Translate

Senin, 30 September 2024

Kajian Wulangreh (246-248): Prasapa Pakubuwana I & II Lan Amangkurat Jawi

 Pada (bait) ke-246-248, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Jeng Sunan Pakubuwana, kang jumeneng ing Samawis, kondur madeg Kartasura, prasapanira anenggih, tan linilan anitih, dipangga saturunipun. Sunan Prabu Mangkurat, waler mring saturunreki, tan rinilan ngujung astana ing Betah.

 Lawan tan kena nganggowa, dhuwung sarungan tan mawi, kandelan yen nitih kuda. Kabeh aja na kang lali, lawan aja nggegampil, puniku prasapanipun. Nenggih jeng Susuhunan, Pakubuwana ping kalih, mring satedhak turunira linarangan,

 Dhahar apyun nora kena, sineret tan den lilani, nadyan nguntal linarangan. Sapa kang wani nglakoni, narajang waler iki, yen kongsi kalebon apyun, pasti keneng prasapa, jinabakken tedhakneki, Kanjeng Sunan ingkang sumare Nglawiyan.

 Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kanjeng Sunan Pakubuwana, yang dilantik di Semarang, dan pulang mendirikan Kartasura, prasapanya yakni, tak diijinkan naik, gajah bagi seketurunannya. Sunan Prabu Amangkurat, melarang kepada seketurunannya, tak diijinkan berziarah ke pemakaman Butuh.

Dan tak boleh memakai, keris yang sarungnya tak memakai, pendok kalau naik kuda. Semua jangan ada yang lupa, dan jangan ada yang meremehkan, prasapanya itu. Adapun Kanjeng Susuhunan, Pakubuwana kedua, kepada anak keturunannya dilarang,

 mengkonsumsi candu, dihisap tak diijinkan, walau ditelan juga dilarang. Siapa yang berani melakukan, melanggar larangan ini, kalau sampai terkena candu, pasti tertimpa prasapa, dikeluarkan dari keturunan, Kanjeng Sunan yang dimakamkan di Laweyan.


Kajian per kata:

Jeng Sunan Pakubuwana (Kanjeng Sunan Pakubuwana), kang (yang) jumeneng (dilantik) ing (di) Samawis (semarang), kondur (pulang) madeg (mendirikan) Kartasura (Kartasura), prasapanira (prasapanya) anenggih (yakni), tan (tak) linilan (diijinkan) anitih (naik), dipangga (gajah) saturunipun (seketurunannya). Kanjeng Sunan Pakubuwana, yang dilantik di Semarang, dan pulang mendirikan Kartasura, prasapanya yakni, tak diijinkan naik, gajah bagi seketurunannya.

Kanjeng Sunan Pakubuwana yang dimaksud dalam bait ini adalah Pakubuwana I, yang dilantik di Semarang atas bantuan VOC. Peristiwa ini menandai semakin menancapnya kuku-kuku kolonialisme setelah sebelumnya Mataram pecah akibat pemberontakan Trunajaya. Pakubuwana I adalah anak dari Sunan Amangkurat Agung yang meninggal di Tegal. Sebenarnya dia bukan pewaris tahta, namun ketika kekuasaan dipegang Amangkurat III yang tak lain adalah keponakannya sendiri dia memutuskan untuk memberontak. Dia kemudian bermarkas di Semarang dan satu demi satu mengumpulkan dukungan dari para pangeran Mataram lainnya yang tidak puas atas kepemimpinan Amangkurat III. Pada tahun 1705 M, dia berhasil mengusai Kartasura dan memaksa Amangkurat III menyingkir keluar Istana. Selanjutnya dia naik tahta sebagai raja Kartasura dan bergelar Pakubuwana I.

Pakubuwana I mempunyai prasapa, yakni anak keturunannya tidak diijinkan naik gajah. Adapun alasan yang melatar belakangi prasapa ini kami belum mendapatkan data yang akurat.

Sunan Prabu Mangkurat (Sunan Prabu Amangkurat), waler (melarang) mring (kepada) saturunreki (seketurunannya), tan (tak) rinilan (diijinkan) ngujung (berziarah) astana (pemakaman) ing (di) Betah (Butuh). Sunan Prabu Amangkurat, melarang kepada seketurunannya, tak diijinkan berziarah ke pemakaman Butuh.

