Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (146): Tumenggung Martapura dikabarkan berbalik membela pasukan Cina

Sementara itu di Semarang Adipati Jayaningrat dan kawan-kawan sudah bertemu dengan Tuan Kumendur. Adipati Jayaningrat dan rombongan disambut dengan hangat dan terhormat. Setelah bertemu Kumendur Ki Adipati segera minta pamit untuk memukul pasukan Cina di Tanjungwelahan. Tuan Kumendur memberikan bekal bubuk mesiu dan arak. Perjalanan pasukan Adipati Jayaningrat sudah sampai di Demak. Di sebelah timur kota mereka membuat markas. Adipati Demak Tumenggung Wirasastra dan kawan-kawan sudah bergabung ke markas Ki Adipati Jayaningrat. Raden Martapura sudah menerima surat dari Ki Patih. Isinya pesan agar Kapten Singseh segera diberi tahu. Akan ada pasukan besar dipimpin wadana bupati pesisir Adipati Jayaningrat.

Sementara itu di Tanjungwelahan, sudah terdengar kabar kedatangan Adipati Jayaningrat yang membawa para bupati. Bersamaan waktunya datang utusan Raden Martapura secara diam-diam menemui Kapten Singseh. Kapten Singseh mengumpulkan para pembantunya, Sabukalu, Cik Macan, Cik Epo dan Cik Etik.

Kapten Singseh berkata, “Nah, saudara semua. Utusan Sang Raja mengabarkan kalau para bupati sudah datang. Kita akan segera menyerang Loji Semarang. Ayo kita bagi tugas. Barisan kita bagi menjadi dua bagian. Raden Martapura sudah mengirim surat isinya perintah rahasia. Kalau kita tidak memberi tanda kalian tak dipercaya. Nanti bisa disalahkan yang punya negeri, menjadi repot kita nanti.”

Cik Epo berkata pelan, “Bila setuju, Tuan Adipati Jayaningrat juga dikirim surat yang menyatakan kalau orang Cina berada di bawah perintah Sang Raja.”

Kapten Singseh berkata, “Engkau ini mengapa kecil hati. Itu para bupati datang memang akan berperang sungguhan. Sudah mundurlah jadi koki saja. Jangan ikut berperang. Mereka datang itu kan atas perintah Sang Raja. Mustahil kalau tak diberi pesan. Dalam surat Raden Martapura sudah disebut bahwa para bupati sudah diberi pesan.”

Cik Epo merasa malu. Dalam hati bersumpah akan mati di medan perang menjadi tumbal prajurit.

Kapten Singseh lalu membagi pasukan, “Sabukalu, engkau lewatlah lautan. Si Etik dan Si Macan mendaratlah di Kaliwungu, di pantai Karanganyar lalu berbelok ke Semarang. Separuh prajurit Cina bawalah serta. Separuh lagi ikut denganku. Ping Bulung saja yang bersamaku. Aku menuju Semarang bagian timur. Setelah semua sampai bersama-sama kita menyerang.”

Semua sudah sepakat. Pasukan segera bersiap. Kapal-kapal yang dipakai berlayar ada tujuh puluh buah kapal kecil. Semua sudah naik ke kapal, dipimpin Sabukalu, Cik Macan dan Mudhaetik. Sorak-sorai bergemuruh selama perjalanan laut. Di muara Kaliwungu mereka mendarat, lalu ke timur berbaris di Karanganyar.

Sementara pasukan yang ikut Singseh berangkat seperti gelombang lautan. Seorang Cina peranakan Pati yang ditunjuk sebagai pemuka, masih muda dan pemberani. Wajahnya tampan dan tak takut mati, itulah yang namanya Ngabei Ping Bulung. Sepanjang perjalanan mereka bersorak-sorai. Jumlah pasukannya ada tiga ribu prajurit.

