Translate

Jumat, 20 September 2024

Babad Tanah Jawi (110): Kumpeni minta matinya Adipati Jangrana di Surabaya

 Alkisan, Komisaris Kenol sepulang dari perang di Pasuruan lalu ke Betawi untuk melapor kepada Dewan Hindia dan Gubernur Jenderal, bahwa dalam perang di Pasusuran Adipati Surabaya bisa disebut berbuat serong. Para anggota Dewan Hindia menyarankan agar Jenderal memberi tahu kepada Sang Raja untuk meminta hukuman mati bagi Adipati Jangrana. Kalau Sang Raja tak menyetujui para Dewan Hindia akan mogok dan tak mendukung lagi.

Gubernur Jenderal segera mengirim utusan seorang kapten ke Kartasura. Singkat cerita utusan sudah berada di Loji Kumpeni di Kartasura. Kedatangannya sudah dilaporkan kepada Patih Cakrajaya. Hanya saja hari itu belum bisa menghadap kepada Sang Raja karena hari sudah menjelang malam. Pagi harinya Patih Cakrajaya ketika hendak menghadap Sang Raja terlebih dahulu mampir ke Loji untuk menjemput sang utusan. Kapten utusan kemudian menghadap Sang Raja bersama Patih Cakrajaya. Sesampai di istana surat segera dihaturkan kepada Sang Raja dan dibaca dengan seksama.

Isi suratnya: “Surat dari Gubernur Jenderal, saya meminta hukuman mati bagi Adipati Surabaya karena telah berbuat serong dalam perang di Pasuruan.”

Banyak alasan dan bukti-bukti yang dikemukakan di dalam surat. Sang Raja menjadi sangat marah. Dadanya memerah, matanya melotot. Namun kemarahannya kemudian disamarkan dalam perkataan yang tenang.

Berkata Sang Raja, “Patih Cakrajaya, antarkan Kapten keluar. Jangan khawatir hatinya.”

Kapten menyembah dan segera keluar dari hadapan Sang Raja. Malam harinya Sang Raja kembali memanggil Patih Cakrajaya untuk membicarakan surat dari Gubernur Jenderal. Punggawa lain yang juga diundang adalah Ki Citrasoma dan Ki Wirancana. Ketiga punggawa sudah berkumpul menghadap Sang Raja.

Berkata Sang Raja, “Hai Patih Cakrajaya, bagaimana pendapatmu perihal permintaan Gubernur Jenderal. Permintaannya sungguh berat, meminta nyawa Adipati Surabaya Si Jangrana. Dia adalah kekuatan negeri ini, seolah diriku sendiri. Dia itu bahu kiriku sebagai tandem Pangeran Madura. Setelah Pangeran Madura yang ibarat bahu kananku sekarang sudah mati, ibarat aku tinggal punya satu tangan. Kini harus diminta nyawanya. Banyak pekerjaan tak selesai tanpa kedua orang itu. Kalau kepada Kumpeni aku berikan nyawa si Jangrana, apakah tidak tercela namaku?”

Ki Patih menyembah, bersama ketiga punggawa hanya bisa tertunduk tak dapat memberi saran dan pertimbangan. Sungguh ini perkara yang berat.

Sang Raja berkata lagi, “Hai Cakrajaya, si Adipati Surabaya bagi Kumpeni Belanda itu hanya sedikit dosanya. Dan bagiku tidak ada kesalahannya. Kalau demikian engkau segeralah kirim utusan ke Ki Besan di Semarang. Mintalah pendapatnya, apa yang seharusnya dilakukan. Juga surat dari Betawi berilah balasan. Katakan kepada Jenderal mengenai permintaannya baru aku pikirkan, karena Jangrana di tempatnya merupakan punggawa yang kuat. Tak urung akan menimbulkan gejolak yang membuat susah rakyat kecil. Katakan kepada Jenderal kalau Surabaya negeri besar yang mempunyai banyak prajurit. Sudah, keluarlah dan segera laksanakan.”

Patih Cakrajaya kemudian menemui Kapten dan menyerahkan surat untuk Komisaris di Semarang. Isinya sebagaimana petunjuk Sang Raja. Ki Patih Cakrajaya juga mengirim surat secara rahasia kepada Adipati Semarang untuk minta pendapat. Juga Ki Patih mengirim surat kepada Adipati Surabaya. Utusan segera berangkat ke tujuan masing-masing.

Di Semarang Tuan Komisaris merasa gembira surat Jenderal telah ditanggapi oleh Sang Raja. Surat balasan segera dilaporkan ke Betawi. Adapun utusan yang menemui Adipati Semarang juga sudah bertemu dengan sang adipati. Adipati Semarang kemudian segera membalas surat tersebut dan dibawa oleh utusan ke Kartasura. Singkat cerita utusan sudah sampai di Kartasura dan menghaturkan surat Adipati Semarang. Surat sudah dibaca Sang Raja.

