Translate

Jumat, 13 September 2024

Babad Tanah Jawi (147): Pangeran Tepasana dan Pangeran Jayakusuma tewas dicekik

Sementara itu di Kartasura, banyak desas-desus yang menjadi rahasia umum bahwa Pangeran Wiramanggala sering mempengaruhi para orang magang. Mereka dijanjikan bila kelak Pangeran Tepasana menjadi raja akan diangkat sebagai wadana. Orang-orang menjadi berbesar hati. Mereka lalu umuk kepada orang banyak dan menjadi desas-desus yang berkembang liar. Menurut berita itu Pangeran sepuh Wiramanggala dikabarkan mempunyai banyak harta untuk dipakai biaya melawan Sang Raja. Ketika berita itu sampai ke telinga Ki Patih, Ki Patih sangat heran. Ki Patih mencoba bersabar sambil meneliti kebenarannya. Namun berita itu terus terdengar setiap hari.

Ki Patih kemudian menelisik kabar itu, tetapi belum mendapat kepastian. Tiba-tiba Lurah Jayantaka melapor bahwa dia mendapat berita yang tepat. Penghubung Pangeran Wiramanggala tak lain adalah Puspadirja. Tadi malam pukul sepuluh pergi ke Loji membawa empat peti. Tampak berat ketika dipikul dua orang. Ki Puspadirja malah sampai menginap di Loji. Ki Patih sangat kaget mendengar Puspadirja menginap di Loji. Ki Patih menduga bahwa telah terjadi permufakatan antara Puspadirja dan Kumpeni. Pagi hari Ki Patih menghadap Sang Raja di istana.

Ki Patih berkata, “Celaka paduka, saya mendengar berita yang pasti bahwa kakak paduka Pangeran Tepasana sungguh akan mengadukan bahwa kita membantu pasukan Cina. Kalau benar seperti itu maka Kumpeni pasti besok akan menyerang istana.”

Sang Raja berkata, “Aku sudah lama mendengar Paman. Sekarang Paman melapor. Artinya berita ini benar. Kanda Tepasana yang mengarahkan adalah si Tumenggung Batang yang mondok di Suraprameyan. Sudah aku aku selidiki siapa yang bertemu si Timbel, dan terbukti si Batang. Nah segera tangkap dua orang itu, si Dongkol dan si Batang. Juga si Puspadirja. Kalau sudah tertangkap dua orang itu aku habisi.”

Ki Patih tertegun, segera menyembah dan keluar istana. Sesampai di rumah lalu memanggil abdi kesayangan Ki Lurah Jayantaka yang sudah sangat akrab dengan Puspadirja Batang. Ki Patih sudah membisiki dengan pesan-pesan. Jayantaka melesat menuju kediaman Puspadirja. Dengan membawa kemiri satu kantong Jayantaka bertamu kepada Puspadirja. Keduanya sudah akrab sehingga tanpa berbasa-basi. Semalaman mereka bermain adu kemiri. Jayantaka kalah tiga belas kemiri. Yang separuh lalu dikembalikan. Setelah puas bermain adu kemiri mereka melanjutkan dengan berbincang dan makan-makan.

Lurah Jayantaka berkata, “Si Goplem mengabarkan, Kanda kemarin berkata kepada Surajaya, menanyai perihal perang di Kalibantheng. Kyai Cakrajaya Batang hampir dijarah. Barangnya ditinggal lari. Bupati yang memalukan. Saya mencolek, benar kehendak tuan engkau yang akan diangkat sebagai pengganti. Karena masih cakap dan meyakinkan. Mustahil meninggalkan gelanggang. Kalau engkau dipanggil oleh Surajaya besok, segeralah datang. Jangan mengabaikan perkara ini. Ingatlah juga engkau ditinggali negeri Batang oleh mendiang Uwak. “

