Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (4): Kisah Hidup Siyung Wanara

 Alkisah, di negeri Pajajaran ada seorang bertapa yang tinggal di gunung, namanya Ki Ajar Capaka. Pertapaannya berada di sebelah barat laut dari kotaraja Pajajaran. Sudah termasyhur di seantero  negeri bahwa Ki Ajar sangat tajam penglihatannya. Bisa mengetahui peristiwa sebelum terjadi. Berita kemampuan Sang Ajar tadi sudah dilaporkan kepada Sang Raja. Mendengar laporan itu Sang Raja tampak sedikit menahan marah kepada patih.

Berkata Sang Raja, “Hai Patih, aku ingin membuktikan kesaktian si Ajar Capaka. Segera panggil seorang wanita di dari selirku. Pasanglah guci di perutnya supaya tampak seolah sedang hamil.”

Patih segera melaksanakan perintah. Selir Sang Raja diberi guci di perutnya lalu dibebat dengan kain. Sudah tampak seperti wanita hamil.

Sang Raja berkata, “Sekarang berangkatlah ke tempat si Ajar Capaka. Suruh dia menebak kelak kandungan itu akan lahir laki-laki atau perempuan. Kalau dia bisa mengetahu rahasia ini sungguh dia seorang yang sakti.”

Patih dan rombongan segera berangkat ke tempat Ajar Capaka. Setelah sampai di hadapan Sang Ajar, Ki Patih segera menyuruh Sang Ajar untuk menebak bayi dalam kandungan kelak lahir laki-laki atau perempuan.

Sang Ajar dengan agak marah menjawab, “Hai Kyai Patih, engkau kira aku bodoh. Sehingga kau kira tak bisa menebak jenis kelamin bayi dalam kandungan.”

Ki Patih mendesak, “Hai Ajar, Sang Raja menyuruhmu menebak jenis kelamin bayi ini. Segeralah lakukan.”

Sang Ajar berkata, “Apakah Sang Raja hendak mencobai aku? Aku tebak isi kandungan wanita ini, kelak lahir laki-laki.”

Sang Patih merasa sangat sukahati setelah mendengar jawaban Sang Ajar. Segera Ki Patih pulang dan melapor kepada Sang Raja bila kandungan palsu itu ditebak akan lahir laki-laki. Sang Raja sangat bersukacita karena ternyata Si Ajar tidaklah sakti. Terbukti salah dalam menebak dan malah mengira si wanita hamil beneran. Setelah nyata bahwa si Ajar tidak sakti si selir dibawa ke belakang untuk berganti baju. Akan tetapi setelah pakaian dibuka guci yang di dalam tidak ditemukan dan mereka mendapati si selir benar-benar hamil. Peristiwa itu segera dilaporkan kepada Sang Raja.

Sang Raja Pajajaran sangat marah, merasa telah dipermainkan oleh Si Ajar. Rupanya Si Ajar hendak menantangku, pikir Sang Raja. Sang Raja lalu memerintahkan agar Ajar Capaka dibunuh. Sudah terlaksana Sang Ajar dibunuh di pertapaannya. Setelah Sang Ajar tewas terdengar suara tanpa wujud.

Begini suara itu, “Hai Raja Pajajaran, ketahuilah. Aku akan membalas kepadamu. Kelak kalau ada orang bernama Siyung Wanara, itulah saat aku menuntut balas kepadamu.”

Sang Raja menjawab, “Hai Ajar, kapan engkau datang di hadapanku, jangan kelak sekarang pun kalau engkau hidup lagi aku takkan gentar.”

Suara tadi menghilang tak menjawab. Sejak kejadian itu Pajajaran tertimpa musibah tiada henti. Banyak orang menderita sakit parah. Ibarat pagi sakit sore mati, sore sakit pagi mati. Para kawula sangat menderita. Sang Raja sangat bersedih dan sampai tiga bulan tidak mengadakan pertemuan. Juru ramal segera dipanggil, juga juru tenung dan tabib serta pujangga. Mereka diminta mencari solusi atas permasalahan yang terjadi.

Para juru yang diundang memberi saran, “Itu gampang saja. Solusi dari musibah yang terjadi di negeri ini, paduka adakan pesta lalu paduka berkumpul dengan selir paduka. Pasti akan sirna musibah ini. Tapi paduka akan mempunyai satu halangan lagi akibat ini.”

