Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (BP): Kisah Sukra-Lembah (4)

 Sakit hati akibat perlakuan Pangeran Adipati membuat Raden Sukra dendam. Raden Sukra teringat kalau istri Pangeran Adipati telah berpindah ke rumah di Kapugeran. “Aku coba mendekatinya,” demikian angannya, “Benar aku akan mencari jalan.”

Raden Sukra lalu memanggil dua orang pengasuhnya yang bernama Singananda, dan satunya lagi bernama Patrawisa. Sesampai di hadapannya dua pengasuh dibawa ke belakang, ke gandok timur. Lalu mereka bicara berbisik.

“Hai bapak, engkau sudah tahu berita Raden Ayu Adipati berpindah ke Kapugeran?”

Singananda-Partawisa menjawab pelan, “Ya benar hamba mendengar berita itu. Menurut cerita orang-orang di luar sana, karena kalah oleh selir dari Onje yang sudah diangkat sebagai istri. Karena itu Raden Ayu pergi. Adapun sekarang di Kapugeran masih ditolak sang ayah. Kemarin hamba mengunjungi saudara saya yang membawa berita si Jamarta, kata orang Pugeran malah setiap hari Raden Ayu duduk di panggungan, terlihat dari jalan. Sepertinya sedang menghibur diri karena galau kepada suaminya. Oleh ayahandanya Raden Ayu tak diajak bicara, karena sang ayah marah dan berharap segera kembali ke kadipaten.”

“Hai bapak, ambilah kudaku si Nirwati, kuda putih warnanya,” kata Raden Sukra.

Kuda segera diambil, dipakaikan kain beludru ungu dengan ban cindhe puspita. Kuda dihias indah agar kelihatan menarik. Raden Sukra memakai busana berbatik hijau dan kain-paningset jingga berenda emas, dengan tutup kepala hitam beserta perlengkapan pakaian lainnya. Kalau dilihat sang tampan sungguh luwes gerak-geriknya seperti putra raja Dwarawati.

Raden Sukra segera keluar, pengiring dua puluh orang menyertainya. Tak ketinggalan dua pengasuh, Singananda dan Partawisa. Sesampai di luar segera naik kuda dan berjingkrak-jingkrak di sepanjang jalan. Yang dituju adalah belakang Kapugeran. Maksudnya akan mendekat ke tembok pagar taman yang arah utara di pinggir jalan dan terus ke pinggir sungai.

Ganti cerita yang sedang di tamansari, yang sedang tidak suka dengan suaminya. Raden Ayu Lembah di taman bunga, baru saja mandi. Karena sudah dua bulan dia berada di Kapugeran, sang dewi kurang makan dan tidur. Namun rusaknya raga malah semakin menambah manis mempesona. Memang dasar sudah cantik alami.

Di tengah sedang bercengkerama dengan para abdi sang ayu dikagetkan oleh sorang yang naik kuda berjingkrak menyusur jalanan dekat pagar bata. Si manusia berkuda mondar-mandir beberapa kali dan selalu menengok ke dalam taman.

Sang putri pun penasaran, turun dari panggung dan mendekat, “Siapakah yang naik kuda berjingkrak-jingkrak itu?”

Para pengasuh mengatakan, “Barangkali suami paduka sudah datang.”

Sang putri berkara pelan, “Bukan kakanda karena pengiringnya sedikit. Dan kalau kakanda saya pasti bisa mengenali walau memakai pakaian komandan. Orang ini belum pernah kulihat.”

Sang putri sudah sampai di bawah, mengambil tangga. Pagar tembok sudah diberi tangga, naiklah sang putri. Tubuh condong di atas pagar untuk melihat yang sedang berkuda.

Ketika itu sudah pukul lima, cahaya lembayung terbit di ufuk barat. Melongok wajah sang putri di atas pagar, tersinari oleh cahaya lembayung semakin bersinar terang wajahnya. Raden Sukra yang melihat sang dewi hatinya laksana gerabah yang jatuh ke batu[1], hancur berkeping-keping. Bangkit keberaniannya, tak menghitung mati berbilang luka. Akan saya ditempuh untuk mendapat obat sakit asmara.