Sunan Prabu Mangkurat yang dimaksud adalah Prabu Amangkurat Jawa atau Amangkurat IV. Dia adalah putra dari Pakubuwana I. Pada masanya banyak terjadi pemberontakan oleh para pangeran yang tidak puas. Banyak dari pangeran itu yang mengangkat diri sebagai raja di wilayah masing-masing. Ini menyebabkan terjadinya banyak peperangan. Situasi itu membuat pengaruh VOC semakin kuat menancapkan kekuasaan di Tanah Jawa.

Prabu Amangkurat ini mempunyai prasapa, anak keturunannya dilarang berziarah ke pemakaman Butuh. Pemakaman butuh adalah tempat dimakamkannya Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang.

Lawan (dan) tan (tak) kena (boleh) nganggowa (memakai), dhuwung (keris) sarungan (sarung) tan (tak) mawi (pakai), kandelan (pendhok) yen (kalau) nitih (naik) kuda (kuda). Dan tak boleh memakai, keris yang sarungnya tak memakai, pendok kalau naik kuda.

Yang dimaksud adalah jika naik kuda tidak boleh memakai keris yang sarungnya tidak ada pelapis pendhoknya. Warangka atau sarung keris ada bagian yang berfungsi sebagai pelindung bilah keris, biasanya terbuat dari kayu. Di luar bagian kayu itu ada pelapis dari logam namanya kandelan atau pendhok.

Kabeh (semua) aja (jangan) na (ada) kang (yang) lali (lupa), lawan (dan) aja (jangan) nggegampil (meremehkan), puniku (itu) prasapanipun (prasapanya). Semua jangan ada yang lupa, dan jangan ada yang meremehkan, prasapanya itu.

Itulah prasapa para leluhur Mataram. Jangan sampai lupa dan meremehkan prasapa itu. Bagi anak keturunan Mataram harap dipatuhi.

Nenggih (adapun) jeng (Kanjeng) Susuhunan (Susuhunan), Pakubuwana (Pakubuwana) ping kalih (kedua), mring (kepada) satedhak turunira (anak keturunannya) linarangan (dilarang), dhahar apyun  (madat) nora (tak) kena (boleh), sineret (dihisap) tan (tak) den (di) lilani (ijinkan), nadyan (walau) nguntal (ditelan) linarangan (juga dilarang). Adapun Kanjeng Susuhunan, Pakubuwana kedua, kepada anak keturunannya dilarang, mengkonsumsi candu, dihisap tak diijinkan, walau ditelan juga dilarang.

Sekedar informasi sebagai tambahan pengetahuan, Pakubuwana II adalah anak dari Prabu Amangkurat Jawa. Dia adalah pendiri dari Keraton Surakarta. Pada watu itu keraton lama telah porak poranda akibat geger pecinan. Karena menganggap bahwa keraton Kartasura yang sudah pernah diduduki musuh itu tidak baik jika ditempati lagi, ia memindahkan keraton ke Surakarta. Pada masanya pemberontakan tak juga reda, bahkan dia menghadapi lawan-lawan yang tidak enteng, yakni Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.

Kedua pemberontak itu kelak berhasil memaksa Surakarta berbagi wilayah pada masa Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi kemudian menguasai Yogyakarta sebagai Sultan Hamengku Buwana I, sementara Raden Mas Said mendapat beberapa bagian wilayah di Surakarta dan begelar Mangkunegara I.

Kembali ke kajian serat Wulangreh, Pakubuwana II mempunyai prasapa kepada anak keturunannya agar tidak mgnkonsumsi candu atau madat. Baik dihisap maupun ditelan tidak diperbolehkan.

Sapa (siapa) kang (yang) wani (berani) nglakoni (melakukan), narajang (melanggar) waler (larangan) iki (ini), yen (kalau) kongsi (sampai) kalebon (terkena) apyun (candu), pasti (pasti) keneng (kena, tertimpa) prasapa (prasapa), jinabakken (dikeluarkan) tedhakneki (dari keturunan), Kanjeng (Kanjeng) Sunan (Sunan) ingkang (yang) sumare (dimakamkan) Nglawiyan (Laweyan). Siapa yang berani melakukan, melanggar larangan ini, kalau sampai terkena candu, pasti tertimpa prasapa, dikeluarkan dari keturunan, Kanjeng Sunan yang dimakamkan di Laweyan.

Siapa yang berani melakukan madat, dengan melanggar wewaler ini pasti akan tertimpa prasapa, yakni akan dikeluarkan dari keturunan Kanjeng Sunan yang dimakamkan di Laweyan itu.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/13/kajian-wulangreh-246-248-prasapa-pakubuwana-i-ii-lan-amangkurat-jawi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...