Translate

Senin, 30 September 2024

Kajian Wulangreh (245): Prasapane Sultan Agung

 Pada (bait) ke-245, Pupuh ke-12, Sinom, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV.

Jeng Sultan Agung Mataram,
prasapane nora keni,
mring tedhake yen nitiha,
kapal bendana yen jurit.
Nganggo waos tan keni,
kang landheyan kayu wregu,
Datan ingaken darah.
yen tan bisa tembang kawi,
pan prayoga satedake sinauwa.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia:

Kanjeng Sultan Agung Mataram,
prasapanya tidak boleh,
bagi keturunannya kalau menunggang,
kuda nakal bila berperang.
Memakai tumbak tak boleh,
yang bergagang kayu wregu.
Tidak mengakui sebagai keturunan,
kalau tidak bisa tembang Kawi,
maka lebih baik bagi keturunannya belajarlah.


Kajian per kata:

Jeng (kanjeng) Sultan Agung  (Sultan Agung) Mataram (di Mataram), prasapane (prasapanya) nora (tiak) keni (boleh), mring (pada) tedhake (keturunannya) yen (kalau) nitiha (menunggang), kapal (kuda) bendana (nakal, tidak penurut) yen(kalau) jurit (bertempur). Kanjeng Sultan Agung Mataram, prasapanya tidak boleh, bagi keturunannya kalau menunggang, kuda nakal bila berperang.

Sultan Agung adalah raja ketiga Mataram, beliau adalah raja pertama yang bergelar Sultan. Lengkapnya gelar beliau adalah Sultan Agung Senapati Ing Ngalaga Ngabdurahman.  Beliau dipercaya sebagai raja terbesar Mataram. Pada masanya Mataram berada pada puncak kekuasaan, wilayahnya meliputi hampir seluruh Tanah Jawa kecuali kasultanan Banten dan Cirebon. Pada masanya juga diadakan dua kali serangan ke markas Belanda di Batavia, namun serangan itu gagal mengusir cikal-bakal penjajah itu.

Kanjeng Sultan Agung di Mataram mempunyai prasapa bagi anak keturunannya tidak boleh bagi mereka naik kuda nakal (bendana) jika berperang. Larangan ini tampak masuk akal dan semata-mata karena alasan teknis saja. Dalam perang dibutuhkan presisi dalam gerak, jika tidak maka bisa terekan senjata musuh. Kuda yang nakal dan tidak menurut akan sangat sulit dikendalikan pada saat seperti itu.

Nganggo (memakai) waos (tumbak) tan (tak) keni (boleh), kang (yang) landheyan (bergagang) kayu (kayu) wregu (wregu). Memakai tumbak tak boleh, yang bergagang kayu wregu.

Kayu wregu atau nama latinnya rhapis flabelliformis l’herit, juga dikenal dengan Palma Kipas, batangnya berbuku-buku seperti rotan, dengan daun menyerupai kipas.

Konon larangan ini akibat peristiwa yang menimpa Kanjeng Panembahan Adiprabu Anyakrawati, ayahanda Sultan Agung yang terluka sehingga menjadi sebab meninggalnya saat bertarung dengan banteng. Peristiwa mengenai hal ini dapat dibaca pada buku karya Ki Sabdacarakatama, yang berjudul Sejarah Keraton Yogyakarta.

Ketika itu di Krapyak sedang ada acara berburu kijang yang diikuti oleh sang raja, sekonyong-konyong datanglah banteng liar yang menuju ke arah  raja Mataram kedua itu. Dengan senjata tombak bergagang kayu wregu sang raja menombak banteng itu tepat di kepalanya. Namun karena serudukan banteng sangat keras gagang tombak sampai melengkung dan banteng itu menubruk raja sehingga tanduk banteng itu melukainya. Belakangan karena lukanya itu raja meninggal.

Datan (tidak) ingaken (diakui) darah (keturunan), yen (kalau) tan (tak) bisa (bisa) tembang (tembang) kawi (kawi), pan (maka) prayoga (lebih baik) satedake (seketurunannya) sinauwa (belajarlah). Tidak mengakui sebagai keturunan, kalau tidak bisa tembang Kawi, maka lebih baik bagi keturunannya belajarlah.

Prasapa ini juga bisa dimaklumi mengingat Sultan Agung adalah raja yang juga sastrawan. Salah satu karya beliau adalah serat Sastra Gendhing, yang berisi ajaran moral dan tatanegara. Jadi amat wajar kalau beliau mengeluarkan prasapa itu, semua itu agar anak-cucunya belajar bahasa Kawi agar budaya tulis-menulis yang telah beliau rintis lestari.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/12/12/kajian-wulangreh-245-prasapane-sultan-agung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...