Translate

Minggu, 22 September 2024

Babad Tanah Jawi (17): Lembupeteng menikah dengan Nawangsih

 Di desa Tarub, tempat Bondhan Kajawan dititipkan kepada Kyai Ageng Tarub. Kyai Ageng sudah mengganti nama Raden Bondhan Kajawan dengan nama Lembupeteng. Kyai Ageng merasa sangat berbelas kasih kepada anak didiknya itu. Karena Kyai Ageng seorang pertapa yang awas penglihatannya, maka Kyai tahu apa yang bakal terjadi kelak.

Raden Lembupeteng pun merasa kerasan tinggal di pertapaan Kyai Ageng Tarub. Semua perintah Kyai Ageng dilaksanakan sebagaimana sikap seorang murid yang menuntut ilmu. Selain mendapat pengajaran berbagai pengetahun Lembupeteng juga mendapat pelatihan praktik bertani. Sehari-hari Lembupeteng rajin ke sawah untuk merawat tanaman.

Sementara itu putri Ki Ageng Tarub yang bernama Nawangsih telah beranjak dewasa. Sebagai seorang putri bidadari sungguh kecantikannya tiada beda dengan sang ibu. Selain cantik perilakunya pun menawan hati.

Pada suatu hari Kyai Ageng Tarub berkata kepada Nawangsih, “Anakku, hari sudah siang. Kirimlah bekal untuk kakakmu Lembupeteng yang sedang bekerja di sawah.”

Nawangsih segera bersiap mengirim bekal untuk makan siang kepada Lembupeteng. Di punggungnya Nawangsih menggendong bakul. Tangan kiri menenteng kendi dan tangan kanan membawa ember untuk memetik sayuran.

Sementara itu di sawah Raden Lembupeteng melihat kedatangan sang adik. Segera bergegas Raden Lembupeteng naik dari sawah ke pematang. Bekal sudah diterima tetapi tiba-tiba tangan Lembupeteng memegang tangan Nawangsih. Ni Nawangsih melirik dan merasa ada yang aneh dengan Lembupeteng. Dalam hati Nawangsih bertanya-tanya mengapa sikap Lembupeteng sedikit kikuk dan tak segera dilepaskan. Nawangsih sedikit marah tetapi disamarkan.

Nawangsih berkata, “Mengapa kakak memegang tanganku? Mengapa kakak bertingkah aneh kepada saya saudara perempuanmu? Ada apa denganmu kakak?”

Raden Lembupeteng berkata manis, “Adikku, jangan marah. Orang bersaudara ada kalanya bercanda. Apa yang tidak elok kalau hanya memegang tangan?”

Nawangsih berkata, “Benar, tapi pegangan tanganmu ini tidak seperti kepada saudara. Tidak patut kakak melakukan itu kepadaku. Kita sekarang sudah dewasa, tidak sepantasnya bercanda seperti ini.”

Raden Lembupeteng berkata, “Ya, aku lupa adikku. Karena sangat gugup sampai saya khilaf memegang tanganmu. Maafkan aku tak sengaja.”

Nawangsih berkata, “Jangan berkelit, memang kakak sengaja. Apa kakak tidak menganggapku sebagai saudara sampai ke hati? Mengapa kakak tega berbuat seperti itu?”

Lembupeteng berkata, “Wajar manusia banyak lupa. Tadi sewaktu melihatmu aku lupa kalau engkau adikku sendiri. Aku melihatmu sungguh sangat cantik sehingga lupa kalau engkau saudaraku sendiri.”

Nawangsih berkata, “Sungguh kakak tidak bisa dipercaya. Pasti kakak aku laporkan kepada Kyai.”

Lembupeteng tersenyum dan membiarkan Nawangsih pulang kembali. Sekembalinya ke rumah Nawangsih segera melapor kepada Kyai Ageng Tarub peristiwa yang baru saja terjadi.

Berkata Nawangsih, “Ayah, ketika aku mengirim bekal Kakak Lembupeteng telah berbuat aneh. Tangan saya dipegang dan tak dilepaskan.”

Kyai Ageng tertawa dan bertanya, “Benarkah? Bagaimana dia pegang tanganmu?”

Nawangsih berkata, “Sepertinya sikap kakak seperti kepada gadis lain.”

Kyai Ageng berkata, “Ketahulah anakku, kakakmu memang bukan saudara kandungmu. Engkau dan dia sebenarnya memang orang lain. Sudahlah jangan dibahas lagi.”

Nawangsih menurut kepada sang ayah. Malam harinya Lembupeteng kembali ke pertapaan Kyai Ageng Tarub. Lembupeteng selalu melayani sang guru di pertapaan. Sejak ditinggal sang istri Kyai Ageng memang tidur di pertapaan. Hanya Nawangsih yang tidur di rumah. Tidak diceritakan apa yang dibicarakan antara guru dan murid di malam itu. Singkat cerita Lembupeteng dinikahkan dengan Nawangsih. Namun karena semula sudah menganggap Lembupeteng sebagai saudara, hati Nawangsih belum merasa nyaman. Kedua suami istri belum bisa hidup rukun. Nawangsih selalu menangis pasca pernikahan itu.

Alkisah, umur Kyai Ageng Tarub tidak panjang. Belum sempat momong cucu Kyai Ageng wafat. Sepeninggal Ki Ageng kedudukannya digantikan oleh Lembupeteng sebagai Kyai Ageng Tarub. Nawangsih merasa sangat kehilangan pelindung. Kini tak ada lagi yang menjadi tempat pengayoman dan bermanja-manja selain sang suami. Hati Nawangsih mulai luluh. Lembupeteng pun dengan sabar selalu membujuk dan merayu sang istri agar cintanya tumbuh. Sekeras apapun hati wanita kalau dihadapi dengan sabar akhirnya runtuh jua. Kedua suami istri mulai hidup rukun berkasih mesra.

Sang Ratna Nawangsih tak lama kemudian mengandung. Ketika tiba saatnya lahirlah seorang banyi mungil yang tampan. Kedua orang tua muda itu sangat mengasihi sang buah hati. Siang malam dijaga dengan penuh kasih sayang. Ketika masanya disapih tiba, tak lama kemudian Nawangsih hamil lagi. Putra kedua pun lahir dengan jenis kelamin perempuan. Kini lengkap sudah kebahagiaan pasangan muda itu. Namun umur Lembupeteng tidaklah panjang. Belum puas berkasih sayang Lembupeteng dipanggil menghadap Sang Pencipta.

Hari terus berjalan. Kedua putra Lembupeteng pun beranjak dewasa. Putra tertua yang laki-laki menggantikan kedudukan sang ayah dengan nama Ki Ageng Getas Pandawa. Sedang sang adik perempuan kemudian menikah dengan Ki Ageng Ngerang. Rumah tangga mereka pun berjalan mulus tanpa ada halangan.

Ki Ageng Getas Pandawa mempunyai tujuh orang putra. Putra tertua seorang lelaki yang kelak bernama Ki Ageng Sela. Keenam adik Ki Ageng Sela adalah; Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong dan Nyai Ageng Adibaya.


https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2022/06/16/babad-tanah-jawi-17-lembupeteng-menikah-dengan-nawangsih/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kajian Wulangreh (165;167): Bener Luput Den Esthi

  Pada   (bait) ke-165;167, Pupuh ke-9, Pucung, Serat Wulangreh karya SISK Susuhunan Paku Buwana IV. Ing sabarang prakara dipun kadulu, wiwi...