Isi suratnya: “Perkara permintaan Jenderal kepada paduka yang meminta nyawa Adipati Surabaya, sungguh membuat repot. Kalau diberikan Sang Adipati adalah manggala perang dan kekuatan tanah Jawa. Kalau tak diberikan sungguh akan menimbulkan akibat buruk. Kumpeni sengaja berulah kepada paduka.”

Sang Raja tertegun, lama berusaha memahami surat Adipati Semarang.

Sementara itu gandek utusan yang berangkat ke Surabaya juga sudah menemui Adipati Jangrana. Surat segera dihaturkan kepada sang adipati dan dibaca dengan seksama. Sang adipati seketika tertegun tak mampu berkata-kata. Setelah hening beberapa saat, Adipati Jangrana kemudian memanggil Demang Wiratantaha, seorang prajurit yang mumpuni. Wiratantaha adalah anak Tumenggung Sapanjang. Sang Adipati sangat mengasihinya. Adipati juga memanggil sang adik Arya Jayapuspita, Panji Surengrana dan adik bungsunya Panji Kartayuda. Kepada ketiga adik Adipati Jangrana memperlihatkan surat dari Sang Raja Pakubuwana.

Para adik Adipati Jangrana memilih untuk melawan sampai mati, “Lebih baik mati melawan. Paduka tidak berdosa kepada Sang Raja. Si kafir Kumpeni hendak berbuat aniaya. Kalau berkenan mari kita angkat senjata sampai mati.”

Namun Demang Wiratantaha mempunyai usulan yang berbeda, “Tuan Adipati, jangan melawan dengan perang. Sungguh kasihan bagi penguasa di belakang.”

Adipati Jangrana berkata, “Benar katamu, lebih baik aku yang mati. Para adik-adikku yang berkuasa sepeninggalku dapat hidup mulia.”

Ketiga adik Jangrana menangis dan memeluk kaki sang kakak. Mereka memohon untuk ikut bersama-sama melawan Kumpeni. Sang Adipati tersenyum dan mencegah ketiga adiknya ikut berbela. Demang Tanpanaha pun memberikan saran yang sama. Dengan berat hati ketiga adik melepas sang kakak pergi ke Kartasura.

Sesampai di Kartasura Adipati Jangrana menempati rumahnya di Kasurabayan. Dua bulan sudah dia tinggal di Kartasura. Belum ada pembicaraan perihal permintaan Gubernur Jenderal.

Tuan Komisaris kembali mendesak pelaksanaan permintaan Jenderal yang mengharap kematian Adipati Jangrana. Sang Raja kembali kerepotan hatinya. Adipati Surabaya yang sudah berada di Kartasura kemudian dipanggil dan ditanyai. Adipati menjawab hendak melakukan perlawanan pribadi. Namun permintaannya agar negeri Surabaya diserahkan kepada Arya Jayapuspita. Adipati Jangrana sudah bersiap mati. Setiap hari Senin dia selalu bersuci sebelum menghadap Sang Raja.

Pada hari Kamis, bulan Besar di tahun Ehe, para punggawa lengkap menghadap. Adipati Surabaya baru saja masuk ke balai pisowanan diiringi para saudara dan para mantri. Ki Adipati langsung dipanggil ke dalam pura Kamandungan. Ketika Adipati sampai, telah menunggu Ki Garwakanda seorang lurah Martalulut dan Nayagrewa seorang prajurit Singanagara. Keduanya menarik keris dan segera menikam Adipati Jangrana, tembus dari dada ke punggung. Adipati Jangrana tewas di tempat.

Sang adik Arya Jayapuspita mengetahui bahwa sang kakak telah dieksekusi karena lama tak segera keluar. Arya Jayapuspita memberi kode dengan kedipan mata kepada prajurit Surabaya. Mereka kemudian bersiaga dan saling memberi tahu kepada teman-temannya. Segera terkumpul dua ribu prajurit Surabaya. Mereka sudah bersiap mengamuk. Para bupati di Kartasura menduga akan terjadi huru-hara. Ki Tumenggung Sumabrata datang dari dalam pura membawa perintah Sang Raja.

Berkata Sumabrata, “Hai Arya Jayapuspita, perintah Sang Raja, kakakmu dibunuh dengan tanpa dosa. Seluruh hidupnya dipakai mengabdi kepada Sang Raja. Kini engkau yang ditunjuk menggantikan menjadi Adipati di Surabaya. Jangan membuatmu bersedih.”

Arya Jayapuspita mendengar perintah Sang Raja seketika airmatanya mengalir deras. Kemarahannya ditahan.

