Raja Amangkurat Mas sangat bersedih karena satu per satu pendukungnya hilang. Sang Sunan lalu mengirim utusan ke Surabaya. Utusan segera melesat ke Surabaya dan bertemu dengan Tuan Kumendur. Utusan menyerahkan surat dari Raja Amangkurat Mas. Surat sudah diterima dan dibaca dengan seksama. Isi suratnya menyatakan akan menyerah dan meminta ampun kepada segenap Dewan Hindia. Kumendur sangat bersukacita.
Berkata Tuan Kumendur, “Hai utusan, katakan kepada rajamu, bila sungguh ingin berdamai denganku, tuanmu aku persilakan datang ke Surabaya. Besok kalau sudah sampai di sini katakan apa keinginannya. Sungguh akan aku dukung kalau ingin menjadi raja di Kartasura.”
Utusan segera diberi pakaian dan kain, kemudian disuruh kembali. Sesampai di hadapan Raja Amangkurat Mas, utusan mengatakan janji Kumpeni tersebut. Sang Raja amat gembira dan segera bersiap menuju Surabaya.
Pangeran Balitar yang masih berada di Pasuruan mengirim utusan ke tempat Raja Amangkurat Mas untuk meminta pusaka Mataram yang berupa Kyai Baru, baju Kyai Gondil dan keris Kyai Balabar.
Sesampai di hadapan Raja Amangkurat, utusan berkata, “Hamba datang diutus adik paduka Pangeran Balitar. Pertama adik paduka menghaturkan sembah, kedua hamba diutus untuk meminta semua pusaka ayah paduka Kyai Baru, baju Kyai Gondil dan keris Kyai Balabar.”
Raja Amangkurat menjawab bengis, “Hai, katakan kepada si Sudama. Kalau dia diutus Paman Raja meminta pusaka, besok kalau di Surabaya akan aku serahkan kepada tuanmu. Aku diundang oleh Kumpeni untuk datang ke Surabaya bersama pasukanku.”
Utusan segera kembali dan Raja Amangkurat pun segera berangkat ke Surabaya. Kumpeni menjemput dan bertemu di jalan. Raja Amangkurat segera dipersilakan masuk ke kota. Setelah sampai di Surabaya lalu menginap di rumah Adipati Jangrana. Kumpeni sangat menghormat kepada Raja Amangkurat, demikian pula Adipati Jangrana. Jamuannya terus mengalir dan merata kepada seluruh prajurit. Para punggawa Raja Amangkurat merasa nyaman hatinya. Adipati Surabaya duduk menghadap di depan bersama para pembesar Kumpeni.
Tuan Kumendur berkata, “Bila berkenan paduka, lebih baik segera menuju Semarang dan bertemu dengan Komisaris. Besok kalau sudah sampai di Semarang paduka segera menuju Kartasura dan paduka akan diangkat Kumpeni menguasai tanah Jawa.”
Sang Raja Amangkurat Mas merasa sangat gembira mendengar perkataan Kumendur. Tak sadar dirinya telah terkena tipudaya. Lalu datang utusan dari Pangeran Balitar untuk kembali meminta pusaka keraton. Lagi-lagi Raja Amangkurat menjawab dengan ketus.
“Katakan kepada Sudama, jangan meminta di Surabaya. Besok kalau aku sudah sampai di Kartasura aku berikan sendiri,” kata Sang Raja.
Utusan segera kembali dan melapor kepada tuannya. Pangeran Balitar berkata, “Orang tua suka ingkar janji. Itulah sebabnya tidak lestari menjadi raja. Si Kencet hatinya tak jujur, tak satu kata dengan perbuatan.”
Sang Raja Amangkurat Mas segera dibawa naik kapal. Semua pusaka dibawa serta. Beberapa pengawal ikut tetapi tidak semua bisa naik kapal. Jadi hanya dibawa sekadarnya saja. Sang Raja Pakubuwana sudah mengirim utusan untuk meminta punggawa Kartasura. Yang diminta adalah; Ki Wiraguna, Ki Arya Tiron, Mandurareja, Arya Pulangjiwa, Mangunnagara. Kumendur tak menolak permintaan Raja Pakubuwana. Susunan Amangkurat Mas sudah dibawa berlayar, langsung menuju Jakarta.
