Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (BP): Kisah Sukra-Lembah (2)

 Sang Prabu berkata pelan, “Dinda permaisuri, putramu bawalah ke gandok barat.”

Kedua istri menyembah, segera membawa kedua mempelai ke gandok barat. Sudah dipertemukan sang putri dan sang tampan, terlihat keduanya seperti Kamajaya dan Ratih. Kedua ibu permaisuri sangat suka hati, mengapit kedua mempelai. Di hadapan mereka duduk berjajar para istri punggawa. Terlihat air mata sang putri jatuh di pipi karena rasa hati yang bercampur. Setelah hari menjelang sore kedua pengantin dipersilakan masuk ke peraduan.

Pangeran tak sabar dalam hati, lalu disambut sang putri dengan menepis tangan pangeran. Pangeran kembali hendak merangkul sambil merayu dengan kata-kata semanis madu. Katanya, duhai tuanku, sudah sepantasnya orang cantik banyak pujian, tetapi sungguh membuat jatuh cinta. Tak diceritakan yang terjadi selanjutnya, pangeran semalam tidak tidur, hanya selalu membujuk-bujuk istrinya yang selalu menolak. Tetapi pangeran sudah berpengalaman dalam menaklukkan wanita. Tampaknya kehendaknya pun kesampaian. Matahari sudah terbit.

Sudah selesai yang memadu kasih, pangeran duduk berdua. Ibu suri datang disambut oleh keduanya. Sang putri lalu dirias, dan keduanya dihadapkan sang Raja.

Sangat suka hati Raja, berkata kepada Raden Ayu Sindureja, “Hai Dinda, ayo segera iringilah kedua putramu ini.”

Kedua putra menghaturkan sembah, segera beranjak keluar. Ibu suri mengantar sampai ke luar. Keduanya menuju kediaman Pangeran Puger.

Tak berapa lama sampailah mereka di Kapugeran. Pangeran Puger menyambut kedua putra, diiringi semua istri dan putra-putra Kapugeran. Kedatangan sang raja putra diiringi beberapa prajurit berkuda, yang segera turun dari kuda masing-masing. Dan sang putri turun dari tandu, segera disambut sang ibu.

Sang putra raja sungkem kepada sang paman, lalu dipersilakan masuk ke dalam rumah, juga para istri tumenggung yang mengiringi pangeran. Tak ketinggalan para bupati yang dipimpin Pangeran Arya Mataram dan Pangeran Panular. Peristiwa besar ini ditandai dengan sengkala tahun: wong kekalih ngobahaken jagad[1]. Setelah itu para punggawa bersuka-suka dengan pentas tayub di Kapugeran. Suasana di Kapugeran riuh oleh sorak-sorai kegembiraan dari para punggawa dan yang hadir.

Setelah semalam di Kapugeran, sang putra raja kembali ke kediamannya di kadipaten diiringi semua punggawa. Sudah sampai mereka di kadipaten, pesta berlanjut semalam dengan main dadu. Paginya para adipati bubar pulang. Sementara itu, sang pengantin selalu memadu kasih.

Pangeran Adipati berkenan memanggil sang adik Raden Sudira ke kadipaten sendirian. Tampak sangat kasih sang pangeran kepada sang adik ipar itu. Sang putra raja duduk di bangku emas, berjajar tak pernah pisah dengan istrinya. Raden Sudira sudah menghadap, sang pangeran berkata manis.

“Majulah mendekat ke sini Dik. Apakah engkau sudah punya nama?”

Sang adik menjawab, “Sudah, yakni Suryakusuma.”

“Siapa lagi adik lain yang sudah punya nama?”

Raden Sudira menyembah, “Adik Papak sudah bernama Raden Antawirya, Dik Mesir bernama Raden Martataruna, Dik Kawa diberi nama Raden Dipataruna.”

Pangeran berkata lagi, “Adikmu si Surya sekarang namanya siapa?”

Raden Sudira menyembah, “Adik Surya sekarang bernama Suryaputra, masih membawa nama kecilnya.”

Pangeran tampak tidak suka, menarik nafas lalu berkata, “Tidak lazim bernama Suryaputra, seperti gubernur saja. Beritahu dia aku beri nama Wangsataruna, itu lebih baik, jangan Suryaputra.”

Pangeran selama ini memang tidak suka melihat Raden Suryaputra. Di antara saudaranya putra-putra Kapugeran memang hanya satu Raden Sudira inilah yang dikasihi. Bahkan dengan pangeran boleh tidak memakai bahasa halus, hanya bahasa ngoko saja.