“Apakah itu?” tanya Sang Raja.

Para juru menjawab, “Paduka kelak akan mempunyai putra dari istri selir yang akan membunuh paduka. Sudah sampai pada suratan takdir paduka akan menjadi raja terakhir di Pajajaran.”

Sang Raja kebingungan. Kalau tidak dilakukan saran para juru ramal dan juru tenung maka musibah di negeri akan terus terjadi. Namun kalau dilakukan dirinya kelak akan terbunuh. Tampaknya mustahil kalau dirinya mati oleh anaknya. Para leluhurnya dulu sampai pada Nabi Adam tidak ada yang mengalami dibunuh anaknya. Akhirnya Sang Raja pasrah jika memang itu harus terjadi. Sang Raja merasa sudah kenyang hidup mulia. Dia hanya berharap kelak sepeninggalnya anak-cucunya lestari menjadi raja di tanah Jawa.

Sang Raja lalu melaksanakan saran para juru ramal. Setelah mengadakan pesta makan minum sampai agak mabuk Sang Raja meniduri selirnya. Selir yang sedang hamil muda, yang dulu ditebak oleh Ajar Capaka akan melahirkan anak laki-laki itu.

Beberapa bulan kemudian selir Sang Raja melahirkan seorang bayi laki-laki, tepat seperti tebakan Sang Ajar. Bayi mungil itu segera dihaturkan kepada Sang Raja.

Sang Raja berpikir, “Apakah bayi ini yang diramalkan akan membunuhku?”

Sang Raja berusaha membunuh bayi itu dengan memberi minum racun. Beberapa kali diberi racun, tetapi tidak mempan. Sang Raja sangat marah lalu hendak mencabik-cabik tubuh si bayi. Si pengasuh bayi yang melihat berusaha mencegah perbuatan Sang Raja.

Si pengasuh berkata, “Duhai Sang Raja, jangan seperti itu. Malu kalau sampai terdengar di negeri lain. Kalau paduka hendak membunuh bayi ini, mudah saja dilakukan. Juga tidak akan terdengar orang banyak. Bayi ini dimasukkan dalam peti saja kemudian dihanyutkan di sungai Karawang. Pasti akan mati.”

Sang Raja berkata, “Benar katamu.”

Sang Raja lalu memerintahkan si bayi dimasukkan peti dan dibuang di sungai Karawang. Perintah sudah dilaksanakan. Si bayi segera dibuang di sungai dan tak lama kemudian hanyut tak terlihat lagi.

Alkisah, ada seorang kakek-kakek bernama Ki Buyut Karawang. Ki Buyut sedang mancing di sungai Karawang. Lama tak mendapat ikan tiba-tiba Ki Buyut kaget karena melihat cahaya bersinar dari sungai. Ki Buyut penasaran lalu mendekati sumber cahaya tadi. Tampak olehnya sebuah peti kecil. Ki Buyut segera membukanya. Betapa terkejut karena di dalam peti itu terdapat seorang bayi yang tampan. Pikir Ki Buyut pastilah anak ini keturunan orang mulia. Sungguh berbeda dengan bayi-bayi lain anak orang desa yang sering dia lihat. Peti segera dibawa pulang oleh Ki Buyut. Sangat kebetulan lama berumah tangga Ki Buyut belum dikaruniai putra. Pasti istriku senang sekali, pikir Ki Buyut.

Nyai Buyut benar-benar sangat gembira ketika Ki Buyut pulang membawa bayi temuannya. Oleh pasangan suami-istri tersebut si bayi dirawat seperti anak sendiri. Seiring berjalannya waktu si bayi tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Oleh Ki Buyut dipanggil Jaka.

Pada suatu ketika si Jaka bertanya, “Ayah, saya ini sebenarnya anak siapa?”

Ki Buyut menjawab, “Tentu saja anakku.”

Si Jaka berkata, “Lazimnya kalau seekor burung pasti sama dengan bapaknya. Mengapa saya berbeda dengan bapak saya?”

Ki Buyut kebingunan menjawab, “Sudah pasti engkau ini anakku sendiri.”

