Translate

Selasa, 24 September 2024

Babad Tanah Jawi (6): Negeri Pajajaran takluk, Radèn Susuruh tetap menjadi raja di Majapait sampai keturunannya

 Sementara itu di Galuh, Raden Arya Bangah yang tak lain adalah saudara tua Raden Sesuruh mendapat serangan dari raja Pajajaran. Arya Banyakwidhe mengerahkan pasukan mengobrak-barik Galuh. Seisi kota telah dijarah dan para warganya dibawa ke Pajajaran. Arya Bangah melarikan diri ke arah timur. Sangat mengenaskan keadaan Arya Bangah yang melarikan diri dari Galuh. Arya Bangah lalu menuju ke Majapahit. Sesampai di Majapahit Arya Bangah bertemu dengan sang adik Raden Sesuruh. Keduanya berangkulan melepas rindu.

Raden Sesuruh berkata, “Mengapa kanda datang sendirian? Apa yang terjadi?”

Arya Bangah mejawab sambil menangis, “Dinda, negeri Galuh sudah ditaklukkan Siyung Wanara. Semua diboyong ke Pajajaran. Diriku ini andai tertangkap sudah pasti juga dibunuh. Menurut berita Siyung Wanara juga akan menyerang Majapahit di musim kemarau besok ini. Sebelum kedahuluan sebaiknya dinda menyerang terlebih dahulu.”

Raden Sesuruh sangat kasihan melihat nasib sang kakak. Segera memanggil ketiga pamannya.

Raden Sesuruh berkata, “Paman Nambi, Paman Wiro dan Paman Bandar. Kumpulkan seluruh pasukan Majapahit. Kita rebut kembali Pajajaran.”

Singkat cerita, pasukan Majapahit sudah berhasil merebut kembali Pajajaran. Prabu Banyakwidhe berhasil diusir. Negeri Pajajaran dijarah dan penduduknya dibawa ke Majapahit. Ada tiga ribu orang yang dibawa. Jumlah itu menambah penduduk Majapahit menjadi seratus tujuh puluh ribu orang. Majapahit kini menjadi negeri besar.

Kini tanah Jawa tanpa seorang raja. Kyai Wira, Kyai Nambi dan Kyai Bandar menyarankan agar Raden Sesuruh berdiri sebagai raja di tanah Jawa berkedudukan di Majapahit.

Raden Sesuruh berkata, “Baiklah, aku ikut saran kalian.”

Raden Sesuruh lalu mengangkat diri sebagai raja dan berkota di Majapahit. Semua penduduk tanah Jawa tunduk dan patuh. Arya Bangah kemudian menjadi punggawa dengan berganti nama menjadi Arya Panular. Ki Wiro menjadi patih dengan nama Patih Wahan. Ki Bandar dan Ki Nambi diangkat sebagai mantri.

Sejalan berlalunya waktu Sang Raja telah mempunyai putra, namanya Prabu Anom. Ksatriannya berada di sebelah utara pasar. Raden Patih Wahan juga telah mempunyai putra yang bernama Adipati Udara dan ditempatkan di Kediri. Setelah Sang Raja wafat Prabu Anom menggantikan kedudukan sebagai raja di Majapahit. Patih Wahan masih hidup dan terus mendampingi raja muda sebagai patih.

Pada suatu hari Sang Raja bermaksud mengadakan acara berburu banteng. Patih Wahan menyarankan agar Sang Raja mengurungkan niatnya.

Berkata Patih Wahan, “Paduka, sebaiknya ditunda dulu keinginan berburu karena kawula Majapahit belum sepenuhnya tunduk kepada paduka secara merata. Kalau paduka berburu hati saya khawatir akan keselamatan paduka. Beda dengan ketika ayahanda menjadi raja dulu. Semua kawula Majapahit sudah tunduk. Adapun kepada paduka yang masih raja baru, belum sepenuhnya kawula Majapahit menerima. Kelak paduka bisa berburu bila hati para kawula sudah tunduk secara penuh.”