Raden Suryakusuma sudah diijinkah pulang, sang putri melirik, pelan berkata, “Kakanda permintaanku jangan seperti itu kepada saudaraku. Kok kesannya menyia-nyiakan. Siapa yang sebaiknya direpotkan kelak (kalau bukan saudara), lainnya takkan sanggup. Mana ada nama kok dilarang, baru ada yang seperti paduka ini. Lazimnya saudara ipar diangkat kedudukannya, bukan malah mengganti nama Suryaputra menjadi Wangsataruna. Sayang sekali saudaraku orang gagah-tampan diberi nama Wangsataruna.”

Sang Pangeran tersenyum berkata pelan, “Tidak Dinda, memang sudah pantas memakai nama Wangsataruna saja. Tanda bahwa saudaraku.”

Sang putri menjawab, “Duh pintar sekali bersilat lidah, walau maksudnya baik tetap lahirnya buruk. Nama Wangsataruna patutnya untuk orang desa.”

Sang putri sakit hati tetapi dipaksakan gembira, di dalam luka hatinya. Sementara itu Raden Suryakusuma sudah sampai di Kapugeran, sudah bertemu dengan para saudaranya. Kepada mereka dikatakan kalau nama Suryaputra diganti oleh pangeran menjadi Wangsataruna. Raden Suryaputra tak berkata sepatah pun, hanya terlihat berlinang air mata.

Sang kakak menghiburnya, “Jangan seperti anak kecil, jangan susah hatimu. Orang mengabdi sudah lazim menurut kehendak tuannya. Laksanakan saja bahkan kalau diberi nama Nitikerti. Siapa tahu kelak Allah yang Maha Agung membuat engkau dan aku lebih unggul, yang demikian gampang saja. Sekarang laksanakan saja. Kakak tadi terlihat sakit hati. Aku kira setelah kepulanganku terjadi pertengkaran oleh sebab pergantian namamu. Ayo sekarang menghadap ayah untuk melaporkan kalau namamu diganti Wangsataruna.”

Mereka segera berangkat menghadap ayahandanya.

Sesampai di hadapan sang ayah mereka menyembah seraya melaporkan bahwa nama Suryaputra sudah diganti menjadi Wangsataruna oleh sang kakak Pangeran Adipati.

Sang ayah berkata pelan, “Tidak mengapa, sudah lazim orang mengabdi harus menurut kehendak tuannya. Bagaimanapun engkau diperlakukan jangan sampai masygul hatimu. Meski engkau kecil tidak akan terhalang kehendak Yang Maha Tinggi karena Dia yang menciptakan makhluk. Buruk atau baik itu kehendak dari Tuhan, janganlah sakit hatimu. Karena memang dia yang berkuasa di tanah Jawa dan merasa engkau mengabdi, tak boleh engkau memilih. Durhaka anakku kalau engkau punya sakit hati. Serta engkau Sudira, yang bisa engkau mengabdi tuan, jangan karena saudara ipar tuan lalu berbuat yang bukan-bukan kepada sesama. Jangan karena engkau dikasihi, hai Sudira, engkau yang waspada. Ingat jangan menyimpang karena orang menyimpang durhaka besar. Pertama durhaka kepada Tuhan, kedua durhaka kepada saudara tua dan ketiga durhaka kepada tuan.”

Kedua putra menyembah sambil berlinang air mata. Sang ayah melanjutkan, “Hai Sudira melaporlah segera karena engkau seorang utusan. Jangan sampai engkau berlama-lama.”

Kedua putra meninggalkan sang ayah, Raden Sudira segera kembali menghadap pangeran untuk melaporkan bahwa semua perintah telah dilaksanakan. Pangeran terlihat tersenyum puas.

Ganti yang diceritakan. Balatentara yang sedang menyerang Gentong, dibawah pimpinan Adipati Madura, kedatangan utusan yang membawa surat dari Sang Raja. Utusan sudah ditemui di malam hari dan surat sudah diterima. Pangeran Adipati Madura segera memberi perintah kepada seorang mantri bernama Rangga Malangjiwa yang ditunjuk melaksakan tugas diutus ke Pasuruan.

Sementara itu para balatentara sudah dikumpulkan Adipati Surabaya yang duluan datang, dan semua segera berkumpul. Semua diberitahu bahwa barisan dibubarkan untuk kembali ke Kartasura. Karena sudah hampir sewindu mereka berperang.

Di lain tempat utusan Adipati Madura Ki Malangjiwa sudah sampai di Pasuruan melalui jalur belakang dan bertemu dengan Raden Untung Surapati.

Barisan balatentara Adipati Sampang dan Adipati Surabaya serta tentara dari pesisir utara sudah mulai berangkat ke Kartasura. Ki Malangjiwa sudah kembali bergabung dengan barisan Madura. Terus berjalan sampai di Semanggi dan setelah istirahat sebentar terus melaju ke Kartasura. Yang dituju adalah kediaman Patih Sindureja, untuk berhenti sebentar mempersiapkan diri ke istana.

Gandek datang dari istana untuk menyambut, kedua adipati dan Patih Sindureja segera dibawa ke istana untuk menghadap baginda Raja. Sang Raja sangat suka hati.

Sang Raja berkata, “Sudah sangat rindu hatiku kepada kalian, karena sudah sewindu tidak bertemu.”

Adipati Madura dan Adipati Surabaya sudah diberi hadiah busana yang indah-indah dan karena sudah malam diinjinkan untuk kembali ke tempatnya masing-masing. Bersambung ke bagian 3.

Teks Asli:

90. sri narendra angandika aris | yayi pramèswari putranira | bêktanên mring gandhok kilèn | garwa kalih wotsantun | ingkang putra binakta aglis | wus pinanggihkên sang dyah | lawan sang abagus | katuwon ing warnanira | yèn dinulu lir Kamajaya lan Ratih | kang ibu suka ing tyas ||

91. pramèswari ngapit kanan keri | tuwin sagung rabining punggawa | atap andhèr ing ngarsane | sang dyah ayu tumungkul | waspa mijil lantaran pipi | kathah karasèng driya | sira sang dewayu | kang wayah wus sirêp janma | rajaputra ngaturan mring tilamsari | lawan kusuma rara ||

92. jêng pangeran tan daranèng kapti | adan sinambut kusuma rara | sang dyah asru ngipatake | rajaputra angrangkul | sarya ngungrum angarih-arih | sor madu pinasthika | wijiling pamuwus | dhuh gustiningsun kusuma | wus pantêse wong ayu langkung pêpuji | nanging akarya brôngta ||

93. tan kawarna polahirèng ratri | jêng pangeran sadalu tan nendra | tansah ngimur ing garwane | sang dyah amiwal kayun | rajaputra baut ing rêsmi | tansah amriyêmbada | ingaras sang ayu | tan cinatur solahira | sampun walèh ing sêmu sampun andugi | wus mijil hyang aruna ||

94. sampun wêdhar kang apulang rêsmi | rajaputra lênggah akalihan | ibu sori prapta age | ingkang putra sinambut | kusumayu glis dèn pahyasi | wus binakta ing ngarsa- | nira jêng sang prabu | putra kalih atur sêmbah | anungkêmi ing padanira narpati | trusthèng tyas sri narendra ||

95. sang sinuhun angandika aris | marang Radèn Ayu Sindurêja | hèh ari payo dèn age | putranta karo iku | sira iringêna dèn aglis | sigra putratur sêmbah | tuwin sang dewayu | sumungkêm ing pada nata | dyan lumèngsèr bu sori ngatêr ing wijil | wus lêpas lampahira ||

96. tan dangu ing Kapugêran prapti | jêng pangeran mêthuk wijil pisan | tuwin para atmajane | ingkang garwa tan kantun | samya milwa mêthuk ing wijil | rajaputra gya prapta | kang wadya gumuruh | têdhak saking ing turôngga | tuwin sang dyah tumurun saking ing joli | cinandhak ibunira ||

97. rajaputra aglis anungkêmi | maring paman nulya ingaturan | lumêbêt maring dalême | myang rabining tumênggung | samya ngiring ing radèn mantri | ingkang para punggawa | bupati tan kantun | saos wontên ing pasowan | kang malihi Pangeran Arya Matawis | myang Pangeran Panular ||

98. sinangkalan duk kala apanggih | wong kêkalih ngobahakên jagat| ya ta warnanên solahe | lajêng samya anayub | sakathahing para bupati | wontên ing Kapugêran | swaranya gumuruh | atandhak araran-raran | kang gamêlan swaranya asri ngrêrangin | surakipun sauran ||

99. nahan ratri kawarnaa enjing | rajaputra lawan ingkang garwa | mantuk dhatêng kadipatèn | sakèhing punggawagung | samya ngiring ing radèn mantri | wus praptèng dalêmira | kasukan sadalu | enjing kang para dipatya | bubar mantuk ya ta wau radèn mantri | tansah karon asmara ||