 Pengasuh sang dewi yang seorang ikut melongok di atas pagar bata. Oleh sang dewi disuruh bertanya, “Hai sang tampan, saya disuruh sang dewi bertanya siapa namamu?”

Raden Sukra menjawab, “Saya anak Patih, Sukra namaku, Natadirja nama dewasaku, tetapi belum begitu terkenal. Lebih sering dipanggil Sukra.”

Sang dewi berkata keras, “Hai Sukra, engkau sungguh tampan, tapi kurang ajar. Kok tidak sayang tampanmu, kalau sampai ketahuan oleh kakanda pasti lehermu tercabut. Orang gegabah tidak mapan.”

Sukra menjawab, “Mustahil kalah dengan Pangeran Adipati Anom. Berani bertakar darah. Walau dikeroyok pun aku hendak bertarung sampai darahku tumpah. Semua aku layani, busur, lembing, dan senjata tombak orang kadipaten.”

Raden Sukra bicara sambil mencambuk kuda, seketika melesat. Yang ditinggal termangu-mangu menyesali perbuatan si Sukra. Turun dari pagar bata, berkata pelan, “Si Sukra gila meracau, apakah kerasukan. Otaknya tidak beres dari perkataannya.”

Si pengasuh berkata, “Tuan saya kira Sukra gila karena melihat wanita sangat cantik. Duh, siapa orangnya yang melihat tuan pasti terkapar kalau tidak mati ya jadi gila. Hanya tuan Pangeran Adipati kakanda paduka itu sungguh orang aneh, melihat orang manis kok tidak suka. Seandainya bukan orang besar termasuk orang tidak waras itu.”

Raden Sukra diceritakan, belum sampai jauh, seketika berbalik arah kembali menyisir pagar bata. Dilihatnya yang tadi condong di atas pagar sudah tidak ada. Sang raden segera kembali dengan tubuh lelah. Tampak ragu-ragu jalannya, yang condong di atas pagar bata selalu menggantung di angan.

Sudah sampai Raden Sukra di rumah, turun dari kuda langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur. Tak karuan rasa hati tertimpa sakit asmara. Yang diangankan tak lain hanya sang ayu yang telah memberi sakit rindu.

Ketika waktu semua tidur, turun Raden Sukra ke petamanan hendak menghibur sakit asmara. Bulan baru tanggal sembilan, terlihat samar sinar rembulan. Mendesah Raden Sukra. Dua pengasuh mencari, si Patrawisa Singananda, ketemu tuannya di kebun sedang bersandar di pohon jambu dersana.

Dua pengasuh berkata kepada tuannya, “Nah, jangan besar harapan, ingatlah paduka abdi negara Kartasura. Kangjeng Pangeran yang mempunyai negara. Walau dibunuh pun jangan mengelak, karena sudah sepantasnya tuan yang memberi ganjaran dan siksa.”

Raden Sukra mendegus, “Hai bapak, diamlah. Sudah aku tekadkan walau dipakai sebagai sasaran takkan mengeluh, lebih baik mati kalau tak ketemu sang ayu. Bapak, saya hendak mencuri di Kapugeran. Akan saya masuki taman tempat sang ayu, hendak menyerahkan hidup matiku kepada sang ayu yang telah memarahi orang berkuda.”

Dua pengasuh mencegah, “Raden jangan sekarang, sayangi badanmu.”

Raden Sukra memaksa, sesudah memegang keris segera keluar sang tampan. Dua pengasuh mengikuti. Perjalanan Raden Sukra segera sampai, dua pengasuh terus mengikuti. Raden Sukra mengeluarkan ilmunya, pagar bata diusap seketika menjadi rata dengan tanah. Raden masuk segera, Patrawisa-Singandan selalu mendampingi serta terus berusaha membujuk agar Sukra mengurungkan niatnya.