Puspadirja tersenyum dan tampak percaya. Lurah Jayantaka minta pamit. Paginya Surajaya sudah menerima perintah untuk menangkap Puspadirja. Satu lagi yang diperintahkan untuk ditangkap adalah Puspatanaya, mantan penguasa Batang yang berdiam di Suraprameyan. Yang ditugaskan menangkap adalah Lurah Jayamenggala bernama Raden Martaruna, masih saudara sepupu Ki Patih. Suraprameyan sudah dikepung dengan sembunyi-sembunyi. Tiga orang berpura-pura bertamu. Semalaman mereka minum-minum. Puspadirja sudah dipanggil oleh Surajaya dan sesampai di rumah Surajaya segera ditangkap. Puspatanaya Batang juga sudah ditangkap di Suraprameyan. Keduanya lalu dipenjara dan sudah dilaporkan kepada Sang Raja.

Sang Raja kemudian memanggil Wirajaya, setelah diberi pesan disuruh menemui Kapten Langpel. Setelah bertemu Kapten Langpel mereka bicara empat mata.

Berkata Wirajaya, “Tuan, saya menyampaikan salam dari Sang Raja. Juga membawa perintah untuk memberi tahu kepada Anda. Jangan salah pikir atau kaget karena Sang Raja sudah menghukum mati orang jail yang merenggangkan persaudaraan, memisahkan pertemanan  dan menumpahkan darah. Kalau saja lolos pasti membuat negeri rusak. Dia membelokkan kabar, yang baik dikabarkan buruk. Kalau saja ada yang percaya pasti pecah perang tak karuan.

Kapten bertanya pelan, “Hai Bapak, siapa dia?”

Ki Wirajaya menjawab, “Si Puspadirja.”

Kapten ketika mendengar nama itu seketika bergetar dan pucat. Merasa kalau rahasianya terbongkar.

Kapten menghiba, “Bapak, saya sudah merasa kalau dia itu berkata sembarangan. Saya hanya dengarkan saja, tapi tak pernah percaya. Bapak saya berterus terang saja, nanti katakan kepada Sang Raja. Jangan sampai didengar orang lain. Pangeran Wiramanggala menitipkan empat peti. Ketika titip dia berkata kalau peti berada di rumah khawatir dicuri orang karena rumah sering ditinggal berjaga di istana. Di sekitar rumahnya dan juga rumah sang adik Pangeran Tepasana banyak pencuri.”

Berkata Ki Wirajaya, “Itu bukan perilaku yang baik. Mengapa titip kepada Anda? Mestinya dia titip kepada saya atau kalau tidak peercaya bisa titip di rumah Ki Patih yang penjagaannya kuat. Anda kembalikan itu peti, jangan sampai dikethui Sang Raja. Saya dan Ki Patih bisa kena marah. Karena yang mengantar peti itu sudah dipenjara oleh Ki Patih pagi tadi bersama Ki Mantan Bupati Batang.”

Semakin kalut hati Kapten Langpel. Sejenak kemudian Kapten berkata, “Hai Bapak, kalau demikian ayo kita teliti isinya. Ini milik raja, bisa dihukum atas nama negara.”

Peti segera dikeluarkan dan dikapak keempat-empatnya. Kapten berpikir barangkali ada surat rahasia yang tersimpan di dalamnya. Ketika peti pertama terbuka  tampak isinya hanya batu bata. Lalu dilanjutkan membuka peti kedua sampai keempat. Semua isinya hanya batu bata. Kapten tertegun sampai lama tak bicara. Juga Ki Wirajaya.

Kapten Langpel lalu berkata, “Bagaimana akal orang Jawa ini. Bapak sungguh saya tidak menduga akal licik seperti ini.”

Wirajaya berkata, “Ini fitnah orang dengki. Bukan perbuatan yang bertujuan baik. Ini membuat susah orang lain.”

Kapten Langpel lalu mengeluarkan surat yang mengabarkan tujuh pangeran Sri Lanka yang dibawa Puspadirja. Surat dibaca juru bahasa, Kapten Langpel dan Ki Wirajaya mendengarkan.