Arya Jayapuspita berbisik kepada Sumabrata, “Saya beritahukan, saya sudah tahu kalau kakak saya mati karena ada yang menyebabkan. Bila diizinkan Sang Raja sehari ini saja saya hendak melawan.”

Ki Sumabrata segera melapor ke istana. Sang Raja merasa sangat repot. Lalu memanggil penghulu dan para abdi Suranata. Semua disuruh berdoa agar kemarahan Arya Jayapuspita reda. Sumabrata kembali diutus menemui Arya Jayapuspita untuk membawa perintah agar Arya Jayapuspita keluar dari Panangkilan. Dengan perlahan Arya Jayapuspita membawa pasukannya keluar. Mereka berbaris menuju ke selatan masjid dan menghadap ke alun-alun. Sesampai di alun-alun formasi barisan tak sedikitpun berubah. Tak satupun mau kembali ke rumah mereka. Mereka benar-benar sudah siap tempur. Mereka tetap berbaris di sepanjang jalan. Ki Sumabrata kembali melapor ke istana.

Sang Raja sangat bingung menghadapi situasi ini. Benar-benar Arya Jayapuspita hendak masuk ke dalam api. Lebih suka mati melawan si kafir Kumpeni yang telah berbuat aniaya kepada saudaranya. Kembali Sang Raja memerintahkan agar Arya Jayapuspita membawa pasukannya keluar dari kota. Bawalah dari Pancaniti, jangan sampai berjubel di jalanan. Kelak kalau sudah lega barangkali Sang Raja mengizinkan, tetapi sekarang Raja belum berkenan merestuai langkah Jayapuspita. Jayapuspita kemudian membawa pasukannya ke arah barat laut menuju Pakunden. Hari sudah menjelang malam.

Malam harinya utusan dari istana kembali menemui Aya Jayapuspita. Ki Sumabrata dan Rangga Wanengjiwa datang berdua tanpa teman. Mereka membawa makanan dan pakaian, juga uang sejumlah dua ribu riyal. Setelah membaca surat dari Sang Raja Arya Jayapuspita bersujud ke tanah dan menangis sambil menepuk-nepuk dada. Ki Sumabrata dan Ki Rangga Wanengjiwa kembali ke istana. Arya Jayapuspita segera membawa pasukannya pulang ke Surabaya. Peristiwa penghukuman mati Adipati Jangrana ditandai dengan sengkalan tahun: karya guna ngrasa wani[1]. Sesampai di Surabaya Arya Jayapuspita memperkuat pasukannya. Pasukan Berani Mati dibentuk sejumlah seribu, Talangpati seribu, Seseliran seribu dan juga prajurit Sarageni.

Sementara itu di istana Kartasura, Sang Raja sangat menyesal atas meninggalnya Adipati Jangrana. Dua pilar kerajaan Kartasura telah pergi, Adipati Surabaya dan Panembahan Madura. Kini Sang Raja merasa tidak punya manggala yang bisa diandalkan. Ratu Kancana mengetahui Sang Raja sangat bersedih.

Berkata Kangjeng Ratu Kancana, “Duhai paduka, apa yang menjadi sebab kesedihan paduka.”

Berkata Sang Raja, “Ketahuilah Mbok Ratu, tewasnya si Adipati Surabaya sebagai bahu kiriku atas ulah Belanda, sungguh membuat diriku sebagai raja menjadi cela. Sekarang aku tak punya manggala andalan. Ingin rasanya aku berbela atas kematiannya.”

Kangjeng Ratu mengetahui kalau dalam hati Sang Raja sangat marah. Ratu berusaha membujuk Sang Raja dengan kata-kata manis.

Ratu Kancana berkata, “Hamba minta paduka juga ingat para putra dan pesan dari eyang Sultan Agung yang menyebut kalau kelak Kumpeni ikut menguasai tanah Jawa.”

Baru asyik berbincang, mendadak datang Tumenggung Cakrajaya memberi tahu bahwa sang paman Raja Pangeran Natakusuma wafat. Sang Raja kaget. Cakrajaya lalu diperintahkan agar mendekat.

Berkata Sang Raja, “Paman Natakusuma putranya yang menggantikan kedudukannya dan memakai nama Pangeran Pringgalaya. Jangan berubah kedudukan dan tanahnya.”

Cakrajaya menyembah dan keluar dari dalam istana. Sesampai di luar segera diumumkan kalau Pangeran Natakusuma digantikan oleh putranya dan memakai nama Pangeran Pringgalaya.