“Raden bagaimana kehendakmu, sangat samar dalam hati selalu khawatir saja. Belum berjanji kok sudah mendatangi, kalau nanti kepergok dan menemui mati sungguh mati yang nista. Sebaiknya meniru langkah satria, jangan sampai menyeret nama ayanhanda Raden Patih Sindureja. Ayah raden sorang yang masyhur menjadi kebanggan serta mumpuni, maka menjadi patih raja, berani di medan perang, dalam isyarat sudah lihai, pintar dalam pikiran, sungguh tak ada cacatnya. Sekarang anaknya, mirip orang mengambil ikan di dalam air yang dalam tanpa jaring. Percuma air menjadi keruh, ikan mustahi didapat. Seperti kumbang hendak menghisap bunga, sudah rusak bunganya sarinya tak dapat. Kalau yang lazim bagi satria yang hendak mencuri cinta, sebaiknya memakai mak comblang. Dengan memberi uang atau pakaian, itu akan menjadi jalan yang patut bagi satria. Terlihat bagus dan gentle.”

Raden Sukra bicara berbisik, “Bai bapak diamlah. Tidak ada maksud saya untuk berbuat tidak susila dengan yang telah membuat jatuh cinta. Akan lega hatiku kalau saya bisa melihat sekejap mata sang ayu yang telah memarahi orang berjingkrak. Hancur diriku bapak, gila karena cinta kalau tidak melihat sang ratna. Kalau saja sang ayu menimbangi akan saya pertaruhkan sampai bertakar darah.”

Ketika itu sedang berlindung di bawah pohon kemuning. Raden Sukra merayu-rayu memeluk pohon kemuning seolah-olah merayu-rayu sang dewi. Terlihat perilakunya seperti orang sakit jiwa. Pengasuh berdua menghormat, Patrawisa dan Singananda, keduanya merasa kasihan kepada Raden Sukra, tetapi si tampan sudah lupa mana timur mana selatan.

Malam semakin larut, Raden Sukra disambar burung malam yang berseliweran. Hati Raden Sukra tidak takut sehelai rambutpun, seperti orang bertayub diberi tepuk tangan, semakin menjadi-jadi.

Sementara itu, Raden Antawirya sedang berkeliling dengan adiknya, merasa hati tidak enak karena di taman berseliweran burung malam. Raden sudah menyandang pedang, segera mendatangi taman. Raden Sasangka dan Raden Sudama menyusul kakaknya, ketiganya ke tamansari, berkeliling memeriksa kediaman kakaknya.

Raden Sukra melihat kalau putra-putra Kapugeran menyambangi mereka, segera berseger tetapi malah menimbulkan suara gemerisik. Terdengar suaranya oleh Raden Antawirya, segera didekati. Si maling berlari segera, dikejar oleh Raden Antawirya, dikepung bersama adik-adiknya. Menyelinap Raden Sukra, para putra Puger menerjang. Terdengar bekuh-bekuh suara tanpa suara.

Raden Martataruna berkata kepada Sudama, “Hai Dik, ambilah obor.”

Raden Sudama segera pergi ke tempat penjagaan depan mengambil obor, lalu hendak segera kembali ke taman membawa obor. Yang sedang berjaga ingin ikut tetapi dicegah oleh Raden Sudama. Mereka menjadi takut dan waspada, semua bersiap di pendapa untuk berjaga-jaga.

Raden Sudama kembali ke tempat sang kakak. Takut ketahuan si maling segera berlari menerjang pagar bata. Patrawisa-Singananda berjempalikan mengaduh memanggil tuannya. Sudah sampai ketiganya di luar pagar. Raden Antawirya melihat kalau si maling sudah keluar segera melompati pagar mengejar sampai di luar.

Raden Antawirya meneriaki, “Hai maling berhentilah! Kalau engkau sungguh prajurit dan hendak mencoba oran Kapugeran, tungguhlah jangan minggat! Ayo bertameng dada bertukar keris, menakar darah denganku. Ayo bertanding secara kesatria!”

Semua adik mengkhawatirkan keselematan sang kakak yang mengejar maling, tetapi tidak mampu melompati pagar bata, jadi hanya berteriak-teriak saja. Para prajurit Kapugeran segera datang menolong, saling mengejar larinya. Prajurit Kasindurejan yang membuntuti Raden Sukra menghadang dengan obor yang terang layaknya siang hari. Kagetlah mereka ketika melihat Raden Sukra berlari kencang bertiga dengan pengasuhnya dengan nafas tersengal-sengal. Mereka bisa menebak apa yang terjadi.

Tak berapa lama datang Raden Antawirya yang mengejar, para prajurit Kasindurejan merasa takut. Salah seorang bertanya, “Bagaimana Raden, kemana perginya si maling?”