Kapten berkata, “Bapak ini surat dari para syetan. Pekerjaannya mengadu domba. Selamanya saya tak percaya. Ternyata terbukti sekarang. Saya tak salah tebak. Ayo suratnya dibakar, sungguh tak berguna.”

Wirajaya sudah mendapat perintah untuk menyelesaikan dua tahanan. Dari Kapatihan kedua orang digiring ke alun-alun dan diselesaikan di sana. Kepala mereka dipenggal dan dipanjar di galadag. Heboh orang sekota, tak tahu awal mulanya. Mereka saling berbisik, menebak-tebak apa yang sedang terjadi.

Sang Raja memanggil Ki Patih ke istana. Yang dipanggil segera menghadap Sang Raja.

Sang Raja berkata, “Paman, sudah kita selesaikan kedua sumber masalah. Masih ada satu kerikil yang mengganggu, Kanda Tepasana. Paman, sudah terbukti dia dan saudaranya tidak tahu balas budi. Semula menjadi orang buangan dan aku muliakan di sini, malah berbuat tipudaya terhadap negara. Ternyata mereka merepotkan. Kanda Tepasana itu dirinya sendiri yang membuatnya sakit atau mati. Segera paman selesaikan masalah ini. Terserah siapa yang paman ajak.”

Ki Patih menyembah dan menyatakan kesiapan, “Kalau sudah terang kehendak paduka, saya sekedar menjalankan.”

Sang Raja berkata, “Paman sudah yakin hati saya. Kalau dibiarkan akan sangat menganggu.”

Berkata Ki Patih, “Benar kehendak paduka. Seumpama musuh dijepit di ketiak, sangat membahayakan.”

Ki Patih menyembah dan segera keluar dari istana. Sesampai di luar segera memanggil Raden Mlayakusuma. Setelah menghadap Raden Mlayakusuma dibawa ke belakang dan diajak bicara secara pribadi.

Ki Patih berkata manis, “Raden Anda saya tanya, bagi orang hidup mana yang lebih berat, saudara atau perintah raja?”

Mlayakusuma menjawab, “Itu tidak sebanding. Walau anak atau saudara masih lebih berat perintah raja. Yang menguasai hidup dan memberi makan.”

Raden Patih tertawa, “Raden itulah yang pasti dipakai bagi orang mengabdi yang sudah lazim dilakukan di negeri ini.”

Ki Patih lalu mengutarakan rahasia, dari kehendak Sang Raja.

Berkata Ki Patih, “Raden, Anda saya serahi tugas ini. Ingatlah jangan mengingat itu masih kulit daging sendiri, ingatlah perintah Sang Raja.”

Raden Mlayakusuma berkata, “Paman takkan mengulang pekerjaan.”

Ki Patih berkata, “Raden hilangkan kecurigaan dan salah pikir.

Raden Mlayakusuma menyembah dan keluar dari kediaman Ki Patih.

Sementara itu Pangeran Tepasana sangat kaget ketika mendengar menantunya sudah dibunuh. Dari awal mula sampai akhir dosanya yang telah dihukum mati dia tidak mendengar. Sungguh keterlaluan perbuatan Pangeran Wiramanggala. Sangat licik dan penuh dengki. Pangeran Tepasana sangat bersedih karena terpojok. Merasa nasibnya sangat celaka.

Ada surat datang dari Semarang yang dikirim Adipati Jayaningrat kepada Ki Patih. Isinya mengabarkan kalau sekarang Kumpeni sangat berhati-hati. Kalau ada pasukan Cina menyerang pasukan Jawa diberi tahu agar tidak menghadang. Abdi paduka Adipati Semarang sudah keluar meninggalkan Loji. Kumpeni menangkapnya dan dibawa kembali ke Loji. Oleh karena itu hamba pergi dari Semarang dan sekarang bergabung dengan para bupati. Yang kedua, ayah paduka Sayid Wiba Pekih sudah berhasil direbut dari tangan Kumpeni. Namun Kumpeni masih merawat satunya lagi, Sayid Umar. Sekarang dirawat para nyonya.”