Di kubu pasukan Kartasura, Raden Martapura sudah datang dari selatan dengan membawa tiga ratus prajurit berkuda. Raden Martapura menghadap Adipati Jayaningrat dan berbisik-bisik. Keduanya lalu berbagi selamat. Tak lama kemudian mereka berpisah. Raden Martapura menyusul pasukan Kapten Singseh dari belakang dengan duduk nyaman sambil berpayung putih. Raden Martapura kemudian dikabarkan telah berbalik menyeberang ke kubu Kapten Singseh.

Adipati Jayaningrat sudah bergerak melewati Demak. Tujuan mereka ke Lamper. Adipati Jayaningrat menyuruh seorang mantri untuk melaju ke Semarang memberi tahu Kumendur. Dia disuruh membawa tiga teman. Dua kuda mereka dilukai di pantat. Dari luka keluar darah mengucur. Pakaian si mantri juga dilumuri darah dan lumpur. Tampak kotor seperti baru saja berperang. Mereka melapor kalau dikejar pasukan Cina.

 Sementara itu pasukan Cina yang dikabarkan mengejar sudah sampai di Genuk Sela, sebelah selatan Manangeng. Desa Manangeng sudah dipenuhi prajurit Cina. Para penduduk geger kebingungan. Sudah tersiar kabar kalau kota Semarang diserang pasukan Cina. Kumendur Alpiser Natanahil turun dari panggung dan melongok ke timur. Tampak tiga kuda datang dengan berlumuran darah. Kumendur yang melihat langsung kalut. Segera turun ke halaman menemui tiga mantri yang baru datang.

Kumendur tergopoh-gopoh bertanya, “Utusan siapa engkau, apakah dari medan perang?”

Si utusan berkata, “Utusan Adipati Jayaningrat, diutus untuk membari tahu kalau kalah perang. Pasukannya rusak karena dicurangi oleh prajurit Cina. Mereka bersembunyi di desa. Saudara Kumendur, biasanya kalau perang besar Ki Adipati tak pernah curang.”

Kumendur menyahut, “Orang Cina gila. Watak mereka seperti syetan. Ki Adipati belum paham watak orang Cina. Mereka curang dalam perang. Tapi jangan bersedih. Ki Adipati kalah dalam perang, jangan berkecil hati. Sekali lagi bertempur berhati-hatilah.”

Si utusan berkata, “Karena itu Tuan, saudara Anda Ki Adipati tidak lari ke sini. Supaya pasukan Cina yang mengejar tidak masuk kota. Kalau masih di luar kota masih leluasan untuk membalas.”

Kumendur berkata, “Katakan kepada saudara Adipati rasa terima kasihku. Dan akan aku kirim arak dan senjata halus dua rakit. Ingat besuk kalau berperang jangan seperti itu lagi.”

Utusan segera mundur dari Loji dan kembali ke barisan di Lamper. Sang Adipati Jayaningrat sangat gembira mendengar penuturan si utusan.

Sementara itu di Semarang belum lagi Kumendur duduk ada laporan bahwa pasukan Cina telah datang dari lautan. Mereka mendarat di Kaliwungu dan berbaris di Karanganyar, lalu berbelok ke timur. Mereka telah sampai di Tugu Kalibantheng dan bersiap menggempur Semarang. Kumendur yang mendengar semakin kalut. Malam itu segera mengirim utusan ke markas Adipati Jayaningrat. Pukul delapan malam utusan sampai di barisan Lamper. Setelah bersalaman utusan meminta lima panekar dari para bupati untuk dibawa menghadapi pasukan Cina. Kumendur juga meminta agar pasukan Adipati Jayaningrat bergabung dengan Kumpeni agar semakin kuat.

Berkata Adipati Jayaningrat, “Ajudan, pulanglah segera. Katakan kepada Tuan Kumendur perihal permintaannya agar aku bergabung. Aku sedang mengirim utusan ke Kartasura untuk meminta perintah selanjutnya dari Sang Raja. Karena kemarin aku kalah perang, maka aku melapor kepada Sang Raja. Sekarang aku dalam penantian perintah selanjutnya apakah harus bergabung dengan pasukan Kumpeni. Baru nanti malam utusan datang dari Kartasura. Besok kalau sudah pasti aku akan mengirim utusan ke Semarang. Kumendur jangan khawatir terhadap keadaan kami semua. Haturkan salamku untuk Kumendur.”