Semua prajurit ikut-ikutan bertanya seolah tak terjadi apa-apa.

Raden Antawirya menjawab, “Ke arah sini larinya. Tiga orang maling!”

Para prajurit berkata pelan, “Tidak ada orang ke sini Raden. Dari tadi kami mencegat di sini tak terlihat. Barangkali larinya ke sungai.”

Raden Antawirya lalu dipersilakan pulang oleh Ki Jadrema.

Teks Asli:

10. Radèn Sukra emut ing tyas | lamun garwanira pangran dipati | gumingsir mring dalêmipun | wontên ing Kapugêran | sun jajale sun sanake garwanipun | mangkana andikanira | iya sun gawene margi ||

11. ya ta wau Radèn Sukra | animbali pamomongira kalih | Singananda wastanipun | kang siji Patrawisa | praptèng ngarsa ban kalih binaktèng pungkur | marang dalêm gandhok wetan | êmban kalih dèn bisiki ||

12. hèh bapa sira wus wikan | ing wartane radèn ayu dipati | marmane gumingsir iku | ana ing Kapugêran | Sirananda Patrawisa lon umatur | inggih kawula miyarsa | ing warta têtiyang jawi ||

13. kawon dening wong pundhutan | saking Onje pinangkaning pawèstri | inginggahkên garwa sampun | marma sang ayu linggar | dene mangke panggenane radèn ayu | maksih ingewan ing rama | dening munggèng langonsari ||

14. wingi kawula sêsanjan | pasanakan kawula kang awarti | pun Jamarta wastanipun | tiyang ing Kapugêran | malah sabên sontên nênggih radèn ayu | pinarak anèng panggungan | katingal saking ing margi ||

15. kados anglêlipur brôngta | sangêt onêng watawis dhatêng laki | agrah kawit sang rêtnayu | ing rama tan sinapa | marmanipun Pangran Pugêr dukèng sunu | pinrih anuntên kondura | mring kadospatèn tumuli ||

16. hèh bapa kêkambilana | kudaningsun korea Si Nirwati | kuda seta ulêsipun | anulya kinambilan | rinaraban Nirwati baludru wungu | palisir cindhe puspita | suku pat pinancal sami ||

17. mila wêrdi kang kinarya | buntut kuncung satugêl dèn nilani | gêgarudhan êbègipun | Radèn Sukra busana | golang-galing ijo apan nyampingipun | paningsêt jingga renda mas | akuluk cêmêng pênitis ||

18. sadasa lêr kaitira | arja dhuwung sarungan pêltuk wilis | ukiran cula sinêmu | amêndhak parijatha | yèn sinawang warnane tuhu binagus | solahe luwês sêmbada | kadi putra Dwarawati ||

19. Radèn Sukra sigra mêdal | panakawan rongpuluh kang angiring | êmban kêkalih tan kantun | sapraptanirèng jaba | nulya nitih rahadèn turôngga sampun | siriging kuda angêpyah | samarga-marga sêsirig ||

20. kang sinêdyèng Kapugêran | pungkurane sinêdya pinaripit | banon patamananipun | kang ngalèr pinggir margi | têtêrusan pinggir lèpèn prênahipun | gantya ingkang kawarnaa | kang anèng ing tamansari ||

21. kang lagya ngewan ing raka | Radèn Ayu Lêmbah nèng langonsari | mêntas siram sang rêtnayu | pan sampun kalih côndra | dènnya anèng Kapugêran sang dyah ayu | atajin dhahar lan nendra | kang cahya saya dumêling ||

22. kadya wêwangun lêpihan | risaking kang sarira wimbuh manis | anglonging jôngga ngêguwung | kadya layoning noja | netra balut dhahar sarene sinatru | soca lir intên pinêcah | waja lir mirah inganggit ||

23. sèngga pradapa sinêmpal | anglir kontal kanginan sang rêtnadi | madyanira kadya putung | lir murca kêdhèpêna | kang wadana sawang gêbyaring sitangsu | ping patbêlas karainan | piningit ing ima nipis ||

