Translate

Jumat, 20 September 2024

Babad Tanah Jawi (111): Arya Jayapuspita di Surabaya memberontak membela kakaknya

 Sudah berganti tahun. Arya Jayapuspita selama menggantikan kedudukan kakaknya sebagai adipati Surabaya baru sekali menghadap Sang Raja di bulan Maulud. Pasukan Surabaya dikerahkan sejumlah tiga ribu prajurit, terdiri dari prajurit Talangpati dengan senjata tombak Tumperingas dan Bungampel. Dua adiknya ikut serta, Panji Surangrana dan Panji Kartayuda dengan masing-masing membawa seribu orang. Ketika menerima kedatangan Arya Jayapuspita Sang Raja sangat bersukacita, lalu memberikan hadiah keris dan emas-perak yang indah. Arya Jayapuspita tak lama berada di Kartasura. Setelah menghadap segera kembali ke Surabaya. Sejak itu Arya Jayapuspita tidak mau lagi datang menghadap.

Sang Raja kemudian mengirim utusan ke Surabaya. Kyai Sumabrata dan Ki Diramanggala yang berangkat. Jayapuspita hanya selalu mengiyakan dan meminta tempo, tetapi tak kunjung berangkat. Dua utusan segera kembali ke Kartasura dan melaporkan kepada Sang Raja. Sang Raja kemudian memerintahkan patih mengirim surat ke Semarang melaporkan perihal pemogokan Adipati Jayapuspita.

Di Surabaya, sepulang Kyai Sumabrata, Arya Jayapuspita memerintahkan kepada adiknya Panji Surengrana untuk pulang ke Lamongan. Setelah sampai di Lamongan Panji Surengrana lalu berangkat menuju Gresik. Pasukannya lalu menyerang benteng Gresik selama satu bulan, tetapi tidak berhasil.

Di Semarang, utusan Sang Raja sudah bertemu dengan Kumendur. Surat dari Sang Raja sudah diserahkan dan dibaca dengan seksama. Kumendur kemudian bersiap berangkat ke Surabaya dengan berlayar. Sesampai di Surabaya Kumendur segera menemui Jayapuspita. Kumendur bertanya secara baik-baik kepada Jayapuspita perihal perbuatan Panji Surengrana yang mengepung benteng Gresik. Jayapuspita lepas tangan. Kumendur kebingungan, kemudian kembali ke Semarang.

Panji Surengrana yang mengepung Gresik meminta bantuan kepada Dewa Kaloran dari Bali. Gresik berhasil ditaklukkan oleh pasukan Bali yang datang malam-malam melalui laut. Panji Surengrana memberinya banyak hadiah atas keberhasilan itu.

Adipati Jayapuspita sudah bertekad menggelar barisan dan menaklukkan wilayah mancanagara timur. Panji Kartayuda diperintahkan untuk memperluas wilayah ke sekitar Surabaya. Yang pertama dituju adalah Japan. Dengan seribu prajurit Panji Kartayuda menyerang Japan. Pasukan Japan tak mampu melawan dan menyerah. Panji Kartayuda kemudian menuju Wirasaba. Pasukan Wirasaba mengungsi bersama bupatinya ke Kediri. Ketika Panji Kartayuda sampai di Wirasaba kota telah kosong. Panji Kartayuda mengangkat orang untuk berjaga di Wirasaba, kemudian melaju ke Kediri. Orang Kediri sudah mendengar kalau Panji Kartayuda akan menyerang mereka. Mereka pun bersiap menghadapi. Kedua pasukan sudah berhadap-hadapan.

Sementara itu Panji Surengrana dari Lamongan sudah bergerak ke Sidayu. Setelah bertempur sengit Sidayu pun takluk. Panji Surengrana segera berbelok menyerang Jipang. Singkat cerita Panji Surengrana telah terlibat pertempuran dengan pasukan Jipang. Pasukan Jipang juga telah berhasil diusir. Tumenggung Jipang Surawijaya tak mampu membalas serangan. Pasukan Lamongan terus bergerak menyerang Tuban. Tidak perlu waktu lama Tuban pun berhasil ditaklukkan.

Sementara itu di Kediri Pasukan Panji Kartayuda sudah terlibat pertempuran dengan pasukan Kediri. Panji Kartayuda mengamuk dan Kediri pun takluk. Dengan demikian seluruh tanah wilayah timur sudah tunduk ke Surabaya.

Di Kartasura Sang Raja Pakubuwana bertahta di hadapan para punggawa. Telah hadir lengkap para tumenggung, pecatanda, ondamoi, ngabei dan para kanduruan. Patih Cakrajaya berada di depan.

Patih Cakrajaya berkata, “Hamba beri tahu bahwa negeri paduka Surabaya sekarang sudah menggelar barisan. Si Arya Jayapuspita sudah menaklukkan wilayah timur dan negeri pesisir. Sidayu, Tuban, Jipang dan Kediri sudah dikuasai.”

Berkata Sang Raja, “Hai Cakrajaya, engkau kabarkan segera ke Kumendur bahwa Jayapuspita memberontak. Dan engkau persiapkan pasukan Kartasura. Berangkatlah sendiri melalui pesisir utara. Adapun Tumenggung Kartanagara aku tunjuk untuk membawa pasukan melalui selatan. Dan engkau segeralah meminta bantuan serdadu Kumpeni.”

Patih Cakrajaya menyembah dan segera keluar menata barisan. Utusan segera dijalankan ke Semarang untuk menemui Tuan Kumendur. Sesampai di Semarang utusan segera menyerahkan surat dari Sang Raja. Kumendur sangat kaget dan segera menyiapkan pasukan Kumpeni. Kumendur juga segera mengirim kabar ke Betawi.