Ajudan yang diutus segera minta pamit dan malam itu langsung bertolak ke Semarang. Kepada Kumendur Alpiser Natanahil si utusan menyampaikan semua yang dikatakan Adipati Jayaningrat, bahwa pasukannya belum bisa bergabung sekarang. Kumendur merasa ciut hatinya.

Setelah kepergian utusan Kumendur, Adipati Jayaningrat memanggil para bupati untuk berembug sekalian makan malam. Ki Adipati menunjuk bupati yang akan diikutkan pasukan Kumpeni untuk menghadang pasukan Cina. Bupati Batang, Pemalang, Kendal, Kaliwungu dan Surabaya diminta untuk ikut Kumpeni. Sisanya yang bersama Ki Adipati adalah para bupati Brebes, Demak dan Tegal. Kepada mereka Ki Adipati memberi beberapa pesan.

Pagi harinya pasukan lima bupati sudah bersiap berangkat menuju Loji Semarang. Ada dua ribu prajurit darat dan berkuda. Setelah sampai di Loji Tuan Kumendur menyambut dengan sukacita. Para bupati semua sudah bertemu dengan Kumendur Alpiser Natanahil. Kumendur menyambut hangat dan sangat menghargai besarnya pasukan yang dikirim Adipati Jayaningrat. Kumendur memerintahkan seratus serdadu di bawah pimpinan Kapten Willem Yanis disertai juru bahasa Kolor. Mereka akan bergabung dengan pasukan Adipati Jayaningrat. Para bupati menyampaikan pesan Adipati Jayaningrat bahwa pasukan para bupati sudah mendapat perintah dari Sang Raja untuk bergabung dengan pasukan Kumpeni. Tidak ada beda antara pekerjaan Kumpeni dan pekerjaan Sang Raja. Kumendur sangat gembira mendengar pesan dari Jayaningrat.

Pasukan gabungan para bupati dan Kumpeni segera berangkat dari Loji. Selain seratus serdadu Kumpeni juga ada dua ratus prajurit Bugis-Bali dan Makasar. Pimpinan mereka adalah Kapten Buyung, Kapten Awang dan Kapten Kasang. Ki Adipati Semarang sudah menanti di alun-alun dengan segenap prajurit. Meriam dari laut sudah dibawa ke darat dan dipasang di sepanjang jalan. Pasukan berangkat menuju ke barat dan sudah sampai di Sumurbacin. Pasukan berhenti untuk menata barisan karena pasukan Cina sudah terlihat.

Pasukan Cina bergerak dari Kalibantheng dan semakin mendekati pasukan gabungan Kumpeni-Jawa. Para pembesar Kumpeni dan para bupati menata pasukan. Tiba-tiba pasukan Cina hilang tak terlihat. Mereka menyusup ke sekitar jalan. Tanda-tanda perang pun tak lagi terdengar. Para bupati keheranan dan bertanya-tanya, ke mana larinya pasukan Cina.

Juru bahasa Kolor berkata, “Pasti si Cina anjing menyesal. Tak mengira akan dihadang pasukan Kumpeni. Sekarang mereka minggat ketakutan. Tanpa guna si Dodoun, orang Cina dua puluh empat aku lawan sendirian takkan kalah.”