24. riyêm-riyêm asung brôngta | yèn lingiring winor kêjêring alis | angilat thathit abarung | pantês dadya la-êla | yèn lumampah gandrung-gandrung asung wuyung | akèh modin buwang sêrban | andulu yèn mingis lathi ||

25. mangkana wau sang rêtna | apan lagya sinurèng marang dasih | rema rawuh ing jêjêngku | lir mega ôndrawela | dènnya lênggah sang rêtna munggwing ing panggung | asinjang cindhe kananga | asamir jingga tinêpi||

26. kagyat sang rêtna umiyat | wontên janma nitih kuda sêsirig | lir badhaya kudanipun | maripit pagêr bata | kang angiring têbih lawan sang binagus | sang rêtna alon ngandika | hèh ragane sapa iki ||

27. bola-bali dènnya têgar | ngetan ngulon angungak tamansari | wong ing êndi baya iku | sang rêtna sigra têdhak | saking panggung êmban kêkalih umatur | kalamun raka paduka | sampun age têdhak gusti ||

28. sang rêtna alon ngandika | dudu kangmas dene kang ngiring kêdhik | lan môngsa panglinga ingsun | iya maring kakang mas | nadyan silih nganggea cara kumêndur | pan ingsun môngsa panglinga | wong iki nganyar-anyari ||

29. sang rêtna wus praptèng ngandhap | mundhut ôndha banon wus dèn andhani | minggah ing ôndha sang ayu | jaja manglung ing bata | duk samana pukul lima wayahipun | kang candhikala sumirat | kang surya wus sirat kuning ||

30. manglung ing bata sang rêtna | ngalèr ngilèn kang surya narawungi | wadana katlorong mancur | Radèn Sukra wus nyêpak | apan sarêng dènira dulu-dinulu | anglir panjang putra tiba | ing sela kumêpyur sami ||

31. kalihe tanpa jamuga | Radèn Sukra sinamur asêsirig | tumingal ing sang dyah ayu | ngadêg suraning driya | tan aetang pati amilanga tatu | lêbura kadya pratala | sun labuhe lara brangti ||

Pupuh 122: Asmaradana

1. êmbanira sang lir Ratih | sajuga tumut nèng bata | ingkang kinèn atêtakèn | hèh bagus manira tanya | ingutus mring sang rêtna | sintên wêwanginirèku | sumaur Rahadèn Sukra ||

2. kawula sutaning patih | Sukra kalareyaningwang | Natadirja araningong | nanging durung pati karan | maksih karan pun Sukra | sang rêtna ngandika asru | hèh kalingane Si Sukra ||

3. warnanira tuhu pêkik | nanging dêksura ing tingkah | nora angeman baguse | yèn sira kawênangana | mring kangmas adipatya | pasthi yèn gulumu jabud | wong dêladag nora prênah ||

4. Radèn Sukra anauri | baguse môngsa karia | lan pangran dipati anom | wania takêr ludira | nadyan dèn karubuta | sun nêdya akuthah marus | atandhinga ing ayuda ||

5. apan sêdya sun langèni | busur lêmbing lan gudebag | ganjure wong kadipatèn | pan sarwi nyamêthi kuda | turôngga nandêr nongklang | kang tinilar kari mangu | gêgêtun ing polahira ||

6. mudhun saking banon aglis | sang rêtna alon ngandika | Si Sukra edan anglamong | baya kêna sèpi anyar | owah panduganingwang | apa ika wong akaul | êmbane kalih tur sêmbah ||

7. gusti kawula watawis | Radèn Sukra kados kalap | andulu warnayu kaot | dhuh lae sintên-sintêna | mulat marang andika | pasthi pêrkangkang-pêrkungkung | yèn tan pêjah dados edan ||

8. mung gusti pangran dipati | anggèr raka jêngandika | tuhu wong anèh nyêrwètèh | andulu wong kadi kilang | têka ewa kêwala | yèn ta sampuna wong agung | kalêbu wong gêgêmblungan ||

9. Radèn Sukra kang winarni | apan dèrèng kongsi têbah | cêngkelak wus balik manèh | turangganira anyongklang | prapta maripit bata | tiningalan tan kadulu | kang manglung munggèng lalean ||

10. rahadyan wus kondur aglis | sariranira marlupa | amandhêg mangu lampahe | amung kang manglung ing bata | gumantung ing wardaya | cumanthèl anèng ing musuh | wus prapta ing dalêmira ||