100. ingkang rayi sampun dèn timbali | wau sira Rahadèn Sudira | pinundhut mring kadipatèn | ari tan wontên tumut | mung Radyan Sudira pribadi | sira sang pinangeran | kalangkung sihipun | enjing mangkya kawarnaa | rajaputra sinewa ing madèrukmi | kalihan ingkang garwa ||

101. tan kêna sah lan garwa dyan mantri | animbali ing Radèn Sudira | tan dangu praptèng ngarsane | pangran ngandika arum | dèn kapara ing ngarsa adhi | sira wus duwe aran | kang rayi umatur | inggih pun Suryakusuma | sapa manèh si adhi kang wis sêsilih | Radèn Sudira nêmbah ||

102. pun adhi mas Papak asêsilih | winastanan Radèn Ôntawirya | pun adhi Mêsir namane | pun Martatarunèku | pun adhi mas Kawa sinilih | Radèn Dipataruna | nênggih wastanipun | pangeran malih ngandika | arinira Si Surya sapa ing mangkin | Radèn Sudira nêmbah ||

103. pun adhi mas Surya pan sêsilih | akêkasih Radèn Suryaputra | taksih anyangking timure | pangran ewa angêmpus | nora jamak anggêgilani | jêjuluk Suryaputra | de kaya gurnadur | warahên sun awèh aran | sun arani Si Wôngsatruna abêcik | ywa aran Suryaputra ||

104. salamine pan ewa ing galih | aningali Radèn Suryaputra | Pangeran Dipati Anèm | tuwin sakadangipun | apan inggih amung satunggil | putra ing Kapugêran | Radèn Sudirèku | punika kang kinasihan | datan sinung abasa-binasan nênggih | kokon-kokon kewala ||

105. Radèn Suryakusuma wotsari | mêsat saking karsane kang raka | sang rêtna nglèrêk netrane | alon dènira matur | dhuh kakang mas nênêdha ugi | bok sampun sapunika | marang kadang ingsun | sêmune asiya-siya | sintên yogyanipun ingkang dèn êmpèki | liyane kang kawawa ||

106. ngêndi ana jênêng dèn larangi | lagya tumon kang mas kadya dika | kang jamak duwe pra ipe | jinunjung lungguhipun | mundur têka anyênyalini | wong jênêng Suryaputra | andadak dèn lungsur | dèn salini Wôngsatruna | eman-eman sadulurku wong ambênthing | ajênêng Wôngsatruna ||

107. ingkang raka mèsêm ngandikaris | nora yayi pan uwis prayoga | jênêng Wôngsatruna bae | tôndha yèn kadang ingsun | radèn ayu nauri bêngis | dhuh lae padujiwa | dikanthongi iku | nadyan kalbune pênêda | jêr laire ala patute wong dèsi | jênênge Wôngsatruna ||

108. radèn ayu sakit jroning galih | nanging sinamur ing lair suka | ing jro anjarêm galihe | ya ta wau winuwus | Radèn Suryakusuma prapti | ing dalêm Kapugêran | wus panggih rinipun | rahadèn aris dêlingnya | adhi êmas jênêng para dèn salini | dening pangran dipatya ||

109. Suryaputra iku kang dèn êlih | pinaringan sira Wôngsatruna | jêng pangeran timbalane | paran aturirèku | Radèn Suryaputra tan angling | kumêmbêng waspanira | rahadèn wêtu luh | kang raka alon dêlingnya | sira iki mundur kaya bocah cilik | ja susah nalanira ||

110. wong ngawula wus jamake adhi | iya apa sarèhing bêndara | ya adhi linakon bae | dèn aranana iku | Nitikêrti padha nglakoni | pirangbara ing benjang | yèn Allah kang Agung | agawe unggul ing sira | lawan ingsun dene ta têka agampil | ing mêngko linakonan ||

111. kakang êmbok mau liwat runtik | sun watara ing sapungkur ingwang | pasthi yèn dadi padune | ya dening sira iku | payo adhi marêk ing kyai | sun arsa atur wikan | prakara sirèku | yèn linungsur jênêngira | sinalinan Wôngsataruna ing mangkin | sigra sarêng umangkat ||

112. praptèng ngarsaning rama dyan kalih | manganjali alon aturira | ambatur wikan jatine | pun adhi wastanipun | Suryaputra dipun salini | dhatêng kangjêng pangeran | dipatya ing wau | putranta kaparing aran | Wôngsatruna kang rama ngandika aris | ya nyawa kinapakna ||

113. wus jamake wong ngawulèng gusti | pan tinurut sarèhing bêndara | pira-pira sinaruwe | aywa masgul ing kalbu | dumèh sira ingaran cilik | pinalang karsanira | pan Hyang Mahaluhur | iku kang agawe titah | ala bêcik apan karsaning Hyang Widi | aja sak atinira ||