Sementara itu para prajurit Cina yang menyusup ke pedesaan sekitar jalan bergerak secara bersamaan. Dengan mengendap-endap mereka mendekati jalan. Pasukan Kumpeni terus ke barat. Juru bahasa Kolor berlagak di depan. Setelah sejauh tiga jarak anak panah secara bersamaan pasukan Cina menembak. Gong beri seketika berbunyi kembali. Kumpeni dan para bupati gugup, pasukannya bubar berlarian. Pasukan Cina dari selatan mengamuk di bawah pimpinan Sabukalu, Mudhaetik dan Cik Macan. Pasukan Jawa dan Kumpeni menghadang amukan pasukan Cina yang seperti orang mabuk. Banyak serdadu Kumpeni tewas. Hanya prajurit Bugis dan Makasar terlihat tangguh. Juga patih Surabaya Ki Sawunggaling kokoh seperti tak peduli dengan pesan-pesan Ki Adipati. Pasukan Cina menerjang, Ki Sawunggaling terluka kaki kirinya. Pasukan Surabaya membawanya mundur. Para bupati sudah mengungsi. Juru bahasa Kolor terkena enam belas luka. Tubuhnya bau anyir karena darah. Kolor minta tolong kepada Surengrana.

Berkata menghiba si Kolor, “Raden bawalah saya pulang ke Semarang. Pertemukan saya dengan istri saya.”

Juru bahasa Kolor setelah berkata tewas karena banyaknya luka. Sementara perang masih berlangsung sengit. Banyak serdadu Kumpeni bertumbangan. Dari seratus serdadu Kumpeni tinggal dua puluh saja. Yang masih hidup itu pun sudah lari. Prajurit Kumpeni Bugis-Makasar juga banyak yang tewas. Pasukan Cina lupa telah dipesan agar tidak berperang sungguh dengan pasukan Jawa. Banyak pasukan Jawa diterjang dan bubar berlarian. Suasana semakin memanas karena para bupati ingin membalas serangan. Tumenggung Cakrajaya maju menerjang. Lalu ada yang mengingatkan dengan kesepatakan yang telah dijalin. Pasukan Cina lalu mundur ke selatan. Sisa-sisa serdadu Kumpeni masih melawan sambil lari. Mereka menyalakan meriam dan mengarahkan ke pasukan Cina. Banyak prajurit Cina terkena tembakan. Tapi mereka tak mundur. Sisa pasukan Kumpeni kemudian lari menuju Loji. Pasukan Cina terus mengejar.

Kumendur memerintahkan agar meriam di halaman dinyalakan. Pasukan Cina dihujani tembakan meriam. Mereka tak mampu menahan. Setelah seharian berperang pasukan Cina kecapaian, mereka mundur ke selatan dan berhenti di Pragota.

Sementara itu pasukan para bupati yang sudah kalah lari ke timur. Mereka bergerak cepat seperti orang yang dikejar musuh. Ki Sawunggaling yang sudah terluka dibawa melewati Loji, lalu terus ke arah timur. Pasukan para adipati kembali ke markas Lamper, bergabung kembali ke pasukan Adipati Jayaningrat.

Pasukan Cina pimpinan Kapten Singseh dari arah timur terus begerak ke barat. Mereka belum mendapat lawan sehingga terus bergerak dengan lancar. Raden Martapura masih berada di barisan mereka dengan memakai payung putih. Pasukan Kapten Singseh kemudian berhenti di Padurungan. Adapun Ngabei Ping Bulung sudah menduduki Trabaya dengan tujuh ratus prajuritnya.

Adipati Jayaningrat memerintahkan para bupati agar memisahkan diri menjadi dua bagian. Dua bagian ke arah barat, dua bagian ke arah timur. Ki Adipati kemudian mengirim surat kepada Sang Raja dan Ki Patih. Utusan sudah melesat ke Kartasura. Pagi hari mereka sampai di Kapatihan dan segera menyerahkan surat kepada Ki Patih. Ki Patih segera membaca surat, isinya memberi tahu Ki Patih kalau perang sudah terjadi. Pasukan Cina sudah menyerang Loji Semarang. Mereka menyerang dari barat dan timur. Kumpeni terdesak, banyak serdadunya tewas.

Ki Patih tersenyum gembira. Bergegas Ki Patih menghadap Sang Raja dengan membawa surat dari Adipati Jayaningrat. Surat sudah dihaturkan kepada Sang Raja dan dibaca dengan dengan seksama. Isi surat menyatakan kalau pasukan Cina sudah memberi isyarat dengan menyerang Loji Kumpeni. Kumpeni terdesak dan banyak menderita korban jiwa. Para serdadu banyak yang tewas. Raden Martapura sudah bergabung dengan pasukan Cina dan beritanya sudah masyhur kalau dia berbalik membantu pasukan Cina.

