Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (10): Radèn Patah dan Radèn Kusen

 Alkisah, di negeri Palembang, Raja Arya Damar memerintah Palembang tanpa halangan suatu apapun. Semua kawula Palembang tunduk dan patuh. Arya Damar telah mempunyai putra dua orang lelaki. Putra sulung namanya Raden Patah, adalah putra bawaan dari Sang Raja Majapahit. Ketika istri Sang Raja, Putri Cina sedang ngidam terpaksa dipisahkan dan diberikan kepada Arya Damar. Setelah menjadi istri Arya Damar Putri Cina mempunyai seorang putra lagi bernama Raden Kusen. Kedua putra sama-sama tampan, mirip anak kembar. Keduanya kini sudah dewasa.

Arya Damar berkata kepada sang istri, “Istriku, kedua putramu sekarang sudah dewasa. Kalau engkau setuju aku hendak mengangkatnya sebagai penggantiku. Raden Patah yang menjadi raja dan Raden Kusen yang menjadi patihnya. Aku hendak lengser dan hidup sebagai pertapa. Mumpung aku masih hidup sehingga bisa membinging Raden Patah dalam menata Palembang.”

Permaisuri Putri Cina berkata, “Kanda Raja, saya masih ragu karena kedua putra masih sangat muda. Belum waktunya menggantikan paduka. Kalaupun nanti menjadi raja paduka harus berada di samping mereka.”

Berkata Arya Damar, “Dinda, putramu kelak pasti menjadi raja. Raden Patah akan menjadi raja di Jawa, mengawali pemerintahan kerajaan Islam setelah Majapahit sirna. Putramu akan menggantikan raja kafir di tanah Jawa. Mumpung aku masih hidup aku ingin melihat putramu menjadi raja di Palembang menggantikanku.”

Permaisuri Putri Cina berkata, “Anakku Raden Patah, engkau menurutlah kepada kehendak ayahandamu. Jadilah raja mumpung kami berdua masih bisa menyaksikan. Kalau engkau sudah menggantikan ayahmu, aku bisa makan dengan enak dan tidur nyenyak.”

Raden Patah berkata, “Hamba belum sanggup menuruti kehendak paduka kalau diangkat sebagai raja sekarang menggantikan ayah. Karena hamba masih bodoh, belum mengetahui cara memerintah. Nanti hanya akan menjadi candaan para punggawa kalau hamba menggantikan paduka sebagai raja. Malu kalau seorang raja tak mampu memerintah dan tak mengetahui tatakrama seorang raja. Kalau seorang raja tak bisa berlaku seperti seharusnya, maka namanya nista. Karena setiap punggawa pasti berharap punya seorang raja yang adil sehingga negeri menjadi sejahtera. Hamba belum mengetahui bagaimana memerintah sehingga hamba khawatir nanti akan menjadi tertawaan orang banyak. Negeri menjadi suram masa depannya.”

Arya Damar diam tak menanggapi perkataan Raden Patah. Permaisuri Putri Cina pun tak mampu lagi membujuk sang putra.

Malam harinya Raden Patah merasa sangat kerepotan hatinya. Karena menahan beban pikiran yang berat Raden Patah memutuskan pergi. Melalui saluran air Raden Patah lolos dari istana. Setelah keluar dari istana Raden Patah berjalan menempuh berbagai medan, jurang dan gunung dilalui mengikuti kehendak hati.

Hari menjelang pagi, semburat jingga tampak di ufuk timur. Hewan hutan mulai bangun, burung merak menguwuh seolah mereka semua menyambut kedatangan Raden Patah yang lewat. Tak lama Raden Patah sampai pada sebuah telaga yang indah, lalu beristirahat di tepi telaga sambil berpikir hendak ke mana membawa kaki melangkah.

Sementara itu di istana kerajaan Palembang Raja Arya Damar mendapat laporan bahwa Raden Patah menghilang. Raden Kusen yang mendengar suara ribut para pelayan akibat hilangnya Raden Patah segera berlari ke luar istana untuk mencari sang kakak. Seisi istana diubres dan juga desa-desa sekitar, tapi Raden Patah tak kunjung ditemukan. Bahkan Raden Kusen pun ikut raib tak tahu rimbanya. Seharian itu Raja Arya Damar sibuk mencari sang putra. Setelah nyata tak kunjung mendapat hasil Arya Damar pulang ke istana.

Berkata Arya Damar kepada permaisuri Putri Cina, “Dinda, mungkin ini sudah kehendak Tuhan. Kedua putramu menghilang tanpa jejak. Barangkali kelak kita akan bertemu dalam keadaan yang lebih baik.”

