Translate

Jumat, 20 September 2024

Babad Tanah Jawi (112): Arya Jayapuspita mundur dari kota dan menempati Japan

 Admiral Britman sedang berbincang dengan Patih Cakrajaya dan Kumendur Gobyo. Mereka sedang membicarakan tentang peperangan yang tak kunjung mendapat kemajuan.

Kumendur Gobyo berkata, “Bagaimana Ki Patih, kalau selalu berperang meriam akan tanpa akhir perang ini. Kalau setuju mari kita segera menyerang benteng dan berperang jarak dekat. Seberapa banyak kita akan membuang mesiu kalau hanya saling tembak. Sewindu pun takkan selesai. Kita punya banyak pasukan Kumpeni dan prajurit pesisir. Kita tunggu apa lagi?”

Ki Patih dan Admiral Britman setuju dengan usulan Kumendur Gobyo. Segera diumumkan kepada serdadu Kumpeni dan semua pasukan Kartasura bahwa akan segera menyerang benteng. Tanda perang sudah ditabuh, pasukan Kartasura dan Kumpeni segera berangkat.

Adipati Jayapuspita sudah bersiap menghadang pasukan Kartasura. Ki Ngabei Jangrana berada di sayap kanan. Jaka Tangkeban menempati sayap kiri. Adipati Jayapuspita menempati bagian dada. Pasukan Arya Jayapuspita tampak bersenjata warna-warni. Pakaian para prajurit berpendar laksana gunung api. Mereka terus membunyikan gamelan. Ki Adipati duduk dipayungi. Tak lama kemudian pasukan Kumpeni dan Kartasura datang seperti aliran gelombang samudera. Pertempuran segera pecah.

Kedua sayap pasukan Surabaya bersamaan menerjang. Pasukan Kumpeni membalas dengan berondongan senapan. Suara senjata menyalak seperti seribu halilintar. Sorak sorai prajurit bersahutan dengan bunyi gamelan yang terus menggema. Pasukan Surabaya licin seperti ikan di air. Adipati Jayapuspita memberi komando kepada pasukan pilihan. Bersamaan mereka mengamuk, mengobrak-abrik barikade musuh. Banyak serdadu Kumpeni tewas.

Kumendur Gobyo yang melihat banyak serdadu Kumpeni tewas seketika Gobyo membanting topinya. Dan segera memajukan pasukan lagi. Admiral Britman membawa pasukan ke depan bersama Kapten Krasbun dan Letnan Panderlele. Para opsir bersamaan maju. Para prajurit dari Minangkabau, Ambon, Makasar dan Bugis dikerahkan. Juga pasukan Madura dan pesisir. Pasukan Kumpeni mendesak, pasukan Surabaya terus menahan. Banyak korban berjatuhan di kedua pihak.

Jatuhnya peluru seperti hujan, denting senjata nyaring terdengar. Bunyi tulang patah dan jerit para prajurit yang terluka memenuhi seluruh medan perang. Kedua pasukan saling bertempur jarak pendek. Ada yang beradu tombak, bertarung pedang, saling tikam dan ada yang bertarung tangan kosong. Senapan sudah tak berguna lagi karena musuh dan teman sudah bercampur sehingga sulit dibedakan. Seharian mereka bertempur. Medan perang sudah berubah menjadi lautan darah. Mayat-mayat bertumpuk-tumpuk berselang-seling dengan senjata yang patah. Sepanjang mata memandang yang tanpak hanya tumpukan mayat. Tombak-tombak dan senjata berserakan seperti sampah. Dua brigade serdadu Kumpeni tumpas habis. Korban dari prajurit seberang tak terhitung. Letnan Panderlele tumpas habis bersama pasukannya. Kapten Kresbun tewas. Letnan Babandhem gugur. Banyak pula prajurit Kartasura yang tinggal nama. Demikian pula pasukan Surabaya, mereka juga kehilangan banyak prajurit.