Sementara itu Pangeran Balitar merasa sudah menang perang. Negeri Malang lalu dibakar. Adipati Wiranagara mengungsi ke hutan. Harta di negeri Pasuruan dijarah dan para wanitanya diboyong. Salah seorang adik Adipati Wiranagara diboyong ke Kartasura. Kyai Wiraguna dan teman-temannya menyerah kepada Pangeran Balitar. Arya Pulangjiwa minggat pada malam hari dan bersembunyi di hutan. Raden Pulangjiwa ini dulu ketika Sunan Mas berkuasa namanya Pangeran Balitar. Setelah Susunan Mas terusir dari istana nama Pangeran Balitar diambil Sunan Pakuwubana karena menyamani nama salah seorang putra raja. Karena sakit hati Arya Pulangjiwa kemudian minggat menyusul ke Kediri. Sekarang Arya Pulangjiwa diminta Sang Raja kembali, maka dia sangat ketakutan sehingga kembali minggat.
Pangeran Balitar yang mendapat laporan Arya Pulangjiwa minggat sangat marah. Tumenggung Suralaya di Barebes diperintahkan untuk mencarinya ke hutan. Arya Pulangjiwa berhasil ditemukan di tengah hutan Pasuruan. Kepala Arya Pulangjiwa segera dipenggal dan dihaturkan kepada Pangeran Balitar. Pangeran sangat bersukacita.
Pangeran Balitar kemudian memerintahkan kepada Kanduruan Wilatikta, “Kanduruan Wilatikta, engkau pulanglah ke Kartasura. Haturkan suratku kepada ayahanda Raja beserta para boyongan wanita yang cantik-cantik dari negeri Malang. Semua serahkan kepada ayahanda Raja.”
Kanduruan Wilatikta menyembah. Pangeran melanjutkan, “Dan juga bawalah Si Wiraguna, Arya Tiron, Mangunnagara dan Mandurareja. Keempatnya bawalah pulang ke Kartasura. Hati-hatilah menjaga mereka di jalan.”
Kanduruan Wilatikta segera melesat menuju Kartasura. Singkat cerita Kanduruan Wilatikta sudah sampai di Kartasura dan bertemu Patih Cakrajaya. Kanduruan sudah dibawa menghadap kepada Sang Raja Pakubuwana.
Sang Raja berkata, “Kanduruan, diutus apakan engkau oleh tuanmu?”
Kanduruan menjawab, “Hamba diutus oleh putra paduka, sangat memohon maaf karena berani mengirim surat.”
Sang Raja tersenyum, surat segera diambil dan dibaca dengan seksama. Isi suratnya menyatakan: “Hamba beritakukan kepada paduka, kami menang perang. Atas berkah paduka negeri Malang sudah takluk. Ngabei Lor dan Ngabei Kidul sudah tewas dalam perang. Yang membunuh adalah abdi paduka Wirasantika yang sangat tangguh dalam perang. Adapun anak Untung Surapati yang bernama Brahim lari ke hutan bersama punggawa bernama Lembulembo. Prajuritnya banyak yang tewas. Para istrinya banyak yang tertinggal dan menjadi tawanan. Semua sudah dibawa si Wilatikta dan sekarang kami haturkan kepada paduka. Dan lagi, si Wiraguna dan Mandurarejo, Arya Tiron dan Mangunnagara kami haturkan kepada paduka. Adapun si Pulangjiwa minggat ketika malam. Sudah dikejar dan tertangkap di tengah hutan. Sekarang sudah tewas dan dipenggal kepalanya. Negeri wilayah timur sudah takluk semua. Namun pusaka tanah Jawa semua dibawa ke Betawi. Saya minta kepada Kanda Raja tidak diberikan.”
Sejenak Sang Raja tertegun tak mampu berkata. Akhirnya berkata kepada Patih Cakrajaya, “Hai Patih, perasaanku walau semua pusaka tanah Jawa dibawa ke Jakarta yang berupa tombak, keris dan sebagainya, tidak menjadi beban pikiranku. Asalkan masih ada astana Adilangu dan masjid Demak. Patih, ketahuilah. Dua hal itu adalah pusaka terbesar tanah Jawa. Tidak ada lagi yang lain.”