Permaisuri Putri Cina hanya terdiam menahan kesedihan. Dalam hati hanya bisa pasrah setelah segala upaya dicoba. Kedua suami-istri dari Palembang itu kemudian masuk ke istana. Para punggawa yang ikut mencari pun pulang ke rumah masing-masing. Suasana kota Palembang hari itu diliputi kesedihan yang sangat.

Alkisah, Raden Kusen yang sedang mencari kakaknya sudah mengubres desa-desa di sekitar kota Palembang. Namun yang dicari tak juga ditemukan. Raden Kusen lalu memanjat pohon beringin yang tinggi dan memandangg ke sekeliling. Tampak olehnya sang kakak sedang beristirahat di dekat telaga.

Berkata Raden Kusen, “Oh, itu seperti kanda Raden Patah. Lebih baik aku segera menemuinya. Tapi kalau aku beralasan diutus ayahanda pasti kaget Kanda Patah. Dan kalau aku ajak pulang pasti marah.”

Raden Kusen lalu turun dari pohon dan hendak kembali melapor ke istana. Kira-kira jarak sepandang mata sang kakak melihat Raden Kusen. Raden Patah lalu memanggil Raden Kusen untuk mendekat.

Berkata Raden Patah, “Dinda, ke sinilah. Aku berada di sini.”

Raden Kusen berbalik dan mendekati sang kakak. Dengan berurai airmata Raden Kusen menyembah kepada sang kakak.

Raden Patah berkata, “Dinda Kusen, engkau hendak ke mana?”

Raden Kusen menjawab, “Saya dimarahi oleh ayah karena tidak mau menjadi patih. Karena itu pula saya diusir dari Palembang. Sekarang saya hendak mengembara ke Jawa untuk mengabdi kepada Prabu Brawijaya yang sudah terkenal berwatak utama.”

Raden Patah berkata, “Kalau begitu Dinda, aku ikut denganmu. Kita kakak-beradik jangan sampai berpisah, hidup atau mati.”

Kedua ksatria Palembang itu lalu berjalan bersama. Tak berapa lama ada dua begal menghadang di jalan. Si begal adalah seorang penjudi yang telah menaruhkan harta sampai habis. Karena tak punya apapun mereka kemudian menjadi begal. Kedua begal bernama Supala dan Supali. Kedua begal sudah menenteng tombak dan bersiap menghadang kedua raden dari Palembang itu.

Berkata Supali, “Kakak, itu ada dua orang menuju ke sini. Mari kita cegat.”

Raden Kusen yang melihat gelagat kurang baik berkata kepada sang kakak, “Kanda, minggirlah ke kiri. Aku hendak menyelesaikan dua orang itu.”

Ketika Supala dan Supali sudah dekat keduanya bertanya, “Hai, hendak ke mana kalian. Siapa nama kalian?”

Raden Kusen berkata, “Lhoh, engkau sendiri siapa menghadang orang lewat. Minggirlah jangan menghalangi jalan.”

Kedua begal berkata, “Aku Supala dan Supali, yang memiliki hutan ini. Siapapun yang lewat di sini harus menanggalkan pakaian, perhiasan dan senjatanya. Hai kalian berdua, segera tanggalkan pakaian dan tombak serta keris kalian.”

Raden Kusen berkata, “Hai Supala dan Supali, tak suka aku dengan kelakuanmu. Pakaian ini akan kupertahankan sampai mati. Kau boleh mengambilnya dariku kalau aku sudah mati.”

Supala dan Supali menerjang, Raden Kusen berkelit. Kedua begal terjerembab sampai rontok giginya. Tak kapok, keduanya bangkit dan kembali menerjang. Namun yang diterjang ibarat bayangan, selalu meleset. Berkali-kali Supala dan Supali sempoyongan. Sampai akhirnya keduanya terkena karamah Raden Kusen, kedua begal lumpuh tak berdaya.

Dengan menangis dan mengeluh keduanya meminta ampun serta bersedia bertobat dan menjadi pengikut Raden Kusen. Raden Kusen meminta pendapat kepada Raden Patah.

Berkata Raden Kusen, “Kanda, bagaimana kedua begal ini sebaiknya?”

Raden Patah berkata, “Baik kalau disembuhkan dan suruh mereka pulang ke rumah masing-masing.”

Raden Patah lalu berdoa kepada Tuhan meminta pertolongan. Tak lama datang angin ribut yang menerbangkan kedua begal tersebut ke rumah masing-masing. Jatuhnya mereka ke rumah ibarat jatuh ke kasur empuk. Tak terasa sakit sedikitpun.