Sementara itu Tumenggung Kartanagara telah mendahului berangkat melalu jalan selatan dengan membawa pasukan mancanagara. Patih Cakrajaya masih menunggu kesiapan bantuan serdadu Kumpeni dari Semarang. Setelah Kumendur mengirim utusan Patih Cakrajaya segera berangkat. Sesampai di Semarang segera bergabung dengan pasukan Kumpeni.

Ki Tumenggung Kartanagara sudah sampai di perbatasan Jipang. Di sana mereka membuat markas sambil menunggu kedatangan pasukan mancanagara dari Madiun, Kaduwang, Kamagetan, Blora, Warung dan Ponorogo. Hanya Grobogan yang tidak ditunggu karena telah diminta oleh Ki Cakrajaya untuk bergabung dengan pasukannya. Penguasa Grobogan adalah dua cucu Panembahan Madura. Ketika Panembahan Madura wafat kedua cucunya diberi sepertiga bagian tanah Madura. Namun tak lama kemudian keduanya dipanggil ke Kartasura dan diberi tanah Grobogan. Mereka adalah Raden Surawinata dan Raden Sastrawinata.

Di Jipang pasukan Tumenggung Kartanagara sudah berhadap-hadapan dengan pasukan Panji Surengrana. Bupati Jipang yang terusir Ki Surawijaya telah bergabung dengan pasukan pimpinan Ki Kartanagara. Kedua pasukan segera terlibat dalam pertempuran sengit. Pasukan mancanagara mendesak dan tak hendak mundur. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pertempuran terus berlangsung sampai menjelang sore. Pada malam hari Jipang berhasil dikuasai pasukan Kartasura. Panji Surengrana mundur ke Lamongan. Ada prajurit yang memberi tahu kalau Tuban juga sudah direbut pasukan pesisir pimpinan Ki Rangga. Mereka terdiri dari pasukan Lasem, Kudus, Pati, Rembang dan Juwana. Panji Surengrana terus terdesak dan mundur.

Sementara itu pasukan Dewa Kaloran dari Bali kembali lagi dengan membawa tiga punggawa. Mereka berhenti di negeri Gresik bersama tujuh ratus prajuritnya. Tiga punggawa bernama Dewa Soka, Dewa Made dan Dewa Bagus. Panji Surengrana telah bertemu dan berbincang dengan Dewa Kaloran. Mereka sepakat untuk kembali menyerang Jipang. Seratus prajurit Bali dibawa oleh Panji Surengrana, pemimpin mereka bernama Juragan Bali. Watak Juragan Bali keras, posturnya tinggi besar dan wataknya pemberani.

Pasukan Surengrana segera berangkat ke Jipang. Juragan Bali yang memimpin prajurit. Sesampai di Jipang mereka bertempur dengan pasukan Kartasura di bawah pimpinan Ki Tumenggung Surawijaya. Perang berlangsung sengit. Juragan Bali turun dari kuda dan mengamuk. Para prajurit bayaran mengikutinya. Juragan Bali mengamuk seperti raksasa lapar. Pasukan Jipang diterjang hancur berlarian. Banyak dari mereka tewas dan luka. Pasukan Kartasura terdesak dan mundur ke sebelah barat kota, di desa Brongkol. Mereka kemudian membuat benteng pertahanan. Kota Jipang sudah diduduki oleh pasukan Panji Surengrana. Tidak lama kemudian datang utusan yang memberitahukan bahwa kota Sidayu sudah diduduki Ki Rangga Tuban dan pasukan pesisir.

Panji Surengrana kemudian mengerahkan lima puluh prajurit Bali dipimpin Juragan Bali untuk menyerang Sidayu. Sesampai di Sidayu pecah pertempuran dengan Ki Rangga. Prajurit pesisir banyak yang tewas. Ki Rangga lari kembali ke Tuban bersama pasukan pesisir. Sidayu berhasil dikuasai Juragan Bali. Mereka kemudian membuat benteng. Dari Sidayu Juragan Bali berusaha menyerang benteng Tuban, tetapi tak berhasil. Ki Rangga juga mempunyai pasukan bayaran dari Bali sejumlah tiga puluh orang. Mereka kemudian diadu dengan prajurit Juragan Bali. Sesama orang Bali saling bertempur seru. Lama-lama pasukan Juragan Bali terdesak. Tiga puluh prajurit bayaran dari Tuban mengamuk tanpa bisa ditahan. Lima puluh prajurit Juragan Bali habis tak bersisa. Juragan Bali mundur perlahan ke tempat Panji Surengrana.

Panji Surengrana sangat marah mendengar kekalahan Juragan Bali. Segera berangkat ke Tuban bersama pasukannya dan langsung mengamuk. Prajurit Tuban banyak yang tewas. Ki Rangga Tuban terdesak. Tuban berhasil direbut Panji Surengrana.

Di Jipang, setelah kepergian Panji Surengrana ke Tuban, pasukan Ki Kartanagara dan Ki Surawijaya kembali merebut kota. Mereka kemudian menyiapkan pasukan dari mancananagara. Semua dikerahkan sehingga pasukannya menjadi besar. Ki Rangga Tuban yang lari ke Lasem telah bergabung dengan pasukan dari Pati, Rembang, Kudus dan Juwana.

