Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (BP): Kisah Sukra-Lembah (6)

 Ketika sudah selesai membaca surat Pangeran Puger sangat marah, seperti bunga wora-wari dadanya, memerah matanya, bulu mata tegak lurus, bibir bergetar, seakan hendak menikam orang tanpa dosa.

Para putra segera dipanggil, bersegera mereka datang di hadapan sang ayah. Keras perintah sang ayahanda, “Hai Sudira, segera panggil kakakmu Si Lembah.”

Raden Sudira menyembah, segera pergi ke taman, sang kakak dipanggil. Raden Ayu Lembah segera pergi menghadap, bergegas langkahnya, sebentar sudah sampai di hadapan sang ayah.

Setelah sang putri menyembah dan menyentuh kaki, sang ayah berkata, “Nak, duduklah.”

Sang putri segera duduk di hadapan ayahandanya. Sang Pangeran melanjutkan bicara, “Sebab engkau saya panggil, aku bertanya bagaimana awalnya engkau anakku, sampai meninggalkan rumah. Karena engkau bersuami tuan, mengapa berani pergi belum ada izin. Walaupun engkau berbuat buruk, jangan engkau membawa-bawa orang tua serta adik-adikmu. Baik buruk jalanilah.”

Sang ayu tak bisa bicara, hanya menunduk sambil berurai air mata. Sangat terlihat citranya seperti Dewi Wilutama di jagad tanpa banding, pembantunya ikut terhanyut merasa kasihan kepada sang ratna.

Raden Antawirya sudah dipesan oleh sang ayah agar mendatangi taman, tempat tidur sang kakak sudah diperiksa dan di bawah bantal dibongkar semua. Tak lama menemukan gubahan Raden Sukra ada di bawah kasur. Sangat menyesal Raden Antawirya, Nyai Tambakbaya sudah disandera tak boleh keluar. Raden Antawirya sudah pergi kembali menghadap sang ayah. Sesampainya segera menghaturkan sembah.

Pangeran Puger berkata kepada sang ayu, “Nak engkau kembalilah.”

Sang putri menyembah, sepanjang jalan air mata mengalir, bergegas di jalan sang ratna pupus jiwanya, lesu pucat badannya. Sesampainya di tempat para dayang menangisi tuannya serta memberi tahu kalau gubahan Sukra sudah ditemukan oleh Raden Antawirya. Sang ratna susah hatinya, jatuh ke tempat tidur.

Raden Antawirya segera melapor, gubahan dihaturkan kepada sang ayah. Surat sudah dibaca, Pangeran sudah menduga apa yang terjadi. Seketika bangkit amarahnya, keras dia berkata: “Sudah takdir bagiku dipermalukan anak. Ayo Sudira kakakmu antarkan segera pada kematiannya, juga istri dari Tambakbaya. Adik-adikmu ajaklah semuanya.”

Raden Suryakusuma sangat berat hatinya, setelah menyembah segera berangkat ke taman. Di belakang menangis tersedu Raden Ayu Anem dan Raden Ayu Sepuh, keduanya menyentuh kaki Pangeran menghalangi hukuman mati. Sang Pangeran tak tergerak hatinya, lalu beranjak ke tempat pemujaan. Sementara yang sedih masih menangis tersedu, para putra sudah sampai di tamansari. Sang kakak kaget kedatangan para adik semua.

Sang kakak bertanya, “Ada apa adik-adikku. Sini duduklah.”

Raden Sudira segera melapor kepada sang kakak, “Kanda saya disuruh oleh ayahanda mengambil hidup-matimu kakak.”  

Sang kakak ketika mendengar susah hatinya, keluarlah air mata. Para dayang dan pengasuh semua memeluk kaki para putra, berharap mendapat ampun untuk tuannya. Sedangkan Nyai Tambakbaya juga sudah diikat. Para ibu datang ikut menangis tersedu. Warga Kapugeran geger, kaget oleh suara tangis, di luar sudah penuh orang tapi tak boleh masuk. Pintu sudah dikunci.

Sang ayu berkata pelan, “Bagaimana diriku akan menghindar kalau ayah sudah berkehendak tak memakai periksa hanya menurut perkataan kakanda Adipati. Adik haturkan dahulu sembahku untuk ayah dengan permintaaku.”

Raden Antawirya segera menghadap sang ayah, sesampainya di hadapan menghaturkan sembah. Sudah dihaturkan permintaan sang kakak. Sang ayah berkata dengan keras, “Segeralah hai anakku. Jangan berbelas karena masih darah sendiri. Kalau Si Sudira umpama dan kakakmu semua kalau ragu-ragu, kalau tak tega mengantar kakakmu, aku kutuk semuanya.”