Raden Kusen berkata, “Kanda, sebaiknya kita segera pergi dari sini. Kita menuju ke pesisir untuk menghadang kapal yang lewat. Kita bisa numpang ke Jawa.”

Raden Patah menyetujui saran sang adik. Keduanya segera melanjutkan perjalanan menuju pesisir. Setelah sembilan hari menempuh belantara tanpa makan dan tidur keduanya sampai di pesisir. Ada sebuah bukit di tepi pantai yang membuat pemandangan laut terbuka lebar. Di bukit itu ada bekas pertapaan yang bernama Rasyamuka. Keduanya lalu menempati bukit tersebut sambil menunggu kapal lewat. Sampai tiga bulan berlalu keduanya tinggal di bukit itu.

Pada suatu hari ada sebuah kapal yang lewat di dekat bukit tersebut. Tiba-tiba kapal tersebut berhenti di tepi pantai tanpa sebab. Si juragan kapal kaget melihat kejadian ini. Tapi tak lama kemudian juragan kapal melihat ada dua orang pertapa di atas bukit Rasyamuka. Pikirnya, mungkin dua orang tersebut bisa memberi petunjuk agar kapal dapat kembali berlayar.

Ki Juragan lalu mendarat dan menuju ke bukit Rasyamuka. Juragan menghadap kedua pertapa yang tak lain Raden Patah dan Raden Kusen. Ki Juragan dan para awak kapal menghaturkan sembah seraya meminta petunjuk kepada kedua pertapa.

Raden Patah berkata, “Ki Juragan kami bukan pertapa, kami berdua adalah anak dari raja Palembang Arya Damar. Kapal yang kalian bawa hendak menuju ke mana?”

Ki Juragan berkata, “Akan berlayar ke pulau Jawa raden.”

Raden Patah berkata, “Kalau kalian hendak ke Jawa kami ikut. Bila kalian berkenan membawa kami, semoga kebaikan kalian membuat perjalanan kalian lancar.”

Ki Juragan membolehkan kedua raden dari Palembang menumpang kapal mereka. Perjalanan mereka ke Jawa lancar tanpa halangan apapun di jalan. Sampailah mereka di pelabuhan Surabaya. Raden Patah mengambil air laut dan membauinya. Terasa olehnya air di Surabaya berbau wangi.

Raden Patah berkata, “Ki Juragan, turunkan aku di sini. Air di sini wangi, tanda ada seorang guru yang berbudi utama.”

Ki Juragan menurunkan Raden Patah dan Raden Kusen di pelabuhan Surabaya. Tampak oleh mereka sebuah masjid yang menjulang di pesantren Ampeldenta. Keduanya lalu menuju pesantren tersebut untuk bertemu pengasuh pesantren yang tak lain adalah Sunan Ampeldenta.

Kedatangan mereka diterima oleh pengurus pesantren yang bernama Jagawasita. Oleh Jagawasita mereka dibawa menghadap kepada Kangjeng Susuhunan Ampeldenta. Kangjeng Sunan sangat bersukacita menerima kedua kakak beradik tersebut.

Kangjeng Sunan berkata, “Selamat datang di Ampeldenta, cucuku. Dari mana kalian berasal dan siapa nama kalian?”

Raden Patah berkata, “Kami hanya musafir yang tidak punya rumah dan berjalan seperti layangan putus tuan.”

Kangjeng Sunan tersenyum dan berkata, “Cucuku, engkau pastilah keturunan orang mulia. Terlihat dari perilaku dan ciri-ciri yang ada padamu. Katakan siapa sebenarnya dirimu dan apa maksud kedatangan kalian ke pesantren ini?”

Raden Patah merasa malu karena sang guru sungguh waskitha dan mengetahui rahasia dirinya. Orang luhur ini sepantasnya jika dijadikan guru dalam kehidupan.

Kangjeng Sunan kembali berkata, “Ketahuilah cucuku, aku pun sama dengan dirimu. Dulu aku pergi dari rumah meninggalkan ayah dan ibuku di negeri Cempa. Ayahku seorang keturunan Nabi yang bernama Makdum Ibrahim Asmara. Sedang ibuku seorang putri raja Cempa. Awal mulanya aku ke Jawa karena disuruh ibuku mengunjungi uwak yang menjadi permaisuri di Majapahit. Ketika aku berada di Jawa negeri Cempa digempur pasukan dari Pratokal. Maka oleh Sang Raja Majapahit aku diperintahkan agar tetap menetap di Jawa. Aku kemudian dinikahkan dengan putri Adipati Wilatikta dan disuruh menetap di Ampeldenta menjadi imam di Masjid Agung Surabaya. Jadi aku pun sama seperti dirimu yang pernah menjadi musafir. Nah, sekarang katakan siapa namamu yang sebenarnya?”