Ki Patih menanggapi berita terakhir dengan mengatakan, “Tidak apa-apa. Di sini sudah banyak sayid. Ada enam sayid di sini. Ki Adipati jangan bersedih. Adapun sayid Wiba Pekih yang sudah berhasil direbut, rawatlah baik-baik.”

Utusan sudah diberi surat balasan dan hadiah. Perihal Sayid Penghulu Wiba Pekih yang menderita luka-luka karena menjadi perebutan Kumpeni dan pasukan Jawa, ceritanya seperti ini. Ketika itu Kumpeni hendak mengambil Sayid Wiba Pekih. Bersamaan waktunya datang pasukan Jawa yang juga ingin mengambil sang sayid. Terjadi pertempuran yang mengakibatkan Sayid Wiba Pekih terluka. Adapun maksud Kumpeni mengambilnya adalah untuk menyelamatkannya karena Kumpeni sangat hormat kepada beliau. Juga maksud Kumpeni untuk mengambil hati orang Jawa dengan melindungi sang sayid.

Para bupati yang mendengar cerita itu menjadi was-was dan penuh keraguan terhadap langkah Ki Patih. Ki Patih takabur dan kurang berhati-hati. Rencananya selalu tercampur sikap besar kepala, tak mau berubah dan mendengar saran.

Sementara itu yang sedang bersedih, Pangeran Tepasana kalau malam tidak pernah tidur, kalau siang tak ingin makan karena sangat prihatin. Pada suatu malam, pukul sepuluh ada seorang abdi memberi tahu bahwa di luar ada sang adik Raden Mlayakusuma. Dengan tergopoh Pangeran Tepasana keluar menemui.

Berkata Pangeran Tepasana, “Tumben Dinda datang ke sini.”

Tangan Raden Mlayakusuma diraih dan dibawa masuk ke pondokan. Setelah duduk nyaman keduanya berbincang.

Raden Mlayakusuma berkata, “Saya kesepian Kanda, maka berkunjung ke sini. Saya merasa setiap malam tak ingin hidup lagi. Selalu diberi tugas tanpa diberi teman. Dan sekarang sedang kepentok masalah. Ki Patih sangat marah. Yang menjadi awal kemarahan adalah perintah Sang Raja untuk menangkap Puspadirja. Kata Ki Patih, siapa yang telah mengadukan Puspadirja tanpa berembug denganku. Sungguh dia telah lancang. Siapa yang punya ulah itu. Mustahil punggawa kecil, pasti masih kerabat raja. Saya dikira mengetahui siapa orang itu sehingga terus ditanyai. Ki Patih sampai berkata, hai Mlayakusuma, patahkan tanganku kalau engkau hendak melawanku si Natakusuma ini. Apa sudah pasti celaka sampai berani memutar tanah Jawa. Saya sangat takut Kanda, karena sangat marah Ki Patih kepada saya. Saya sampai bersumpah-sumpah karena merasa tidak tahu. Orang yang telah melapor kepada Sang Raja tak pernah meminta pertimbangan kepada saya. Tahu-tahu semua sudah terjadi. Maka kemudian ada bisik-bisik apakah Sang Raja yang salah, atau memang si abdi yang cari penyakit.”

Pangeran Tepasana menunduk dan meneteskan air mata. Separuh kesedihannya hilang karena mengetahui salahnya yang punyai negeri.

Pangeran Tepasana Berkata pelan, “Dinda yang sedang marah. Paman Adipati Natakusuma itu tak sebanding dengan Tirtawiguna. Walau demikian Sang Raja lebih suka memakai saran Tirtawiguna.”

Raden Mlayakusuma berkata, “Maka dari itu Kanda, tadi malah saya mendapat marah Paman Patih. Kalau saja saya tidak bersumpah pasti saya sudah dibanting. Pasti hancur karena badan saya kecil, sedang Paman Patih besar seperti Prabu Boma.”