Segera Raden Antawirya mundur dari hadapan sang ayah, di hadapan sang kakak di tamansari berkata kalau semua ragu-ragu akan dikutuk. Para ibu yang mendengar semua menangis tersedu. Sang ratna berkata pelan, “ Baik adik, tunggulah dulu. Aku hendak mandi keramas. Bibi buatlah sampo.”

Sang ratna turun mandi keras dengan dayangnya, setelah keras sang ayu memakai wewangian, kuku dirapikan, sudah terlihat layu raut mukanya, terlihat hijau samar-samar. Para ibu dipersilakan keluar dari gedung tamansari. Para pengasuh dan dayang-dayang semua di luar pintu.

Sementara itu para putra di dalam, Raden Sudira segera mengambil selendang yang akan dipakai mengikat. Segera dipegang tangan sang kakak satu-satu, sambil menangis mereka melakukannya. Raden Sasangka dan Sudama memegang Nyai Tambakbaya. Raden Dipataruna dan Wangsataruna memegang sang kakak dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri sibuk mengusap air mata.

Sang ratna berkata pelan, “Adikku mengumpulah, Si Sasangka, Sudama segera semua mendekatlah. Lihatlah aku karena ini terakhir aku bertemu dengan para adikku semua.”

Sang ratna deras mengalir air matanya melihat kepada adik-adik semua. Tersendat kata-katanya,”Sudah Dik, tinggalah. Aku pamit kepada engkau semua. Semoga ragaku mendapat mati yang sempurna.”

Sang ratna mencondongkan leher, selendang sudah diikatkan. Yang kiri Raden Antawirya yang menarik, yang kanan Raden Suryakusuma. Ketika hendak dikencangkan, sang ratna berkata pelan.

“Nanti dulu sebentar, aku hendak berpesan lagi. Haturkan sembahku kepada para ibu semua, kepada ayah aku mohon pamit mati, serta kepada Pangeran Adipati haturkan sembahku, serta kepada Uwak Raja. Yang aku minta pengampunan dari kakanda Adipati. Dahulu aku diberi permata dua pasang, itu adikku kembalikan. Dan permata cepaka, adikku mirah selan enam pasang, hijau dan widuri, itu semua kembalikan. Juga permainan dakon perak, dengan anak kecik dari suwasa, dua ratus biji berbobot dua kati, semua kembalikan kelak. Juga tempat permainan cuki seperangkatnya, juga saya bawa ke sini, cukinya yang separuh emas yang separuh perak, berbobot dua kati. Kain cindhe puspita selembar. Sudah hanya itu, lainnya punyaku sendiri. Sudah sekarang lakukan Dik.”

Selendang sudah ditarik, sang ratna mengheningkan pandangan, tidak ragu ke jalan, mengetahui asal dan tujuan kematian. Terdengar suara tercekik, sang ratna sudah terkulai jatuh. Kaget semua para adik, semua menepuk dada penuh penyesalan, semua bersedih. Jenazah sudah dirawat ditempatkan membujurnya. Nyai Tambakbaya juga sudah diselesaikan.

Pintu dibuka segera, para ibu berebut masuk beserta para pengasuh dan dayang-dayang. Melihat jenazah gilang gemilang, segera disungkemi. Suara tangis tersedu sedan kembali terdengar. Para putra menghadap sang ayah, melapor sambil menangis kalau sang kakak sudah meninggalkan dunia ini. Pangeran Puger tak berkata sepatah pun.

Sementara itu balatentara di luar sudah mendengar kalau tuannya sedang marah. Semua balatentara Kapugeran bersiap siaga. Berita sudah menyebar luas. Pangeran Arya Mataram sudah mendengar berita, juga Pangeran Panular. Keduanya berangkat ke Kapugeran membawa pasukan, dibariskan di jalanan. Dua pangeran sudah masuk, bertemu dengan sang kakak Pangeran Puger.

Para istri Pangeran Puger melihat gelagat kurang baik mengira akan terjadi perang dengan prajurit Kasindurejan, segera berdandan seperlunya lalu bergegas melapor kepada Raja. Bersegera jalannya, singkat cerita sudah sampai di istana. Sang Raja sedang duduk di bangsal Prabayasa, kaget oleh kedatangan para adik ipar.