Sementara itu, Patih Cakrajaya masih berada di Semarang menunggu serdadu Belanda dari Betawi. Namun Ki Citrasoma disuruh mendahului menyerang ke Tuban. Pasukan pesisir kiri yang dibawa. Sesampai di Tuban kemudian bertempur dengan pasukan Panji Surengrana. Kota Tuban telah terkepung. Panji Surengrana merasa musuh terlalu banyak, kemudian mundur ke Maronggahan. Kota Tuban berhasil direbut pasukan Kartasura.

Dari Semarang Patih Cakrajaya telah berangkat membawa serdadu Kumpeni sejumlah satu brigade. Juga prajurit campuran dari Bugis, Makasar, Ternate, Sumbawa, Ambon dan Minangkabau sejumlah seribu prajurit. Komandan serdadu Kumpeni bernama Kumendur Gobyo dan Kapten Kresbun. Adapun Admiral Britman berhenti di Semarang bersama satu brigade serdadu Kumpeni.

Ki Cakrajaya telah sampai di Tuban dan bertemu dengan Tumenggung Kartanagara. Patih Cakrajaya memerintahkan Tumenggung Kartanagara terus melaju ke Surabaya. Ki Kartanagara segera berangkat. Adapun yang berjaga di Jipang dan sekitarnya adalah Tumenggung Surawijaya. Dia bertugas menjaga wilayah bila Surengrana kembali. Ki Patih kemudian juga menyusul berangkat ke Surabaya bersama serdadu Kumpeni melalui jalan laut. Pejabat yang ditugaskan berjaga di Tuban adalah Arya Kudus dan Patih Jepara yang bernama Ki Wiramantri.

Sementara itu Panji Surengrana setelah kepergian Ki Patih Cakrajaya ke Surabaya bermaksud kembali ke Tuban. Ketika Ki Patih di Tuban Surengrana mundur dari Maronggahan. Ketika Ki Patih telah pergi Surengrana kembali ke Maronggahan bersama Juragan Bali. Ki Juragan Bali lama-lama berpikir langkah yang diambil Surengrana tersebut.

Pikir Juragan Bali, “Si Panji ini bagaimana. Orang seluruh negeri dimusuhi. Sampai-sampai Patih turun tangan. Si Surengrana kini menjadi musuh Sang Raja. Aku pun menjadi ikut-ikutan durhaka karena melawan Sang Raja. Pikirku kalau aku berdagang di lautan dan bisa menjadi kaya karena berkah Sang Raja. Kini aku malah menjadi musuh Sang Raja.”

Juragan Bali kemudian berpura-pura sakit. Sengaja jarang makan dan berlaku prihatin. Kalau minta pulang pasti tak diizinkan, maka sengaja agar sakit. Setelah tujuh hari sakit perut lalu dilaporkan kepada Panji Surengrana. Oleh Ki Panji si Juragan Bali disuruh pulang ke Gresik. Dengan digotong tandu Juragan Bali dipulangkan dengan pesan, “Ingat kalau sudah sehat segera kembali.”

Sesampai di Gresik Juragan Bali kembali makan nasi dan sakitnya langsung sembuh.

Sementara itu Patih Cakrajaya sudah sampai di Surabaya bersama Kumendur Gobyo. Mereka menuju Loji Surabaya. Di situ hanya ada sedikit serdadu Belanda, kira-kira empat puluh orang. Mereka semua dalam keadaan waspada karena benteng hampir dibedah oleh musuh. Patih Cakrajaya datang bersama serdadu Kumpeni dan bergabung dengan serdadu di Loji. Pasukan Tumenggung Kartanagara juga sudah sampai di Surabaya. Mereka berbaris di tenggara kota, di desa Sapanjang. Ki Kartanagara lalu mengirim surat kepada Patih Cakrajaya dan juga mengirim surat laporan kepada Sang Raja di Kartasura. Ki Patih juga mengirim surat laporan kepada Sang Raja.

Di Kartasura Sang Raja telah menerima surat laporan dari kedua punggawa. Ketika membaca surat Ki Kartanagara Sang Raja merasa terkesan dengan si pembuat surat. Sang Raja bertanya kepada utusan, siapa yang menulis surat itu.

Utusan menjawab, “Paduka, yang menulis abdi paduka yang bernama Saratruna, anak dari Sarawadi.”

Sang Raja berkata, “Katakan kepada tuanmu, penulisnya aku minta. Pulangkan segera ke Kartasura.”

Kedua utusan bertolak kembali ke tempat masing-masing dengan membawa surat balasan.

Sementara itu di Surabaya, pasukan Kartasura sedang memperkuat benteng mereka. Meriam telah ditata dan seluruh prajurit dalam keadaan siaga penuh. Di pihak musuh tiga dewa dari Bali yang berada di Gresik merasa susah hati. Dewa Kaloran menderita sakit. Juragan Bali lalu dipanggil menghadap.

Dewa Kaloran bertanya, “Hai Juragan Bali, aku bertanya bagaimana kabar di barisan? Engkau baru saja datang dari sana.”

Juragan Bali menjawab pelan, “Ki Panji Surengrana sekarang berada di Maronggahan. Musuh banyak yang datang dan juga mereka sedang berangkat ke Surabaya. Ada pula patih Sang Raja bernama Patih Cakrajaya.”

Para dewa tertegun tak bisa bicara mendengar penuturan Juragan Bali.

Sesaat kemudian Dewa Kaloran berkata, “Aku ini datang ke Jawa karena menurut si Panji atas perintah Sunan Pakubuwana. Sekarang patihnya datang menyerang. Kalau ini atas perintah Sang Raja tidak mungkin patihnya datang menyerang. Kalau demikian saya pulang ke Bali saja.”