Malam harinya Adipati Jayapuspita berembug dengan para punggawa. Mereka sepakat untuk mundur ke timur sungai. Sementara pasukan Kartasura masih menduduki kota Surabaya. Ada bantuan datang dari Betawi di bawah pimpinan Mayor Gustap, Kapten Pardhemes dan Letnan Jakim. Ketiganya perwira tangguh. Pasukan bantuan sudah bergabung dengan Admiral Britman dan Kumendur Gobyo. Malam itu mereka berembug merencakanan langkah esok pagi.

Kumendur Gobyo berkata, “Bagaimana Ki Patih, apakah kita istirahat dulu?”

Ki Patih berkata pelan, “Kalau saya ingin berhenti perang dulu untuk mengistirahatkan prajurit.”

Pangeran Madura berkata, “Kalau setuju, lebih baik besok langsung menyerang. Mumpung dua saudara Jayapuspita belum bergabung. Si Surengrana dan Panji Kartayuda sekarang sedang berada di tempat terpisah. Mereka  baru menemui prajurit bayaran dari Buleleng yang bernama Murah Panji. Kalau mereka sudah bergabung akan sangat berat dilawan.”

Kumendur Gobyo menepuk paha dan tertawa, “Itu lebih baik.”

Kumendur Gobyo wataknya memang keras, karena itu memaksa terus berperang. Karena tak bisa melihat keadaan pasukan, sukanya mengamuk saja. Malam itu mereka sepakat untuk kembali menyerang besok.

Pagi harinya tanda perang sudah dibunyikan. Suara tambur dan gong-beri bersahutan. Pasukan Kartasura berangkat menyerang kembali. Sudah ditata bagian sayap dan dada. Pangeran Madura dan pasukan pesisir menempati kedua sayap. Bagian dada seperti biasa ditempati pasukan Kumpeni.

Jayapuspita mendengar kalau akan diserang. Segera Ki Adipati bersiap dengan pasukannya. Ngabei Jangrana berada di sayap kanan. Jaka Tangkeban berada di sayap kiri bersama para mantri. Mereka bersiap menghadang musuh di barat sungai. Pasukan berani mati sejumlah seribu berada di depan, di belakangnya prajurit Talangpati sujumlah seribu. Tak lama mereka sampai di barat sungai.

Pasukan Kartasura sudah datang. Setelah beberapa saat saling pandang kedua pasukan segera menerjang. Pecah pertempuran dahsyat. Kedua kubu saling menembak. Suasana menjadi gelap oleh asap senjata. Pasukan Surabaya tak peduli, mereka tetap menerjang menembus pekatnya asap. Serdadu Kumpeni terus menembak, pasukan Surabaya terus maju. Perang jarak dekat tak bisa dihindari.

Adipati Jayapuspita berkata kepada para prajuritnya, “Ayo orang Surabaya, pasukan berani mati dan Talangpati, pejamkan mata kalian. Jangan ada yang ingin hidup. Sungguh ini bayaran untuk surga kalian.”

Prajurit Surabaya mengamuk mengobrak-abrik pasukan lawan. Semua yang diterjang hancur. Pasukan Kumpeni banyak yang tewas. Di belakang musuh hendak membalas. Mayor Gustap dan Kapten Pandhermes bersamaan maju. Kumendur Gobyo ke tengah, mengamuk seperti raksasa. Admiral menerjang dari belakang bersama Kapten Tonar dan Letnan Jakim. Serdadu Kumpeni maju menerjang. Pasukan Surabaya masih mengamuk. Senapan sudah tidak berguna, mereka bertarung jarak dekat.

Patih Cakrajaya mengerahkan pasukan dari belakang. Pasukan berani mati dan Talangpati sedikit terdesak. Segera disusupi tembakan granat. Yang diterjang kokoh. Mayat-mayat bergelimpangan.

Adipati Jayapuspita terlihat jelas beserta peralatan upacaranya. Ki Adipati duduk berpayung sambil enak-enak merokok. Kumendur Gobyo yang melihatnya menjadi sangat marah. Segera mengerahkan pasukannya memberondong ke arah Sang Adipati.

Adipati Jayapuspita berseru, “Ayo habiskan pelurumu wahai kafir.”