Prabu Anom sangat marah kepada Ki Patih karena keinginannya dicegah. Tampak dadanya memerah dan bibirnya bergetar, tanda kemarahannya memuncak. Ingin hatinya hendak menikam Ki Patih seketika. Sang Prabu Anom menahan diri, lalu masuk ke istana.

Ada seorang abdi dari kadipaten yang lama melayani Prabu Anom, namanya Ujungsabata, seorang lurah Kajineman yang diizinkan masuk ke pura. Dia melihat Sang Raja Muda Majapahit sedang marah. Segera Ujungsabata menyusul masuk ke istana.

Berkata Ujungsabata, “Paduka, hamba lihat perkataan Ki Patih tadi sangat merepotkan paduka. Tidak ada di Majapahit ini orang yang berani menentang paduka kecuali Patih Wahan. Tampaknya dia kecewa ketika mengabdi kepada ayah paduka dulu. Belum puas mendadak ayah paduka mangkat. Kini setelah paduka yang menjadi raja tampaknya Patih Wahan hendak berulah. Ki Patih dulu pernah berjanji untuk sehidup semati dengan ayah paduka. Ketika ayah paduka wafat mengapa Ki Patih tak berbela mati. Itu sudah satu dosa. Maka dosa Ki Patih sekarang ada dua, pertama melawan raja dan yang kedua ingkar janji kepada raja terdahulu. Lebih baik Ki Patih segera dikirim ke surga.”

Sang Prabu Anom merasa gembira mendengar usul Ujungsabata. Sebilah keris kemudian diserahkan Sang Raja kepada Ujungsabata, nama keris itu Kyai Jangkungpacar.”

Berkata Sang Raja, “Keris ini masukkan ke sarungnya di Kepatihan.”

Ujungsabata tanggap dan segera berangkat. Kira-kira hampir waktu tengah malam Ujungsabata sudah sampai di Kepatihan. Malam itu Ki Patih Wahan belum tidur. Ki Patih sudah merasa sesuatu akan menimpanya.

Berkata Ki Patih kepada sang istri, “Dinda, berhati-hatilah karena akan ada pencuri. Sudah kehendak dewata umurku hanya tinggal semalam ini. Kalau nanti malam nyawaku diambil, jangan engkau bersedih. Andai aku tidak mati malam ini, pasti umurku masih panjang. Namun Sang Prabu Anom mengikuti perkataan durhaka dari Ujungsabata. Seorang durjana mengapa dituruti nasihatnya oleh Sang Raja. Aku hendak bersembunyi di atas tempat tidurku. Semua warga Kepatihan bangunkanlah agar berjaga.”

Ki Patih lalu menuju ke tempat persembunyiannya. Di atas tempat tidur, tepat di atas bantal. Para pengawal di luar selalu berjaga-jaga.

Sementara itu Ujungsabata telah mengintai di luar pagar Kepatihan. Melihat banyak penjaga Ujungsabata merasa kerepotan. Seketika mengeluarkan kemampuannya. Sirep Begananda diluncurkan. Tiga kali menjejak tanah, sambil tangannya meraih tanah. Tanah yang sudah digenggam kemudian disebarkan mengenai para penjaga. Yang terkena seketika merasa ngantuk dan tak kuat lagi berdiri. Mereka berjatuhan tertidur di tempat mereka berjaga. Ujungsabata menuju ke peraduan Ki Patih Wahan. Keris Jangkungpacar sudah ditarik keluar dari sarungnya. Namun Ujungsabata kaget karena Ki Patih tak ia temukan. Ujungsabata tak kurang akal. Ki Patih orang yang sangat menyayangi kuda-kudanya. Ujungsabata segera ke kandang kuda dan melepaskan kuda-kuda Ki Patih. Kuda-kuda berlarian lepas.