Pangeran Tepasana tertawa. Untuk sesaat kesedihannya hilang. Pangeran Tepasana sangat mempercayai semua yang dikatakan sang adik Raden Mlayakusuma.

Pangeran Tepasana berkata, “Hai Dinda, kalau dipanggil oleh Paman Patih, Anda mendapat nasihat karena sepertinya Paman Patih sangat sayang kepada Dinda. Karena semua hal baik atau buruk dikatakan kepada Dinda.”

Raden Mlayakusuma berkata, “Benar Kanda, bagaimana kalau merasa diberi tugas. Saya ini yatim Kanda, seperti Anda. Sungguh harus rajin.”

Kedua saudara itu lanjut makan malam. Pukul dua malam baru mereka bubar. Arya Mlayakusuma laju ke tempat penjagaan. Malam itu Pangeran Tepasana agak reda kesedihannya.  

Pagi harinya Raden Jayakusuma menghadap kepada sang kakak Pangeran Arya Tepasana. Mereka bersebelahan pondokannya, ditempatkan dalam lajur-lajur yang berpagar. Sesampai di hadapan sang kakak Raden Jayakusuma menyembah.

Berkata Raden Jayakusuma, “Kanda saya mendengar kabar burung yang kurang baik, bahwa sebab putra Anda Puspadirja dihukum adalah karena aduan dari Kapten. Kakanda yang mengirim tujuh surat berita, dan Puspadirja yang membawanya. Surat itu dihaturkan kepada Sang Raja oleh Kapten. Paman Adipati sangat marah kepada Kapten, maka pasukan di Kapatihan sekarang bersiaga setiap hari. Sangat marah Paman Adipati lalu menangkap Kapten dan para tumenggung dalam. Namun para tumenggung lari dari masalah dan membelokkan kepada Anda yang dipakai sebagai tumbal. Sekarang kita harus hati-hati Kanda. Banyak yang sudah memberitahukan kepada saya.”

Sang kakak berkata pelan, “Hai Dinda, jangan engkau dengarkan berita yang membuat persaudaraan hancur. Kita ini sudah merelakan semua pusaka diambil, juga karena sudah sadar bahwa tidak lagi menjadi raja. Hanya ikut makan saja karena masih satu saudara. Itu yang bisa kita lakukan. Orang Bali dan Blambangan pantas hendak berbela sampai hancur, yang seperti itu jangan dipegang. Itu perkataan syetan. Maka kita menjadi buruk kalau memegang perkataan yang demikian. Seperti yang engkau katakan kemarin itu, tidak pantas diperpanjang lagi.”

Sementara itu Pangeran Wiramenggala sangat bersedih karena terbongkar ulahnya. Saling menyalahkan dengan sang adik semua sehingga diharapkan mati saja. Pangeran sudah berserah diri kalau harus mati. Kalau Sang Raja akan memusuhi salah satu dari orang Cina atau Kumpeni, tetap nasibnya sama. Kalau melawan Kumpeni pasti juga dikeroyok, musuh Cina pun dikeroyok. Hanya ada sedikit peluang, Ki Patih sering berselisih dengan para punggawa. Sang Raja lebih sering memakai saran Tumenggung Tirtawiguna dan melupakan Ki Patih. Itu yang diharapkan, agar Ki Patah patah hatinya. Sungguh kekuasaannya ibarat gajah punya sayap Ki Patih itu. Demikian pikiran Pangeran Wiramenggala.

Sementara itu Patih Natakusuma pada suatu pagi memanggil Arya Mlayakusuma. Setelah datang Raden Mlayakusuma melapor bahwa dalam dia membuat tipudaya kepada Pangeran Tepasana sudah berhasil. Pangeran Tepasana sudah percaya semua yang dia katakan dan hatinya sudah tidak merasa was-was.