Masih di tahun yang sama, di Ngentha-Entha muncul seorang pemberontak bernama Ki Mas Dana. Ki Dana adalah menantu Ki Gedhe Pacukilan. Dia menggelar barisan di Ngentha-Entha dan sudah banyak pengikutnya. Orang Mataram sudah banyak yang tunduk, yang belum tunduk pun diserang. Penguasa Mataram Ki Jayawinata sudah diberi tahu dan segera menindak. Namun Ki Jayawinata kalah dalam perang. Ki Jayawinata lalu menghadap ke Kartasura.

Dalam laporannya Ki Jayawinata mengatakan kalau Ki Dana sudah membentuk pemerintahan dengan mengangkat orang Mataram sebagai tumenggung, mantri dan petinggi desa. Pasukannya semakin besar dan kuat.  Mendengar laporan Jayawinata Sang Raja sangat marah. Pangeran Pringgalaya lalu diperintahkan untuk memadamkan pemberontakan Ki Dana. Pangeran Pringgalaya segera berangkat dengan segenap pasukan. Perintah Sang Raja agar Si Dana ditangkap hidup-hidup. Sang Raja ingin melihat ujudnya. Dan lagi akan dibuat sebagai contoh bagi para pembangkang lain. Kelak akan dipertontonkan di alun-alun.

Pangeran Pringgalaya sampai di Ngentha-Entha dan terjadi perang dengan pasukan Ki Dana. Tidak perlu waktu lama pasukan Ki Dana berhasil dihancurkan. Ki Dana lari dan terus dikejar prajurit Kartasura. Di Borobudur akhirnya tertangkap. Ki Dana diikat dan dibawa ke Kartasura. Sesampai di Kartasura Sang Raja memerintahkan agar Ki Dana diikat di alun-alun. Siapapun boleh menikamnya. Di bawah beringin kembar satu persatu prajurit Kartasura menikam Ki Dana sampai merata. Akhirnya Ki Dana tewas. Mayatnya dibiarkan selama tiga hari. Kemudian dipenggal kepalanya. Tubuhnya dikubur dan kepalanya dipanjar sebagai tontonan.

Ganti tahun tersiar kabar kalau mertua Ki Dana yang bernama Ki Gedhe Pacukilan hendak berbela mati kepada menantunya. Sang Raja yang mendapat laporan segera mengirim pasukan untuk menumpasnya. Sebenarnya laporan itu bohong karena Ki Gedhe hanya akan mengadakan acara peringatan kematian menantunya itu. Namun pasukan Kartasura segera menangkapnya dan memenggal kepalanya. Semua anaknya pun ikut dibunuh.

Ganti tahun, Ki Kartanagara dilengser kedudukannya sebagai patih. Kini tinggal Ki Cakrajaya yang masih menjabat sebagai patih. Masih di tahun yang sama Ki Wirancana ditunjuk membangun masjid Demak. Sang Raja bermaksud mengganti atap sirap masjid Demak. Ki Wirancana diberi bekal seribu riyal selama tiga bulan pelaksanaan pekerjaan. Setelah selesai Ki Wirancana pulang ke Kartasura. Namun tak lama kemudian Ki Wirancana meninggal dunia. Sang Raja amat kaget. Ketika masih hidup Ki Wirancana menjabat sebagai wadana gedhong kiri dan kanan. Ketika meninggal anak Ki Wirancana masih bocah, belum mampu memegang jabatan ayahnya. Oleh karena itu jabatan wadana kemudian diemban Ki Kartanagara.

Ganti cerita di Winongan, negeri wilayah timur. Raden Tirtakusuma memberontak dan menyerang Pasuruan. Ketika itu yang menjadi penguasa di Pasuruan adalah Tumenggung Jadita, seorang kepercayaan dari Kartasura. Raden Tirtakusuma berhasil mengusir Tumenggung Jadita dan menduduki Pasuruan. Sudah dilaporkan perihal pemberontakan Raden Tirtakusuma kepada Sang Raja di Kartasura. Sang Raja lalu mengirim Ki Kartanagara untuk menyerang Pasuruan. Para punggawa dan pasukan pesisir dikerahkan untuk menggempur Winongan. Setelah berperang selama tiga bulan Winongan berhasil direbut. Kota Winongan dibakar. Istri Raden Tirtakusuma ditawan dan diboyong ke Kartasura beserta satu anak lelakinya yang bernama Mas Kaji. Raden Tirtakusuma lari ke Lumajang. Pasukan Kartasura segera pulang. Sesampai di alun-alun Kartasura Tumenggung Jadita dihukum mati. Kesalahannya adalah tidak bisa menjaga negeri Pasuruan dengan baik.


[1] Sengkalan: karya guna ngrasa wani (1634 A.J., 1710/1711 A.D.). 


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/16/babad-tanah-jawi-110-kumpeni-minta-matinya-adipati-jangrana-di-surabaya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...