Ki Adipati memakai pakaian peranakan putih dan berikat kepala ungu. Tanpak gagah dan tampan. Kumpeni terus menembaki, Adipati tak gentar. Masih enak-enak bersirih dan memberi komando. Jaka Tangkeban dari kiri melihat sang paman diberondong tembakan, segera memutar kuda. Pasukan sayap dia tinggalkan, dengan kuda menerjang musuh. Si kuda bernama Mangunsih, kuda berwarna janjanbiru. Jaka Tangkeban mengamuk dengan tombak. Dikeroyok oleh banyak prajurit musuh. Tombaknya memakan korban di kanan-kiri. Banyak prajurit musuh dilibas dan tewas. Tiba-tiba kuda Jaka Tangkeban terkena tembakan peluru, mati seketika. Ki Jaka melompat, tombaknya tertinggal di atas kuda. Ganti menarik keris dan mengamuk si Jaka Tangkeban. Seperti banteng luka sepak terjangnya. Para mantri Surabaya yang melihat kembali bersemangat, mereka maju ke tengah dan ikut mengamuk. Jaka Tangkeban sudah sampai di tempat sang paman lalu sungkem menyentuh kakinya.

Adipati Jayapuspita berkata, “Hai, istirahatlah dulu. Jangan memaksa diri.”

Musuh terus datang, kali ini dari arah kiri. Ngabei Jangrana yang berada di sayap kanan berusaha menahan. Ramai mereka bertempur. Ngabei Jangrana terkena dadanya dan terluka. Di luar tampak tidak mempan, tetapi dalamnya remuk. Ki Ngabei Jangrana tewas di tempat. Para prajurit Surabaya yang melihat mengamuk berbela mati.

Ki Adipati sudah diberi tahu kalau sang adik tewas. Ki Adipati segera meraih tombak dan bersiap menerjang musuh. Jaka Tangkeban dan para mantri tak ketinggalan. Mereka berusaha menahan Sang Adipati.

“Duh tuan, jangan maju dulu kalau kami masih hidup. Pasukan paduka masih banyak. Pasukan berani mati dan Talangpati, juga prajurit kaum masih sanggup melawan musuh. Adik paduka yang tewas, kami akan balaskan.”

Jayapuspita berkata, “Ayo bersama kita maju. Aku ingin bersama kalian. Hari ini aku ingin maju sendiri. Ayo kita mengamuk sekarang.”

Para mantri dan Jaka Tangkeban berada di depan. Pasukan berani mati dan Talangpati bersama-sama menerjang. Pasukan sayap sudah berkumpul bersama Ki Adipati.

Kumendur dan Admiral melihat kalau Adipati Jayapuspita ikut maju ke medang perang. Kumendur Gobyo mengerahkan pasukan Kumpeni untuk menahan. Pasukan pesisir ikut menahan serangan Jayapuspita. Pasukan Surabaya terus mengamuk bersama Sang Adipati. Banyak serdadu Kumpeni tewas.

Jaka Tangkeban mengamuk ke tengah bersama para mantri. Pasukan Madura diterjang bubar berlarian. Para mantri Surabaya seperti mandi darah oleh musuh yang tewas. Adipati Jayapuspita dikelilingi para pengawal. Gamelan terus berbunyi mengirinya. Perabotan upacara tak ketinggalan, selalu menyertainya. Setiap ditembak Jayapuspita tak pernah gentar, malah semakin menantang.

“Ayo, laknat kafir. Bawa semua bubuk mesiu ke sini. Ayo keroyoklah Jayapuspita,” teriaknya lantang.

Para mantri Surabaya terus mengamuk. Berita kematian Jangrana sudah didengar oleh para istrinya. Mereka kemudian menyusul ke medan perang. Para istri Jayapuspita pun turut menyusul. Mereka berusaha menahan agar Jayapuspita mundur. Besok saja berperang lagi. Dengan menangis mereka menghiba-hiba agar suaminya menuruti permintaannya. Hati Jayapuspita menjadi tidak tenang oleh rengekan para istri, dengan perlahan Sang Adipati mundur.

