Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (11): Radèn Bondhan Kajawan

 Alkisah, Prabu Brawijaya di Majapahit bertahta di singgasana emas dihias permata, beralas karpet permadani. Para punggawa lengkap menghadap, juga para kerabat dan para putra. Para ngabei, tumenggung, rangga, demang dan tanda.

Prabu Brawijaya berkata, “Hai juru ramal dan tabib dan engkau juru nujum. Kelak sepeninggalku siapa yang menggantikanku, apakah anak keturunanku masih akan bertahta sebagai Brawijaya di Majapahit? Katakan yang sesungguhnya.”

Juru ramal berkata, “Duhai Sang Raja, pasti anak keturunan paduka akan menjadi raja. Akan tetapi nanti akan berganti negeri yang bernama Mataram. Semua raja di tanah Jawa akan tunduk ke Mataram.”

Sang Raja kemudian masuk ke istana dan menemui Ratu Darawati. Tidak diceritakan apa yang terjadi di istana. Tak lama kemudian Sang Raja menderita sakit rajasinga. Sakitnya demikian parah sampai tiga bulan tidak keluar di pertemuan. Semua obat sudah tidak mempan lagi dan belum ada tanda-tanda akan sembuh. Pada suatu malam, tepat pukul tiga Sang Raja mendengar suara tanpa rupa. Menurut suara itu Sang Raja bisa sembuh dari sakitnya kalau menggauli putri dari Wandan. Carilah putri Wandan kuning dan gaulilah, pasti engkau akan sembuh, begitu kata suara itu.

Sang Raja kaget dan terbangun. Lalu segera memerintahkan mencari putri Wandan kuning. Ada seorang abdi Ratu Darawati, bawaan dari Cempa yang ternyata dari Wandan. Asal mulanya putri Wandan sampai ke Cempa dan menjadi abdi Ratu Darawati karena Wandan ditaklukkan musuh. Sang Raja lalu menggauli abdi dari Cempa tersebut sekali saja. Maka sakit rajasinga yang diderita Sang Raja benar-benar sembuh.

Meski hanya sekali digauli putri Wandan akhirnya mengandung. Tiba saatnya si anak lahir, maka lahirlah seorang putra yang tampan. Si anak lalu dihaturkan kepada Sang Raja. Sang Raja melihat si anak yang tampan seperti purnama itu. Prabu Brawijaya lalu memanggil Ki Buyut Masahar, seorang juru sawah. Ki Buyut segera menghadap.

Berkata Sang Prabu Brawijaya, “Hai engkau Buyut Masahar, ambilah anak ini sebagai anakmu. Engkau kan tidak punya anak. Tetapi pesanku, kelak kalau sudah berumur delapan tahun, anak ini bunuhlah. Kalau engkau tak laksanakan, aku kutuk engkau nanti. Karena menurut perkataan juru ramal, anak ini akan menurunkan raja-raja. Kalau itu terjadi maka akan merusak nama baikku.”

Ki Buyut Masahar pulang membawa si bayi mungil. Ni Buyut yang menunggu di rumah sangat bersukacita suaminya pulang membawa seorang bayi yang tampan. Nyai Buyut sangat mengasihi anak angkatnya tersebut. Apalagi sudah lama berumah tangga mereka tidak mempunyai anak. Penuh kasih Nyai Buyut dalam merawat si bayi seolah putra sendiri. Si bayi kemudian diberi nama Raden Bondan Kajawan.

Bondan Kajawan cepat besar dan membuat sukacita keluarga Ki Buyut Masahar. Ketika berumur tujuh tahun Ki Buyut berterus terang kepada Nyai Buyut akan pesan Sang Raja dahulu.

Berkata Ki Buyut, “Nyai, pesan Sang Raja dahulu, kelak kalau anakmu berumur delapan tahun, aku disuruh untuk membunuhnya. Aku takut kalau melanggar perintah Sang Raja, karena akan dikutuk.”

Nyai Buyut berkata, “Ki Buyut, anakmu si Bondan Kajawan itu sudah menjadi jantung hatiku. Kalau engkau hendak membunuhnya, bunuh juga diriku.”