Raden Patah berkata, “Hamba bernama Patah dan adik hamba bernama Kusen.”

Kedua kakak beradik kemudian tinggal di pesantren untuk beberapa waktu. Keduanya berguru kepada Kangjeng Sunan Ampeldenta. Akan tetapi setelah beberapa saat Raden Kusen teringat maksud semula datang di Majapahit, yakni hendak mengabdi kepada Raja Majapahit.

Raden Kusen berkata, “Kanda, mari kita segera melanjutkan perjalanan ke Majapahit.”

Raden Patah berkata, “Benar Dinda, terima kasih engkau mengingatkan kembali tujuan kita. Namun aku sekarang merasa nyaman berguru di sini. Kita ini seorang muslim. Aku merasa lebih baik memperdalam ilmu agama di sini daripada harus mengabdi kepada Raja Majapahit yang masih kafir. Kalau Dinda hendak melanjutkan perjalanan, sebaiknya Dinda berangkat sendiri. Aku doakan agar perjalananmu lancar dan mendapat kepercayaan Sang Raja.”

Raden Kusen menyembah dan berangkat ke Majapahit. Pada hari pisowanan Raden Kusen melakukan pepe di bawah pohon beringin alun-alun kota Majapahit. Sang Prabu Brawijaya yang bertahta di singgasana melihat Raden Kusen. Patih Gajahmada kemudian disuruh memanggilnya. Patih Gajahmada segera turun ke alun-alun dan menemui Raden Kusen.

Berkata Patih Gajahmada, “Wahai anak muda, dari mana asalmu dan apa maksudmu melakukan pepe di alun-alun.”

Raden Kusen berkata, “Nama hamba Kusen, tidak punya tempat tinggal di sini. Maksud hamba ingin mengabdi kepada Sang Prabu Brawijaya.”

Patih Gajahmada segera membawa Raden Kusen dan melaporkan maksud anak muda tersebut melakukan pepe. Singkat cerita pengabdian Raden Kusen diterima oleh Sang Raja. Tidak perlu waktu lama Raden Kusen telah mendapat kepercayaan dari Sang Raja dan diangkat sebagai adipati di Terung dengan diberi sepuluh ribu prajurit.

Sementara itu di Ampeldenta, Raden Patah giat memperdalam ilmu agama. Pada suatu ketika Kangjeng Sunan merasa bahwa Raden Patah sudah cukup untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain.

Berkata Kangjeng Sunan, “Cucuku Patah, engkau sudah lama belajar ilmu agama. Sekarang engkau sudah pantas menjadi guru. Sudah waktunya mempunyai tempat sendiri untuk menata kehidupan. Patah, menikahlah dengan salah satu cucuku yang cantik.”

Raden Patah patuh kepada kehendak Sang Guru. Salah satu putri Kangjeng Sunan yang bernama Nyai Gedhe Maloka mempunyai seorang putri yang cantik. Putri itu yang kemudian dinikahkan dengan Raden Patah. Setelah menikah Raden Patah bermaksud membuka pedukuhan sendiri dan mengajarkan agama Islam kepada kawula Majapahit.

Berkata Raden Patah, “Kangjeng Sunan, paduka berikan petunjuk sebaiknya saya tinggal di mana?”

Kangjeng Sunan berkata, “Engkau pergilah ke arah barat. Kalau menjumpai hutan yang penuh dengan pohon gelagah yang berbau wangi, buatlah pedukuhan di situ. Itulah tempat yang kelak akan menjadi negeri besar.”

Raden Patah menyembah dan melaksanakan perintah Sang Guru. Setelah melakukan perjalanan jauh menerabas hutan sampailah dia di sebuah hutan gelagah yang berbau wangi. Tempat tersebut bernama hutan Bintara yang kelak juga disebut Glagah Wangi.

Raden Patah kemudian membuka hutan dan membuat pedukuhan. Juga membuat masjid dan mendirikan shalat Jum’at. Penduduk sekitar yang beragama Islam kemudian bergabung. Glagah Wangi lama-lama menjadi pedukuhan besar yang masyhur sampai ke negeri lain.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/10/babad-tanah-jawi-10-raden-patah-dan-raden-kusen/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...