Sementara di pihak Kumpeni, mereka pun kecapaian. Melihat Jayapuspita mundur mereka pun perlahan mundur. Sambil terus saling menembak mereka saling menjauh. Hari sudah menjelang malam. Kedua pasukan kembali ke tempat masing-masing. Pasukan Kartasura kembali membuat pondokan di kota. Mereka menghitung jumlah korban tewas. Ada dua brigade sejumlah delapan ratus yang tumpas.

Pada malam harinya, Panji Surengrana dan Panji Kartayuda mendengar kabar bahwa pasukan sang kakak banyak menderita korban. Juga adik mereka Ngabei Jangrana tewas. Kedua Panji kemudian menghadap Jayapuspita. Keduanya menyarankan agar Adipati Jayapuspita keluar dari kota. Jangan sampai pasukannya berperang di tempat sempit.

Adipati Jayapuspita berkata, “Aku ingin bertarung sampai mati di kota. Aku lihat musuh banyak sekali jumlahnya. Entah berapa kali lipat dengan pasukan Surabaya. Tapi aku si kakak ini sehelai rambut pun tidak takut.”

Dua adik Jayapuspita memaksa agar sang kakak mau bergabung dengan Murah Panji Buleleng.

 Adipati Jayapuspita berkata, “Tanyakan kepada para prajurit dan para kaum semua.”

Prajurit kaum berselisih pendapat dengan para prajurit Surabaya. Ada yang mengatakan tak boleh berperang sabil bercampur dengan orang kafir Nusakambangan.

Ketib Bawang berseru, “Walau kafir dia menolong kita. Jangan samakan dengan Belanda yang juga kafir.”

Mereka pun setuju dengan pendapat Ketib Bawang sehingga lebih banyak pendapat yang condong agar keluar kota. Ditambah dua adiknya terus mendesak, Adipati Jayapuspita menjadi goyah. Sang Adipati dan pasukannya akhirnya berangkat ke luar kota dan berkumpul di Kapraban. Dua malam di Kapraban, lalu mereka membuat markas di Kaputran. Murah Panji Buleleng pun juga bermarkas di Kaputran, tetapi tempatnya terpisah jauh dari markas Adipati Jayapuspita.

Sementara itu Admiral Britman dan Patih Cakrajaya sudah mendengar kalau Jayapuspita telah keluar dari kota dan bermarkas di Kaputran. Kumendur Gobyo memaksa untuk mengejar, tetapi Admiral Britman tak sepakat. Juga Patih Cakrajaya juga tak setuju. Kumendur Gobyo memaksa, sehingga para bupati masing-masing menyumbang prajurit. Dua brigade Kumpeni dibawa oleh Kumendur Gobyo. Admiral dan Patih tetap tinggal di kota. Mereka hanya menyertakan beberapa mantri.

Kumendur Gobyo sudah sampai di Kaputran dan segera menyerang pasukan Surabaya. Pasukan Surabaya berperang sambil mundur ke arah Wanakrama. Kaputran segera diduduki pasukan Kumendur Gobyo. Kumendur mengira pasukan Surabaya takut, maka dia terus mengejar ke Wanakrama. Pasukan Surabaya keluar menyambut. Panji Kartayuda dan Panji Surengrana memimpin pasukan Surabaya. Kembali pecah pertempuran hebat. Kedua Panji mengamuk seperti banteng terluka. Murah Panji Baleleng ikut turun dengan dua ratus prajurit. Pasukan Kumpeni tak henti menembak. Medan perang menjadi gelap-gulita oleh asap mesiu. Pasukan Surabaya menerabas kepulan asap dan menyusup ke pasukan Kumpeni. Mereka bertarung jarak pendek. Banyak Kumpeni tewas. Tak butuh waktu lama satu brigade serdadu Kumpeni tumpas. Pasukan Jawa sudah lari. Sisa pasukan Kumpeni mundur sambil bergerombol. Panji Surengrana dan Panji Kartayuda terus mengejar. Kumendur Gobyo berjumpalitan mengajak pasukannya kembali maju, tapi pasukan Kumpeni terus terdesak. Kumendur Gobyo berteriak-teriak, tapi pasukan sudah tak peduli dan terus lari. Mereka mengungsi ke tempat Patih Cakrajaya.