Sang Raja berkata pelan, “Tumben adik ipar siang-siang masuk istana, apakah diutus oleh suamimu Dinda Adipati Puger?”

Raden Ayu melapor sambil menyembah, menceritakan mulai awal sampai akhir segala yang dilakukan Pangeran Puger.”

Sang Raja terguncang hatinya, menepuk dada tanda menyesalkan yang terjadi, “Duh, orang kok seperti Dinda Puger. Ibarat macam galak takkan mau memakan anak sendiri. Dinda Puger ini tega memakan anak sendiri.”

Sang Raja lalu menyeru, “Hai Wilaja, panggilah gandek. Suruh memanggil para adipati!”

Yang disuruh segera beranjak melaksanakan tugas. Tak lama segera datang dengan membawa balatentara. Geger seluruh Kartasura. Para punggawa mancanegara dan pesisir semua datang, karena dahulu semua punggawa tinggal di Kartasura.

Sementara itu Raden Sindureja menyiapkan balatentara, para punggawa sudah bersiaga. Orang Kasindurejan sudah menata baris. Raden Patih sudah lupa akan rajanya, terbebani oleh cinta kasih kepada sang anak, tak bisa dinasihati lagi. Raden Sukra menangis, kehendaknya mengamuk kepada Pangeran Adipati. Dicegah oleh sang ayah. Dan patihnya membujuk dengan perkataan semanis gula, “Duhai tuan, paduka urungkan.”

Bersambung ke bagian 7

Teks asli:

105. ri sampuning maos tulis | Pangeran Pugêr bramatya | lir wora-wari jajane | ngatirah ingkang sêsotya | idêp mangada-ada | padoning lathi kumêdut | lir nuwêk wong tanpa dosa ||

106. para putra dèn timbali | agêpah prapta ing ngarsa | kang rama sru timbalane | hèh Sudira timbalana | bakyunira Si Lêmbah | Radyan Sudira wotsantun | sigra mentar dhatêng taman ||

107. kang raka dipun timbali | Dyan Ayu Lêmbah gya mentar | awirandhungan lampahe | wus prapta ngarsaning rama | tur bêkti ngaras pada | Pangeran Pugêr amuwus | hèh nini sira linggiha ||

108. kang putra saha wotsari | wus lênggah ngarsaning rama | Pangeran Pugêr wuwuse | marma sun timbali sira | nini ingsun têtanya | apa baya purwanipun | nini sira tilar wisma ||

109. pan sira alaki gusti | pagene wania lunga | durung ana timbalane | sanadyan sira alaa | ywa gêgawa wong tuwa | miwah mring arinirèku | ala bêcik labuhana ||

110. sang dyah datan kêna angling | tumungkul mijil kang waspa | kamantyan tinon citrane | anglir Dèwi Wilutama | rat jagat tanpa sama | parêkan milwa kapiluh | wêlas marang sang lir rêtna ||

111. Rahadèn Ôntawiryèki | sampun nikêling ing rama | dhatêng ing taman sirage | pasareannya kang raka | wau kang pinariksa | myang ngandhaping karang ulu | binalengkrahan sadaya ||

112. datan adangu kapanggih | rêrêpine Radèn Sukra | munggèng ing ngandhap kasure | kalangkung gêgêtunira | Rahadèn Ôntawirya | nyai Tambakbaya sampun | siniwêr tan kêna mêdal ||

113. rahadyan wus mentar aglis | dhatêng ngarsane kang rama | prapta sahatur sêmbahe | Pangeran Pugêr ngandika | nini sira muliha | ingkang putra awotsantun | samarga asangu waspa ||

114. awirandhungan samargi | sang rêtna wus anglong jiwa | lêsu lupa sarirane | sapraptanirèng udyana | sira pan babo inya | nangisi mring gustinipun | sarwi ngaturi uninga ||

115. yèn rêrêpi wus kapanggih | maring Radyan Ôntawirya | sang rêtna anglês manahe | aniba ing pagulingan | warnanên sira Radyan | Ôntawirya sigra matur | rêrêpi katur mring rama ||

116. ingkang sêrat dèn tingali | jêng pangeran wus anduga | sakalangkung ing dukane | jajabang mawinga-winga | asru dènnya ngandika | wus pinasthi awak ingsun | alingsêm anggèr atmaja ||

117. sudira payo dèn aglis | kakangira untapêna | matia sadina mêngko | myang rabine Tambakbaya | sira wasisakêna | lan ari-arinirèku | sira bêktaa sadaya ||