Ki Patih berkata, “Hai Raden, besok pagi engkau panggil ke sini kakak Anda Pangeran Tepasana dan adiknya Pangeran Jayakusuma. Kalau Anda ditanya apa keperluan paman memanggil saya, katakan tidak tahu, tapi Kapten Langpel pagi-pagi akan menemui paman Anda. Maka Anda diminta datang. Itu saja, jangan katakan yang lain-lain.”

Raden Mlayakusuma menyembah dan beranjak dari hadapan Ki Patih. Raden Mlayakusuma kemudian menuju tempat penjagaannya. Sebelumnya mampir dulu di tempat penjagaan Pangeran Arya Tepasana. Raden Mlayakusuma segera masuk ke pondokan Pangeran Tepasana. Sang pangeran kaget dengan kedatangan sang adik. Pangeran Tepasana menyambut di halaman dan dibawa masuk.

Berkata Pangeran Tepasana, “Dinda dari mana kok mampir ke sini?”

Raden Mlayakusuma menjawab, “Dari Kapatihan, sebenarnya saya diutus Paman Patih. Kakanda besok pagi diminta datang bersama Kanda Jayakusuma. Paman Anda besok mendapat kunjungan Kapten Langpel.”

Pangeran Tepasana kaget, lalu berkata, “Dinda, besok bersama dengan Anda, apakah memakai kampuh?”

Raden Mlayakusuma berkata, “Memakai kampuh.”

Raden Mlayakusuma minta pamit. Setelah kepergian Raden Mlayakusuma, hati Pangeran Tepasana dipenuhi tanda tanya. Malam itu sang pangeran tak tidur karena gelisah. Mata tak mau terpejam dan selalu berangan-angan dalam hati. Apa ada rahasia sehingga Paman Patih memanggil saya. Karena terbawa keburukan Kanda Pangeran Wiramenggala, Pangeran terbelit masalah. Pangeran Wiramenggala sungguh telah sesat, berkomplot dengan Kapten Langpel. Sebenarnya kalau sudah pasti kehendak Sang Raja salah satunya, antara orang Cina dan Kumpeni, bisa ditumpas. Namun sampai saat ini sikap Sang Raja belum dinyatakan secara lahir. Semula Pangeran tak ingin mendatangi panggilan Ki Patih, tapi setelah menimbang bahwa Kapten Langpel juga datang hatinya agak tenang.

Pagi sudah menjelang, Pangeran Tepasana dan Raden Jayakusuma sudah bersiap berangkat dengan memakai kampuh. Pangeran lalu berangkat dengan terlebih dulu menghampiri pondokan Raden Mlayakusuma. Raden Mlayakusuma menyambut di halaman, mereka kemudian duduk sebentar.

Sementara itu di Kapatihan, Ki Patih sudah memanggil Tumenggung Surabrata dan disuruh membawa prajuritnya yang terpilih. Tak lama Surabrata sudah datang di Kapatihan dan menemui Ki Patih.

Berkata Ki Patih, “Hai Dinda Ponorogo, orangmu yang pilihan tempatkan di tepi gerbang dan bersembunyilah di sepanjang pagar. Bawalah tombak pendek dan berbaris secara diam-diam.”

Ada abdi Kapatihan yang berjaga di luar, namanya Surajaya, Surabangsa, Surandiya, Surayuda, Surawadana dan Nilasaraba. Prajurit Kapatihan yang berbaris di dalam halaman, dari kesatuan Secanirbaya, Jayamenggala, Jayaparusa, Jayaantaka, Secanirmala, Tanpagembung dan Jayaparusa. Semua juga bebaris dengan sembunyi-sembunyi. Jumlah mereka ada seratus orang, termasuk lurah prajurit. Lurah mereka adalah Surdigdaya dan Mangunoneng. Keduanya berbaris di pintu gerbang.