11. têdhak saking ing turanggi | nulya nibèng pasarean | tanbuh raose manahe | kasabêt ngasmarasila | datan lyan kang kacipta | amung kusumaning ayu | kang asung lara wigêna ||

12. ing wanci wus sirêp janmi | sigra têdhak Radèn Sukra | dhatêng patamanan age | karsa anglêlipur brôngta | nuju tanggal ping sanga | miyêt riyêm ing sitangsu | mênggah ngêsah Radèn Sukra ||

13. êmbane kalih ngulari | Patrawisa Singananda | gustine kapanggih kêbon | sêsèndhèn jambu drêsana | êmban kalih glis prapta | matur dhatêng gustinipun | anggèr sampun agêng brôngta ||

14. emuta paduka abdi | nagari ing Kartasura | jêng pangeran kang adarbe | sanadyan pinêjahana | sampun lêngganèng karsa | apan sampun yogyanipun | gusti kang ganjar aniksa ||

15. Rahadèn Sukra ambêkis | hèh bapa têka mênênga | apan sun labuhi dhewe | nadyan ginawea lesan | mangsaa nyênyambata | lêhêng tumêka ing lampus | yèn tan panggih lan sang rêtna ||

16. bapa sun arsa mêmaling | andhustha mring Kapugêran | sun anjujug ing lêlangon | ênggone sang kadi rêtna | arsatur pêjah gêsang | mring sang kusumaning ayu | kang dukani wong têtêgar ||

17. êmban kalih anungkêmi | anggèr sampun sapunika | dene ngeman sarirane | Rahadèn Sukra amêksa | sampun anyandhak katga | aglis mentar sang abagus | êmbane kalih tut wuntat ||

18. lampahira aglis prapti | sira wau Radèn Sukra | êmban kalih nèng wurine | sampun ngampit pagêr bata | ya ta Rahadèn Sukra | wus amatêk èlmunipun | banon ingusap wus rata ||

19. rahadyan lumêbêt aglis | Patrawisa Singananda | tansah ngampingi gustine | saha matur Patrawisa | anggèr paran ing karsa | langkung dening samaripun | kang manah maras kewala ||

20. dèrèng sêmadosan gusti | paduka kesah mêmara | mila kalangkung marmane | lamun tumêkèng antaka | yêkti patine nistha | bok inggiha sang abagus | ngirib lampahing satriya ||

21. sampun ambêbêkta gusti | dhatêng rama jêngandika | Rahadèn Sindurja anggèr | kalokèng rat pramudita | amupugi ngaguna | dadya pêpatihing ratu | sudira yèn ulah yuda ||

22. ing sêmu sampun winasis | limpat pasanging graita | tuhu tan wontên cacade | mangkya lampahe kang putra | anglir wong ngambil mina | tirta lêbête kalangkung | datan ambêkta wisaya ||

23. tuwas buthêk ingkang kali | ulame môngsa kênia | lir sadpada upamane | angrabasèng ing puspita | sêkare tiwas rusak | datan kenging sarinipun | yèn jamake kang satriya ||

24. yèn karsa anyidrèng rêsmi | yêkti akarya jaruman | sinung yatra myang pangangge | punika kang dados marga | katon satriya wignya | wasis anyidra ing lulut | dadya sae piniarsa ||

25. Radèn Sukra ngandikaris | hèh bapa têka mênênga | datan sêdya mangke ingong | lamun akarona jiwa | lawan kang angsung brôngta | nanging lêgane tyas ingsun | wikana sakêdhèp netra ||

26. lawan kusumaning adi | kang dukani wong têtêgar | ancur gêdhah awak ingong | bapa yèn sun rasa-rasa | pawartagêng ungaran | karungrungan awak ingsun | yèn tan miyat ing sang rêtna ||

27. sirap siti sun wastani | biyadaning Kapugêran | gumêndhèng kagungan bae | ingsun prapta datan mêdal | panu biru ing jaja | yèn asiha kusumayu | sun tohi takêr ludira ||

28. angaub ngisor kumuning | cinarita Radèn Sukra | kajêng kajênar sirage | rinungrum ingaras-aras | pinindha lir sang rêtna | tinon solahe sang bagus | kadya wong kunjana papa ||