Ki Patih yang mendengar kudanya lepas tak mampu menahan diri. Seketika Ki Patih berteriak kepada tukang kuda, “Hai para gamel, kejar kuda-kuda itu dan masukkan ke kandang!”

Ujungsabata kini tahu di mana posisi Ki Patih. Suaranya dari kamar Ki Patih sebelah atas. Ujungsabata tak kesulitan mencarinya. Keris Jangkungpacar segera bersarang di tubuh Ki Patih. Patih Wahan tewas seketika. Setelah Patih Wahan tewas, anak-istri Ki Patih dibawa masuk ke istana.

Sang Prabu Anom kini merasa keinginannya tak ada lagi yang mencegah. Acara berburu kemudian dilaksanakan. Bersama para mantri Sang Raja berburu banteng dan kijang. Sang Raja sangat gembira. Karena asyik berburu para mantri sampai melupakan tugas utamanya, menjaga Sang Raja. Mereka masing-masing terlena mengejar kijang sampai jauh meninggalkan Sang Raja. Sang Raja pun tak peduli karena juga asyik mengejar kijang buruannya.

Sementara itu anak Patih Wahan yang bernama Raden Udara telah mendengar kalau sang ayah tewas atas perintah raja baru Majapahit. Raden Udara yang menjadi adipati di Kediri tak terima sang ayah diperlakukan semena-mena. Timbul keinginan untuk balas dendam. Raden Udara berangkat menuju Majapahit. Karena telah mendengar bahwa Sang Prabu Anom tengah berburu di hutan, Raden Udara segera menuju ke tempat perburuan. Setelah beberapa waktu mengintai tampak olehnya Sang Raja sedang sendirian mengejar buruan. Raden Udara segera mendekatinya sambil menenteng tombak. Sang Raja dibidik dengan tombaknya, seketika tewas di tempat. Para mantri menemukan raja mereka telah tewas. Heboh orang-orang yang sedang berburu.

Sepeninggal Sang Prabu Anom, putra mahkota diangkat sebagai pengganti, yakni Raden Adaningkung. Raden Adaningkung lestari menjadi raja di Majapahit sampai digantikan oleh putranya yang bernama Raden Hayamwuruk. Prabu Hayamwuruk digantikan oleh putranya yang bernama Lembumisani dengan patih Ki Demangwular. Prabu Lembumisani digantikan oleh sang putra yang bernama Raden Bratanjung. Prabu Bratanjung kelak digantikan oleh putranya yang bernama Raden Alit atau Prabu Brawijaya.

Ketika berkuasa Prabu Brawijaya didampingi seorang patih yang bernama Patih Gajahmada. Pada masanya Kerajaan Majapahit mengalami kemasyhuran. Prabu Brawijaya merupakan keturunan ketujuh dari raja Majapahit pertama Raden Sesuruh.

Pada malam Selasa Kliwon Prabu Brawijaya bermimpi. Dalam mimpi itu Sang Prabu menikah dengan seorang wanita cantik yang berasal dari negeri Cempa. Pagi harinya Sang Raja di hadapan para punggawa menceritakan mimpinya tersebut.

Sang Prabu berkata, “Hai Patih Gajahmada. Aku bermimpi menikah dengan seorang putri cantik dari negeri Cempa. Apakah engkau pernah mendengar ada negeri yang bernama Cempa? Di manakah itu?”

Ki Patih menyembah dan berkata, “Hamba mendengar negeri Cempa letaknya di seberang, bukan di tanah Jawa.”

Berkata Sang Raja, “Kalau demikian, berangkatlah engkau ke negeri Cempa. Aku minta engkau melamar putri Cempa tersebut. Berlayarlah melalui pelabuhan Gresik.”