Ki Patih berkata kepada Tumenggung Surabrata dari Ponorogo, “Anda bertempatlah di gerbang. Kalau Pangeran Tepasana datang, hentikan dia di gerbang. Kalau Anda ditanya, katakan sedang bersiap membantu perang kepada Arya Pringgalaya. Pakailah pakaian keprajuritan lengkap. Berilah kursi melingkar, katakan sebagai tempat untuk Kapten Langpel yang juga akan berkunjung ke sini.”

Di waktu yang bersamaan, Raden Mlayakusuma, Pangeran Tepasana dan Raden Jayakusuma berangkat dari pondokannya ke Kapatihan. Mereka berhenti di gerbang karena melihat kursi ditata di sekitar gerbang. Mereka juga melihat Tumenggung Surabrata berada di situ. Pangeran Tepasana kaget dan agak ragu karena Tumenggung Surabrata memakai pakaian perang.

Pangeran Tepasana bertanya, “Mengapa Kanda Tumenggung Surabrata memakai pakaian perang?”

Surabrata menjawab, “Saya akan berangkat perang membantu adik Anda Arya Pringgalaya. Karena Anda dan Kapten akan bertamu ke sini, sekalian saya menemui Kapten di sini saja.”

Mendengar jawaban Tumenggung Surabrata Pangeran Tepasana tenang hatinya.

Raden Mlayakusuma berkata, “Kanda, saya persilakan berhenti di sana saja. Saya akan masuk untuk melapor kepada Paman Patih. Barangkali beliau belum tahu kalau Anda sudah datang.”

Pangeran Tepasana berkata, “Baik Dinda, segeralah.”

Raden Mlayakusuma meninggalkan Pangeran Tepasana dan masuk ke dalam rumah. Sesampai di dalam Raden Mlayakusuma menemui Ki Patih.

Ki Patih bertanya pelan, “Apakah Pangeran Tepasana sudah datang?”

Raden Mlayakusuma menjawab, “Sudah beberapa saat datang.”

Ki Patih berkata, “Kembalilah ke pintu gerbang.”

Ki Patih membisikkan beberapa pesan. Raden Mlayakusuma segera kembali dan menemui Pangeran Tepasana.

Raden Mlayakusuma berkata, “Kanda, Paman Patih mengatakan kepada saya: Anda katakan kepada Pangeran, aku tanya kesungguhannya dalam mengabdi kepada Sang Raja. Karena sekarang aku meragukan kesungguhannya.”

Pangeran Tepasana kaget, seketika hatinya ciut. Sejenak kemudian lalu berkata, “Dinda, apa saya boleh menemui Paman Patih? Saya hendak bersumpah di hadapan Paman Patih.”

Raden Mlayakusuma berkata, “Baiklah Kanda, tapi kalau hendak masuk letakkan keris Kanda. Kalau masih memakai keris Paman Patih pasti ragu-ragu.”

Pangeran Tepasana berkata, “Ayo Dinda.”

Keris sudah diberikan dan diterima Raden Mlayakusuma. Namun sang adik Pangeran Jayakusuma tampak berat melepas kerisnya.

Pangeran Tepasana berkata, “Dinda Jayakusuma, segera berikan kerismu. Kita ini tak punya niat buruk.”

Raden Jayakusuma lalu menyerahkan keris kepada Raden Mlayakusuma. Raden Mlayakusuma lalu memberi isyarat dengan berkedip kepada Ki Mangunyuda dan Ki Surayuda. Keduanya lalu menubruk Pangeran Tepasana dan Raden Jayakusuma. Kedua pangeran lalu diikat dan lehernya dililit tambang, tak dapat lagi menunduk. Keduanya lalu ditempatkan di serambi mushola Kapatihan. Pintu gerbang sudah dijaga para prajurit Kapatihan. Kedua pesakitan sudah diikat kakinya dan dijatuhkan.

Di saat itu Pangeran Tepasana masih sempat berkata kepada Raden Wirakusuma yang menjaganya, “Hai paman, Anda katakan kepada Paman Patih saya hanya minta hidup. Saya berikan hidup saya kalau saya melakukan tipudaya agar dipulangkan ke Jawa dengan membawa pusaka yang diminta Sang Raja.”

