katupiksa punang tulis | sang rêtna kagyat ing nala | atanya alon dêlinge | bibi sapa kang ambêkta | matur ni Tmbakbaya | tiyang èstri sampun sêpuh | ngakên tiyang kadipatyan ||

60. sang dyah angandika aris | sira kalêbon upaya | sandi bibi ing jênênge | dudu kakang mas dipatya | kang akirim nawala | alah iki uninipun | dahat layange Si Sukra ||

61. amawi têmbung pamijil | Si Sukra tulus andadra | wong kudu tugêl gulune | ri sampunira mangkana | rêrêpèn pitung pada | sinèlèh sandhaping kasur | sang rêtna lajêng anendra ||

62. ni Tambakbaya glis mijil | wus prapta pinggiring marga | apanggih lawan dutane | ni Tambakbaya lingira | si bibi kaniaya | andhustha maring sang ayu | nglêbêti sandi upaya ||

63. tan kawarna solahnèki | ni Tambakbaya binêkta | dhatêng Kasindurjan age | nêngêna ingkang lumampah | kocapa Radèn Sukra | langkung dene ngayun-ayun | dhatênge utusanira ||

64. tan adangu nulya prapti | êmban Gori marang ngarsa | agêpah nulya ingawe | lingira Rahadèn Sukra | baya ta olèh karya | êmbanira alon matur | kawula datan uninga ||

65. botên lumêbêt pribadi | punika kang kula duta | kang munggèng ngarsa sang anom | rabine Ki Tambakbaya | nging lagya pêpurikan | mangkya momong ing sang ayu | marma sêrat lumaksana ||

66. Radèn Sukra miyarsangling | langkung suka manahira | arum amanis wuwuse | dhuh bibi kula têtanya | kadospundi kang sêrat | punapa ta sampun katur | dhatêng sang adining kênya ||

67. ni Tambakbaya turnyaris | rahadyan sêrat paduka | sarêng katur ing sang sinom | winalèn-walèn winaca | sang dyah nuntên anendra | sinèlèh ngandhaping kasur | rahadyan sêrat paduka ||

68. sang dyah ayu datan angling | anging sêmunipun lêjar | andrawili ing sêsote | winor lawan pagujêngan | ya ta Rahadyan Sukra | amiyarsa aturipun | wartane ni Tambakbaya ||

69. kalangkung sukaning ati | ciptane lir wus patutan | nulya maos rêrêpine | sêkar lumbu sang kusuma | waos ulês ing ngarsa | amancala mirah ingsun | nêdha kawin lan kawula ||

70. kathah solahe abrangti | niba tangi Radèn Sukra | sampun owah paningale | sigra dhatêng pasarean | ngandika marang êmban | hèh ta êmban dèn agupuh | undangên ni Tambakbaya ||

71. arsa ingsun têtakoni | êmban Gori sigra mentar | ngundang ni Tambakbayane | kang ingandikan wus prapta | ya ta Rahadèn Sukra | manahipun sampun liwung | sinambut ni Tambakbaya ||

72. rahadyan ngandika aris | hèh bibi aywa rudita | sun karya pêpindha bae | ngong pindha sang kadi rêtna | kang karya lara brôngta | ni Tambakbaya sinambut | binêkta ing pasarean ||

73. rinungrum ingarih-arih | sira nyai Tambakbaya | samana tambuh polahe | mirsa ruming pangandika | kagunganira mingka | lir dahana panasipun | mangah-mangah kadi wôngwa ||

74. Rahadèn Sukra ngrêrêngih | pangrungrume amlasarsa | adhuh mirah jiwaningong | sapa kang duwe bêndara | baya amung pun Sukra | angandikaa wong ayu | sêsotyadi Kapugêran ||

75. cipta kawula dyah ari | lir agring antuk usada | wus lami kawula anggèr | kawiyogan ing asmara | siyang dalu kacipta | suwarnanira riningsun | rumakêt anèng ing netra ||

76. watêking jalu lan èstri | pan sampun akaron jiwa | mila katêlah ing mangke | jaruman talang asmara | kathah kang kalampahan | ri sampunira salulut | sigra sêsuci Dyan Sukra ||

77. pawongannya sami prapti | rahadyan sampun alênggah | ingayap marang cèthine | anulya akarya sêrat | sarya sinungan têmbang | badhe katur ing sang ayu | ingulêsan sutra jênar ||

78. dene ungêling kang tulis | arsa sowan ing udyana | yèn sang dyah lêga manahe | kang sêrat sampun tinampan | dhatêng bok Tambakbaya | sigra mentar tan asantun | nahan kang dadya caraka ||

79. jeng pangeran adipati | wau ingkang kawarnaa | lagya siniwèng wadyane | Patih Soda lan Udawa | sami munggèng ing ngarsa | kacarita sang abagus | adarbe paman sajuga ||

80. kang dhèrèk ibunirèki | ratu kilèn kacarita | sampun jinunjung lungguhe | dènira sri naranata | kêkasih Radèn Arya | Tiron mangke wastanipun | wus sowan marang kang putra ||

81. praptèng ngarsa awotsari | matur dhatêng ingkang putra | atur pawarti lampahe | warti saking Kasindurjan | kalangkung dhêdhêmitan | anggèr kawula sung wêruh | ing mangkya rayi paduka ||