Ki Patih sudah diizinkan keluar istana. Sesampai di luar Ki Patih mampir ke Loji dan bertemu Kapten. Di saat yang sama Kapten juga menerima surat dari Adipati Jayaningrat yang menyebut bahwa para bupati sudah kalah perang. Orang Cina telah mengepung Loji Semarang. Kapten merasa miris mendengar kabar itu. Satu hal lagi yang membuat keadaan makin sulit, pasukan Cina juga menghalangi jalan di Baregas, Ambarawa. Mereka dipimpin perwira muda Cupyan.

Kapten Langpel berkata, “Ki Patih, pasukan Cina yang berada di Ambarawa suruh menyerang segera. Itu pasukan sangat merepotkan karena menghalangi jalan Kartasura-Semarang.”

Ki Patih menjawab, “Baik, saya sudah menerima perintah.”

Arya Pringgalaya sudah mengerahkan panekarnya bersama bupati Sidayu Ki Suryadiningrat. Dari mancanagara sudah dikirim empat tumenggung dan satu wadana, yakni Tumenggung Mataun dari Jipang. Ki Mataun membawa empat panekar dari Jipang, Kartasana, Warung dan Kamagetan. Pasukan Kartasura sudah berangkat. Arya Pringgalaya sebagai pimpinan. Mereka sudah sampai di depan Loji. Para bupati singgah sebentar di Loji untuk berpamitan. Kapten Langpel sangat senang melihat pasukan yang banyak. Langpel menjamu dengan minuman dan memberi bubuk mesiu. Tak lama kemudian Raden Arya Pringgalaya pamit berangkat. Pasukan yang dibawa kira-kira berjumlah tiga ribu prajurit.

Perjalanan pasukan Arya Pringgalaya dan Adipati Mataun sudah sampai di Salatiga. Raden Pringgalaya dan Suryadiningrat bermarkas di Kalicacing. Adapun Tumenggung Mataun bermarkas di Lopait.

Di Kartasura Sang Raja memerintahkan para bupati untuk selalu berjaga di istana. Hanya Ki Patih yang tinggal di rumahnya. Setiap hari selalu dalam keadaan siaga perang.

Sementara itu pasukan Cina yang berbaris di Ambarawa, pimpinan mereka Cupyan menghubungi juru tulis Ham dari Cina Kartasura yang sedang mengungsi di Saroja.

Cupyan berkata, “Hai juru tulis Ham, sekarang para bupati Kartasura datang menyerang ke Ambarawa. Bagaimana saranmu karena dulu engkau sudah lama tinggal di Kartasura. Pasti punya hubungan baik dengan punggawa Kartasura.”

Juru tulis Ham berkata, “Semua baik-baik. Para adipati yang tua-tua sudah seperti bapak sendiri. Yang muda-muda sudah seperti saudara. Dengan Ki Patih pun kami berteman baik. Sebab kami minggat dari kota adalah karena saran Ki Patih.”

Cupyan berkata, “Sebaiknya engkau segera menemui Arya Pringgalaya agar masalah ini segera selesai. Pringgalaya ajaklah mengurai masalah ini.”

Juru tulis Ham berkata, “Baiklah saya besok akan menemui dia. Saya akan bawa dua belas teman untuk menemui Pringgalaya, Suryadiningrat dan Mataun. Walau ada banyak bupati yang datang, pemimpin mereka hanya tiga itu.”

Cupyan sangat gembira mendengar kesanggupan juru tulis Ham. Dia berpikir masalah akan segera selesai. Sementara itu seorang prajurit sandi Pringgalaya bernama Demang Salukat sedang memperhatikan gerak-gerik pasukan Cina. Dia kemudian melapor kepada Arya Pringgalaya. Pringgalaya kemudian mengundang Raden Suryadiningra dan Tumenggung Mataun dan seorang kaliwon bernama Raden Singaranu.