Raden Wirakusuma tertegun, kemudian berkata, “Saya tidak berani melapor Nak.”

Pangeran Tepasana ciut hatinya. Merasa bahwa ajalnya akan segera tiba. Teringat akan putra-putranya, Raden Wiratmeja dan Raden Mas Garendi yang masih kecil.

“Duh anakku, engkau segera akan berpisah dengan ayah,” ratap Pangeran Tepasana.

Air mata Pangeran Tepasana mengalir deras. Meski ditahan-tahan tak urung jebol juga. Bersamaan turun hujan rintik-rintik. Raden Jayakusuma menderita ketagihan candu. Kepada para penjaga Raden Jayakusuma minta dicarikan candu. Mereka kemudian meminta kepada Raden Patih Natakusuma. Oleh Ki Patih diberikan satu tangkai, lalu segera dimakan. Raden Jayakusuma meminta agar kursi tempat dia diikat didekatkan kepada sang kakak.

“Aku hendak sungkem kepada Kakanda,” kata Jayakusuma.

Pangeran Tepasana menyahut, “Sudah aku terima sebelumnya. Kita ini orang tanpa dosa. Sungguh mati syahid. Terbuka pintu surga. Ayo pasrah kepada Tuhan.”

Pukul sebelas Pangeran Tepasana ditangkap, pukul lima sore diambil ke istana. Perjalanan ke istana memakai tandu dengan ditutup kain rapat-rapat dan dikawal prajurit bersenjata. Yang ditugaskan mengawal adalah Mangunoneng dan Suradadaha. Mereka dipesan agar berhati-hati ketika melewati Loji Kumpeni. Kalau ada serdadu Kumpeni bertanya, jawablah bahwa yang di dalam tandu itu Raden Ayu Adipati Natakusuma yang hendak menghadap ke istana. Pasukan pengawal terdiri dari delapan puluh prajurit bersenjata karabin di depan dan delapan puluh prajurit bersenjata tombak pendek di belakang. Ketika melewati Loji para serdadu keheranan. Mereka bertanya siapa yang di dalam tandu. Dijawab bahwa Raden Ayu Natakusuma akan menghadap Sang Raja. Rombongan segera sampai dan kedua pangeran ditempatkan di Suranatan.

Ketika senja datang Raden Jayakusuma ketagihan candu lagi. Oleh Ngabei Asmaradana diberikan candu sebesar buah kemiri. Langsung ditelan. Waktu setelah Isya’ keduanya diselesaikan dengan cara dicekik tambang. Peristiwa kematian dua pangeran ini ditandai dengang sengkalan tahun: gana rêtu obahing rat[1]. Keduanya lalu dikuburkan di gunung Wujil, sebelah barat Segarayasa.

Sudah kehendak Tuhan Pangeran Tepasana tewas oleh punggawa Kartasura yang meninggalkan nalar. Juga termasuk patihnya yang tidak memakai akal budi baik. Orang belum jelas dosanya sudah dihukum. Orang yang ingkar melawan negara sudah pasti akan musnah dari perbuatannya sendiri. Itulah budi yang sentausa. Adapun yang terjadi, itu semua adalah asas keadilan yang diingkari. Seorang raja jika mengingkari keadilan, akibatnya adalah pertumpahan darah. Sebuah dosa besar yang akibatnya berlipat ganda. Ibarat utang sedikit tapi membayar banyak. Seumpama mendapat ayam satu, lalu kehilangan seratus kerbau. Itulah akibat dari darah yang tumpah dengan batil. Sudah nyata hisab dari Tuhan Yang Maha Adil.


[1] Sengkalan: gana rêtu obahing rat (1666 J, 1741/1742 M).

https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/11/05/babad-tanah-jawi-147-pangeran-tepasana-dan-pangeran-jayakusuma-tewas-dicekik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...