118. Radèn Suryakusumèki | kalangkung wiyang tyasira | tur sêmbah sigra lampahe | umangkat dhatêng ing taman | ing wuri tangis umyang | dyan ayu anèm myang sêpuh | kalih anungkêmi pada ||

119. samya umalang kapati | jêng pangeran datan arsa | tan kêna kongkih driyane | ya ta jêng pangeran nulya | mring panêpèn samana | kang karuna maksih umung | gantya wau kawuwusa ||

120. para putra sampun prapti | ing lêlangon unggyanira | kang raka kagyat praptane | kang rayi-rayi sadaya | kang raka angandika | babo ari-ariningsun | ing kene padha linggiha ||

121. Radèn Sudira nulyaglis | umatur marang kang raka | kakang bok kula kinèngkèn | iya marang kangjêng rama | mundhut pêjah gêsangta | duk miyarsa kusumayu | tyas anglês mijil kang waspa ||

122. ban inya samya ngrungkêbi | ing padaning pra atmaja | lara-lara sêsambate | wau ta ni Tambakbaya | pan sampun tinalenan | kang tangis umyang gumuruh | pra ibunya sami prapta ||

123. umung gumulung manangis | wadyalit ing Kapugêran | kagyat nèng pasowan andhèr | nging tan kenging lumêbua | kori wus kinuncènan | warnanên kang samya muwun | dyan ayu aris ngandika ||

124. paran uga awak mami | iya goningsun suminggah | yèn wus jêng rama karsane | tan nganggo catur pariksa | gugu kangmas dipatya | yayi aturna rumuhun | sêmbah ingsun mring jêng rama ||

125. lawan alad gampil mami | sigra Radèn Ôntawirya | umarêk ing rama age | praptèng ngarsa atur sêmbah | katur saaturira | kang rama ngandika asru | hèh sutaningsun dèn enggal ||

126. aja wlas daging-dinaging | yèn Si Sudira upama | tuwin kakangira kabèh | lamun mandhêg tumulèha | yèn gigu nguntapêna | sun upatani sadarum | sigra Radèn Ôntawirya ||

127. lèngsèr saking ngarsa prapti | ing lêlangon ngarsèng raka | umatur satimbalane | yèn gigua sinupatan | parèbu inya myarsa | anglud ing tangis gumuruh | sang rêtna alon ngandika ||

128. yayi mas antinên dhingin | ingsun arsa akujamas | sang rêtnalon timbalane | biyang agawea lôndha | sigra sang rêtna têdhak | kujamas lan inyanipun | sasampunira kujamas ||

129. sang dyah aggêgônda minging | kang kênaka rinampungan | pan sampun anglong citrane | wênês ijo sirat-sirat | ingkang parèbu samya | sinapihan kinèn mêtu | saking ing gupit langênan ||

130. êmban inya dèn tundhungi | prasamya kinèn mêdala | saking ing lêlangon age | mung kantun ni Tambakbaya | parèbu para inya | samya anèng jawi pintu | ya ta wau kang pratmaja ||

131. Rahadèn Sudira aglis | nyandhak cindhe kang kênanga | ingkang kinarya anglawe | sigra kang raka cinandhak | astane siji sowang | pratmaja samya mêtu luh | ajrih kapêksa ing rama ||

132. Radèn Sôngka Sudamèki | anyêkêli Tambakbaya | Radèn Dipatarunane | lan Radèn Wôngsataruna | agèmèli kang raka | lawan asta kananipun | kang kiwa ngusapi waspa ||

133. sang rêtna ngandika aris | riningsun kalumpukêna | Si Sôngka Sudama age | kabèh padha dèn apêrak | tingalana sun iya | wêkasane atêtêmu | lan yayi-yayi sadaya ||

134. sang rêtna waspadrês mijil | mulat mring ari sadaya | asêrêt pangandikane | wus yayi padha karia | sun amit maring sira | muga-muga raganingsun | antuka marga sampurna ||

135. sang rêtna ubut pribadi | sarwi anganglungkên jôngga | cindhe wus tinalèkake | kang kiwa Dyan Ôntawirya | kang narik têngênira | Radèn Suryakusumèku | dupi arsa siningsêtan ||

136. sang rêtna ngandika aris | mêngko yayi sadhela kas | sun ari mêmêkas manèh | aturêna sêmbah ingwang | marang ibu sadaya | mring rama sun amit lampus | tuwin mring pangran dipatya ||