Si Jaka tak puas dengan jawaban Ki Buyut. Ki Buyut berusaha agar anaknya puas. Bila perlu dengan berbohong.

Ki Buyut berkata, “Anakku, aku punya teman seorang tukang ramal yang sakti. Bila engkau mau, aku akan mengajakmu ke sana. Engkau bisa tertanya kepadanya siapa sebenarnya dirimu.”

Si Jaka menyambut baik, “Ayo kita segera ke sana ayah.”

Keduanya segera berangkat. Ki Buyut membawa si Jaka masuk ke hutan menuju ke tempat juru ramal teman si Buyut yang sebenarnya tidak ada. Dalam perjalanan mereka melihat seekor wanara atau monyet. Secara bersamaan si Jaka juga melihat seekor burung yang elok warnanya.

Si Jaka bertanya, “Ayah, itu yang wujudnya seperti orang dan duduk di dahan pohon itu namanya apa?”

Ki Buyut menjawab, “Itu wanara.”

Si Jaka bertanya lagi, “Lalu burung itu namanya burung apa?”

Ki Buyut menjawab, “Itu burung siyung.”

Si Jaka berkata, “Kalau begitu mulai sekarang aku ganti nama menjadi Siyung Wanara.”

Ki Buyut menyetujui nama baru anaknya tadi. Setelah lama berputar-putar di hutan mereka tak jua menemukan rumah si juru ramal teman Ki Buyut. Siyung Wanara terus mendesak. Ki Buyut lalu berbohong lagi.

Berkata Ki Buyut, “Anakku, temanku sudah berpindah ke kota menjadi tukang pandai besi. Pekerjaannya membuat senjata untuk Sang Raja.”

Siyung Wanara gembira mendengar perkataan Ki Buyut. Lebih-lebih Ki Buyut menyebut kota dan Sang Raja. Siyung Wanara penasaran ingin melihat kota.

Siyung Wanara berkata, “Ayo sekarang kita ke kota.”

Siyung Wanara terus mendesak sehingga Ki Buyut terpaksa menuruti keinginannya pergi ke kota. Sesampai di kota mereka menuju ke tempat seorang pandai besi. Mereka menjumpai Ki Empu yang sedang duduk di besalennya. Ki Empu menyapa ramah dan menanyakan maksud kedatangan Ki Buyut. Peralatan apa yang hendak dipesan, apakah sabit, cangkul, linggis, tatah, kapak, pisau atau ingin pesan senjata.

Ki Buyut menjawab, “Saudara Empu, aku tak ingin pesan apapun. Hanya ingin mengantarkan anakku yang ingin bertemu denganmu. Namanya Siyung Wanara.”

Ki Empu melihat Siyung Wanara. Anak muda tampan itu membuatnya terpesona sehingga Ki Empu tak keberatan ketika Ki Buyut menitipkan anak itu kepadanya. Selama berada di rumah Ki Empu Siyung Wanara kadang ikut membantu di besalen. Kalau sedang ikut menempa logam Siyung Wanara membuat heran Ki Empu. Dia memakai lututnya sebagai alas tempa, memakai kepalan tangan sebagai palu dan memakai jari-jarinya sebagai capit. Kesaktian Siyung Wanara segera masyhur di seluruh negeri. Banyak orang datang untuk melihat Siyung Wanara menempa logam panas dengan tangan kosong. Mereka semua dibuat terheran-heran. Apalagi setelah remaja Siyung Wanara menjadi seorang pemuda yang sangat tampan. Banyak gadis-gadis dan janda yang ingin ikut melihat. Rumah Ki Empu sampai roboh oleh orang yang berdesakan.

Ki Empu lalu menarik ongkos bagi para pengunjung yang ingin melihat Siyung Wanara melakukan pandai besi. Setiap orang ditarik uang receh. Mereka tak keberatan. Ki Empu seketika mendapat rejeki nomplok.

Suatu ketika Siyung Wanara ingin pergi ke pasar. Ki Empu mencegahnya karena tak ingin melepas Siyung Wanara pergi sendirian. Dia berjanji akan mengajaknya esok, sambil membawa dagangan peralatan bertani. Hari berikutnya mereka benar-benar berangkat. Di dekat pasar Siyung Wanara melihat seekor gajah milik Sang Raja sedang dimandikan.