Sang Raja beranjak masuk ke pura diiringi para pelayan, Patih Gajahmada keluar istana untuk melaksanakan tugas. Bersama rombongan dari Majapahit Ki Patih menuju pelabuhan Gresik dan segera berlayar menuju Cempa. Setelah beberapa hari menempuh perjalanan sampailah mereka di negeri Cempa. Ki Patih segera menghadap Sang Raja Cempa dan menyampaikan maksud kedatangannya.

Berkata Patih Gajahmada, “Hamba, Patih Gajahmada dari Majapahit. Kedatangan hamba untuk menyampaikan surat dari raja hamba Prabu Brawijaya.”

Sebuah surat dari Raja Majapahit dihaturkan. Sang Raja Cempa segera membaca dan segera paham isi surat itu. Isinya berupa lamaran kepada salah satu putrinya.

Sang Raja segera masuk ke dalam istana untuk menemui permaisuri putra-putranya. Pada waktu itu Raja Cempa mempunyai tiga orang putra. Dua orang putra yang tua terlahir wanita, sedang putra bungsu lahir laki-laki. Kedua putrinya sangat cantik melebihi sesama. Sang Raja memberitahukan kepada permaisuri bahwa ada lamaran dari  negeri Majapahit. Putri tertua kemudian ditanyai kesanggupannya menerima lamaran ini. Karena takut dan patuh kepada orang tua, maka hanya berserah diri saja mengikuti kehendak Sang Raja. Sang Putri lalu disuruh bersiap. Sementara itu permaisuri terus menangis karena akan berpisah dengan putrinya.

Kepergian sang putri ke Majapahit disertai berbagai barang bawaan. Ada gong Sekar Delima, kereta Ki Balelumur dan peralatan bernama Ki Jebatbedri dan Ki Belawong. Juga disertai beberapa pengawal, pelayan dan berbagai pakaian. Sang Putri kemudian diserahkan kepada Patih Gajahmada. Sang Raja ikut mengantar sang putri sampai di pelabuhan. Patih Gajahmada mengirim utusan mendahului berangkat ke Majapahit untuk memberitahu bahwa lamaran diterima dan sang putri sudah berangkat menuju Majapahit.

Di Majapahit Prabu Brawijaya telah menerima kabar bahwa lamarannya diterima. Sang Prabu segera bersiap menyambut kedatangan sang istri di pelabuhan Gresik. Putri dari Cempa mencium kaki Sang Raja. Segera disambut oleh Sang Raja dan digendong menuju kereta. Para prajurit mengawal pengantin baru menuju keraton Majapahit. Sepanajng jalan aneka tetabuhan dipukul sebagai tanda kegembiraan. Setelah sampai ke keraton kedua pengantin segera masuk istana. Kedua pengantin baru tampak rukun saling berkasih sayang. Majapahit tumbuh menjadi kerajaan yang sejahtera dan makmur. Murah semua yang dibeli, subur semua yang ditanam. Para kawula tidak kurang sandang pangan. Seluruh penduduk Majapahit merasa nyaman.

Sementara itu di Cempa, sepeninggal sang putri ada seorang tamu bernama Makdum Ibrahim Asmara. Dia seorang ulama beragama Islam. Kedatangannya ke Cempa untuk mengajak Raja Cempa memeluk Islam. Sang Raja menyambut ajakan itu. Para penduduk Cempa kemudian banyak pula yang berpindah keyakinan. Sang Raja sangat terkesan dengan Syekh Makdum Ibrahim Asmara. Putri kedua Sang Raja kemudian dinikahkan dengan sang ulama.

Beberapa waktu kemudian Sang Raja Cempa mangkat. Kedudukan Sang Raja digantikan oleh putra bungsu. Syekh Makdum Ibrahim kemudian menjadi penasihat Sang Raja. Dari pernikahannya dengan putri raja Cempa Syekh Ibrahim mempunyai dua putra laki-laki.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/06/babad-tanah-jawi-6-nagari-pajajaran-takluk-raden-susuruh-tetap-menjadi-raja-di-majapait-sampai-keturunannya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...