114. apan iku kang kawasèng Jawi | angrasaa yèn sira ngawula | tan kêna andum amilèh | duraka sutaningsun | lamun sira duwe saksêrik | miwah sira Sudira | dèn bisa nakingsun | babo suwitèng bandara | aja dumèh yèn kadang tur ipe gusti | pan ya dudu sêsama ||

115. aja dumèh babo dèn kasihi | hèh Sudira sira dèn prayitna | poma aja duwe sèdhèng | wong cidra durakagung | ingkang dhihin durakèng Widi | kapindho iku kadang | nyawa kadang sêpuh | kaping têlune bêndara | putra kalih kumêmbêng sumungkêm siti | kang ramalon ngandika ||

116. hèh Sudira sebaa dèn aglis | apan sira iku wong dinuta | têka sira suwe-suwe | putra kalih wotsantun | lèngsèr saking ngarsèng ramèki | ya ta Rahadèn Surya- | kusuma pan laju | wus prapta ing kadipatyan | tumamèng jro kapanggih lan sang apêkik | Radèn Sudira nêmbah ||

117. ulun dinuta pan sampun prapti | andhawuhkên timbalan paduka | dhatêng pun adhi wiyose | sandika aturipun | ya ta mèsêm pangran dipati | sigêgên kang winarna | wau kang anglurug | nèng Gênthong wus ingandikan | mantri anom kang lumampah animbali | mundhi surat narendra ||

118. lampahira tan kawarnèng margi | gancanging kang carita wus prapta | ing pabarisan jujuge | Dipati Madurèku | wus tinampan dutèng narpati | unggyan sampun pinarnah | pinanggihan dalu | kang surat wus tinampenan | tinupiksa kadhadha raosing tulis | pangeran wus anduga ||

119. mantrinira kang andêl ing rêpit | akêkasih Rôngga Malangjiwa | ingkang tinuduh ing gawe | apan titir ingutus | marang Pasuruan arêpit | Ki Rôngga Malangjiwa | wus prapta ing ngayun | wus uningèng karyanira | wus winêling mêsat saking ngarsanèki | tanpa rowang lampahnya ||

120. kawarnaa wau sang dipati | saungkure ponang dutanira | amêpak dipati kabèh | dipatyèng Surèngkèwuh | wau ingkang prapta rumiyin | pan sampun sami prapta | sakèh punggawagung | sadaya wus ingundhangan | lamun ingandikan bubarakên baris | lumakwèng Kartasura ||

121. apan kocap ing caritèng nguni | laminira dènnya bêbarisan | wus jangkêp ing sawindune | wau ta kang winuwus | dutèng Sampang pan sampun prapti | nagari Pasuruan | praptane ing dalu | lajêng mêdal bêbutulan | wus apanggih lawan Radèn Surapati | gantya kang winursita ||

122. nênggih kang ambubarakên baris | dipati ing Sampang Surapringga | tuwin wong pasisir kabèh | swaranira gumuruh | kèhing wadya datanpa wilis | kêbut sagung dipatya | saèngga kasusu | wong cilik pan rêreyongan | dêdamêle Surapati sampun prapti | angobong pabarisan ||

123. Rôngga Malangjiwa sampun prapti | wus amomor lan wadyèng Madura | anglarug wadya lampahe | datan kawarnèng ênu | sampun prapta anèng Samanggi | pan rêrêb sanalika | saksana alaju | wus prapta ing Kartasura | ing Kasindurjan sagunging pra dipati | gyanira tata karya ||

124. gandhèk prapta saking ing jro puri | dipati ing Sampang ingandikan | lawan ing Surabayane | Sindurêja tan kantun | nayaka tri sigra lumaris | wus praptèng dalêm pura | pan lajêng tumanduk | praptèng ngarsaning narendra | manganjali ing nata dipati kalih | sang narpati sru trustha ||

125. sri narendra angandika aris | lintang onêng ingsun marang sira | ngong mêngko pira lawase | apan uwis sawindu | wus pinaring busana adi | tuwin ki adipatya | ing Surabayèku | samya pinaring busana | wus kasaput ing dalu wotsari mijil | wus praptèng wismanira ||


[1] Sengkalan: wong kêkalih ngobahakên jagat artinya dua orang menggoyang jagad. Sengkalan ini berangka tahun 1621 A.J atau bertepatan dengan tahun 1697/1698 M.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2021/11/26/babad-tanah-jawi-bp-kisah-sukra-lembah-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...