Siyung Wanara bertanya, “Ki Empu, hewan apakah yang tinggi besar itu?”

Ki Empu menjawab, “Itu gajah. Kendaraan Sang Raja.”

Si gajah yang melihat Siyung Wanara segera mendekatinya. Gajah Sang Raja itu mengulurkan belalai lalu merendahkan tubuh, seolah sudah mengenal Siyung Wanara dan siap untuk dinaiki. Siyung Wanara mengusap gading si gajah. Semua orang yang melihat terheran-heran. Sementara Ki Empu merasa khawatir jika mendapat amarah Sang Raja. Ki Empu pun mengajak Siyung Wanara pulang.

Pada suatu hari hari di alun-alun Sang Raja mengadakan adu tanding antara para prajurit Pajajaran. Banyak orang berdatangan untuk melihat. Suasana di alun-alun sangat meriah oleh aneka tetabuhan gamelan keraton. Siyung Wanara penasaran ingin melihat. Ki Empu yang khawatir peristiwa tempo hari bakal terulang berusaha mencegah Siyung Wanara. Namun Siyung Wanara bersikeras dan pergi sendiri.

 Sesampai di alun-alun Siyung Wanara berhasil masuk dan duduk di samping Sang Raja tanpa bisa dicegah oleh para pengawal. Namun Siyung Wanara tidak tertarik melihat adu tanding. Dia malah penasaran ingin masuk ke keraton. Sampailah ia di balai tempat gamelan keraton digelar. Siyung Wanara usil menabuh gamelan yang ada di situ. Suaranya keras terdengar sampai di alun-alun. Sang Raja kaget dan memerintahkan untuk memeriksa siapa yang telah bermain-main dengan gamelan keraton.

Para punggawa bergegas memeriksa balai penyimpanan gamelan. Mereka mendapati Siyung Wanara sedang bermain-main. Para punggawa berusaha menangkap tetapi mereka kewalahan. Ada yang diterjang sampai patah kakinya, ada yang patah iganya. Ada pula yang tewas. Mereka bubar berlarian melapor kepada Sang Raja.

Sang Raja sangat marah, “Anak siapa yang berkeliaran di istana?”

Para punggawa berkata, “Dia mangaku anak lurah pandai besi, paduka.”

Ki Empu segera dipanggil menghadap. Sang Raja berkata, “Hai, lurah pandai besi. Anak siapa yang berani menyentuh gamelan keraton itu?”

Ki Empu berkata, “Anak hamba, paduka.”

Sang Raja berkata, “Sejak kapan kamu punya anak. Setahuku engkau tak punya anak?”

Ki Empu kemudian berterus terang bahwa itu bukan anaknya sendiri, tetapi anak angkat yang sejak beberapa lama dia rawat.

Sang Raja berkata, “Anakmu aku minta.”

Ki Empu mempersilakan. Oleh Sang Raja Siyung Wanara ditempatkan bersama abdi dalem punakawan. Setelah dewasa kemudian diangkat menjadi prajurit. Siyung Wanara tumbuh menjadi prajurit yang cakap dan sakti. Lama-lama Siyung Wanara mendapat kepercayaan sebagai panglima perang. Telah banyak negeri dia taklukkan. Sang Raja semakin sayang kepadanya. Siyung Wanara kemudian diangkat sebagai punggawa kepercayaan dan diberi nama Arya Banyakwidhe dengan tanah garapan sepuluh ribu karya. Juga mendapat piranti upacara berupa guci emas dan alas permadani. Selain itu juga diangkat sebagai putra oleh Sang Raja. Kesatriyan yang ditempati berada di sebelah utara pasar. Arya Banyakwidhe juga mendapat izin untuk membunyikan gamelan Lokananta serta boleh mengadili orang yang bersalah.

Setelah mendapat kepercayaan Sang Raja kekuasaan Arya Banyakwidhe semakin besar. Arya Banyakwidhe mengerahkan tukang pandai dari seluruh negeri untuk membuat senjata agar pasukan Pajajaran semakin kuat. Setelah selesai membuat senjata para tukang pandai besi disuruh membuat kerangkeng besi yang besar. Dalam kerangkeng tersebut ditempatkan tempat tidur yang elok dengan kasur yang empuk. Sungguh nyaman kamar tidur dalam kerangkeng besi tersebut.