29. êmbane kalih nungkêmi | Patrawisa Singananda | langkung wêlas ing gustine | ature amêlasarsa | dhatêng Rahadèn Sukra | anging sira sang abagus | supe ing purwa duksina ||

30. kang wayah wus lingsir wêngi | Radyan Sukra sinambêran | têtêkak têtuhu bênce | ngingis samya aliwêran | tyasira Radèn Sukra | datan amiris sarambut | lir wong nayub kinêplokan ||

31. ya ta kawarnaa malih | sira Radèn Ôntawirya | samya lang-lang lan arine | datan eca manahira | dingarène ing taman | sinambêran ing têtuhu | bênce kalawan têtêkak ||

32. rahadèn wus sikêp tamsir | sigra mentar dhatêng taman | Rahadèn Sôngka sirage | lawan Rahadyan Sudama | anusul maring raka | katri dhatêng tamansantun | ngidêri dalêming raka ||

33. Rahadèn Sukra udani | lamun para putra lang-lang | sampun mingsêr saking gène | kapirsa karosakira | mring Radèn Ôntawirya | ingulap-ulap kadulu | aglis sira pinaranan ||

34. duratmaka lumaywaglis | binuru dene rahadyan | kinêpung lawan arine | nyalimpêt Rahadyan Sukra | para putra narajang | swarane pating barêkuh | datan asuwarèng bala ||

35. Radèn Martatruna angling | hèh yayi Sudama sira | amundhuta obor age | ingkang rayi sigra mentar | prapta ing pasaosan | aglis mundhut obor sampun | wangsul dhatêng pakêbonan ||

36. kang saos arsa tut wuri | ingampah dening rahadyan | dadya sami ajrih kabèh | sami prayitna sadaya | samêkta nèng mandhapa | Radèn Sudama glis rawuh | ing prênahe ingkang raka ||

37. oborira pan cinangking | duratmakaglis malaywa | naracag pagêr batage | Patrawisa Singananda | tiba ajumpalikan | asambat ing gustinipun | wus prapta jawining bata ||

38. dyan Ôntawirya ningali | yèn duratmaka wus mêdal | anulya sinusul age | lalean gya linumpatan | sampun prapta ing jaba | rahadyan asru amuwus | hèh maling sira mandhêga ||

39. yèn sira tuhu prajurit | anacak wong Kapugêran | lah antènana ywa anglès | ayo padha tamèng jaja | agênti acuriga | takêr ludira lan ingsun | payo atandhing prawira ||

40. sakathahe para ari | langkung watir dhatêng raka | arsa anusul karsane | tan sagêd malumpat bata | dadya alok kewala | ingkang wadya samya tulung | pating balêbêr malaywa ||

41. wadya Sindurja nadhahi | nyêgat lêlurung angraman | kadya raina obore | kagyat wong Kasindurêjan | miyat ing Radèn Sukra | angêmpêd dènnya lumayu | katiga lan êmbanira ||

42. ambêkane mêmpis-mêmpis | wadyabala Kasindurjan | sami anggraitèng tyase | Sukra sampun ingalingan | Rahadyan Ôntawirya | tan adangu sigra rawuh | ing ênggonira wong kathah ||

43. wadya parêng miyat sami | dhatêng Radyan Ôntawirya | parêng mêndhêt ing ngarsane | sakalangkung ajrihira | wênèh matur anêmbah | kadospundi wartinipun | dhatêng pundi ingkang dhusta ||

44. wadya sami matur aris | dhumatêng pundi kang dhusta | Radèn Ôntawirya linge | marene mau parannya | katri kang duratmaka | wadya Kasindurjan matur | datan wontên katingalan ||

45. kawula nyêgat ing margi | pandung datan wontên lintang | bilih dhatêng lèpèn anggèr | plajêngipun duratmaka | Rahadèn Ôntawirya | sampun ingaturan kondur | dhatêng Kiyai Jadrêma ||


[1] Anglir panjang putra tiba ing sela, seperti gerabah jatuh ke batu, pepatah Jawa lama.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2021/12/27/babad-tanah-jawi-bp-kisah-sukra-lembah-4/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...