Berkata Pringgalaya, “Paman Mataun juga Dinda Suryadiningrat, bagaimana pendapat Anda, orang Cina akan mengirim utusan untuk mengurai masalah. Besok pagi mereka datang ke sini, si juru tulis Ham yang berangkat. Apakah diterima atau ditolak?”

Tumenggung Mataun berkata, “Persoalan ini rahasianya masih ditangan Sang Raja dan Ki Patih. Kita sekedar menjalankan. Kita hanya menunggu perintah.”

Raden Suryadiningrat menjawab ketus, “Orang Cina tidak tahu isyarat. Besar kecil tak bisa mengerti rahasia. Si Tlotok Asu Cupyan tak mengerti siasat. Tak pantas dia ikut mengatur negara. Kanda Pringgalaya dan Paman Mataun, kalau menurut saya, kalau si Kucir itu besok datang sebaiknya kita tumpas. Dosanya mengganggu siasat yang akan diterapkan. Ibarat memanen buah ketika masih mentah. Anjing Cina sungguh tak tahu bersandiwara.”

Arya Pringgalaya bertanya kepada kaliwonnya, “Paman Singaranu bagaimana pendapatmu tentang langkah Dinda Suryadiningrat barusan.”

Singaranu berkata, “Benar yang dikatakan adik Anda itu.”

Mereka semua telah sepakat dengan usulan Raden Suryadiningrat. Raden Pringgalaya berkata, “Wak Singaranu, engkau besok menyaksikan bersama prajurit sejumlah delapan puluh orang.”

Tumenggung Sidayu berkata, “Wak Singaranu, saya tambahkan dari Sidayu sejumlah delapan puluh. Juga ada orang Madura datang sejumlah prajurit yang dikirimkan ayah Panembahan untuk membantu sejumlah tiga ratus orang. Sejumlah dua puluh lima orang besok bawalah serta untuk ikut menghadang di sungai Tuntang.”

Tumenggung Mataun malam itu juga kembali ke markas Lopait. Pagi hari memerintahkan agar pasukan bersembunyi di kiri-kanan jalan. Semua prajurit yang ditugaskan telah berada di posisi mereka.

Sementara itu juru tulis Ham sudah berangkat membawa dua belas orang Cina. Cupyan berpesan agar empat orang memakai kuda dan delapan orang berjalan kaki. Satu kuda berada di depan, tiga kuda lainnya berada di belakang. Sembilan orang telah menyeberang sampai di selatan jembatan. Tiga orang berkuda masih agak jauh di belakang sehingga tampak rombongan hanya sembilan orang itu. Ketika kesembilan orang telah menyeberang Singaranu memberi aba-aba agar para prajurit keluar dan menyergap sembilan orang Cina tersebut. Tiga orang berkuda di belakang begitu melihat sembilan orang temannya disergap langsung balik kanan dan lari.

Sembilan orang Cina lalu dipenggal kepalanya dan dibawa ke Salatiga. Para bupati kemudian kembali berunding. Mereka sepakat melapor kepada Ki Patih. Kepala sembilan orang Cina dibawa serta sebagai bukti. Utusan segera berangkat ke Kartasura. Sesampai di Kartasura Ki Patih memeriksa kepala juru tulis Ham. Sangat heran Ki Patih melihatnya. Ki Patih lalu masuk ke istana untuk melapor kepada Sang Raja. Semua sudah diceritakan dari awal sampai akhir. Sang Raja pun terheran-heran.

Sang Raja berkata, “Bagaimana sekarang Paman?”

Berkata Ki Patih, ‘Sekarang semua terserah paduka.”

Sang Raja berkata, “Baiklah. Segera kirim surat kepada Paridan, kalau ada yang bertanya tentang kepala ini terserah bagaimana dia menjawab. Dan kepala-kepala ini serahkan kepada si Kapten di Loji.”