Juragan Bali berkata, “Kalau Anda akan pulang melalui Nusakambangan, saya beri tahu kepada Patih Cakrajaya dulu. Supaya mendapat jalan. Kalau Patih Cakrajaya tidak mau memberi jalan Anda tidak bisa lewat. Negeri Madura, Sumenep dan Pamekasan ada di bawah perintah Ki Patih. Kalau Anda ikut si Panji Surengrana, sungguh akan menjadi musuh orang satu negara. Si Panji Surengrana durhaka kepada Sang Raja.”

Dewa Kaloran berkata, “Terserah maumu, aku menurut saja.”

Ki Juragan Bali lalu mengirim utusan kepada Patih Cakrajaya. Si utusan sudah sampai di negeri Surabaya dan bertemu Ki Patih. Surat segera diserahkan dan sudah dibaca oleh Ki Patih. Ki Patih Cakrajaya sangat suka, para dewa dari Bali dipersilakan lewat. Ki Juragan Bali kemudian mengantar mereka sampai di Palasa. Mereka kemudian berpisah jalan. Para dewa melanjutkan perjalanan ke Bali dan Ki Juragan Bali ke Surabaya menemui Patih Cakrajaya.

Ki Patih Cakrajaya merasa suka hati melihat Juragan Bali, orangnya gagah dan tinggi-besar. Ki Patih bertanya kepada Juragan Bali apa berani melawan Panji Surengrana. Juragan Bali menyatakan berani melawan Surengrana.

Ki Patih Cakrajaya berkata, “Dinda Tumenggung Tegal, engkau pimpin pasukan. Si Juragan Bali engkau bawa. Juga dua punggawa dari Brebes dan Kaliwungu.”

Ki Tumenggung Tegal menyatakan kesanggupan. Segera berangkat membawa Juragan Bali. Singkat cerita sudah sampai di Gresik, lalu terus maju ke Lamongan. Di saat yang sama Panji Surengrana baru saja tiba di Lamongan. Oleh Tumenggung Tegal dan Juragan Bali Lamongan langsung diserang. Terjadi pertempuran sengit. Ki Juragan turun dari kuda dan mengamuk bersama pasukannya seperti macan lapar. Semua yang diterjang lari. Panji Surengrana terdesak, pasukannya banyak yang tewas. Mereka berhasil diusir ke luar kota dan masuk ke hutan. Dari arah barat Ki Tumenggung Surawijaya dari Jipang menghadang. Dari arah utara Rangga Tuban menerjang. Panji Surengrana terkepung di tengah hutan. Mereka berhasil lari memanfaatkan lebatnya hutan. Ki Tumenggung Tegal dan Juragan Bali kemudian mundur ke Gresik.

Ki Tumenggung Kartanagara dan Patih Cakrajaya keduanya melaporkan situasi ke Kartasura. Carik Saratruna dihaturkan sekalian ke Kartasura. Juga dilaporkan kalau Juragan Bali telah berjasa kepada Sang Raja dan berani melawan musuh negara. Sang Raja sangat bersukacita mendengar laporan dari medan perang. Carik Saratruna sudah diterima lalu dikaryakan di Kartasura dan diangkat sebagai lurah carik dengan nama Carik Bajra.

Sang Raja berkata kepada utusan, “Katakan kepada Patih Cakrajaya, sekarang Juragan Bali berilah tiga ratus prajurit Gresik. Aku beri dia kedudukan dan nama Ngabei Tohjaya.”

Utusan menyembah dan segera kembali ke Surabaya. Semua perintah Sang Raja segera dilaksanakan. Ki Cakrajaya sangat gembira karena hasil kerjanya diterima oleh Sang Raja. Ki Juragan Bali lalu dipanggil menghadap ke Surabaya bersama Tumenggung Tegal. Ki Puspanagara disuruh untuk berjaga di Gresik. Sesampai di Surabaya Patih Cakrajaya menyampaikan perintah Sang Raja bahwa mulai kini Juragan Bali diberi kedudukan dan nama Ngabei Tohjaya.

Sementara itu Panji Kartayuda yang sedang berada di Kediri tidak segera masuk ke kota. Dia hanya menganggu di luar kota dengan dua ribu prajuritnya. Barisan Kartasura di Sapanjang selalu diganggu. Pasukan Ki Kartanagara tidak bisa mencari makan dan hanya tinggal di dalam benteng. Prajurit Kartayuda dibagi menjadi empat dan mereka bergilirian mengganggu. Sewaktu-waktu pasukan Panji Kartayuda bisa datang kemudian segera pergi. Datangnya tak tentu, bisa siang, malam atau sore. Pasukan Ki Kartanagara menjadi sangat kerepotan.

Ki Patih Cakrajaya berunding bersama Kumendur Gobyo. Berkata Patih Cakrajaya, “Tuan Kumendur, mari kita segera menyerang pasukan Surabaya. Apa lagi yang kita tunggu. Sudah lama kita berada di Surabaya.”

Berkata Kumendur Gobyo, “Hai Ki Patih, segera umumkan kepada semua punggawa supaya bersiap.”

Tanda perang segera dibunyikan. Pasukan Kartasura bersiap menyerang pasukan Surabaya. Serdadu Kumpeni menempati bagian dada bersama pasukan seberang dari Bugis, Makasar dan Sumbawa. Sayap kiri ditempati Adipati Jayaningrat bersama pasukan pesisir. Sayap kanan ditempati Adipati Citrasoma dari Jepara. Patih Cakrajaya menempati dada bersama Kumpeni. Barisan Kartasura bergerak seperti mendung. Semua tempat yang dilalui penuh sesak oleh banyaknya prajurit yang lewat.