137. aturêna sêmbah mami | tuwin kangjêng wa narendra | kang sun suwun apurane | apan kakang mas dipatya | sun dhingin pinaringan | sotya rong kêmbaran iku | yayi sira aturêna ||

138. lan rêtna cêpaka yayi | mirah selan nêm kêmbaran | ijo mirut lan widure | iku padha aturêna | lan dhêdhakon salaka | kêcike suwasa luru | rongatus wawrat rong katya ||

139. padha aturêna benjing | papan cuki sagagragan | iya sun gawa marene | iku yayi aturêna | cukine saparo mas | ya rong kati bobotipun | ingkang saparo salaka ||

140. iya bobote rong kati | cindhe puspita salirang | uwis mung iku duwèke | sinjang lawan kasêmêkan | goningsun gawa dhawak | uwis mara ariningsun | kang rayi samya awaspa ||

141. cindhe pan sampun tinarik | sang rêtna ngêningkên tingal | nora samar dêdalane | patitis ing sangkan paran | kêcêp maring kamuksan | pan cumêkik swaranipun | sang rêtnaning dyah wus niba ||

142. kagyat sadaya parari | prasamya atêbah jaja | prasamya karuna kabèh | kang layon wus rinarômpa | pinarnah ujurira | nyai Tambakbaya wau | apan sampun pinêjahan ||

143. kori winêngakkên aglis | pra ibu prapta sadaya | tuwin inya lan êmbane | miyat layon gilang-gilang | agêpah sinungkêman | swaraning tangis gumuruh | pra putra sowan ing rama ||

144. amatur sarwi anangis | sakathahing paratmaja | yèn sampun lalis kakange | jêng pangeran tan ngandika | ya ta kang kawarnaa | wadya kang jawi ing pintu | miyarsa yèn gusti duka ||

145. sadaya atata baris | wadyabala Kapugêran | warta wus adoh gumyahe | Pangeran Arya Mataram | sampun miyarsa warta | budhal kang wadya gumuruh | lan Pangran Arya Panular ||

146. praptèng Kapugêran sami | nèng lêlurung barisira | pangeran malêbêt age | wus panggih lawan kang raka | gantya kang kawuwusa | pra garwa dandan malêbu | atur uninga mring nata ||

147. anarka yèn dadi jurit | lawan wadyèng Kasindurjan | sigra-sigra ing lampahe | datan kawarna ing marga | wus praptèng dalêm pura | kawarnaa sang aprabu | pinarak kang prabayasa ||

148. kagyat miyat dhatêng ari | sang natalon panapanya | dening dingarèn bok ipe | awan-awan malbèng pura | baya sira dinuta | yayi marang ing lakimu | ari ing Pugêr Dipatya ||

149. dyan ayu matur wotsari | ing purwa têkèng wasana | salir solah prakarane | kang raka atur ing nata | kampitèng tyas narendra | atêbah jaja angadhuh | nora kaya ari êmas ||

150. lagi tumon mung si adhi | ujare kang paribasan | macan kolu mring anake | sagalakane kang singa | tan kolu mring atmaja | hèh Wilaja dèn agupuh | bocah gandhèk timbalana ||

151. kon nimbali pra dipati | kang ingutus sigra mentar | pating balêbêr polahe | kang ingandikan glis prapta | lumampah saha bala | para punggawa anggrêgut | otêr wadya Kartasura ||

152. punggawa môncanagari | pasisir prapta sadaya | kacarita duk kinane | sami wismèng Kartasura | ya ta Radèn Sindurja | sampun mêpak wadyanipun | santana sampun samêkta ||

153. wong Kasindurjan wus baris | dyan patih supe ing nata | saking wrat trêsnèng putrane | miwah sira Radèn Sukra | sampun ngrasuk busana | asêdya asoroh amuk | wong Bugis sampun samêkta ||

154. pitung dasa winitawis | kathahe wong têtêbusan | nèng palataran barise | solahe pating jalimprak | pra santana wus prapta | Dêmang Suradaksanèku | lawan Ki Citramanggala ||

155. lawan Ki Surajayèki | sampun matur angrêrêpa | sampun makatên karsane | rumaosa yèn kawula | Radèn Arya Sindurja | kawratan asih mring sunu | datan kêna angandika ||

156. Rahadyan Sukra anangis | karsanya arsa ngamuka | mring pangeran dipatyanom | ingampah dening kang rama | pan patih angandika | wacana apait juruh | dhuh gusti sira ungkurna ||


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/01/04/babad-tanah-jawi-bp-kisah-sukra-lembah-6/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...