Alkisah, pada suatu hari setelah menang perang Arya Banyakwidhe menghadap Sang Raja di istana.

Berkata Arya Banyakwidhe, “Paduka, hamba pernah bernazar kalau suatu saat menang perang hamba akan mengajak paduka untuk mengajak paduka bersuka-suka di rumah hamba. Sekarang telah tercapai menang perang, maka hamba mengundang paduka untuk bersuka-suka di rumah hamba.”

Sang Raja berkata, “Baiklah, engkau pulang duluan. Nanti aku menyusul. Arya Banyakwidhe segera pulang mempersiapkan segalanya. Tak lama Sang Raja telah datang dan bergabung dengan para pasukan yang sedang bersuka-suka. Ketika itu Sang Raja melihat di rumah Banyakwidhe ada kerangkeng besi yang di dalamnya ada tempat tidur elok.

Sang Raja bertanya, “Tempat apakah ini Banyakwidhe?”

Arya Banyakwidhe menjawab, “Ini tempat tidur saya paduka. Kasiatnya bisa membuat badan segar bugar. Jika merasa capai dan lelah setetelah tidur di tempat tidur itu badan akan segera pulih kembali.”

Sang Raja ingin mencoba, Arya Banyakwidhe mempersilakan. Sang Raja lalu masuk ke dalam dan berbaring. Arya Banyakwidhe segera mengunci rapat kerangkeng besi itu. Setelah itu Arya Banyakwidhe memerintahkan kepada prajuritnya untuk menceburkan kerangkeng tersebut ke sungai Karawang. Sang Raja yang berada di dalam sangat kaget melihat ulah Arya Banyakwidhe.

Dari dalam kerangkeng Sang Raja bertanya, “Apa dosaku sampai engkau melakukan yang demikian?”

Arya Banyakwidhe berkata, “Dulu sewaktu saya kecil paduka telah menceburkan diriku ke sungai Karawang. Sekarang aku hendak membalas. Siapa yang berhutang harus membayar.”

Sang Raja sudah diceburkan ke sungai Karawang beserta kerangkengnya. Salah seorang putra Sang Raja yang bernama Raden Sesuruh mendapat laporan bahwa sang ayah telah dicemplungkan di sungai Karawang. Raden Sesuruh kemudian menyiapkan pasukan untuk menyerang pasukan Arya Banyakwidhe.

Sementara itu Arya Banyakwidhe sudah mendengar kalau Raden Sesuruh akan menutut balas. Pasukan Banyakwidhe sudah bersiap menghadapi serangan Raden Sesuruh. Tidak lama kemudian kedua pasukan sudah terlibat dalam perang yang dahsyat. Raden Sesuruh mengamuk hebat, siapapun yang melawan diterjang dengan berani. Pasukan Banyakwidhe banyak yang tewas. Amukan Raden Sesuruh semakin menjadi. Ketika kudanya berhasil dibunuh, Raden Sesuruh mengamuk darat.

Para prajurit melapor kepada Arya Banyakwidhe kalau sepak terjang Raden Sesuruh sungguh menakutkan. Para panglima dari pasukan Banyakwidhe tak ada yang berani menghadapi. Arya Banyakwidhe kemudian bangkit hendak menghadapi sendiri amukan Raden Sesuruh. Dengan menenteng senjata Arya Banyakwidhe menunggu Raden Sesuruh masuk ke alun-alun. Ketika sudah tampak segera Banyakwidhe membidik Raden Sesuruh. Raden Sesuruh terkena ikat pinggangnya, pakaiannya pun melorot. Raden Sesuruh merasa malu dan perlahan mundur. Raden Sesuruh lari ke arah timur dan berhenti di desa Kaligunting.

Di Kaligunting Raden Sesuruh berhenti di rumah seorang janda bernama Nyai Kaligunting. Karena nyai janda tak mempunyai anak Raden Sesuruh kemudian diambil sebagai anak angkat.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/04/babad-tanah-jawi-4-kisah-hidup-siyung-wanara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...