Ki Buyut menarik kerisnya, Nyai Buyut jatuh pingsan karena mengira Ki Buyut benar-benar akan membunuh anaknya. Melihat istrinya jatuh pingsan Ki Buyut berpikir kembali. Pikirnya, kalau aku membunuh anakku tak urung istriku ikut bela mati. Aku jadi kehilangan dua nyawa, menjadi tak punya anak istri. Ki Buyut melupakan janjinya, lalu mendekati istrinya yang pingsan dan membangunkannya.

Ki Buyut berkata, “Bangunlah Nyai, aku turuti keinginanmu. Anakmu urung aku bunuh.”

Nyai Buyut siuman dan segera memeluk anaknya. Ki Buyut lalu berkata kepada istrinya, “Kalau begitu Nyai, tinggalah di desa. Aku akan ke kota melapor kepada Sang Raja. Supaya jangan terkesan aku melanggar perintah. Akan aku bujuk dengan kata manis agar anakmu tak jadi dibunuh.”

Ki Buyut segera pergi ke kotaraja. Sesampai di kota Ki Buyut menghadap Sang Raja dengan takzim. Ketika itu hari pisowanan, Sang Raja bertahta di hadapan para punggawa Majapahit. Ki Buyut maju ke hadapan raja dengan penuh hormat.

Berkata Ki Buyut, “Bayi titipan paduka sudah hamba bunuh. Sudah cukup umurnya, hari ini genap tujuh tahun.”

Sang Raja Majapahit berkata, “Aku sangat berterima kasih kepadamu Buyut Masahar. Engkau dapat aku percaya dan memenuhi janji. Sudah nyaman hatiku karena si bayi itu sudah mati.”

Sang Raja kemudian berkata kepada para punggawa, “Hai para mantri semuanya, aku mendengar di hutan Bintara, di tengah hutan lebat, ada seorang yang membangun pedukuhan. Malah sudah terkenal layaknya sebuah negara.”

Adipati Terung berkata, “Paduka, itu saudara hamba yang membuat pedukuhan di tengah hutan.”

Sang Raja berkata, “Kalau demikian segera panggilah kakakmu itu. Aku hendak bertemu dengannya. Segera berangkatlah.”

Adipati Terung menyembah dan segera melesat menuju Bintara dengan diiringi sepuluh ribu prajurit. Kedatangan prajurit Majapahit ke tengah hutan laksana angin ribut yang menyibak pepohonan. Adipati Terung segera menghadap kepada sang kakak dan menyampaikan undangan Sang Prabu Brawijaya.

Berkata Adipati Terung, “Kanda, saya diutus Prabu Brawijaya untuk mengundang Kanda menghadap ke Majapahit. Sang Raja ingin bertemu dengan Kakanda.”

Raden Patah segera memanggil para sahabat untuk menyertainya berangkat ke Majapahit. Semua sahabat datang hendak menyertai perjalanan Raden Patah. Di jalan tak diceritakan, singkat cerita Raden Patah telah sampai di keraton Majapahit. Sebelum masuk Raden Patah berhenti di pintu Sri Manganti. Sang Raja yang melihat Raden Patah datang segera memanggil pelayan untuk membawakan kaca cermin. Ketika Sang Raja bercermin, tampak olehnya wajahnya tiada beda dengan Raden Patah. Ibarat pinang dibelah dua. Sang Raja sangat bersukacita. Raden Patah kemudian disuruh maju ke depan. Semakin tampak bahwa segala gerak-gerik dan perilakunya mirip dengan Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Engkau sekarang aku anggap sebagai anakku sendiri.”

Raden Patah menyembah dan menyentuh kaki Sang Raja. Sang Raja kemudian mewisuda Raden Patah dan mengangkatnya sebagai Adipati Bintara. Kepadanya diberikan pasukan sejumlah sepuluh ribu prajurit. Kedudukannya sekarang sudah setara dengan sang adik Adipati Terung. Raden Patah juga mendapat izin mengembangkan Bintara sebagai kadipaten yang berdasar agama Islam. Kelak boleh dikembangkan menjadi negara Demak jika Sang Raja telah mangkat. Kepada Raden Patah diberikan kewajiban menghadap setiap setahun sekali. Adipati Bintara menyembah dan menyentuh kaki Sang Raja. Sang Raja kemudian memeluk sang putra dengan penuh kasih. Adipati Bintara Raden Patah kemudian minta pamit untuk kembali ke Bintara. Kadipaten Bintara selanjutnya semakin berkembang menjadi kota besar yang makmur.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/11/babad-tanah-jawi-11-raden-bondhan-kajawan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...