Patih Cakrajaya kaget melihat pasukan Kumendur Gobyo berdatangan. Segera menabuh bende tanda perang. Pasukan Kartasura keluar menolong. Pangeran Madura yang memimpin. Mereka sudah bertemu dengan pasukan Kumpeni yang masih dikejar prajurit Surabaya. Pasukan Sampang menghadang dan bersamaan menerjang. Pasukan Kumpeni berhasil selamat. Pasukan Madura berperang sambil mundur dan mengawal pasukan Kumpeni. Pasukan Surabaya terus mengejar, tetapi makin ke belakang semakin banyak bantuan pasukan Kartasura. Pasukan Surabaya lalu kembali ke Wanakrama. Karena rusaknya pasukan masing-masing selama tiga bulan kedua pasukan tak ada yang berinisitif menyerang. Pasukan Surabaya tetap berbaris di Wanakrama.

Sementara itu di Kartasura Sang Raja telah mendengar kalau pasukannya rusak parah. Surabaya belum berhasil ditaklukkan. Para prajurit banyak yang tewas. Sang Raja lalu mengirim bantuan pasukan. Para mantri Pamajekan dikerahkan dari Banyumas, Mataram, Pamarden dan Roma. Mereka dipimpin Demang Jayawinata dan Demang Sasrarudita. Singkat cerita pasukan bantuan sudah bergabung dengan Patih Cakrajaya dan Tuan Admiral. Mereka sudah ditempatkan dalam pondokan.

Ganti cerita, para prajurit Bali yang diminta datang oleh mendiang Pangeran Sampang yang tewas di kapal, sudah datang. Pimpinan mereka bernama Dewa Ketut dengan pasukan seribu prajurit. Sesampai di kota Tunjung mereka mendengar kalau Pangeran Cakraningrat telah tewas. Mereka heran dan sebagai pelampiasan mereka banyak menjarah penduduk Madura. Banyak orang Madura kemudian menyusul tuan mereka yang sedang berperang di Surabaya. Mereka memberitahu kalau di Madura ada musuh datang dari Bali yang bernama Dewa Ketut. Pangeran Madura kemudian melapor kepada Patih Cakrajaya dan Admiral Britman.

Berkata Cakrajaya, “Anda pulang dulu untuk menyelesaikan.”

Berkata Pangeran Cakraningrat, “Itu musuh yang ringan, bisa diselesaikan nanti. Sekarang yang berat berada di Surabaya. Adik saya si Cakranagara saja yang saya suruh pulang mengatasi masalah.”

Berkata Ki Cakrajaya, “Baik, terserah padamu.”

Raden Cakranagara kemudian ke Madura dengan membawa seribu prajurit. Sudah naik ke kapal dan berangkat. Sementara itu Admiral Britman memberitahukan kepada Patih Cakrajaya bahwa polah Kumendur Gobyo sembrono dalam membawa pasukan. Dia memimpin dengan membabi-buta sehingga banyak serdadu Kumpeni tewas. Admiral hendak mengirim surat ke Betawi, isinya kalau masih didampingi Kumendur Gobyo lebih baik minta mundur dan kembali ke negeri Belanda. Tak hendak berperang lagi. Ki Cakrajaya diminta kesaksian tertulis. Utusan segera melesat ke Betawi melalui laut. Singkat cerita utusan Admiral Britman sudah sampai di Betawi dan menghadap para Dewan Hindia. Dewan Hindia lalu mengadakan rapat untuk memeriksan surat Admiral Britman. Surat lalu dilaporkan kepada Gubernur Jenderal. Tak lama kemudian Kumendur Gobyo dipanggil ke Betawi.