Sementara itu pasukan Surabaya sudah bersiaga menghadang. Yang memimpin pasukan adalah adik Arya Jayapuspita lain ibu. Namanya Ngabei Jangrana, sama dengan nama mendiang sang kakak. Ngabei Jangrana memakai pakaian serba putih. Para ulama sejumlah tujuh ratus ikut serta bertempur. Para katib tampak seperti kumpulan burung kuntul karena pakaian putih mereka. Dengan menyandang cundrik dan memegang tombak, mereka tak mau bercampur pasukan lain. Ki Penghulu Akim yang memimpin, didampingi Ki Penghulu Tumbakaji. Bersama Ngabei Jangrana mereka menempati bagian dada. Para mantri Surabaya menempati bagian sayap. Adapun Arya Jayapuspita menempati bagian belakang. Pasukan Surabaya sudah berangkat dari dalam kota. Mereka telah sampai di desa Pakapasan. Di desa itu pasukan Surabaya bertemu pasukan Kartasura dan pertempuran pun pecah.

Pasukan Kumpeni memberondong dengan tembakan. Pasukan kaum ulama merunduk semua. Medan perang seketika gelap oleh asap mesiu. Ki Penghulu Akim maju mengamuk ke tengah bersama Ki Tumbakaji. Dua penghulu bertempur seperti raksasa galak memangsa daging. Kepulan asap diterjang dengan berani.

Ngabei Jangrana segera menyuruh para mantri, Demang Wirasraya, Demang Ranggalawe, Demang Ngebes, Singarana, Singalaga, Secapura dan Ki Sindubaya untuk maju menyerang sayap kiri musuh. Ada seorang keponakan Ngabei Jangrana, anak dari Adipati Jangrana dulu, bernama Jaka Tingkeban. Si Jaka Tingkeban ini masih bocah tetapi sudah berani bertempur. Dia memimpin para mantri maju menerjang sayap kiri musuh. Ngabei Jangrana kemudian memimpin pasukan Talangpati, menerjang sayap kanan musuh. Sudah pecah pertempuran di segala lini. Bunyi meriam dan gurnada seperti halilintar menyambar seolah hendak membuat bumi retak. Berondongan tembakan seperti hujan peluru. Terdengar jerit mengaduh dari seluruh medan perang oleh mereka yang terluka. Bunyi denting senjata bersahutan. Suasana menjadi gelap seolah tengah malam. Pasukan kaum ulama mengamuk dengan berani menerjang serdadu Kumpeni. Yang diterjang tak kalah berani. Baju putih para kaum sudah menjadi merah oleh darah para Kumpeni. Pasukan seberang dari Bugis Makasar berusaha membantu, tapi amukan para kaum tak tertahankan. Satu brigade serdadu Kumpeni tumpas habis. Sisanya melarikan diri dari medan perang. Bagian dada pasukan Kartasura sudah hancur. Sayap kiri pasukan Kartasura segera diterjang para mantri Surabaya. Jaka Tingkeban yang memimpin para mantri mengamuk hebat. Sayap kiri sudah hancur diterjang. Adipati Jayaningrat bersama pasukan Pekalongannya kocar-kacir.

Sementara itu Panji Wiranagara dari Tegal yang meliha Adipati Jayaningrat terdesak berusaha membantu. Segera Ki Panji memutar kudanya bermaksud menghadang pasukan Jaka Tingkeban. Namun belum siap musuh keburu datang menerjang. Pasukan Panji Wiranagara pun terdesak dan tak mampu membalas.

Panji Wiranagara Tegal mempunyai seorang adik bernama Agrayuda. Si adik menangis sambil memeluk kaki sang kakak, meminta agar sang kakak lari menyelamatkan diri. Agrayuda dan para mantri yang akan menahan serangan musuh agar sang kakak bisa menyelamatkan diri.

Panji Wiranagara berpikir, “Walau lari mustahil selamat. Malah akan mendapat cela kalau aku lari. Kelak anak cucuku tak laku kalau mengabdi kepada Sang Raja. Utamanya seorang bupati kalau gugur di medan perang.”

Berkata Wiranagara, “Hai bocah-bocahku semua, aku ikut mati bersama kalian.”

Pasukan Tegal melawan musuh yang terlalu banyak. Mereka tak berharap selamat lagi. Yang dipikirkan hanya mengamuk sampai tetes darah terakhir. Panji Tegal seperti Abimanyu yang perang di Baratayuda, dikeroyok oleh para mantri Surabaya. Sejumlah empat puluh orang kerabat Panji Wiranagara ikut tewas. Panji Tegal luka disekujur dadanya, lalu jatuh terkapar. Dua ratus prajuritnya menyusul.

Patih Cakrajaya memutuskan membawa pasukan mundur. Pasukan Kumpeni sudah hancur. Kumendur Semarang membawa sisa serdadunya ke dalam benteng. Selama bertempur Kumendur tak berpisah dengan Ki Patih. Sisa pasukan Kartasura berangsur masuk ke benteng.

Ki Ngabei Tohjaya yang berada di sayap kanan pun tak berdaya melawan pasukan Surabaya. Sayap kanan pasukan Kartasura hancur. Mereka banyak yang tercebur ke sungai. Ngabei Tohjaya memisahkan diri ke sungai. Di tepi sungai mereka menemukan perahu dan  memakainya untuk menuju benteng. Di dalam benteng sudah menunggu Ki Patih Cakrajaya. Mereka semua heran bisa kalah melawan pasukan Surabaya.