Ki Patih menyembah dan segera mengambil kepala untuk dibawa ke Loji. Sesampai di Loji Kapten menyambut dengan tergopoh-gopoh. Ki Patih mengatakan kalau Pringgalaya telah bertempur melawan pasukan Cina. Perang berlangsung sengit dan pasukan Cina berhasil dikalahkan. Kepala ini buktinya.

Kapten sangat suka mendengar cerita Ki Patih. Dengan memakai tongkat rotan kepala digulingkan. Tampak kepala juru tulis Ham.

Ki Patih berkata, “Bukankah ini juru tulis Ham yang minggat dahulu? Sekarang sudah tertangkap dalam perang. Kepala ini saya serahkan pada Anda.”

Kapten menjawab, “Raden Patih, panjarlah kepada anjing tak berguna ini.”

Kapten tertawa keras, lalu berkata lagi, “Kalau Tuan Patih mengirim utusan ke Salatiga, saya sertakan lagi bubuk mesiu dan minuman.”

Ki Patih menjawab, “Besok pagi si utusan kembali ke Salatiga. Nanti sore Anda bawakan karena pasti pamit ke sini.”

Ki Pamit pamit keluar Loji. Sesampai di rumah segera mengirim utusan kepada Raden Martapura. Setelah diberi pesan-pesan utusan berangkat. Singkat cerita utusan sudah sampai di barisan Padurungan. Surat sudah diterima oleh Raden Paridan. Utusan sudah berpamitan kembali ke Kartasura.

Sementara itu Kapten Singseh sedang menerima utusan Cupyan. Sangat marah Kapten Singseh ketika mendengar juru tulis Ham disergap pasukan Pringgalaya, Tumenggung Mataun dan Suryadiningrat. Kapten segera berganti pakaian perang. Tujuh puluh orang Cina dibawa ke markas Raden Martapura. Raden Martapura menyambut kedatangan Singseh dan mengajaknya duduk.

Berkata Raden Martapura, “Bapak ada perlu apa?”

Singseh berkata, “Baik benar si Pringgalaya, Mataun dan Si Tumenggung Sidayu. Mereka bertiga menumpas orang Cina yang datang baik-baik. Sembilan orang dibunuh di sungai Tuntang. Siapa yang menyuruh? Orang Jawa sebenarnya bermaksud baik atau buruk? Silakan bersikap tegas. Engkau sebagai wakil Sang Raja di sini, katakan. Kalau ingin perang melawan Cina, orang Cina tak ingin berperang. Tapi kalau harus melawan orang Jawa, orang Cina tidak takut.”

 Raden Martapura berkata, “Sabar dulu bapak. Dengarkanlah. Ada surat datang dari Sang Raja. Isinya: Hai Martapura, tanyakan kepada Singseh dengan baik-baik. Karena ini semua rahasia rajaku jangan sampai semua orang Cina mendengar segala sesuatu yang belum dikatakan oleh Sang Raja. Rahasia Sang Raja tidak boleh bocor bila belum dikeluarkan melalui perintah. Orang Cina ibarat memanen buah yang masih mentah. Kalau Singseh tidak mengakui, coba mintalah kepala si Cupyan.”

Ketika mendengar isi surat Singseh miris. Sudah menyadari kesalahan bangsanya. Singseh menghiba-hiba meminta maaf.

Berkata Raden Martapura, “Segeralah mengirim utusan untuk memintakan maaf Cupyan kepada Ki Patih.”

Kapten Singseh berkata, “Kalau kelak diulangi lagi pasti si Cupyan dipotong leher seperti ayam.”

Berkata Raden Martapura, “Bapak jangan susah. Namun jangan diulangi lagi. Orang Cina jangan sekali-kali meminta mengurai masalah. Sangat keliru dan tidak patut. Semua itu rahasia Ki Patih dan Sang Raja. Kami pun tidak tahu kalau belum mendapat perintah.”

Kapten Singseh kemudian dijamu makan oleh Martapura. Keduanya sudah sepakat.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/11/02/babad-tanah-jawi-146-tumenggung-martapura-dikabarkan-berbalik-membela-pasukan-cina/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...