Ganti cerita, Raden Jimat atau Raden Cakranagara sudah sampai di Madura dan berperang dengan musuh. Raden Jimat sangat perkasa, prajurit Bali banyak yang tewas. Orang Bali kemudian tunduk dan membujuk kepada Raden Cakranagara untuk mengambil alih kekuasaan di Madura. Raden Cakranagara lupa dengan saudara tua, terbujuk rayuan orang Bali lalu mengangkat diri sebagai Pangeran Cakraningrat Madura. Pangeran Cakraningrat kemudian membentuk pasukan dan semakin lama semakin besar. Yang menjadi panglima adalah Raden Sewanagara. Orang Madura sudah tunduk kepada Pangeran Cakraningrat yang baru.

Peristiwa pembangkangan Raden Cakranagara kemudian dilaporkan kepada Pangeran Cakraningrat yang berada di Surabaya. Pangeran Madura menjadi bingung, lalu melapor kepada Patih Cakrajaya dan Tuan Admiral. Pangeran mengatakan kalau sang adik Raden Cakranagara sekarang bersekongkol dengan Dewa Ketut dan berbalik melawannya.

Patih Cakrajaya dan Tuan Admiral sepakat untuk menyelesaikan masalah satu per satu. Mereka memutuskan menuntaskan masalah di Surabaya terlebih dahulu. Patih Cakrajaya dan Tuan Admiral kemudian mengundang seluruh pasukan untuk menggempur Wanakrama. Mayor Gustap yang akan menjadi panglima dengan membawa dua brigade pasukan Kumpeni. Para bupati pesisir ikut semua.

Pasukan Surabaya di Wanakrama begitu melihat musuh datang segera menyambut. Tanda perang telah dibunyikan. Gong-beri menggema bersahutan. Adipati Jayapuspita keluar ke medan perang. Panji Surengrana dan Panji Kartayuda segera bertempur melawan pasukan Mayor Gustap. Pasukan Kumpeni menembak dengan membabi buta. Sudah kehendak Tuhan, kali ini prajurit Surabaya apes. Karena berperang mengandalkan prajurit Bali mereka menjadi sial. Panji Surengrana dan Panji Kartayuda bersamaan menerjang pasukan Kumpeni. Namun banyak pasukan Surabaya mengami luka dan tewas. Adipati Jayapuspita menyaksikan dari atas benteng pasukannya terdesak. Panji Tohjaya mengamuk bersama Raden Sirnayuda seperti banteng terluka. Pasukan Surabaya yang diterjang banyak yang tewas. Rangga Wanengpati, seorang mantri andalan Surabaya tewas. Demang Ngebes, Rangga Surengpati dan Ki Sindubaya tewas. Demang Secapura terluka. Panji Surengrana masih mengamuk bersama prajurit Bali saling baku pukul dengan pasukan Kartasura.

Adipati Jayapuspita mengambil tombak dan bermaksud turun ke medan laga. Para mantri memintanya agar mundur.

“Duh tuanku Adipati, besok majulah kalau kami sudah hancur. Sekarang lebih baik mundur mencari tempat yang lapang ke negeri Japan. Wanakrama masih sempit dan dekat dengan kota. Di Japan lebih baik tempatnya.”

Panji Surengrana setuju dengan usulan para mantri. Sang Adipati akhirnya mundur perlahan. Pasukan Kumpeni masih terus menembak. Pasukan Surabaya menahan sambil terus mundur. Kalau serangan pasukan Kumpeni meningkat, pasukan Surabaya berbalik menahan. Lama-lama jarak kedua pasukan semakin jauh. Pasukan Surabaya kemudian masuk ke benteng mereka. Dan hari berikutnya mereka berangkat dari Wanakrama. Semua keluarga para mantri dan prajurit diajak serta. Juga segala perabotan mereka. Tukang pandai besi pun dibawa serta. Adipati Jayapuspita berada di belakang barisan, mengawal tujuh ribu prajurit. Pasukan Kumpeni mengetahui kalau pasukan Surabaya meninggalkan benteng mereka. Benteng segera diduduki.

Sementara itu perjalanan Adipati Jayapuspita dan pasukannya sudah sampai di Japan. Pasukan Kumpeni kemudian mundur ke kota Surabaya. Mereka kemudian merencanakan serangan ke Madura. Patih Cakrajaya menunjuk punggawa yang akan berangkat. Mereka akan kembali dipimpin Mayor Gustap, didampingi Kapten Tonar dan Kapten Bongsing. Pangeran Madura berangkat mendahului pasukan Kumpeni. Pasukan Kumpeni menyusul di belakang dengan satu brigade serdadu. Ki Cakrajaya lalu melaporkan peristiwa penyerangan ke Madura kepada Sang Raja di Kartasura.