82. nênggih ulah lambangsari | kang wontên ing Kapugêran | pan pun Sukra lawanane | sampun kintun-kinintunan | myang sêrat-sinêratan | kang dados jarumanipun | rabine pun Tambakbaya ||

83. kala ngrintênakên Kêmis | pun Sukra dhatêng ing taman | ingkang angiring êmbane | kaparanggul mring arinta | Rahadèn Ôntawirya | pun Sukra sampun kinêpung | ing para putra sadaya ||

84. nanging anggèr datan kêni | pun Sukra nuntên malaywa | nanging tan pêgat kajênge | mangkya taksih aputusan | myang urup kampuh sinjang | pun Sukra sêsumbaripun | purun atakêr ludira ||

85. kalawan paduka gusti | dahat arsa tamèng jaja | alirua curigane | nadyan kapanggihèng wana | ing praja myang ing arga | angidid sêsumbaripun | purun jurit lan paduka ||

86. jêng pangeran adipati | myarsa kang paman turira | sakalangkung ing dukane | jajabang mawinga-winga | idêp mangada-ada | pan amêpak wadyanipun | wong kadipatèn samêkta ||

87. karsanira sang apêkik | karsa ngrurah Kasindurjan | amrajaya mring Sukrane | supe yèn putraning nata | sira Apatih Soda | myang Udawa sami matur | anggèr yèn suwawi karsa ||

88. sampun age mangsah jurit | angrurah dhatêng pun Sukra | yêkti anistha jênênge | paduka atmajèng nata | pun Sukra pan kawula | yêkti anistha kalangkung | gusti aprang lan kawula ||

89. suwawi ingangkah dhêmit | ing karsa môngsa wandea | lêng aturan sêrat mangke | mring ramanta Jêng Pangeran | Pugêr lamun sêmbada | jêng pangran lêga tyasipun | sigra akarya nawala ||

90. dene ungêle kang tulis | kawula atur uninga | mangkya paman atmajane | aulah lambang asmara | nênggih kalih pun Sukra | sampun dadya sêratipun | ingkang rayi tinimbalan ||

91. Radèn Suryakusumaglis | tumamèng ing ngabyantara | atur sêmbah ing rakane | jêng pangeran adipatya | lingnya yayi sun duta | aturêna layang ingsun | adhi marang kangjêng paman ||

92. Radèn Suryakusumaglis | kang sêrat sampun tinampan | tumulya mentar sirage | warnanên ni Tambakbaya | lampahe sampun prapta | kapanggih lawan sang ayu | ature amêlasarsa ||

93. sarwi ngaturakên tulis | kusuma rara atanya | sapatur layang maringong | ni Tambakbaya aturnya | tunggil wingi punika | saking pun Sukra satuhu | kang tansah atur nawala ||

94. wêlas kawula ningali | dhatêng polahe pun Sukra | kêkudhung turut margine | kadi wong kunjana papa | kapanggih lan kawula | pun Sukra gusti amuwus | têmbunge minta usada ||

95. lawan aturipun gusti | pun Sukra yèn apanggiha | kawula lan padukanggèr | binêkta kesah karsanya | saking ing Kartasura | pan arsa madêg nèng Kêdhu | Tarayêm kinarya kitha ||

96. rayi paduka dyan mantri | kang badhe kinarya nata | Rahadyan Suryaputrane | wadyèng Kêdhu lan Mataram | sampun sinungan sêrat | pun Sukra purun prang pupuh | anglurugi Kartasura ||

97. mangkya sampun darbe Bugis | kathahipun pitung dasa | badhê andêling palugon | gumujêng kusuma rara | sang dyah sarya ngandika | Si Sukra tuhu kapaung | nyata kêna sèpi lanat ||

98. baya tan ngrasa pakathik | bèbèt tlitine Si Sukra | arsa mungsuh jêng wa katong | lah edan ingkang dinuta | si bibi Tambakbaya | apa tan duwe pêpusuh | anggugu wong kêna tulah ||

99. ni Tambakbaya turnyaris | watawis môngsa cidraa | wantune wong bagus anom | lawan pun Sukra pratignya | lamun seda sang nata | yèn rakanta madêg ratu | pun Sukra gusti tan arsa ||

100. angawulaa ing benjing | dhumatêng raka paduka | tan arsa kuncup astane | purun atandhing ayuda | lan pangran adipatya | purun atakêra marus | baguse môngsa kantuna ||

101. sang dyah datan kêna angling | myarsa turing Tambakbaya | ya ta gênti winiraos | kang lagya dadya caraka | Radèn Suryakusuma | sampun prapta lampahipun | tumamèng ngarsaning rama ||

102. sigra ingawe tumuli | radyan mangsah awotsêkar | angaturakên sêrate | gya tinampan dening rama | kang sêrat tinupiksa | mungêl ing ijoanipun | saking pangeran dipatya ||

103. saha ngaturakên bêkti | mring paman ingkang pinujya | kang ambêg santa budyane | kang pinujyèng warda warga | Kartasura sadaya | ri sampuning sêmbah atur | wiyosipun tur uninga ||

104. yèn ing mangke yayi dèwi | anglampahi lambangsêkar | kalih pun Sukra rencange | sampun akaron asmara | miwah angliru wastra | kang dadya jarumanipun | rabinipun Tambakbaya ||


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2021/12/28/babad-tanah-jawi-bp-kisah-sukra-lembah-5/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...