Ngabei Tohjaya berkata, “Ki Patih, Anda cegah jangan sampai prajurit kita lari. Semua berkumpul bersama sisa pasukan Kumpeni. Saya minta ditunjuk memimpin perang.”

Ki Patih sangat gembira mendengar kesanggupan Ngabei Tohjaya. Para prajurit pesisir semua diundang berkumpul. Yang lari sudah dipanggil kembali. Ki Patih mempunyai pasukan sejumlah delapan puluh orang yang masih muda-muda. Sudah dikaryakan dan diberi gaji, namanya prajurit Tarunasura. Mereka memakai pakaian kuning dan bersenjata tombak. Pemimpin mereka bernama Ki Sutayuda dan Ekatruna. Mereka kemudian ditugaskan menjaga benteng.

Tidak berapa lama pasukan Surabaya datang menyerang benteng Kartasura. Mereka datang dengan bersorak dan menabuh aneka gambelan. Pasukan Kartasura menjadi miris. Pertempuran kembali pecah. Pasukan Tarunasura tak gentar melawan pasukan Surabaya. Ki Ngabei Tohjaya kembali mengamuk seperti raksasa lapar. Ki Patih memimpin perang dengan membawa rotan. Kalau ada yang tampak kosong Ki Patih segera menunjuk.

“Hai bocah Tarunasura, itu ada yang kosong segera diisi,” teriak Ki Patih.

Sambil terus memberi semangat Ki Patih memimpin komando. Setiap prajurit Tarunasura terdesak Ki Patih memberi semangat agar kembali berani perang. Prajurit Tarunasura masih terus bertempur dengan semangat tinggi. Sementara para bupati sudah bergabung dengan Ki Patih. Mereka kemudian berusaha mempertahankan benteng. Ki Ekatruna tertembak dadanya dan jatuh, tewas seketika. Pertempuran hari itu berhenti oleh datangnya malam. Prajurit Kartasura kembali ke benteng mereka. Jenazah Panji Wiranagara kemudian dipulasara. Rencananya akan di makamkan di kota Surabaya. Ki Arya Jayapuspita mundur ke kota beserta pasukannya. Peristiwa perang besar ini ditandai dengan sengkalan tahun: lar dadi obahing bumi[1].

Sementara itu Panji Surengrana yang berada di hutan bermaksud menyerang pasukan Kartasura yang berbaris di Sapanjang. Mereka telah keluar dari hutan dan bergerak ke arah Surabaya. Tumenggung Surawijaya sudah mendengar kalau Panji Surengrana hendak menyerang Sapanjang. Surawijaya kemudian menyusul ke Sapanjang dan bermarkas di sana. Pasukan Kartasura di Sapanjang merasa tenang karena mendapat bantuan. Tiga hari kemudian pasukan Surabaya menyerang Sapanjang. Terjadi pertempuran dahsyat. Ranggalawe menyerang dari utara, Panji Surengrana menyerang dari timur dan Panji Kartayuda menyerang dari selatan. Pasukan Kartasura kocar-kacir.

Tumenggung Jipang Ki Surawijaya tangguh berperang. Bersama pasukan Jipang terus menahan serangan pasukan Surabaya. Ditembaki dengan senapan, lemparan tombak dan bidikan panah oleh musuh. Ki Surawijaya terlalu banyak musuh, pasukan Jipang banyak yang terluka. Namun Ki Surawijaya tak bermaksud mundur. Ki Surawijaya ditembak senapan tak mempan. Dibidik panah pun masih tegak. Lalu senjata paser dibidikkan mengenai dada Ki Surawijaya. Hanya meninggalkan luka sebesar kutu, tapi diraba terasa sakit. Ki Kartanagara yang melihat pasukan Surawijaya dikeroyok bermaksud menolong, tapi tak mendapat jalan. Pertempuran berhenti karena datangnya malam. Selang sehari kemudian Tumenggung Surawijaya tewas oleh lukanya. Pasukan Kartasura sudah lemas. Ketika Panji Surengrana dan Kartayuda datang pasukan pesisir menyerah. Sementara sisa pasukan Kartasura melarikan diri ke Gresik. Mereka terus dikejar dan sepanjang jalan banyak yang tertangkap.

Dari Semarang, Admiral Britman sudah sampai di Surabaya dengan membawa dua brigade pasukan Kumpeni. Admiral sudah bertemu dengan Kumendur dan Patih Cakrajaya. Kumendur melaporkan bahwa pasukan Kumpeni kalah perang. Serdadu Kumpeni banyak yang tewas. Admiral membanting topinya, tanda sangat marah. Lalu admiral mengambil teropong dan melihat kota Surabaya. Admiral takjub dan mengelengkan kepala melihat pasukan Surabaya. Admiral mengambil padi dan menggantungnya di hadapan. Admiral Britman menurut cerita jarang makan. Kalau hendak makan hanya mengambil sedikit butir padi. Tidurnya pun dengan berjungkir.

Tiga hari berlalu Admiral berkata kepada Patih Cakrajaya, “Negeri Surabaya ini berat. Saya yang sudah banyak berperang di negeri seberang dan menaklukkan banyak negeri, tak pernah saya merasa enggan seperti di Surabaya ini. Saya takjub melihat pasukannya. Kalau saja tidak melaksanakan perintah Jenderal, pasti saya lebih memilih kembali. Tampak sulit membedah negeri Surabaya. Namun Ki Patih, barangkali ada belas kasih Tuhan serta berkah dari Sang Raja, Surabaya bisa saya taklukkan.”

Ki Cakrajaya berunding dengan para punggawa pesisir perkara mencari stok pangan untuk para prajurit. Para punggawa mengusulkan Ngabei Tohjaya sebagai pemimpin pasukan pencari pangan.

Patih Cakrajaya tersenyum dan berkata, “Sayangnya dia tidak punya teman. Dinda Tohjaya, engkau pilihlah satu teman yang cocok.”

Ki Citrasoma mengatakan kepada Ki Patih, kalau Arya Kudus punya saudara bernama Sirnayuda. Dia seorang pemberani. Kalau mendengar senjata bawaannya mengamuk saja seperti Tohjaya. Raden Sirnayuda kemudian dipanggil dan disuruh menenami Tohjaya mencari beras. Mereka berdua dapat melaksanakan tugas dengan baik.

Di Madura, Pangeran Madura dipanggil menghadap ke Surabaya oleh Ki Patih. Namun di Madura sedang terjadi huru-hara. Pangeran Madura sedang berperang dengan menantunya Arya Dikara dari Pamekasan. Sebab terjadi perang karena istri Arya Dikara purik ke rumah ayahnya. Pangeran Cakraningrat menahannya. Karena itu terjadi perang. Prajurit Sampang terdesak oleh pasukan Pamekasan. Banyak orang Sampang menyeberang ke kubu Arya Dikara. Pangeran Cakraningrat menjadi kerepotan.

Sang Adik Raden Suradiningrat diperintahkan untuk maju perang. Setelah berangkat dari kota dan sampai di medan perang Raden Suradiningrat mempunyai pikiran lain. Lupa pada saudara dan ikut berebut kedudukan. Bersekongkol dengan Jangkewuh seorang mantri tua. Mereka kemudian melaporkan kepada Patih Cakrajaya di Surabaya bahwa kakaknya itu hendak memberontak. Utusan sudah sampai di Surabaya dan bertemu dengan Ki Patih. Raden Suradiningrat melaporkan bahwa kakaknya itu hendak bergabung dengan pasukan Arya Jayapuspita di Surabaya. Kalau diizinkan saya sanggup menghancurkan si kakak Cakraningrat karena sudah bersalah melawan Sang Raja. Saya sudah mencegahnya tapi tak dituruti. Banyak lagi pengaduan Raden Suradiningrat kepada Patih Cakrajaya dan Kumpeni.

Patih menyambut baik kesanggupan Raden Suradiningrat. Admiral pun sangat gembira. Admiral kemudian mengirim kapal Kumpeni dengan pimpinan Kapten Karkas untuk bersandar di pelabuhan Madura. Suradiningrat pun merasa mendapat angin.

Sementara itu Pangeran Cakraningrat sudah diberi tahu kalah sang adik Raden Suradiningrat hendak melawannya. Pangeran sangat bingung. Segera mengirim utusan ke negeri Bali meminta bantuan karena dimusuhi oleh adiknya. Di pihak lain pasukan Raden Suradiningrat semakin banyak. Pasukan dari Sumenep dan Pamekasan sudah bergabung ke barisannya. Semua pasukan Madura sudah tunduk. Pangeran Adipati Cakraningrat semakin kehabisan prajurit. Pasukan Raden Suradiningrat sudah berangkat menyerang kota. Sudah sampai di Tunjung.

Cakraningrat hanya tinggal di dalam rumahnya. Penjaganya hanya tinggal enam ratus prajurit. Setiap hari banyak dari mereka lari untuk menyerah kepada Raden Suradiningrat. Sang Adipati menjadi semakin kerepotan. Timbul keinginan untuk mengungsi meminta tolong Kumpeni dan Patih Cakrajaya. Ki Adipati bersiap membawa seluruh keluarganya. Belum lagi bersiap pasukan Suradiningrat telah datang menembaki dari luar. Dengan tergesa-gesa Sang Adipati berangkat. Utusan Sang Adipati telah mendahului menghubungi Kumpeni di kapal. Oleh pimpinan serdadu Kumpeni Kapten Karkas telah disanggupi untuk menyelamatkan Sang Adipati. Apalagi sang kapten telah diserahi mandat untuk berunding. Rombongan Adipati Cakraningrat kemudian naik ke kapal. Yang pertama naik adalah sang Adipati. Kapten Karkas menyambut dengan segala penghormatan. Setelah naik Sang Adipati dipersilakan masuk ke dalam ruang  kapal. Kapten Karkas lalu menyambut istri Sang Adipati. Karena sangat hormat Kapten Karkas menyambut dengan cara Belanda. Tangan istri Adipati diraih dan hendak dicium, seperti layaknya orang barat. Raden Ayu Adipati salah paham dan menjerit memanggil suaminya.

Dari dalam Adipati Cakraningrat kaget mendengar suara jerit istrinya. Adipati mengira istrinya telah diganggu. Seketika bangkit amarahnya. Wajahnya memerah seolah berbasuh darah. Adipati menarik keris dan menikam Kapten Karkas di lambung kiri. Kapten Karkas jatuh seketika dan tewas. Para serdadu kaget. Mereka berusaha menangkap Sang Adipati. Adipati Cakraningrat mengamuk. Serdadu Kumpeni terus menembak tetapi Cakraningrat tak mempan senjata. Adipati Cakraningrat mengamuk semakin menjadi-jadi. Banyak serdadu Kumpeni tewas di kapal. Anak kerabat Sang Adipati ikut mengamuk. Serdadu Kumpeni seluruh kapal tumpas. Hanya menyisakan sedikit serdadu. Lama-lama Cakraningrat kepayahan dan berhasil ditangkap dengan cara dipukuli memakai popor senapan. Pangeran Cakraningrat dan anaknya terus dipukuli sampai tewas. Kepalanya kemudian dipenggal dan dibawa ke Surabaya. Sedang tubuhnya ditenggelamkan di laut.

Sisa serdadu Kumpeni kemudian kembali ke Surabaya dan melapor kepada Admiral Britman. Admiral dan Ki Patih sangat keheranan. Mereka pun kehilangan perwira andalan si Kapten Karkas. Ki Patih pun melaporkan peristiwa ini kepada Sang Raja. Sang Raja juga merasa sangat keheranan. Sang Raja kemudian membalas surat Ki Patih dan memberi oleh-oleh. Isi surat Sang Raja memerintahkan agar Raden Suradiningrat segera dipanggil ke Surabaya. Ki Patih segera mengirim utusan ke Madura memanggil Raden Suradiningrat. Singkat cerita Raden Suradiningrat sudah datang ke Surabaya dengan segenap pasukannya dan menghadap Ki Patih. Ki Patih menyampaikan perintah Sang Raja, Suradiningrat diangkat menggantikan sang kakak dan diberi nama Cakraningrat. Semua punggawa di Surabaya menyaksikan. Mereka kemudian mengadakan jamuan makan bersama sambil berbincang masalah perang.

Admiral Britman berkata kepada Ki Patih, “Ki Patih, masalah perang ini sudah lama berhenti. Sekarang saatnya kita menyerang. Saya sudah mendapat tanda bahwa pertolongan Tuhan akan datang. Hari Selasa besok kita menyerang kota.”

Ki Tumenggung menjawab, “Baik, terserah kehendak Anda, saya mengikuti.”

Sudah sepakat Ki Patih dan Admiral, para punggawa segera diberi tahu. Pada hari Selasa pagi mereka menabuh tanda perang. Ki Patih Cakrajaya sudah bersiap beserta pasukan pesisir dan pasukan Kumpeni. Pasukan pimpinan Admiral Britman juga sudah bergabung. Sayap kiri ditempati Pangeran Madura bersama punggawa dari Tuban, Gesik dan Sidayu. Pasukan pesisir semuanya menempati sayap kanan. Dan bagian dada ditempati pasukan Kumpeni. Di belakang Ki Patih Cakrajaya dan Admiral Britman bertindak sebagai panglima perang.

Adipati Jayapuspita sudah mendengar kalau pasukan Kartasura dan Kumpeni akan menyerang. Mereka pun bersiap menyambut datangnya musuh. Meriam telah disiapkan di pelataran benteng. Tidak lama kemudian pecah pertempuran yang dahsyat. Kedua kubu saling melempar peluru. Meriam mereka bersahutan. Adipati Jayapuspita naik ke panggung. Bunyi gamelan kodok ngorek mengiringinya. Tuan Admiral melihat Jayapuspita berada di panggung, segera mengarahkan meriam ke panggung. Tapi tembakannya meleset jauh. Pasukan Surabaya membalas serangan. Suasana langit Surabaya menjadi gelap oleh asap mesiu.

Tujuh hari sudah pertempuran berlangsung di siang malam. Kalau malam langit Surabaya menjadi terang benderang oleh api dari senjata berat yang meledak. Kedua pasukan masih terus menjaga semangat tempur, tidak ada yang gentar dan mundur. Setiap hari warga Surabaya mengirim pasokan makanan ke benteng. Pukul sebelas para wanita membawa bermacam makanan. Mereka tak takut meski menerobos hujan peluru. Kumpeni sangat heran melihat keberanian warga Surabaya. Setiap hari orang-orang desa terus berdatangan hendak membantu pasukan Surabaya. Mereka hendak ikut melawan musuh. Sebab orang desa berbuat demikian, karena merasa selama ini telah mendapat kasih sayang berlebih dari Sang Adipati. Sang Adipati selalu memerintahkan kepada orang desa agar shalat. Yang biasa shalat rajin akan dibebaskan dari banyak pekerjaan. Walau satu desa shalat semua, mereka bebas dari kewajiban kerja bakti. Malah juga akan mendapat hadiah. Waktu itu di Surabaya bismilah seakan laku. Maka mereka merasa wajib berbela negara kalau musuh datang.

Sementara itu Panji Surengrana datang dari mengejar pasukan Kartasura di Sapanjang. Panji lalu ke Lamongan hendak menemui pasukan yang didatangkan dari Nusakambangan. Murah Panji Baleleng namanya. Prajuritnya seribu orang. Mereka datang atas undangan Panji Surengrana sebagai pengganti Dewa Kaloran yang pulang ke Bali.

Murah Panji sudah bertemu dengan Surengrana dan Panji Kartayuda di desa Kapraban. Murah Panji sangat disambut hangat dan hendak dibawa ke kota. Tapi Jayapuspita masih mengandalkan prajurit kaum ulama. Kedua adiknya ditugaskan mencari bantuan prajurit bayaran untuk berjaga bila nanti prajurit kaum kalah. Ki Adipati lupa berserah diri kepada Tuhan dan malah mengandalkan makhluk. Maka berkurang keselamatannya. Ketika prajurit bayaran belum datang, rumah-rumah yang dihujani peluru tak mempan. Sekarang banyak rumah yang terbakar.


[1] Sengkalan: lar dadi obahing bumi (1642 A. J., 1717/1718 A.D.). 


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/17/babad-tanah-jawi-111-arya-jayapuspita-di-surabaya-memberontak-membela-kakaknya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...