Di Semarang, pasukan Tumenggung Kartanagara yang lari dari Sapanjang sudah beberapa lama berada di sana. Mereka kemudian mendapat perintah agar kembali ke Kartasura. Ki Tumenggung segera pulang dengan pasukannya. Sesampai di hadapan Sang Raja segera dilaporkan bahwa pasukannya kalah dan hancur. Sang Raja sangat keheranan.

Ganti cerita, duta Ki Cakrajaya sudah sampai di Kartasura. Surat laporan sudah diperiksa Sang Raja. Surat segera dibalas dan utusan segera kembali ke Surabaya.

Sementara itu Mayor Gustap dan pasukan pesisir sudah bertempur dengan pasukan Dewa Ketut dan Raden Cakranagara di Malaya. Dewa Ketut dan pasukannya sangat tangguh. Serdadu Kumpeni banyak yang tewas. Namun karena pasukan Kartasura banyak mereka akhirnya terdesak dan mundur ke Tunjungan. Raden Cakranagara bermaksud bertahan di dalam kota.

Pangeran Cakraningrat dan Kumpeni kemudian mengepung kota. Pasukan Dewa Ketut kembali terlibat baku tembak dengan pasukan Kumpeni. Pasukan Cakranagara dan Dewa Ketut bertahan dengan gigih. Banyak pasukan Madura tewas. Pasukan Kumpeni dan Kartasura terus menekan. Pasukan Madura terdesak. Banyak dari mereka lari. Pasukan Nusakambangan pimpinan Dewa Ketut mengamuk menerjang Kumpeni. Ganti pasukan Kumpeni kewalahan menahan serangan Dewa Ketut.

Mayor Gustap memberi perintah agar pasukan di belakang maju semua. Pasukan pesisir segera maju menerjang. Dewa Ketut terdesak oleh lawan yang banyak. Pasukannya hancur. Yang hidup melarikan diri. Dewa Ketut sudah lari ke arah timur laut. Pasukan Kumpeni mengejar tetapi menjaga jarak. Setelah cukup jauh mereka kembali ke kota.

Sementara itu Raden Cakranagara dan Raden Sewanagara hendak dibawa ke Bali oleh Dewa Ketut. Kelak kalau sudah siap akan kembali lagi. Dewa Ketut sudah naik ke kapal.

Pasukan Kumpeni kemudian menjarah Madura. Semua harta dan wanita dibawa ke Surabaya. Pasukan Kumpeni dan Surakarta kembali bermarkas di Surabaya. Pangeran Cakraningrat tetap tinggal di Madura untuk menata kembali negerinya. Ki Patih Cakrajaya kemudian mengirim barang jarahan dan wanita boyongan ke Kartasura.

Di saat yang sama utusan Ki Patih yang dikirim ke Kartasura sudah datang. Utusan segera menyerahkan surat dari Sang Raja. Ada empat surat yang dibawa. Dua surat perintah isinya memerintahkan Raden Suryawinata dan Sasrawinata diberikan negeri Surabaya. Satu surat perintah kepada Rangga Pramana diberikan tanah Lamongan. Dan satu surat perintah kepada abdi dari Kapugeran bernama Ki Sangka yang menjadi Patih bagi Wirasantika di Jipang. Wirasantika yang juga bernama Tumenggung Surawijaya sudah gugur di medan perang dan anaknya belum dewasa sehingga belum bisa menggantikan. Sekarang Ki Sangka yang diangkat untuk menggantikan sebagai bupati Jipang dengan diberi nama Tumenggung Mataun. Ki Cakrajaya mengumumkan kepada seluruh pasukan dan Admiral Britman agar mereka menjadi saksi.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/09/18/babad-tanah-jawi-112-arya-jayapuspita-mundur-dari-kota-dan-menempati-japan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...