Ki Patih menyembah.
Sang Raja berkata lagi, “Cakrajaya, engkau kirimlah utusan ke Malang. Panggillah segera putraku dan segenap bupati agar ikut pulang bersama putraku.”
Ki Patih menyembah dan segera keluar melaksanakan tugas. Sesampai di luar segera menunjuk gandek untuk memanggil Pangeran Balitar. Si gandek segera berangkat dan singkat cerita sudah sampai di Malang. Pangeran Balitar sudah mengundang para bupati untuk bersiap kembali ke Kartasura. Pagi hari berikutnya pasukan Kartasura berangkat. Para putra Madura ikut serta ke Kartasura karena ayah mereka sudah wafat. Sesampai di Kartasura segera menghadap kepada Sang Raja Pakubuwana. Pangeran Balitar menyembah dan menyentuh kaki Sang Raja, diikuti para punggawa yang lain.
Berkata Sang Raja, “Anakku Ki Adipati Balitar, mengapa lama engkau berperang?”
Pangeran Balitar berkata, “Sebab lama karena hati sangat kerepotan.”
Sang Raja tertawa. Sang putra dirangkul lehernya dan dicium ubun-ubunnya.
Berkata Sang Raja, “Aku ini sungguh tak mengira engkau bisa menang dalam perang.”
Pangeran menyembah, kemudian beserta para punggawa semua diizinkan bubar kembali ke rumah masing-masing. Semua bersukacita karena seluruh tanah Jawa sudah bersatu tunduk ke Kartasura. Upaya pemberontakan kini tak ada lagi.
Alkisah, pada suatu pisowanan hari Senin Sang Raja bertahta di hadapan seluruh punggawa. Para putra lengkap menghadap. Ki Patih Cakrajaya dan Tumenggung Kartanagara, Ki Wirancana, para rangga dan pecatanda serta ondamoi, ngabei dan seluruh mantri berjajar memenuhi balai pisowanan. Juga hadir para punggawa dari mancanengara dan pesisir.
Sang Raja Pakubuwana bersabda, “Hai Patih Cakrajaya, umumkan perintahku. Sekarang si Citrasoma aku angkat kedudukannya sebagai Adipati Citrasoma dan aku beri tanah Jepara. Si Wirasantika aku angkat sebagai tumenggung bernama Tumenggung Suryawijaya dan aku beri tanah Jipang dan juga aku angkat sebagai wadana mancananagara. Si Wirasasmita aku beri negeri Wirasaba.”
Pangeran Balitar menyembah dan berkata, “Paduka, paman Cakraningrat meninggalkan anak bernama Sasranagara. Adapun cucunya ada dua yang laki-laki yang lahir dari istri pemberian paduka dulu. Semua saya haturkan kepada paduka.”
Sang Raja tersenyum dan berkata, “Hai Patih negeri Sampang, engkau bagi tiga negeri Sampang. Satu bagian untuk dua cucuku, si Suryawinata dan Sastrawinata. Yang dua bagian untuk anakku si Sasranagara. Sasranagara menggantikan kedudukan ayahnya dan aku beri nama Pangeran Cakraningrat. Dan si Wiraguna serta Mandurareja keduanya ikut denganku. Kyai Mangunnagara dan Arya Tiron aku ganti namanya. Arya Tiron aku ganti Ki Secayuda. Kyai Mangunnagara aku ganti nama Ki Sutadita. Keduanya aku berikan kepada Pangeran Adipati Anom. Wiraguna aku ganti nama Diramanggala. Ki Wabru di Pati aku berikan ke Pangeran Purubaya. Panji Tohpati aku berikan kepada Pangeran Balitar.”
Pertemuan hari itu selesai, Sang Raja Pakubuwana membubarkan pertemuan.
https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/15/babad-tanah-jawi-109-sunan-amangkurat-mas-menyerah-kepada-kumpeni-lalu-dibawa-ke-betawi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar